Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Cokorda Istri Ngurah Raka Sawitri adalah salah satu perempuan pengarang dari Bali yang diakui reputasi dan prestasinya.
Murid Umbu Landu Paranggi yang karyanya menembus batas isu dan wahana medium, menciptakan karya dengan riset panjang.
Tak hanya giat dalam dunia sastra, ia juga aktif dalam gerakan aktivis perempuan dan kemanusiaan.
MATAHARI makin tenggelam ketika api disulut pada tempat pembakaran jenazah di Krematorium Sagraha Mandrakantha Santhi, Desa Bebalang, Bangli, Jumat, 5 April 2024. Di senja kala itu, sastrawan, dramawan, sekaligus aktivis perempuan dan kemanusiaan Cok Sawitri sedang dikremasi dalam bingkai ritual makingsan di gni. Cok Sawitri berpulang di kediamannya di Jalan Tukad Batanghari, Renon, Denpasar, sehari sebelumnya, Kamis, 4 April 2024. Sebagian besar kerabat dan sahabat yang turut mengantar kepergiannya hanya bisa terpaku bisu menatap kobaran api yang makin besar melahap jasadnya. Mereka masih tak percaya Cok Sawitri berangkat demikian cepat. Baru sebulan lalu dia melepas kepergian ibunda tercintanya yang sebelumnya lama sakit. Dia merawat sang ibu yang mengidap demensia akut dengan penuh kesediaan dan kesetiaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Bu, anakmu kembali lagi. Tapi tak sama seperti dahulu lagi.” Itu status terakhir Cok Sawitri di Facebook dua hari sebelum berpulang. Tak ada yang menduga hal itu sebagai pertanda dia bakal menyusul sang ibu. Semenjak kepergian ibunya, dia menyibukkan diri dengan sejumlah aktivitas kesenian. Yang teranyar, dia turut mendukung pertunjukan seni bertajuk Gambuh Masutasoma garapan Ida Ayu Wayan Arya Satyani, yang biasa dipanggil Dayu Ani. Sehari sebelum meninggal, Cok Sawitri masih ikut berlatih di Budakeling. Pertunjukan yang digarap dalam rangka ujian tertutup di Program Studi Seni Program Doktor Institut Seni Indonesia Denpasar itu akhirnya digelar di Desa Adistana Budakeling, Bebandem, Karangasem, Bali, Sabtu, 6 April 2024, tanpa keterlibatan Cok Sawitri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cok Sawitri, yang memiliki nama lengkap Cokorda Istri Ngurah Raka Sawitri, adalah salah satu perempuan pengarang dari Bali yang berhasil merengkuh reputasi nasional. Pengarang yang lahir di Karangasem, 1 September 1968, ini mulai dikenal jagat sastra Indonesia setelah cerita pendeknya, “Rahim”, masuk buku Cerpen Pilihan Kompas 2001, yang disusul “Mati Sunyi” yang menjadi salah satu judul dalam Cerpen Pilihan Kompas 2004. Namanya makin melambung ketika novel pertamanya, Janda dari Jirah (Gramedia, 2007), masuk nominasi Khatulistiwa Literary Award (KLA) 2007. Empat tahun kemudian, novel ketiganya, Tantri Perempuan yang Bercerita (Buku Kompas, 2011), masuk nominasi KLA 2011. Selain menciptakan dua novel itu, Cok Sawitri menulis novel Sutasoma (Kaki Langit Kencana, 2009), Sitayana (Gramedia Pustaka Utama, 2019), serta Trilogi Jirah (Penerbit Lingkup, 2021) yang meliputi tiga novel sejarah: Janda dari Jirah, Si Rarung, dan Manggali Kalki. Adapun buku kumpulan cerpen tunggalnya berjudul Baruni Jembatan Surga (2013) dan buku kumpulan puisi tunggalnya adalah Setahun Kematian, Semilyar Nyanyianku Mati, Kiamatku dalam Jarak 3 Centimeter (Mahima Institute, 2023).
Di kalangan pembaca sastra di Bali, Cok Sawitri sudah lama dikenal sebagai sastrawan multitalenta. Selain menjadi penulis cerpen dan novel, dia adalah penyair yang tumbuh di perguruan puisi asuhan Umbu Landu Paranggi. Dia juga mampu menembus gawang Pos Budaya di Bali Post Minggu yang disebut-sebut sebagai “kasta tertinggi” kelas kepenyairan asuhan Umbu. Untuk bisa menembus Pos Budaya, seorang pengarang mesti menapak dari tingkat terbawah, yakni Pawai, lalu Kompetisi dan Kompetisi Promosi. Tak jarang seorang pengarang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk bisa menembus Pos Budaya.
Tak hanya menulis puisi, Cok Sawitri juga dikenal sebagai aktor mumpuni di atas panggung. Perempuan yang di keluarganya akrab dipanggil Cok Is ini salah seorang pembaca puisi terbaik yang dimiliki Bali. Kepiawaiannya membawakan monolog serta bermain dan menyutradarai drama sudah lama diakui. Bahkan majalah Tempo memberinya penghargaan seni pertunjukan pilihan 2018 berkat pertunjukannya yang bertajuk Sakyamuni Itu Saja Perlu Mati.
Bakat seni Cok Sawitri mengalir dari kedua orang tua dan kakeknya yang juga seniman panggung. Kakek-nenek dan pamannya pun merupakan penari panggung dan penabuh. Sejak kecil dia sudah terbiasa mendengar suara gamelan. Bahkan saat masih berusia tiga bulan dia sudah berkenalan dengan seni panggung. Untuk mendukung pentas drama, dibutuhkan latar suara tangisan bayi. Cok Sawitri yang diajak ibunya lalu dicubit hingga menangis. Tangisannya itu menyempurnakan pementasan drama yang disutradarai sang ayah.
Namun Cok Sawitri, yang saat masih kecil oleh keluarganya disebut anak bengal, lebih menonjol dalam seni sastra. Ketika duduk di bangku sekolah menengah atas di Karangasem, dia memenangi berbagai lomba menulis dan membaca puisi serta pidato. Dia lantas bergabung dengan sesama pengarang muda di Denpasar dalam wadah Sanggar Minum Kopi yang berpengaruh besar dalam perjalanan kariernya di dunia sastra.
Cok Sawitri kerap disandingkan dengan dua perempuan pengarang dari Bali yang sebaya, yakni Oka Rusmini dan Mas Ruscitadewi. Sajak-sajak mereka pun kerap disandingkan Umbu dalam ruang khusus bertajuk “Galanita”. Turut serta dalam kelompok perempuan pengarang ini Alit S. Rini, penyair yang buku barunya, Arunika, baru saja terpilih sebagai buku puisi pilihan Tempo 2023.
Seperti ketiga rekannya itu, Cok Sawitri mengeksplorasi persoalan marginalisasi perempuan Bali. Namun, tidak seperti Oka Rusmini ataupun Alit S. Rini yang lantang menggugat hegemoni budaya patriarki dalam bingkai tradisi, Cok Sawitri justru menekuni tradisi Bali yang dikenal rumit. Karya-karyanya ditimba dari kedalaman teks-teks tradisi Bali yang berlimpah. Bahkan semua novelnya merupakan hasil penafsiran kembali kisah-kisah dari masa lalu yang abadi dalam teks-teks tradisi.
Ketekunan menggeluti teks-teks tradisi membuat Cok Sawitri mengimani pandangan di kalangan kawi tempo dulu bahwa jalan sastra adalah jalan yang tidak mudah. Orang tak bisa serta-merta menyebut diri penyair atau sastrawan dengan hanya merujuk pada karyanya yang telah dimuat di media massa atau diterbitkan sebagai buku.
Dalam tradisi Bali, ketekunan dalam sastra disebut nyastra. Namun nyastra bagi manusia Bali dimaknai sebagai keselarasan antara kata dan laku diri. Apa yang diucapkan dan dituliskan sebagai kata mewujud dalam laku diri sehari-hari. Karena itu, nyastra dalam tradisi Bali membutuhkan kedisiplinan yang penuh, kesabaran yang sungguh, juga kesantunan yang utuh. Mereka yang baru bisa menulis karya sastra, dalam tradisi Bali, tidak serta-merta bisa dikatakan nyastra. Mereka, menurut Cok Sawitri, baru disebut pangawi (pengarang).
“Saya, walaupun sudah ubanan, karena laku diri saya belum mampu selaras dengan apa yang saya tulis sebagai kata, dalam tradisi Bali saya tetap dianggap masih kecil. Nyastra itu memang tidak mudah,” tutur Cok Sawitri saat tampil sebagai pembicara dalam seminar Hari Sastra bertajuk “Merayakan Sastra, Memuliakan Kehidupan”, 28 April 2015, di kampus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Persatuan Guru Republik Indonesia Bali (kini Universitas PGRI Mahadewa Indonesia).
Boleh jadi, karena itu, Cok Sawitri tak hanya menyuarakan mereka yang tak mampu bersuara dalam karya, tapi juga mewujudkannya secara nyata melalui keterlibatan dalam gerakan aktivis perempuan dan kemanusiaan. Dalam isu-isu krusial tentang perempuan, masyarakat, dan kebudayaan Bali, dia tak jarang ikut turun ke lapangan. Seperti kata W.S. Rendra, Cok Sawitri yakin bahwa “perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”.
Karya Cok Sawitri pun umumnya lahir dengan cara tak mudah. Seperti diakuinya dalam berbagai kesempatan, dia melakukan riset mendalam dulu sebelum menulis. Tak hanya membaca teks-teks lama, dia juga berdiskusi dengan banyak orang, tak jarang sampai menyelusup jauh ke desa-desa menemui para penekun tradisi. Janda dari Jirah karyanya baru selesai seusai riset selama 15 tahun.
Para peneliti umumnya menyebut novel-novel Cok Sawitri sebagai alih wahana, transformasi, bahkan dekonstruksi atas teks-teks lama. Pasalnya, tokoh-tokoh dalam teks-teks tradisi itu dihadirkan dengan wajah yang berbeda dibanding citra umum yang dikenal pembaca. Dalam Janda dari Jirah, tokoh Rangda ing Jirah yang kerap dipersepsikan negatif digambarkan sebaliknya. Demikian juga tokoh Rahwana, yang biasanya dipersepsikan sebagai raksasa dan kasar justru digambarkan tampan dan penuh daya pesona cinta dalam Sitayana. Cok Sawitri sendiri menyebut apa yang dilakukannya itu sebagai resepsi atau interpretasi.
“Persoalan kita kini di Bali adalah bagaimana mencari kata yang tepat untuk generasi Bali kini agar mereka bisa memahami tradisinya sehingga bisa menjembatani, tidak hanya saat berbicara dengan sesama mereka, tapi juga dengan orang luar,” ucap Cok Sawitri.
Namun Cok Sawitri tak sekadar melakukan resepsi atau interpretasi. Dia menawarkan sudut pandang berbeda sehingga pemaknaan atas teks-teks tradisi itu makin beragam, tidak tunggal. Itu sebabnya dia lebih dari sekadar menceritakan kembali kisah-kisah terbaik dari masa silam itu, tapi juga memunculkan kemungkinan-kemungkinan lain dari teks. Sebuah upaya yang penting untuk mengingatkan generasi kini bahwa teks-teks adiluhung itu mesti dibaca dengan sikap kritis.
Sikap kritis ini pada kenyataannya menjadi ciri penting karya dan sikap berkesenian Cok Sawitri. Dia tak segan-segan bersilang pandangan dengan rekan-rekannya dalam menyikapi suatu wacana atau dinamika tertentu dalam masyarakat dan kebudayaan Bali. Tatkala hampir sebagian besar pengarang Bali menggugat tradisi hukum adat pengucilan sosial dalam karya-karya mereka, Cok Sawitri malah menulis cerpen “Mati Sunyi” yang mengisyaratkan pembelaannya terhadap sikap masyarakat adat sebagai bagian dari respons wajar atas sikap sang tokoh cerita yang sibuk mengejar kemuliaan di luar tapi lupa menjaga keguyuban dengan lingkungan terdekat.
Dalam keseharian pun sikap kritis Cok Sawitri itu tak pernah surut. Sastrawan Mas Ruscitadewi menyebut dirinya bersama Cok Sawitri dan Oka Rusmini sebagai “trio kwek-kwek”, tiga sekawan yang menjelma menjadi sekutu sekaligus seteru di jalan sastra. “Kami sebenarnya saling menyayangi dan saling membenci. Tapi, seberapa pun bertengkar, kami tetap kompak. Kami semua mencintai Cok dengan cara kami,” tutur Mas Ruscitadewi saat memberikan testimoni dalam acara “Mengenang Umbu Landu Paranggi dan Cok Sawitri” di Jatijagat Kehidupan Puisi, Renon, Denpasar, Sabtu malam, 6 April 2024.
Semoga Cok Sawitri bahagia bernaung di bawah kematian, seperti dituliskannya dengan lirih dalam sajak “Pada Kematian Aku Bernaung”: mari, kematian jadilah pohon penaung/biarkan kebosanan ini berteduh/terbangkan saja aku ke sana/keringkan saja seluruh hidup/lalu melayang jatuh/seperti kering daun/pada usia daun-daun kenyeri/aku percaya kematian bernaung/penuh bahagia.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo