Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para pegiat dan penutur aktif bahasa suku Mentawai, Nias, Using, dan Kui melakukan berbagai cara untuk terus menghidupkan bahasa mereka.
Selain tetap aktif bertutur dalam bahasa daerah dalam keseharian, mereka menggunakan beragam medium, seperti membuat kamus, buku ajar, dan buku cerita; mengadakan lomba menulis cerita pendek dan lagu; serta memanfaatkan teknologi digital.
Mereka menyadari betapa pentingnya bahasa ibu mereka tetap hidup dan lestari untuk menjaga tradisi dan akar mereka.
SEBUAH kanal video YouTube, TV Bain, menayangkan seorang bocah bermain layang-layang. Bocah itu menyanyikan lagu anak-anak dengan iringan kendang kempul dan suling. Sebuah lagu berbahasa Using. Sebanyak tujuh lagu sudah diunggah di kanal tersebut oleh Antariksawan Jusuf. Ia seorang pegiat budaya Using yang juga pendiri Paguyuban Sengker Kuwung di Banyuwangi, Jawa Timur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selain memperbarui kamus Using yang dibuat Hasan Ali menjadi kamus digital yang bisa diunduh di Google Play, Antariksawan punya sederet kegiatan yang bertujuan melestarikan bahasa Using. Ia menceritakan perjuangan panjang pelestarian bahasa Using sejak 1990-an melalui jalur “formal” hingga akhirnya menjadi mata pelajaran di sekolah dasar. Ia bukan keturunan Using, tapi lahir dan besar di lingkungan kampung Using. Saat kuliah, Antariksawan sering bertemu dengan Hasan Ali yang memberinya wejangan agar lebih banyak menulis dalam bahasa Using.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jadilah pada 2013 Antariksawan mulai berfokus melestarikan bahasa Using. Ia membuat novel berbahasa Using pertama. Setelah itu, ia giat menyelenggarakan pelatihan berbahasa Using untuk guru-guru serta mengadakan lomba menulis cerita pendek berbahasa Using yang kemudian dibukukan. “Sampai tahun lalu masih berlangsung,” ujarnya.
Perkembangan teknologi membuat Antariksawan mencoba lebih banyak peluang untuk melestarikan bahasa Using dengan paguyubannya. Ia membuat portal berbahasa Using untuk menampung berbagai tulisan opini atau sastra di situs Belambangan.com dan TV Bain. Beberapa tahun lalu, ia membagikan 2.500 buku bacaan anak-anak berbahasa Using.
Pegiat bahasa Using lain adalah Nur Holipah, 28 tahun, guru yang juga tergabung dalam yayasan Antariksawan. Sejak 2013, ia rajin mengikuti lomba menulis cerpen Paguyuban Sengker Kuwung. Ia pun sudah membukukan kumpulan cerita pendeknya. Pada 2017, ia mulai membuat cerpen yang ringan dan untuk anak-anak. Kesukaannya menulis cerpen ini turut melestarikan bahasa Using.
Hal lain yang mendorongnya terus menulis dalam bahasa Using adalah ketika adik-adiknya tidak selancar dan semedok dia dalam berbahasa Using dengan orang tua dan kakek-neneknya. Keluarganya termasuk penutur Using aktif. Ketika mengobrol dengan ayah-ibu atau kakek-neneknya, dia menemukan kosakata baru yang unik, bahasa Using lawas yang belum pernah ia temui. “Ini menimbulkan inspirasi di cerpen dan harus dikenalkan ke masyarakat,” kata guru ilmu pengetahuan sosial di sebuah sekolah menengah pertama di Banyuwangi itu. Di sela-sela pelajarannya, ia sering menyelipkan kosakata bahasa Using.
Di Mentawai, keprihatinan juga menghinggapi benak Fransiskus Yanuarius, Ketua Yayasan Pendidikan Budaya Mentawai. Ia juga editor Kamus Bahasa Rereiket Mentawai-Indonesia yang diterbitkan yayasan itu pada 2019. Pria yang akrab dipanggil Yan ini tinggal di Desa Muntei, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat. Keprihatinannya muncul karena kini bahasa Mentawai tak lagi dipakai oleh orang-orang muda dan anak-anak, kecuali di kampung yang jauh di hulu. “Apalagi di Tuapeijat, ibu kabupaten Kepulauan Mentawai di Pulau Sipora, anak-anak sudah pakai bahasa Indonesia semua dengan orang tuanya di rumah,” tuturnya kepada Tempo.
Dulu para misionaris menggunakan bahasa daerah untuk menyebarkan agama Kristen ataupun Katolik. Menurut Yan, di Siberut, banyak orang menggunakan bahasa campuran Indonesia-Mentawai. Kini anak-anak mudanya kurang percaya diri menggunakan bahasa Mentawai. “Saat memimpin rapat, misalnya, ia mesti ngomong dulu, ‘Maaf, saya pakai bahasa Mentawai.’ Mengapa harus minta maaf? Itu bahasa kita.”
Seiring dengan zaman, Yan menambahkan, bahasa daerah tak lagi digunakan, apalagi ketika sudah ada Internet. Sebagian anggota masyarakat masih menggunakan bahasa daerah di rumah. Sedangkan di sekolah mereka berbahasa Indonesia. Sebagai upaya melestarikan bahasa Mentawai, yayasan ini kemudian membuat sekolah adat di tiga desa, yakni Muntei, Mailepet, dan Madobag. “Semacam ekstrakurikuler, sekali seminggu, untuk mempelajari budaya Mentawai,” ujarnya.
Mereka memanggil ketua adat untuk mendengarkan cerita rakyat. Sebab, cerita rakyat bahasa Mentawai dituturkan, tidak ada yang tertulis. Mereka juga belajar membuat kerajinan anyaman dan mengidentifikasi tanaman obat dengan pengantar bahasa Mentawai. Tak kurang dari 300 anak berusia sekolah dasar hingga SMP empat tahun ini belajar bersama tentang bahasa dan budaya Mentawai.
Ketua Yayasan Pendidikan Budaya Mentawai Fransiskus Yanuarius, di sekolah adat Muntei, Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Dok. Pribadi
Di Nias, Sumatera Utara, Nata’alui Duha, Direktur Museum Pusaka Nias, Gunungsitoli, pekan lalu pulang ke kampungnya di Desa Hilimondregeraya, Nias Selatan. Dia terkejut melihat anak-anak kampung kini tak berbahasa Nias. Semuanya memakai bahasa Indonesia. Tapi pada umumnya orang tua mereka di rumah masih memakai bahasa Nias. Sedangkan dia, meski tinggal di Nias Utara, masih membiasakan diri menggunakan bahasa daerah Nias Selatan di rumahnya. Dia menjelaskan, bahasa Nias terbagi menjadi dua, yakni Nias Utara dan Nias Selatan.
Keduanya banyak berbeda dalam hal bahasa, kosakata, dan dialek atau logat. Subdialek di Nias Selatan lebih banyak. Bahasa di Pulau Telo dan Batu di arah selatan memiliki akar bahasa dari Teluk Dalam meski berbeda dialek. Orang Teluk Dalam di wilayah selatan masih bisa memahami bahasa di Nias Utara. Tapi orang Nias Utara sulit memahami bahasa Nias Selatan. “Karena sejak misionaris atau Kristen datang, kitab suci diterjemahkan dalam bahasa Nias Utara sehingga khotbah di gereja pun bahasanya bahasa Nias Utara,” ucap Nata’alui.
Kondisi itu membuat penggunaan bahasa Nias Selatan tergerus. Dulu, saat duduk di bangku SD, Nata’alui masih mendapat pelajaran bahasa Nias. Tapi kini pelajaran itu tak ada lagi. Karena itu, ia berupaya tetap menghidupkan bahasa Nias di Museum Pusaka Nias. Para siswa setiap minggu datang ke museum itu untuk mempelajari bahasa dan budaya Nias.
Meskipun saat ini sudah ada kamus bahasa Nias, menurut dia, mereka juga belajar di luar, seperti di Museum Pusaka Nias. “Seharusnya tetap diajarkan di sekolah untuk muatan lokal. Orang tua di rumah juga mengajarkannya, tetap dipakai,” katanya.
Jauh di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, bahasa Kui punah jika tidak terselamatkan hampir 11 tahun lalu. Saat itu hanya para orang tua atau penduduk setengah baya yang menggunakan bahasa Kui. Nasrudin Kinanggi, tetua adat masyarakat Kui, senang menerima kedatangan tim Obing Katubi—kini Kepala Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra Badan Riset dan Inovasi Nasional—yang hendak meneliti bahasa Kui. “Saya bangga Pak Obing datang hingga menjangkau kami di pelosok. Kami baru menyadari pentingnya bahasa daerah kami,” ujarnya. Bersama mereka, tim Obing mulai mendokumentasikan dan merevitalisasi bahasa Kui yang nyaris punah.
Para tetua pada waktu-waktu khusus mengajarkan bahasa Kui kepada anak-anak dan remaja secara berkelompok di sore hari. Di rumah, para orang tua berkomunikasi dengan bahasa Kui, setelah dulu terbiasa berbahasa Indonesia. “Anak-anak sehari-hari kami ajak bicara dengan bahasa Kui. Kalau ke sekolah pakai bahasa Indonesia,” tutur Nasrudin. Untuk acara ritual adat atau pertemuan masyarakat, penggunaan bahasa daerah itu juga kembali digalakkan.
Tim Obing bersama masyarakat Kui kemudian menyusun kamus bahasa Kui. Selain itu, mereka membuat buku tradisi lisan orang Kui, yaitu lego-lego yang sudah sangat klasik. “Bukunya malah terbit di Jepang. Versi Indonesia-nya akan terbit tahun ini,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Febrianti dari Padang berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Agar Bahasa Ibu Tetap Lestari"