Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi mengkaji daya hidup bahasa daerah yang beragam.
Sebanyak 718 bahasa daerah memiliki daya hidup beragam, dari aman hingga punah. Umumnya yang punah adalah bahasa daerah Maluku dan Papua karena makin sedikit penuturnya. Berdampak tidak langsung pada hilangnya pengetahuan suatu komunitas.
Revitalisasi dengan pembuatan kamus dan upaya lainnya dilakukan, termasuk oleh komunitas bahasa yang mempertahankan bahasa daerahnya.
MERLINDA Dessy Arantji Adoe, 45 tahun, cuma tertawa ketika teman-temannya bergosip dengan bahasa daerah di tempat tinggalnya di Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur. “Mengerti sedikit-sedikit, karena aku lahir-besar di Kupang. Sudah aku coba belajar (berbahasa Rote) tapi tak bisa-bisa,” ujarnya, lalu tertawa. Linda, panggilan aparatur sipil negara yang juga bintang film Women from Rote Island itu, mengaku tak bisa berbahasa Rote. Berbicara dengan anaknya pun ia menggunakan bahasa Indonesia. Beberapa tahun lalu, Linda pindah dari Kupang ke Rote.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ayahnya orang Rote, tapi saat duduk di bangku sekolah menengah atas pindah ke Kupang hingga bekerja sebagai pegawai negeri. Adapun ibunya lahir di Balikpapan, Kalimantan Timur. “Sama sekali tidak bisa berbahasa Rote. Orang tua bicara dengan kami anak-anaknya memakai bahasa Indonesia. Tapi mereka masih bisa berbahasa daerah,” ucap Linda kepada Tempo.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Linda menuturkan, semua koleganya di kantor Kecamatan Rote Barat masih mengobrol dengan bahasa daerah. Anak-anak di Rote pun, dia melanjutkan, masih berbahasa daerah dalam kegiatan sehari-hari. Mereka berbahasa Indonesia saat berkomunikasi dengan guru di sekolah. Bahkan ada anak-anak yang tidak lancar berbahasa Indonesia karena lebih sering berbahasa daerah. Linda juga menjelaskan bahwa banyak sekali bahasa daerah di Rote.
Linda adalah satu dari sekian banyak orang dari generasi yang tak lagi menggunakan bahasa daerah. Faktor orang tua dan lingkungan membuatnya tak bisa berbahasa daerah. Hal ini sejalan dengan yang disampaikan Kepala Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Aminudin Aziz tentang kondisi daya hidup bahasa daerah. Ia menuturkan, Indonesia mempunyai setidaknya 718 bahasa daerah dengan kondisi daya hidup beragam. Banyak bahasa daerah yang berstatus kritis serta terancam punah, terutama di wilayah timur, dan tidak lagi digunakan oleh penutur jati.
Daya hidup bahasa daerah cenderung menurun lantaran penuturnya tidak menggunakannya karena beberapa hal, seperti takut salah, tidak hidup di tempat bahasa dipakai, dan tidak mempelajarinya lagi. “Sekarang di rumah sulit ditemui yang memakai bahasa daerah. Padahal itu pertahanan terakhir. Kalau keluarga tidak pakai, bagaimana mempertahankannya?” kata Aminudin.
Kamus Mentawai dialek Rereiket yang diterbitkan oleh Yayasan Pendidikan budaya Mentawai. Tempo/Febrianti
Aminudin mengutip data Badan Pusat Statistik dalam Long Form Sensus Penduduk 2020, yakni sebagian penduduk mempertahankan kelestarian bahasa melalui penggunaannya dalam komunikasi dengan anggota keluarga, tetangga, atau kerabat. Menurut data itu, sebanyak 73,87 persen pengguna bahasa daerah berbahasa daerah dengan keluarga dan 71,93 persen dengan tetangga atau kerabat.
Adapun persentase penutur bahasa daerah dari pre-boomer ke generasi post-gen Z makin berkurang. Selain itu, lebih dari 90 persen generasi post-gen Z hingga baby boomer dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, tapi generasi pre-boomer yang mampu berbahasa Indonesia hanya sekitar 80 persen.
Badan Bahasa mengkaji daya hidup sebanyak 87 bahasa daerah. Yang masih dikategorikan aman sebanyak 24 bahasa, rentan 19 bahasa, mengalami kemunduran 3 bahasa, terancam punah 25 bahasa, kritis 5 bahasa, dan punah 11 bahasa. Aminudin menjelaskan, kebanyakan bahasa yang punah berada di wilayah Indonesia timur. Dari 718 bahasa daerah di Indonesia, Papua tercatat mempunyai 428 bahasa, diikuti Maluku dengan 78 bahasa dan Nusa Tenggara Timur 72 bahasa.
Lembaga ini berupaya melestarikan bahasa daerah melalui beberapa pendekatan dan program revitalisasi. Sasarannya adalah anak-anak berusia sekolah. “Punah atau musnah itu keniscayaan, tapi setidaknya bisa memperlambatnya,” tutur Aminudin. Caranya antara lain memberi siswa peluang menggunakan bahasa daerah tersebut tanpa mesti mempelajari konteks tata bahasanya. Upaya ini diarahkan sesuai dengan minat dan keinginan siswa.
Cara lain adalah membuat kamus bahasa daerah. Hingga saat ini telah dibuat 248 kamus sebagai upaya pelestarian, pendokumentasian tata bahasa dan kosakata, serta revitalisasi di sekolah dan masyarakat. Sampai 2024, sudah terdapat 94 bahasa daerah yang terevitalisasi, termasuk 21 bahasa yang baru. Pembuatan kamus, Aminudin menerangkan, membutuhkan proses yang panjang. Setelah data terinventarisasi secara lengkap, barulah kamus dibuat.
Sampul Kamus Mentawai dialek Rereiket yang diterbitkan oleh Yayasan Pendidikan budaya Mentawai. Tempo/Febrianti
Dora Amalia, pakar leksikografi atau pekamus di Badan Bahasa, mengatakan pembuatan kamus bahasa daerah terus dikerjakan mengingat banyak bahasa daerah yang belum memilikinya. Tantangannya, dia melanjutkan, meski ada bahasa yang sudah terkodifikasi yang baik dan benar seperti bahasa Jawa, ada pula yang korpus datanya tak lagi tersedia. Penyusunan kamus biasanya berjalan dalam tahun anggaran atau bertahap. “Proses yang paling lama biasanya pengambilan data di lapangan,” katanya.
Penyusunan kamus biasanya dilakukan oleh balai bahasa provinsi. Tim leksikografi memberikan pendampingan dan pelatihan teknis untuk pengambilan data. Ia mencontohkan, suatu kata akan ditanyakan dan diterjemahkan, terutama menyangkut tata bahasa dan konsepnya. Ada pula yang meminta penutur bercerita atau bernyanyi untuk direkam. Kata-kata yang muncul kemudian didaftar. Teknik lain adalah menggunakan medan makna terkait dengan konsep budaya atau tradisi penutur dan teknik langsung dengan menunjuk benda.
Diana, pekamus di Balai Bahasa Provinsi Sumatera Barat, mengatakan persebaran bahasa Mentawai tidak begitu dikenal oleh masyarakat di luar kepulauan itu. Masyarakat Mentawai lebih banyak menerima atau dipengaruhi bahasa lain yang dibawa pendatang, antara lain bahasa Minangkabau, bahasa Indonesia, dan bahasa asing seperti bahasa Inggris dari turis. Situasi ini memunculkan kekhawatiran akan kepunahan bahasa Mentawai. Karena itu, mereka memandang pendokumentasian kosakata bahasa Mentawai diperlukan dalam bentuk kamus.
Diana menuturkan pengalamannya menyusun Kamus Mentawai pada 2018 yang dimulai dengan pengenalan wilayah dan kebahasaan. Berawal dari Pulau Sipora, tim mencari data bahasa di Tuapeijat, tidak masuk jauh ke wilayah pulau. Tapi, setelah dianalisis, ternyata bahasanya sudah amat terkontaminasi dengan banyaknya perantau. Pada 2020, tim mengunjungi Siberut bagian utara dan selatan untuk memahami bahasa Siberut.
“Siapa tahu di situ kita mendapatkan sesuatu, tapi justru memusingkan karena ada banyak dialek,” ujar Diana. Setiap desa punya dialek sendiri. Secara leksikografi, sulit sekali menjadikannya kamus. Meski begitu, banyaknya dialek bagus untuk inventarisasi kosakata. Adapun bahasa dalam kamus harus seragam, paling tidak satu dialek.
Dari beberapa pemuka adat dan pendeta serta Dinas Pendidikan Mentawai baru diketahui bahwa bahasa yang dipahami masyarakat empat pulau utama Mentawai, yakni Sipora, Siberut, Pagai Utara, dan Pagai Selatan, adalah bahasa dengan dialek Sikakap di Pagai Utara dan Pagai Selatan. Berdasarkan ilmu perkamusan, kata dia, yang berbeda bukan lagi dialek, tapi ada unsur bahasa Mentawai yang berlainan. Setidaknya ada tiga bahasa di Mentawai, yakni Siberut, Sipora, serta Pagai (utara dan selatan). Cuma, saat ini belum ada hasil penelitian dan pemetaan bahasa Mentawai. Belum ada yang menyatakannya sebagai suatu bahasa, melainkan hanya dialek.
Pada 2021, tim memulai penyusunan kamus dengan bahasa Mentawai berdialek Sikakap. Bahasa ini dianggap sebagai “pemersatu” bahasa yang tersebar di Alkitab, meski sebenarnya menuai kontroversi. Termasuk ketika warga Siberut mengajukan protes karena bahasa Pagai yang digunakan alih-alih Siberut. Diana mengakui hal itu diprotes, tapi secara keilmuan pembuatan kamus memang harus per dialek. Sebab, dialek dalam kamus tidak bisa dicampur-campur. Ia menegaskan, dalam pengantar kamus dijelaskan data diambil di Pagai Utara dan Pagai Selatan. Mereka berencana menyusun kamus Mentawai berdialek Siberut pada tahun depan, tapi hal ini juga cukup menantang mengingat banyaknya dialek.
Tantangan lain yang dihadapi Diana adalah tidak ada penutur asli di Balai Bahasa Sumatera Barat. Kamus bahasa Mentawai sekarang masih memiliki 5.020 entri, jauh lebih sedikit daripada bahasa Minangkabau. Sebab, morfologi bahasa Mentawai sangat sulit. Tidak adanya staf penutur sejati membuat pengembangan kamus lambat, tidak bisa langsung memasukkan banyak entri. “Karena mendefinisikan itu harus dilihat dan dipahami secara utuh. Kalau benda harus dilihat bendanya, harus tahu gunanya apa.” Kendala lain dalam penyusunan kamus di lapangan adalah minimnya dana dan sulitnya medan penelitian. Kondisi wilayah yang berpulau-pulau membutuhkan anggaran besar untuk transportasi, juga waktu yang tidak sebentar.
•••
SEMENTARA Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyatakan puluhan bahasa daerah terancam punah, dengan survei kajian sistematik, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan sudah ada ratusan bahasa daerah yang terancam punah, terutama di wilayah Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Maluku. Penyebabnya, Kepala Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra BRIN Obing Katubi menjelaskan, adalah kegagalan transmisi bahasa dari generasi tua atau orang tua kepada yang muda atau anak-anak mereka. Jika ditelusuri lebih lanjut, faktornya adalah kontak bahasa dengan lingua franca yang sangat intens, seperti di Papua dan Maluku yang terdesak bahasa perantara Melayu Papua dan Melayu Ambon.
“Sangat luar biasa hebatnya, akhirnya orang tua akan mengajarkan sejak lahir lingua franca itu,” ucap Obing. Orang tua baru akan mengajarkan bahasa ibu setelah si anak beranjak besar. “Seharusnya bersamaan, bahasa ibu dan lingua franca-nya, karena itu masa emas mereka.”
Pertemuan antara peneliti BRIN dengan komunitas bahasa Kui untuk merancang peta jalan revitalisasi bahasa Kui, di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, Oktober 2016. Dok. Obing Katubi
Obing juga menuturkan, orang tua mengutamakan bahasa Melayu lokal—sering disebut bahasa Indonesia—dengan harapan si anak bisa bersosialisasi lebih luas. Ketika sudah masuk sekolah pun mereka bisa dengan mudah mengikuti pelajaran, apalagi di Indonesia tengah dan timur. Sebab, banyak ragam bahasa daerah yang kecil jumlah penuturnya. Masalah lain, dia melanjutkan, adalah adanya trauma sejarah orang tua ketika memakai bahasa daerah di sekolah karena akan diberi hukuman fisik. Lalu ada faktor gengsi, yakni ketika penggunaan bahasa Indonesia atau Melayu lokal dinilai lebih tinggi ketimbang bahasa daerah. Perkembangan media sosial yang sangat masif juga menyumbang penggunaan bahasa Melayu lokal. Walau begitu, Obing tak menyalahkan adanya teknologi digital, yang juga bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan bahasa daerah dan menyadarkan komunitas aktivis bahasa.
Obing mengungkapkan, dampak hilangnya bahasa ibu pada suatu kelompok masyarakat atau suku memang tidak terlihat langsung, tapi sangat luas. Sebab, bahasa itu abstrak. Punahnya bahasa akan membuat mereka tercerabut dari akar identitas, dari pandangan hidup dan budaya tradisi yang tersimpan. “Ini bisa sangat dirasakan,” tuturnya. Hal ini juga akan berdampak hilangnya pengetahuan prasejarah komunitas tersebut. Sebab, dengan mempelajari bahasa bisa diketahui kehidupan prasejarah komunitas pengguna bahasa itu. Makin banyak bahasa yang punah, makin surut keberagaman bahasa. Sejarah dan pengetahuan mereka pun hilang, termasuk etnobiologi atau etnobotani dan etnozoologi, juga sumber daya. Situasi ini juga menunjukkan ketidakadilan sosial dan pelanggaran hak-hak kemanusiaan komunitas itu.
Obing juga ikut menyusun kamus bahasa Kui bersama komunitas dan masyarakat Alor, Nusa Tenggara Timur. Jumlah pemakainya sekitar 800 orang. Ia menerangkan, untuk pembuatan kamus, mereka mendokumentasikan bahasa Kui secara digital dalam bentuk rekaman audiovisual dengan dilengkapi metadata, transkripsi, terjemahan kata demi kata, terjemahan komunikatif, dan terjemahan bahasa Inggris dalam aplikasi digital ELAN. Ada pula komunitas maya untuk mempelajari lagi bahasa ini.
Kepala Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra Badan Riset dan Inovasi Nasional Obing Katubi (kedua kiri) bersama para penutur bahasa Kui, di Pulau Alor, Nusa Tenggara Timur, 2011. Dok. Obing Katubi
Setelah itu, mereka memanfaatkan hasil dokumentasi bahasa dengan mengolahnya melalui aplikasi Toolbox menjadi kamus. Mereka lalu menghubungi para tetua adat untuk mendapat masukan mengenai isi kamus tersebut, antara lain membuang yang salah, merevisi, dan menambahkan hal yang diperlukan. “Setelah disetujui, baru dicetak. Hasil dokumentasi bahasa tadi juga kami manfaatkan untuk membantu mendeskripsikan tata bahasa Kui,” kata Obing.
Dia menegaskan, kamus adalah salah satu instrumen untuk mahir berbahasa. Tapi yang penting adalah membangun kesadaran bahasa suatu komunitas karena banyak yang merasa bahasanya baik-baik saja, tidak terancam punah. Penting pula menciptakan ruang dan waktu untuk berbahasa serta mengupayakan revitalisasi ini tidak hanya bertumpu pada jalur formal, terutama menjadi muatan lokal.
Fransiskus Yanuarius, yang biasa dipanggil Yan, menyunting Kamus Bahasa Rereiket Mentawai-Indonesia yang diterbitkan Yayasan Pendidikan Budaya Mentawai yang ia pimpin pada 2019. Jiwanya tergerak untuk melestarikan bahasa ibunya, bahasa Mentawai dialek Sarereiket—bahasa Mentawai yang digunakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Rereiket di Siberut Selatan—yang di ambang kepunahan. Hilangnya bahasa Mentawai bisa terjadi bersamaan dengan raibnya sistem pengetahuan masyarakat adat Mentawai. Yan dan timnya mencari cara agar bahasa mereka tak dilupakan generasi mendatang. “Hal ini menjadi beban pikiran kami, jadi harus membuat kamus,” ujarnya. Mereka pun membincangkan serius pentingnya kamus ini untuk mereka.
Tim penyusun kamus memulai langkah dengan meneliti sejumlah kosakata, lalu mengkonsultasikannya dengan para tetua adat di wilayah Sarereiket dan merumuskan konsep kamus. Mereka pun meminta saran, masukan, dan kritik dari sejumlah akademikus asal Mentawai demi keakuratan kamus. Hal ini penting karena bahasa Mentawai adalah bahasa lisan, bukan bahasa tulis. Yan berharap kamus ini bisa membantu para siswa mempelajari bahasa tersebut di sekolah dan melestarikannya. Kamus ini menggunakan dialek khusus Sarereiket, yang memiliki 4.339 penutur.
Murid sekolah adat di depan "uma" atau rumah adat di Siberut Selatan, Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. YPBM
Bahasa Mentawai memiliki dialek-dialek yang berbeda satu dengan yang lain baik dari segi kosakata, makna kata, ejaan, maupun artikulasi. Dialek Sarereiket adalah salah satu bahasa Mentawai yang memiliki ciri khas dan dialek tersendiri yang dituturkan oleh penduduk Sarereiket yang meliputi dua desa, yaitu Madobag dan Matotonan yang terletak di Siberut Selatan.
Selain di kedua desa itu, bahasa Sarereiket dapat didengar di wilayah lain, seperti di Bekeilu, Desa Muntei, dan Buga, Desa Sagulubbeg, di Siberut Selatan serta beberapa tempat di Pulau Sipora. Dialek Sarereiket memiliki banyak kesamaan makna dan kosakata dengan bahasa Mentawai lain di Siberut, seperti di Saibi dan Silaoinan di Desa Saliguma, Siberut Tengah; serta Salapak, Desa Muntei. Perbedaannya terletak pada pelafalan kata, intonasi, dan penulisan.
Yan mengakui dalam satu dekade ini penuturan kosakata Sarereiket tak lagi sempurna. Kebanyakan orang menggunakan kosakata campuran, bahasa Indonesia Minang. Penuturan yang asli tanpa campuran hanya ditemui di kampung pedalaman. Setelah sederet tahap dilalui dan penerbitan kamus disepakati, mereka menggunakan bentuk tulisan dan simbol untuk beberapa bunyi pelafalan kosakata.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Febrianti dari Padang berkontribusi dalam penulisan artikel ini