Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENIN, 4 Maret 2024, Mbak Dini, ibu mertua sastrawan Yudhistira Ardi Nugraha Moelyana Massardi, meninggal. Saya dan Rayni, istri saya, tiba di rumah Yudhis—sapaan Yudhistira—pada pukul 11.20. Di ruang tamu, jenazah Mbak Dini terbujur di ruang tamu dan siap diberangkatkan ke masjid. Tapi Yudhis dan keluarga batihnya tidak tampak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kami diisyaratkan untuk masuk ke kamar Yudhis. Di dalamnya tampak Yudhis terbaring di tempat tidur. Tubuhnya menggigil hebat. Ia dikelilingi Siska, perempuan yang ia nikahi pada 1985, serta ketiga anaknya, Iga Dada Massardi, Matatiya Taya, dan Kafka Dikara. Mereka memijat dan menggosokkan minyak balur sambil tak henti membaca doa. Yudhis sendiri terus mendesah, “Dingin, dingin, dingin,” di tengah zikir dan napas yang tersengal-sengal. Slang oksigen masih terpasang di lubang hidungnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya syok berat. Kejadian dan pemandangan di rumah itu terasa sangat absurd dan surealistis. Di ruang tamu ada jenazah yang terbaring dan di sini saudara kembar saya sedang menggigil hebat. Mengingat kondisi dan kemampuan pompa jantungnya yang tinggal 40 persen, sebagaimana disampaikan dokter jantungnya, saya tak mampu membayangkan bila jantungnya berhenti berdenyut.
Namun perlahan-lahan kondisi Yudhis membaik. Dia lalu bangun dan meminta dibawa keluar. Ia duduk di kursi roda menghadap meja makan dan menyantap sedikit sajian makan siang. Yudhis masih bisa tersenyum dan kami sempat berfoto ria. “Semoga dia sabar dan ikhlas. Lo juga, Noor,” begitu pesan Jajang C. Noer via WhatsApp beberapa waktu kemudian. “Aku belum siap kehilangan,” saya menjawab. “Karena itu, gue bilang harus sabar dan ikhlas. C'est la vie. C'est notre vie,” kata Jajang lagi.
Beberapa bulan sebelumnya, saya dan Rayni bertemu dengan Yudhis dan Siska di sebuah kafe di fX, Senayan, Jakarta. Bersama Carry Nadeak dan Bambang Sulistyo, sahabat dari majalah Gatra, kami membahas rencana perhelatan “Perjalanan Cinta 70 Tahun Noorca & Yudhis”, yang rencananya digelar di Galeri Indonesia Kaya, Jakarta. Acara itu digagas Yudhis pada hari ulang tahun kami yang ke-69 pada 28 Februari 2023. Saya sesungguhnya tidak begitu antusias karena publik pembaca kami sudah menipis, terutama karena faktor usia. Generasi baby boomer dan gen X yang merupakan basis pembaca kami sudah tidak aktif lagi. Sedangkan gen Y dan terlebih lagi gen Z, yang tumbuh dan dibesarkan oleh gawai elektronik, nyaris tidak mengenal kami.
Namun Yudhis tetap bersemangat karena, dari pengalamannya melakukan road show pembacaan dan pementasan musikalisasi puisi di pelbagai komunitas dan kampus seantero kota di Indonesia yang dilakukannya sejak 2018, masih ada publik yang antusias. Saya mengatakan ikut saja, tapi tidak dapat membantu apa-apa. Sebab, selain kesibukan saya sebagai anggota Lembaga Sensor Film (LSF), pergaulan saya memang sangat jauh dari lembaga-lembaga yang punya cukup dana dan antusias membantu kegiatan sastra.
Kami bersepakat menerbitkan buku kumpulan puisi masing-masing sebanyak 70 judul puisi dalam acara itu. Yudhis, yang setiap hari selalu menulis puisi, sudah punya lebih dari 100 judul, sementara saya baru memiliki belasan judul. Setelah merenung beberapa saat, saya menyampaikan bahwa saya akan menulis 70 puisi tentang Paris karena selama tinggal di Paris pada 1976-1981 hingga sekarang tidak banyak mengabadikan kota itu dalam karya.
Sampai tenggat Oktober 2023, saya baru selesai menulis sekitar 50 judul puisi tentang Paris. Di awal Desember 2023, saya mendapat tugas dari LSF untuk memenuhi undangan lembaga serupa di Paris. Walaupun hanya tiga malam di sana, saya berhasil menggenapinya menjadi 70 judul puisi.
Sementara itu, sejak September 2023, Yudhis melakukan Safari Sastra Yudhistira (SSY) ke berbagai kota di Jawa Timur bersama Siska dan musikus Trio Gayatri. Lalu ia berlanjut dengan SSY Puisi Gugat Politisi bersama Renny Djajoesman dan kawan-kawan di Jawa Barat, Jakarta, dan Yogyakarta.
Beberapa hari sebelum acara perayaan 70 tahun kami, kondisi Yudhis memburuk. Saya sudah menyarankan acara itu dibatalkan, tapi Yudhis masih bersemangat tampil. Akhirnya, dalam kondisi kesehatan yang minimal, Yudhis muncul bersama saya di auditorium Galeri Indonesia Kaya pada 28 Februari 2024. Saya meluncurkan kumpulan puisi Dari Paris untuk Cinta, sementara Yudhis merilis Akhirnya Kita Seperti Dedaun. “Alhamdulillah, akhirnya saya sampai juga pada tanggal hari ini, mencapai usia tepat 70 tahun,” tutur Yudhis dalam sambutannya disertai tangis yang tertahan. Lalu ia membacakan puisi “Akhirnya Kita Seperti Dedaun” sambil duduk dan menahan emosi. Sedangkan saya membacakan “Au Premier Jour” dan “Cafe”.
•••
SAYA dan Yudhis lahir di Subang, Jawa Barat, Ahad, 28 Februari 1954, sebagai anak kelima dan keenam dari 12 bersaudara. Bapak kami, Mas Sardi, konon pernah bekerja sebagai mekanik di Bandung. Emak saya, Mukinah Massardi, berasal dari Maos, Cilacap, Jawa Tengah. Mereka bertemu di Bandung, menikah, lalu membuka bengkel sepeda di Pegaden Baru, kota kecil di jalur pantai utara yang memiliki stasiun kereta api. Di jalur kereta arah Cirebon, Jawa Barat, itulah Bapak punya banyak kerabat dan saudara, yang sering saya kunjungi ketika bertualang sendirian naik gerbong kereta api barang secara gratis.
Orang tua kami lalu pindah ke Subang, Jawa Barat, dan membuka bengkel sepeda juga, yang pertama di kota itu. Bapak tidak hanya memperbaiki, tapi juga membuat sepeda. Adapun Emak membantu Bapak dengan membuka warung di sudut bengkel.
Sebagai anak kembar, sejak bersekolah di taman kanak-kanak, kami selalu bersama dan berada di kelas yang sama. Namun, ketika duduk di kelas II Sekolah Rakyat Negeri I, Subang, Yudhis dinyatakan tidak naik kelas. Penyebabnya bukan nilai rapornya, melainkan guru dan kepala sekolah sengaja memisahkan kami agar tidak selalu tertukar. Yudhis “marah” dan mungkin menyimpan “dendam” sampai dewasa. Walau perbedaan umur kami hanya lima menit, ketertinggalan setahun itu ternyata berdampak cukup panjang dalam jalur hidup dan takdir kami. Saya selalu selangkah lebih dulu, hampir dalam segala hal. Misalnya saya hijrah ke Jakarta lebih dulu. Tulisan saya pun dimuat di media massa lebih dulu, walau dalam hal mengarang sesungguhnya Yudhis lebih dulu ketimbang saya.
Saya mulai menulis cerita pendek ketika bersekolah di Taman Dewasa, Yogyakarta, sekolah Tamansiswa yang setara dengan sekolah menengah pertama. Yudhis, yang lebih dulu pindah ke Kota Gudeg, ternyata juga sudah mulai mengarang. Namun, karena tidak punya mesin tik, kami tidak pernah mengirimkan karangan-karangan itu ke media massa.
Karena situasi ekonomi keluarga kami memprihatinkan, saya memutuskan kembali ke Subang untuk menemani Emak, sementara Yudhis tetap di Yogyakarta hingga menyelesaikan Taman Madya, sekolah Tamansiswa yang setara dengan sekolah menengah atas. Bapak kemudian membuka bengkel sepeda di Wates, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pada 1969, saya pindah ke Jakarta dan tinggal di rumah majikan orang Tionghoa asal Subang di Kampung Bali, Tanah Abang. Di tengah pekerjaan di rumah dan pasar itulah saya mulai menulis puisi dan cerpen dengan tulisan tangan. Abang saya, Mashuri, mengetik dan mengirimkannya ke pelbagai media di Jakarta. Suatu kali, saya mengikuti lomba mengarang cerpen Warta Minggu, koran milik Kosgoro, dengan ketua dewan juri Iwan Simatupang, sastrawan dan redaktur di koran itu. Cerpen saya terpilih sebagai salah pemenang. Sejak itu, beberapa karya saya dimuat di berbagai media.
Mengetahui hal itu, Yudhis, yang masih tinggal di Yogyakarta, makin bersemangat menulis dan mengirimkan karyanya kepada saya untuk disampaikan kepada para redaktur di Jakarta. Karyanya pun mulai banyak dimuat media. Saat itu Yudhis juga bergabung di Persada Studi Klub pimpinan Umbu Landu Paranggi, redaktur mingguan Pelopor, bersama para penyair Yogya lain yang kelak hampir semuanya terkenal, seperti Emha Ainun Nadjib, Linus Suryadi AG, dan Suwarno Pragolapati. Honor-honor tulisan Yudhis saya ambil sendiri di kantor koran yang memuatnya, lalu saya kirimkan melalui wesel pos. Yudhis selalu berpesan: “Tolong tuliskan itu sebagai honor tulisanku yang dimuat di koran tersebut biar teman-teman di Yogya cemburu.”
Yudhis baru hijrah ke Jakarta pada 1972 dan bergabung dengan saya untuk mengembangkan Teater Bulungan, sebuah grup di Gelanggang Remaja Jakarta Selatan (GRJS) Bulungan. Meskipun secara resmi menumpang di rumah seorang sepupu Emak di Asrama Kostrad, Kebayoran Baru, sehari-hari kami tidur di pelbagai ruangan di dalam kompleks GRJS Bulungan.
Pada awal 1976, kami ditawari bekerja di majalah Le Laki yang dipimpin Teguh Esha, pengarang novel Ali Topan Anak Jalanan. Setelah ikut menggarap tiga edisi awal, saya terpaksa meninggalkan majalah itu dan berangkat ke Paris, Prancis, untuk menyusul pacar saya, Rayni, yang melanjutkan studinya di sana.
Nama Yudhis makin tenar sebagai pengarang prosa dan puisi. Novelnya, Arjuna Mencari Cinta (1977), memenangi pelbagai penghargaan, seperti Bacaan Remaja Terbaik Yayasan Buku Utama Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Novel itu lalu diterjemahkan ke bahasa Jepang dan diadopsi menjadi film. Dia juga mendapat beasiswa dari Japan Foundation untuk bermukim selama tujuh bulan di Kyoto dan Tokyo serta terpilih mengikuti Program Penulisan Kreatif di Iowa, Amerika Serikat, selama tiga bulan.
Yudhis juga menulis sejumlah lakon sandiwara yang memenangi lomba Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), seperti Wot (1977) dan Ke (1978). Novel Mencoba Tidak Menyerah karyanya menang dalam Sayembara Mengarang Roman DKJ pada 1977. Pada periode yang sama, kumpulan puisinya, Sajak Sikat Gigi, terpilih sebagai kumpulan puisi terbaik 1976-1977 oleh DKJ.
Selama di Paris, saya menjadi koresponden majalah Tempo. Pada Oktober 1981, saya kembali ke Tanah Air. Saat itu Yudhis juga bekerja di Tempo. Maka saya memutuskan melamar pekerjaan sebagai wartawan Kompas dan diterima. Jakob Oetama, pemilik Kompas, lalu meminta saya memimpin majalah berita bergambar Jakarta-Jakarta. Atas izin Jakob, saya mengajak Yudhis menjadi redaktur pelaksana bersama Seno Gumira Ajidarma dan Kurniawan Junaedhie.
Sebagai manusia kembar, saya dan Yudhis mungkin merupakan fenomena unik dalam dunia sastra dan pers. Namun kebersamaan kami di Jakarta, setelah terpisah selama hampir enam tahun, tidak lagi seperti dulu ketika masih bujangan. Setelah lepas dari Jakarta-Jakarta, kami berpisah pekerjaan di pelbagai media. Yudhis antara lain pernah bekerja di majalah Editor, Humor, dan Gatra. Kami juga sudah memiliki keluarga mandiri masing-masing dan menjalani takdir sendiri-sendiri.
Meskipun demikian, hubungan batin dan hubungan pribadi kami sekeluarga tetap terjalin dengan baik. Di pelbagai tempat ngopi kami selalu bertemu. Namun Sang Maut akhirnya memisahkan kami untuk selamanya pada Selasa malam, 2 April 2024, setelah kami merayakan kehidupan berdua selama 70 tahun. Ya, akhirnya kita memang seperti dedaun, sebagaimana kata Yudhis dalam sajak “Akhirnya Kita Seperti Dedaun”: Runduk pada musim/bersama bunyi langit, guruh gaduh, di gunduk kubur.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Seperti Daun, Yudhis Runduk pada Musim"