Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bahasa Samudra

Orang-orang Sangir menghormati lautan dengan berbagai cara. Salah satunya dengan sasahara, bahasa yang khusus dipakai di laut. Cara mereka menghormati perbedaan agama patut dicontoh.

16 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bulan separuh purnama mengambang di atas jari-jari daun kelapa. Sinarnya jatuh di pasir pantai yang putih. Angin selatan menderu di balik bukit, menyisakan sepoi-sepoi di Pantai Kasaraeng yang menghadap ke utara. Di cakrawala, ada delapan cahaya serupa bintang, sinar lampu perahu nelayan.

Kami—fotografer Nita Dian dan saya—sudah ada di pantai yang terletak di Pulau Bukide itu beberapa jam sebelumnya. Edikson Bawele, 66 tahun, mantan kapitalaung atau kepala kampung, menemani kami dalam perjalanan ke Bukide pada pertengahan bulan lalu itu.

Bukide adalah satu pulau di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara. "Ada lebih dari 150 pulau di kabupaten ini dan hanya 26 yang berpenghuni," kata Kepala Dinas Pariwisata Sangihe, Jeffry F. Gaghana, yang kami temui beberapa hari sebelumnya. Butuh dua jam ke Bukide dari Sangihe Besar, pulau utama dan terbesar di kabupaten itu.

Di Kepulauan Sangihe, kita bisa mematahkan kompas, mengangkat jangkar, lalu membiarkan perahu dibawa ombak. Di pulau mana pun terdampar, kita akan mendapati pantai berpasir putih dan laut kehijauan. Airnya begitu jernih hingga, dari atas perahu, kita bisa melihat karang dan ikan. Pantai-pantai inilah yang mengilhami Jan Engelbert Tatengkeng menulis puisi-puisinya hampir seabad lalu.

Senja tadi, ketika delapan perahu nelayan melaut dari pantai ini, puisi Pujangga Baru yang lahir di Sangihe pada 1907 itu muncul kembali. Deskripsi "Di Pantai Waktu Petang" persis terwujud. "Berkawan-kawan perahu nelayan/Tinggalkan teluk masuk harungan/Merawan-rawan lagunya nelayan/Bayangan cinta kenang-kenangan//Syamsu mengintai di balik gunung/Bulan naik tersenyum simpul."

Saat melaut malam, para nelayan itu hanya punya lima jam untuk menangkap ikan dengan jaring yang dibentang. Hampir tengah malam nanti mereka akan kembali membawa peruntungan. Kami di pantai ini menunggu sambil menyalakan api unggun dan mendengarkan cerita Bawele.

Dia menunjuk kaki langit di utara saat mulai berkisah tentang legenda asal-usul Sangir—orang-orang Sangihe. "Semua bermula dari Filipina," ujar pria yang juga pernah menjadi guru ini. Kisah yang ia ceritakan mirip dengan legenda dalam buku Manga Wekeng Asal'u Tau Sangihe (Stories of the Origins of the Sangir People) terbitan Davao, Filipina.

Alkisah, di Cotabato, Mindanao, Filipina, seorang anak raja bernama Gumansalangi dan istrinya yang putri penguasa kahyangan mengungsi ke selatan dengan mengendarai naga sakti. Mereka kemudian sampai di Tabukan, Sangihe Besar. Kedatangan mereka yang disertai guntur dan petir membuat Gumansalangi digelari Medelu (bagaikan guntur) dan Putri Konda diberi gelar Mekila (seperti kilat). Di sanalah keduanya mendirikan kerajaan.

Cerita selesai sebelum tengah malam. Masih dua jam lagi sebelum para nelayan kembali. Kami menghabiskan waktu dengan rebahan di pantai, beralaskan pasir putih dan daun-daun kelapa kering.

Sebenarnya kami telah mendirikan tenda parasut. Ada juga sejumlah gubuk nelayan yang dibuat dari daun kelapa. Tapi sayang rasanya mengurung diri dalam ruang tertutup sementara alam menyajikan kecantikannya.

Di malam yang tenang ini, puisi lain Tatengkeng hadir. "Di lengkung langit berhias bintang/Cahaya bulan di ombak menitik/Embun berdikit turun merintik/Engkau menantikan ikan datang/.../Ah, mengapa termenung/Mengapa kau pandang ke kaki gunung/Oh, aku mengerti/Kulihat di sana setitik api/Itukah menarik matamu ke tepi?"

Pukul sebelas lebih, satu per satu titik cahaya di cakrawala mendekat. Para nelayan datang membawa ikan berlimpah. Kadri Lawedatu, 56 tahun, adalah salah satu yang beruntung. Malam ini dia membawa lebih dari 100 ikan terbang. "Seekor dijual Rp 4.000," katanya. Dari menjadi nelayan, ia bisa mengirim anaknya kuliah di Manado. Dalam sehari dia melaut dua-tiga kali. Namun saat malamlah dia benar-benar panen.

Kadri membagikan beberapa ekor hasil tangkapannya kepada kami. Saat ditanya berapa yang harus kami bayar, dengan senyum dia menjawab, "Ikan dijual kalau sudah sampai pasar. Saat masih di pantai, tak ada jual-beli ikan."

Mereka kemudian membuat api dari sabut kelapa kering, membakar ikan, menuang sedikit arak, menyalakan musik melankolis. Sebuah perayaan kecil di pinggir pantai sebelum mereka kembali ke kampung di balik bukit.

Hidup di pulau-pulau kecil membuat kekerabatan mereka amat kuat. Dengan laut yang mengitari, ketergantungan mereka pada sesama penduduk pulau begitu tinggi. Tak mengherankan, dari sini muncul budaya gotong-royong kuat, yang dikenal sebagai mekakendage.

Konsep kebersamaan ini terpatri dalam budaya mepalose. "Mepalose adalah saling menolong secara spontan tanpa membedakan strata," ujar Ambrosius Makasar, pendeta yang menulis sejumlah buku tentang budaya Sangir.

Dari laut pula mereka belajar tentang filsafat kehidupan. Banyak pepatah dan prinsip hidup Sangir diambil dari fenomena di laut. Salah satunya berbunyi begini: "Pantuhu makasalentiho, somahe kaikehage." Artinya kira-kira: karena meluncur dibawa arus, jadi gemar menantang badai. Maknanya, kejelian memantau sesuatu yang mudah akan menjadi modal untuk menghadapi kesulitan.

Bukan hanya pepatah tentang laut, orang Sangir bahkan memiliki sasahara, bahasa khusus yang hanya dipakai di laut. "Sasahara adalah bahasa simbolis kebaharian yang dominan dipakai para nelayan ketika sedang melaut," kata Makasar. "Bahasa ini muncul karena mereka ingin menghormati penguasa laut. Harus bertutur halus di hadapan mereka," ujar Niklas Mahare, budayawan Sangir.

Masyarakat bahari Sangihe percaya bahwa laut dikuasai oleh Mawendo. Di hadapannya harus dijaga dua hal: peli atau sesuatu yang tabu dan mateling (kesakralan laut). Salah satu cara untuk menjaga keduanya adalah dengan memelihara budi bahasa.

Misalnya, dalam bahasa Sangihe darat, utara disebut sawenahe, tapi di laut mereka menyebutnya mamenongkati. Perahu di darat dibilang sakaeng, tapi saat di laut mereka menyebutnya pato. Sedangkan cadik di masyarakat umum dikenal dengan sema-sema, tapi di laut mereka menyebutnya sahemang.

Ketika ikan bakar sudah tandas dan api unggun mengecil, para nelayan kembali ke rumah mereka di balik bukit. Pantai Kasaraeng kembali sepi. Hanya kami bertiga yang bertahan di sini sambil berharap semoga sebentar pagi Mawendo—sang penguasa laut—berbaik hati menenangkan laut yang kemarin bergejolak.

Pagi buta, ketika matahari belum tampak tapi langit sudah terlihat bercahaya, kami bergerak dari pantai ini dengan perahu nelayan. Sebelum kembali ke Petta di pulau besar, kami mampir di sejumlah pulau yang terserak. Di antaranya Poa, yang tak berpenghuni.

Ada dua pantai berpasir putih bersih yang menghiasi pulau ini, masing-masing sepanjang 300 meter. Sisanya adalah tebing-tebing karang menjulang. Kami berhenti di salah satu pantainya dan mulai memanjat karang, melewati pohon-pohon kelapa dan pandan. Dari atas, kami bisa melihat pantai yang putih dan air laut kehijauan seperti giok.

Di sini burung-burung kum-kum putih bersarang. Jumlahnya bisa ribuan. Pagi ini mereka menyeberang ke Sangihe Besar untuk memakan pala, lalu pulang sore. Kembali ke Poa, mereka mengeluarkan biji-biji pala yang masih utuh dari perut. Biji pala itu yang kemudian "dipanen" oleh penduduk dari pulau-pulau sekitar.

Sebagian besar penduduk Sangihe menggantungkan penghidupan dari laut. Maklum, 90 persen wilayah Sangihe berupa laut. Meski demikian, banyak juga yang bercocok tanam kopra, lada, pala, dan cengkeh. Perkebunan banyak kita temui di dataran tinggi Sangihe Besar. Ke sanalah kum-kum putih mencari makan.

Di Sangihe Besar terdapat Gunung Awu yang berapi. Gunung setinggi 1.320 meter inilah yang membuat Sangihe Besar memiliki dataran tinggi nan subur.

Namun, karena pulau ini hanya selebar 10 kilometer dan sepanjang 40 kilometer, pantai dan gunung begitu dekat. Cuma perlu 10 menit untuk mencapai dataran tinggi. Dari Pusunge—salah satu puncak bukitnya—kita bisa melihat kota dan Teluk Tahuna.

Tak jauh dari Pusunge, di sebuah Sekolah Dasar Inpres di Kampung Lenganeng, kami menemui Agung Masihor. Dia kepala sekolah di sini. Kami menjumpainya karena dia juga imam para penghayat kepercayaan atau Islam Tua.

Berbeda dengan di Jawa di mana Islam datang dari arah barat—Arab dan India—di Sangihe Islam awalnya datang dari Filipina. Adalah Masade yang 600 tahun lalu belajar Islam ke Filipina Selatan. Pada umur 66 tahun, ia kembali ke Sangihe dan mengajarkan Islam Tua yang inti ajarannya adalah pemurnian jiwa.

Masade bisa dianggap sebagai wali karena memiliki banyak kesaktian. Konon dia bisa menyeberangi lautan dengan hanya memakai lenso (sapu tangan). Lenso yang dia pakai menyeberangi samudra hingga kini disimpan di sebuah kotak yang untuk membukanya harus seizin Masihor.

Ajaran ini sedikit berbeda dengan Islam mainstream. Mereka bersyahadat layaknya muslim lain. Mereka salat, meski hanya pada hari Jumat. Mereka juga berpuasa, meski hanya tiga hari pertama Ramadan. Hanya, mereka tidak memiliki kitab tertulis. "Semua ajaran disampaikan lewat ucapan dan perbuatan pemimpin," ujar Masihor.

Meski berbeda dari Islam yang lain, Masihor dan jemaahnya tak mendapat perlakuan diskriminatif. Mereka bebas menjalankan keyakinan. "Inti semua agama itu kan kasih sayang. Jadi kenapa mesti dipertentangkan?" kata Masihor.

Ada cerita menarik tentang kerukunan antarumat beragama di Sangihe. Saat Lebaran, pemeluk Kristen duduk di belakang dan menunggu umat Islam selesai salat Id. Demikian juga saat Natal, orang Islam menunggu di belakang gereja untuk memberi ucapan selamat. Ketika ada kegiatan di gereja, separuh anggota panitia adalah orang Islam. Hal yang sama terjadi juga saat ada kegiatan keagamaan Islam.

Jauh sebelum agama samawi—Islam dan Kristen—datang, orang-orang Sangir percaya bahwa ada penguasa alam semesta bernama Ghenggona Langi Duatang Saraluang. Menurut catatan Daniel Brilman dalam De Zending op de Sangi en Talaud eilanden terbitan 1928, agama ini dipimpin oleh seorang imam perempuan yang disebut ampuang.

"Semua tarian, seperti tarian adat yang ada saat ini, misalnya salo dan upase, dulu adalah bagian dari upacara keagamaan," kata Mahare. Tarian itu kini masih dipentaskan dalam acara-acara adat, tapi bukan lagi sebagai persembahan kepada penguasa langit atau Ghenggona Langi.

Keyakinan itu juga melahirkan upacara tulude, yang dilakukan untuk menolak bala. "Seperti kemarau panjang saat ini. Jika ini terjadi di masa lalu, maka tetua akan melaksanakan tulude," ujar Mahare. Kini tulude dilaksanakan setiap 31 Desember sebagai bentuk syukur atas tahun yang akan lewat. "Padahal, di masa lalu, tulude bisa dilakukan kapan saja sesuai dengan kebutuhan."

Dari keyakinan itu pula muncul tradisi menangkap ikan dengan seke di Pulau Para. Seke adalah anyaman bambu sepanjang 25 meter dan lebar 80 sentimeter. Di setiap sisinya, bambu didirikan dengan janur muda dan ujungnya diikatkan ke perahu.

Cara ini harus dilakukan dalam satu tim. "Pemimpin seke disebut tonaseng dan pengikutnya disebut masanae," kata Ambrosius Makasar, yang dalam tesis masternya meneliti soal seke. Tonaseng memiliki peran ganda. Selain sebagai pemimpin seke, dia penentu kebijakan, pengambil keputusan kemasyarakatan. "Sebab, melanggar norma adat akan berakibat pada ketidakseimbangan alam," ujar Makasar.

Bila ada wabah penyakit atau badai, mereka meyakini ada yang tidak beres di masyarakat. Karena itu, tonaseng akan memimpin pentahiran kampung, yang disebut melanise. Masyarakat berjalan keliling kampung dan tonaseng memercikkan wewangian di banyak tempat.

Pusat kesakralan di Para adalah pohon kemboja yang pokoknya tak mungkin dipeluk oleh dua orang dewasa. Usianya mungkin ratusan tahun. Saat akan melakukan seke, mereka juga harus ke pohon ini lebih dulu dan memberi sesaji.

Kami mengunjungi Para setelah menyelam di Mahangetang, yang berjarak 45 menit dengan speedboat. Mahangetang sengaja kami datangi karena gunung berapi Banua Wuhu (Dunia Baru) yang terendam laut. Hanya puncaknya—yang tak sampai semeter—yang berada di atas permukaan air.

Tak ada terumbu karang tumbuh di punggung gunung—karena belerang. Tapi kita bisa menyaksikan pemandangan tiada duanya: munculnya gelembung-gelembung udara dari punggung gunung itu.

Hanya perlu snorkeling untuk bisa menyaksikannya. Nita, Hendra, dan Faishal Umar memilih diving di tempat yang lebih dalam dan jauh untuk mendapatkan karang dan ikan yang lebih beragam.

Kelar menyelam, kami ke Para untuk mengejar kapal cepat yang akan mengantar kami kembali ke Tahuna. Pelabuhan Para tampak sepi pada Minggu siang. Penduduk masih takzim beribadah. Dari gereja yang terletak di tebing tertinggi depan pantai, lamat-lamat terdengar lagu dan puji-pujian dinyanyikan.


Ke Sangihe

Meski letaknya hampir di ujung Indonesia--tak jauh dari perbatasan Filipina--tak terlalu sulit untuk mencapai Sangihe. Yang perlu dipersiapkan:

TRANSPORTASI
Semua jalan ke Sangihe bisa dimulai dari Manado, ibu kota Sulawesi Utara.

Udara
Ada penerbangan Wings Air dengan pesawat baling-baling dari Manado ke Naha di Pulau Sangihe Besar setiap pagi, pulang-pergi. Tiket Rp 450 ribu sekali jalan.

Laut
Kita bisa memakai kapal cepat Majestic dari Manado ke Naha dengan jarak tempuh enam jam. Kapal berangkat setiap hari. Tiket Rp 260 ribu. Jika membawa mobil, kita bisa memakai feri dengan waktu tempuh dua kalinya. Tiket per orang untuk feri Rp 150 ribu.

Transportasi lokal
-Dari bandar udara Naha tidak ada angkutan umum ke ibu kota, Tahuna. Ada taksi gelap (pelat hitam) dengan tarif Rp 150 ribu.
-Di kota, kita bisa memakai angkot dengan tarif Rp 3.500.
-Penyewaan mobil dan sepeda motor ada banyak di sepanjang Jalan Tidore, Tahuna.
-Dari pulau ke pulau, kita bisa menyewa perahu nelayan dengan tarif bervariasi, tergantung jarak dan waktu.
-Untuk ke pulau-pulau yang lumayan jauh, kita bisa memakai taksi air atau kapal cepat Majestic. Dari Tahuna ke Para, misalnya, ditempuh empat jam dengan taksi air dengan ongkos Rp 40 ribu. Atau memakai kapal cepat selama satu jam dengan tarif Rp 90 ribu. Dalam sepekan, hanya ada dua jadwal keberangkatan dari Tahuna.

AKOMODASI
-Di Sangihe Besar, ada beberapa hotel--seperti Hotel Tahuna, Nasional, dan Madina--serta sejumlah penginapan. Fasilitas hotel-hotel itu kurang-lebih sama. Jika ingin memiliki keleluasaan dan lebih santai, dapat memilih Hotel Tahuna.
-Di pulau-pulau yang lebih kecil tak ada hotel atau resor. Tapi kita bisa tinggal di rumah penduduk atau kapitalaung (kepala kampung).

KULINER
-Di Sangihe Besar tidak banyak tempat makanan khas. Ada rumah makan Tepi Pantai di dekat Pelabuhan Tua dengan sajian makanan laut. Kalau mau makan sagu dan ikan, bisa juga di warung-warung Pasar Towo'e.

GUIDE DAN DIVING
-Jika ingin menyelam, Anda bisa menghubungi Dive Center milik pemerintah daerah yang dikelola oleh pihak ketiga. Tempatnya di dekat Pasar Towo'e atau Pelabuhan Tua. Peralatannya cukup lengkap.
-Jika ingin pendampingan untuk perjalanan di sana, ada Malahasa Adventure Trip (bisa dihubungi lewat laman Facebook).

ATM
Di Sangihe Besar ada anjungan tunai mandiri (ATM) Bank Mandiri dan BRI. Tapi di pulau-pulau kecil tak ada ATM, sehingga perlu disiapkan uang kontan saat akan menyeberang ke pulau kecil.

Dari Laut hingga Gunung

Kepulauan Sangihe memiliki kelengkapan wisata. Kita bisa mendaki Gunung Awu, bersantai di puncak Pusunge, mandi di air terjun tiga tingkat, berenang di pantai, menyelam di lereng gunung laut, hingga melihat bangkai kapal Jepang.

01. Mahangetang
Yang menarik dari pulau ini: tak jauh dari pantainya ada gunung berapi Banua Wuhu yang terendam laut. Hanya puncaknya setinggi satu meter yang muncul di permukaan. Di punggung gunung yang terendam, kita bisa melihat keluarnya gelembung-gelembung udara. Namun, karena panas dan belerang yang dikeluarkan, tak ada terumbu karang yang tumbuh di atasnya. Meski demikian, banyak ikan yang berkumpul di sana, termasuk hiu karang.
Dari Tahuna, kita bisa naik taksi laut ke Kahakitang (tarif Rp 40 ribu) atau naik kapal cepat ke Para (Rp 90 ribu). Dari Kahakitang atau Para, kita bisa menyewa perahu nelayan sekitar Rp 2,5 juta.
Kedalaman obyek: 6-50 meter
Arus: Bisa sangat kuat
Diving skill: Advance-expert

02. Para
Perjalanan ke Para bisa dijadikan satu dengan trip ke Mahangetang. Di luar itu, Para memiliki pesona sendiri. Di antaranya sejumlah pulau kecil yang mengelilinginya, seperti Nitu. Pulau tak berpenghuni itu memiliki pantai berpasir putih dan halus. Selain itu, di Para kita bisa menyaksikan nelayan menangkap ikan dengan cara tradisional, menggunakan seke. Sebelum acara dimulai, mereka mendatangi pohon kemboja berusia ratusan tahun di tengah pulau. Sayangnya, upacara ini sudah jarang diadakan.

Penyelaman:
Napo (batu karang besar) berdinding terjal dengan putaran arus sangat kuat. Penyelaman di dinding tegak gunung laut dalam. Ikan seperti pelagis, barakuda, jack, trevally, dan ikan terbang ada di sini.
Jarak pandang: 25-30 meter
Arus: Kuat hingga sangat kuat
Kedalaman obyek penyelaman: 24-40 meter
Diving skill: Advance-expert

03. Bowongkali, Sapaeng, Bebali
Ketiga tempat ini bisa dikunjungi dalam satu kali perjalanan. Selain dapat menikmati pantai yang menawan, kita bisa melakukan snorkeling di ketiga tempat itu. Terumbu karang dan ikan warna-warni ada di laut yang tak terlalu dalam. Untuk ke sana, kita bisa berangkat dari Kampung Kulur di Sangihe Besar.

04. Bukide
Ini adalah pulau yang memiliki sejarah penting. Di depan pulau ini ada bukit batu karang yang saat air surut bisa dicapai dengan berjalan kaki dari Bukide. Konon bukit batu ini adalah singgasana Raja Bukide di masa lalu. Tak jauh dari batu ini ada tempat menyelam atau snorkeling. Jika hanya ingin berenang di pantai yang teduh, kita bisa memilih Pantai Kasaraeng di sebelah utara pulau. Untuk ke sini perlu menyewa perahu nelayan yang berangkat dari Petta, Sangihe Besar.

05. Pusunge
Ini seperti Puncak bagi orang Sangihe. Hanya 15 menit dari Tahuna di tepi laut, kita bisa sampai di puncak bukit berhawa dingin ini. Dari atasnya, kita bisa memandang Teluk Tahuna.

06. Air terjun Kadadima
Terletak di Desa Laine, Kecamatan Manganitu Selatan, air terjun ini memiliki tingkatan, yakni nahepese, yang berarti terjepit, karena air terjunnya tampak sempit. Kemudian elong, atau biru, karena warna air di kolam sedalam 14 meter kebiruan seperti laut yang terjebak di atas pegunungan. Dan ketiga adalah matei tegak karena airnya tegak lurus. Menuju air terjun ini perlu satu jam jalan kaki.

07. Poa
Dalam perjalanan ke Bukide, kita bisa mampir ke Pulau Poa yang tak berpenghuni. Selain memiliki pantai yang indah, pulau ini adalah rumah bagi ribuan burung yang pada pagi hari pergi ke pulau besar untuk makan buah pala dan membuang bijinya di Poa.

08. tempat wisata lain
Air terjun Nguralawo
Pulau Kalama (gua burung walet)
Gunung Awu
Pantai Pananualeng (Desa Pananualeng, Kecamatan Tabukan Tengah, pantai pasir putih)

09. Spot diving lain
Pulau Nenung (taman koral)
Pulau Mahumu
Kapal Jepang (wreck ship diving, di depan Pelabuhan Tua)
Pulau Kahakitang
Pulau Dakupang
Pulau Mendaku

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus