Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menanti Tarian Lumba-lumba

Di pesisir selatan Malang, banyak pantai yang menyuguhkan pemandangan pasir putih bersih yang lembut dan masih alami, disertai deburan ombak besar Samudra Indonesia yang menggetarkan. Kita juga bisa menyaksikan tarian lumba-lumba dan menikmati matahari senja yang perlahan-lahan luruh ditelan lautan di lepas Pantai Kondang Merak.

Bahkan sebagian pantai tak hanya menyuguhkan keindahan pesona bahari, tapi juga mengajak wisatawan mencintai alam lewat ekowisata yang dikembangkan masyarakat lokal. Pengunjung Pantai Clungup dan Gatra diajak berpartisipasi dalam konservasi hutan pesisir dengan menanam mangrove, serta menjaga terumbu karang dengan tidak merusaknya saat snorkeling di Pantai Tiga Warna.

16 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di bawah matahari yang beranjak naik pada akhir Oktober lalu, Tony Asaribab mendayung sampannya menyusuri hutan bakau di kawasan Kondang Buntung, Sendangbiru. Sampan mengapung pelan-pelan, melewati alur sungai yang sempit. Pohon bakau yang rimbun berjajar memagari sungai. Sebagian besar jenis pohon Rhizospora sp dan pohon api-api, yang akar pensilnya menjuntai dan menyebar.

Saban pagi, sebelum bertugas menjaga Pantai Tiga Warna, pria asal Papua yang meninggalkan pekerjaannya sebagai awak kapal dagang itu berkeliling mengontrol kawasan hutan bakau di Kabupaten Malang tersebut.

Rutinitas itu telah Tony jalani sejak 2005. Dia hafal setiap jengkal hutan bakau seluas sekitar 40 hektare itu. "Sampai sekarang masih ada saja penduduk yang suka menebang batang pohon mangrove," kata pria kelahiran Biak Numfor 48 tahun lalu itu, yang "terdampar" di Sendangbiru sejak 1995.

Sempat rusak karena pembabatan besar-besaran pasca-Reformasi 1998, hutan bakau tersebut kini mulai tumbuh lagi. Sepanjang 2004-2005, secara sukarela seorang warga Sendangbiru bernama Saptoyo, 46 tahun, bersama 25 rekannya rutin menanam bakau di sana dari hasil pembibitan sendiri. Kecintaan mereka untuk menjaga alam kemudian diikuti dengan membentuk komunitas pelestari hutan Bhakti Alam.Tony adalah anggota komunitas Bhakti Alam.

Dulu luas hutan bakau di kawasan Sendang biru pernah mencapai ratusan hektare. Kemudian menjadi tinggal 73 hektare. Itu pun sebagian rusak dan hanya menyisakan bonggolnya. Penggundulan hutan mengakibatkan erosi tanah di pesisir Sendangbiru. Tanah longsor hingga ke laut dan merusak ekosistem laut, termasuk ikan. Sendangbiru, yang semula kaya dengan ikan, tiba-tiba paceklik pada 2000-an. Sampai-sampai Pemerintah Kabupaten Malang mengirimkan bantuan beras untuk warga di sana. Sendangbiru yang makmur sebagai penghasil ikan menjadi daerah miskin.

Setelah berjalan hampir 10 tahun, langkah Saptoyo dan komunitas Bhakti Alam membuahkan hasil. Lahan bakau yang telah dipulihkan mencapai 73 hektare, termasuk di kawasan Kondang Buntung, yang setiap pagi dikontrol oleh Tony. "Ikan kini mulai banyak ditemukan lagi di perairan sekitar hutan mangrove ini," ujar Tony sambil terus mendayung sampannya.

Keberhasilan itu membuat Perhutani mengajak Bhakti Alam bekerja sama mengelola kawasan hutan Sendangbiru, termasuk delapan pantai di sana: Pantai Clungup dan Gatra (kawasan konservasi bakau), Pantai Bangsong dan Teluk Asmoro (konservasi penyu), serta Pantai Savana, Mini, Watu Pecah, dan Tiga Warna (konservasi terumbu karang).

Dalam setahun belakangan, kedelapan pantai itu mulai ramai dibanjiri pengunjung. Itu mendorong Saptoyo dan Bhakti Alam mengembangkan kawasan tersebut sebagai daerah ekowisata berbasis konservasi. "Misi kami ingin menjaga kelestarian alam di kawasan ini. Kalaupun kemudian berkembang menjadi daerah wisata, kami akan tetap berusaha keras menjaga agar alam di sini tidak terdegradasi lagi," kata Saptoyo, Ketua Komunitas Bhakti Alam.

Menurut Saptoyo, langkah yang mereka tempuh merupakan bentuk kecintaan terhadap laut. Bagi masyarakat Sendangbiru, laut adalah pusat kehidupan. Jika alam pesisir dan ekosistem laut di Sendangbiru terdegradasi, kehidupan masyarakat pun terganggu. "Paceklik ikan pada tahun 2000-an adalah contohnya," ujarnya.

Tolong, jangan menginjak atau menyentuh terumbu karang!" Berkali-kali Supii memberi peringatan lewat pelantang suara kepada para pengunjung yang tengah melakukan snorkeling di Pantai Tiga Warna. Setiap kali melihat pengunjung yang mencoba berdiri atau menyentuh terumbu karang, Supii memperingatkan. "Banyak yang tidak mengerti bahwa tindakan mereka bisa merusak terumbu karang," ujar Supii, 46 tahun, bekas nelayan Sendangbiru yang bergabung dengan Bhakti Alam dan bertugas menjaga Pantai Tiga Warna ini.

Selasa siang akhir Oktober lalu, Pantai Tiga Warna cukup ramai pengunjung. Sebagian besar dari puluhan pengunjung itu melakukan snorkeling, menikmati taman laut dan ikan hias pada kedalaman sekitar 3 meter. "Dalam setahun terakhir, Pantai Tiga Warna selalu dipenuhi pengunjung. Pengunjung bisa lebih membeludak kalau tidak kami batasi 100 orang per hari," kata Ferik Antyo Agus Wibowo, 24 tahun, pemandu yang mengantar Tempo.

Menurut Ferik, yang juga anggota Bhakti Alam, di antara delapan pantai di kawasan konservasi Sendangbiru, Tiga Warna memang menjadi primadona. Selain berpasir putih bersih, pantai ini memiliki air laut yang berbeda-warna: biru, kehijauan, dan kekuningan. Di bawah air laut yang berbeda itu tersimpan keindahan terumbu karang dan ratusan ikan hias yang berseliweran. "Pantai Tiga Warna menjadi salah satu spot snorkeling terbaik di Malang selatan," ujar alumnus Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan Universitas Brawijaya ini.

Sebetulnya keindahan terumbu karang Pantai Tiga Warna yang terjaga dengan baik itu bisa terlihat jelas dari permukaan laut yang begitu jernih. Apalagi ombak di sana sangat tenang karena ombak besar dari Samudra Indonesia tak langsung menerpa, terhalang cagar alam Pulau Sempu, yang berada di seberangnya.

Selain merawat alam, masyarakat menjaga keindahannya. Di pos masuk, barang bawaan kita yang berpotensi menjadi sampah didata oleh petugas, seperti botol air mineral, bungkus makanan, dan plastik lain. Saat pulang, kita diharuskan membawa kembali barang bawaan tersebut untuk didata lagi oleh petugas.

Menurut Ferik, aturan itu diterapkan agar pengunjung tidak membuang sampah sembarangan. Jika ada yang berkurang, pengunjung didenda Rp 100 ribu per s yang hilang. Pengunjung juga harus didampingi pemandu dengan tarif Rp 100 ribu per rombongan. Bagi kita yang ingin berpartisipasi menanam bakau di kawasan konservasi itu, petugas menyediakan bibitnya.

Kami memulai perjalanan menuju Pantai Tiga Warna dengan berjalan kaki. Rute menuju Tiga Warna melalui pantai-pantai lain di kawasan konservasi tersebut. Setelah berjalan melintasi jalan setapak menembus kebun mangga, kelapa, nangka, dan pisang sekitar 20 menit, kami tiba di Pantai Clungup. Kami disambut deretan pohon bakau yang masih jarang-jarang.

Pantai Clungup merupakan muara Sungai Sendangbiru. Ferik menuturkan, dulu sebelum terjadi pembabatan, pohon bakau begitu rimbun memagari Sungai Sendangbiru. "Sampai-sampai sinar matahari pun sulit menembus hingga ke sungai yang memiliki kedalaman sekitar tiga meter ini," kata pemuda asli Sendangbiru ini.

Kini bakau yang tumbuh di kawasan itu masih jarang. Sebagian besar merupakan hasil penanaman kembali oleh anggota Bhakti Alam dan para wisatawan. Kedalaman sungai juga tidak sampai satu meter karena terjadi sedimentasi yang hebat. Meski begitu, Pantai Clungup menyimpan keindahan hamparan pasir yang masih bersih. Gugusan pulau karang kecil di depannya menambah lanskap panorama pantai yang masih belum banyak dikenal tersebut.

Kondisi serupa kami jumpai saat singgah di Pantai Gatra, sekitar 500 meter dari Clungup. Hamparan pasir putih bersih sepanjang sekitar satu kilometer menghiasi Pantai Gatra. Di pantai ini tersedia lahan berkemah (camping ground) yang dilengkapi toilet. Kebersihan juga terlihat di pantai-pantai yang kami singgahi berikutnya sebelum tiba di Tiga Warna: Pantai Savana, Mini, dan Watu Pecah.

Dari Sendangbiru, kami kemudian menuju Pantai Lenggoksono di Desa Purwodadi, Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang. Kamis akhir Oktober lalu, Pantai Lenggoksono menggelar Larung Saji-perayaan yang digelar setiap tanggal 15 bulan Suro (menurut penanggalan Jawa)-dengan melarung sesaji berupa tumpeng, aneka makanan dan buah-buahan, serta ayam putih, ke laut.

Perayaan Larung Saji juga merupakan upacara bersih desa. Tujuannya agar nelayan di desa itu senantiasa mendapat rezeki hasil laut yang melimpah dan dilindungi keselamatannya saat melaut. "Ini merupakan permohonan kami agar senantiasa dilindungi Yang Mahakuasa," kata Mbah Suli, seorang pinisepuh di Lenggoksono.

Lenggoksono merupakan bagian dari Desa Purwodadi yang dikenal sebagai penghasil cengkeh terbesar di Malang. Di Purwodadi juga terdapat sekitar 200 nelayan. Pantai Lenggoksono kaya dengan cumi-cumi, ikan cakalang, dan ikan layur. Kawasan laut Lenggoksono juga merupakan pusat lobster mutiara, batu, dan pasir.

Masyarakat nelayan Lenggoksono memiliki kesadaran menjaga kekayaan laut. Salah satunya dengan menetapkan wilayah konservasi lobster di kawasan Pulau Gadung. Di bawah Pulau Gadung terdapat gua tempat bersarangnya lobster jenis mutiara. Masyarakat setempat menamainya gua lobster. Mereka selalu menjaga gua itu dari para nelayan nakal yang menggunakan potasium.

Selain potensi kekayaan ikannya, Pantai Lenggoksono yang berada di teluk yang diapit perbukitan dan tebing karang menyimpan panorama alam yang menawan. Di sekitar pantai itu terdapat Pantai Bolu-bolu, Pantai Teluk Kletekan, dan Pantai Banyu Anjlok.

Di Pantai Bolu-bolu dan Teluk Kletekan, terdapat taman terumbu karang seluas sekitar 4 hektare. Banyu Anjlok memiliki air terjun yang mengalir di tebing karang setinggi sekitar 7 meter. Air yang langsung jatuh ke laut itu tidak menggerojok di satu titik, tapi menyebar pada dinding karang sepanjang 20 meter.

Potensi wisata ini kemudian menggerakkan masyarakat untuk mengembangkannya. Dimotori oleh Mukhlis, 36 tahun, mereka membentuk kelompok sadar wisata. "Sejak 2014 kami mencoba mengembangkan ekowisata yang melibatkan masyarakat lokal," kata Mukhlis.

Karena untuk mencapai lokasi-lokasi wisata itu menyeberangi laut, mereka kemudian menggunakan perahu nelayan. Menurut Mukhlis, agar tidak terjadi kekacauan, masyarakat mengatur jadwal perahu. "Senin-Kamis, hanya 6 perahu yang dipakai untuk mengantar turis. Sedangkan akhir pekan 31 perahu dipakai semua," ujarnya.

Masyarakat juga dilibatkan menjadi pemandu. Sebagian masyarakat kemudian membuka warung makan yang menyajikan masakan khas laut serta membuka kios penyewaan alat snorkeling dan surfing. "Ombak di Pantai Lenggoksono cocok untuk selancar, baik untuk pemula atau profesional," kata Mukhlis.

Kami mengakhiri perjalanan di Pantai Kondang Merak. Pantai di Desa Sumberbening, Kecamatan Bantur, itu berada di kawasan hutan lindung seluas 1.989 hektare yang merupakan yang terbaik di pesisir Jawa Timur.

Di Kondang Merak, aliran sungai tertahan pasir pantai, sehingga airnya tak langsung mengalir ke laut. Masyarakat setempat menamakannya Kondang Merak karena di tempat pertemuan air tawar dan air laut itu dulu banyak dihuni burung merak, yang kini sudah tidak ada lagi.

Pantai Kondang Merak dihuni 30 keluarga nelayan. Mereka tinggal di dekat muara sungai. Dulu nelayan di sana dikenal tak bersahabat dengan alam: menangkap hiu yang dilindungi, menjerat penyu, membantai lumba-lumba, dan mendongkel terumbu karang. "Namun, sejak sekitar tiga tahun lalu, mereka mulai sadar menjaga alam Kondang Merak," kata Andik Syaifudin dari Sahabat Alam, yang mendampingi nelayan.

Kesadaran itu muncul setelah mereka kesulitan mencari ikan. Dulu, cukup di sekitar pantai, mereka sudah bisa menangkap banyak ikan. Belakangan, mereka harus melaut berpuluh mil hingga laut lepas baru mendapat ikan. Kondisi itu kemudian menyadarkan mereka: kesulitan mencari ikan itu karena ekosistem laut tempat ikan bersemayam telah rusak. "Perlahan-lahan mereka kemudian ikut menjaga kelestarian alam Kondang Merak," ujar Andik.

Bagyo adalah salah seorang warga Kondang Merak yang tersadarkan. Nelayan ini dulu sering membantai lumba-lumba, menjerat penyu, dan menangkap hiu. "Tanpa merusak, saya malah mendapat hasil ikan yang melimpah," katanya.

Perlahan-lahan kesadaran akan konservasi tumbuh. Masyarakat nelayan juga mulai merintis ekowisata berbasis konservasi. Terumbu karang direhabilitasi. Hamparan pasir putih pantai dijaga kebersihannya. Hutan lindung yang rimbun dan satwa yang menghuninya dijaga dari ulah penjarah dan pemburu.

Selain panorama alam dengan deretan pulau karang yang menjulang dan pasir pantainya yang putih bersih, daya tarik Kondang Merak adalah hutan lindung di kawasan pantai itu yang masih rimbun, sehingga membuat hawa pesisir di sana tak terasa menyengat, bahkan cenderung sejuk. Pagi itu kami melakukan jungle trekking, menelusuri hutan lindung sembari mengamati burung-burung. "Sekitar 100 jenis burung, termasuk elang Jawa, ada di sini," kata Heru Cahyono, 28 tahun, peneliti burung.

Siangnya kami mencoba menikmati sate ikan tuna di warung makan Wiji Lestari, satu di antara dua tempat makan di sana yang menyajikan aneka masakan laut. "Banyak pengunjung yang datang ke sini hanya untuk menyantap sate ikan tuna dan masakan laut lainnya," ujar Andik.

Boleh dibilang rahasia kelezatan masakan laut Kondang Merak ini berkat sentuhan Pak Edi. Pria 71 tahun ini adalah mantan chef di sejumlah hotel berbintang di Jakarta dan Bali. Dia memilih hidup menyepi di Kondang Merak sejak 1993. "Ah, saya hanya membantu membuat aneka masakan laut di sini," kata pria yang enggan menyebutkan nama lengkapnya itu.

Kami menutup hari di Kondang Merak dengan menikmati matahari tenggelam dan tarian lumba-lumba. Sore itu kami meluncur di atas perahu bercadik yang dikemudikan Bagyo. Menurut Andik, setiap saat kita bisa menyaksikan kawanan lumba-lumba di laut Kondang Merak. "Pagi, siang, atau sore lumba-lumba selalu muncul," ujarnya.

Benar saja. Setengah jam kami meluncur di atas perahu yang diguncang-guncang ombak Laut Selatan, tiba-tiba Bagyo berteriak dan menunjuk ke satu arah: sekawanan lumba-lumba tampak berlompatan di permukaan. Perahu yang membawa kami kemudian mendekat agar lebih jelas menyaksikan belasan lumba-lumba.

Matahari senja perlahan-lahan luruh ketika perahu membawa kami kembali ke Pantai Kondang Merak. Semburat sinar merahnya yang lembut berpendar-pendar di permukaan Laut Selatan yang ombaknya saat itu tak terlalu besar.


Melancong ke Malang Selatan

Akses menuju pantai di Malang Selatan cukup mudah. Semuanya bisa ditempuh melalui jalan darat dari Kota Malang, bisa menggunakan mobil atau motor. Meski begitu, bagi Anda yang menggunakan kendaraan pribadi, disarankan memakai mobil atau motor yang bisa menembus jalan berbatu atawa makadam. Bahkan beberapa ruas jalan masih berupa tanah, sehingga ketika musim hujan berlumpur.

TRANSPORTASI
Pantai Clungup dan Tiga Warna
Dari Kota Malang, Pantai Clungup, Tiga Warna, dan empat pantai lain di kawasan Konservasi Sendangbiru bisa dicapai melalui rute: Turen-Sumbermanjing Wetan-Sitiarjo-Sendangbiru.
Jika menggunakan transportasi lokal, dari Kota Malang (Terminal Gadang) naik angkutan umum ke Turen. Lalu naik kendaraan umum ke Sitiarjo. Dari Sitiarjo naik angkutan umum ke Sendangbiru, dilanjutkan naik ojek ke pintu masuk Pantai Clungup.

Pantai Kondang Merak
Dari Kota Malang, ada dua rute menuju Pantai Kondang Merak di Desa Sumberbening, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang:

Kota Malang-Turen-Gondang Legi-Bantur-Kondang Merak
Kota Malang-Kepanjen-Pagak-Bantur-Kondang Merak

Transportasi lokal: dari Kota Malang naik bus atau angkot menuju Kepanjen, lalu naik angkutan umum ke Pagak. Dari Terminal Pagak naik kendaraan umum ke Bantur. Selanjutnya, Anda bisa mencarter kendaraan umum atau menggunakan ojek ke Kondang Merak.

Pantai Lenggoksono
Dari Kota Malang, Pantai Lenggoksono bisa ditempuh melalui rute:
Dampit-Tirtoyudo-Purwodadi-Lenggoksono.

Jika menggunakan transportasi lokal: dari Kota Malang naik bus ke Dampit. Dari terminal Dampit naik kendaraan umum Bison atau Elf langsung ke Lenggoksono dengan ongkos Rp 20.000.

AKOMODASI

Pantai Clungup dan Tiga Warna
Di Sendangbiru ada beberapa homestay. Salah satunya homestay Dilu dengan tarif Rp 150-200 ribu per malam.

Pantai Kondang Merak
Di Kondang Merak, Anda bisa menginap di homestay di kampung nelayan dengan tarif sekitar Rp 150 ribu per malam. Di sana juga terdapat satu rumah yang khusus disewakan sebagai penginapan dengan tarif Rp 500 ribu per malam.

Pantai Lenggoksono
Di Lenggoksono terdapat tujuh homestay dengan tarif Rp 150-250 ribu per malam.

KULINER
-Di Sendangbiru banyak warung makan yang menyajikan masakan laut. Warung-warung itu berada di sekitar tempat pelelangan ikan. Salah satunya Warung Mandiri Pak Karnadi dengan menu spesial ikan bakar.
-Di Kondang Merak terdapat dua warung makan hidangan laut yang direkomendasikan: Warung Mak Sih dan Warung Wiji Lestari. Kedua warung ini menyajikan menu spesial sate ikan tuna.
-Di Lenggoksono berderet warung makan di pinggir pantai yang menyajikan menu masakan laut.

Bukan Hanya Ngliyep dan Balekambang

Selama ini Ngliyep dan Balekambang menjadi ikon wisata pantai di Malang, Jawa Timur. Namun sepanjang pesisir Malang selatan, dari perbatasan dengan Blitar di bagian barat hingga Lumajang di timur, berderet pantai dengan panorama yang tak kalah menarik dengan dua ikon wisata itu. Sebagian besar belum banyak dikenal, dan beberapa di antaranya mulai menjadi tujuan wisata pantai baru dengan konsep ekowisata dan dikelola oleh masyarakat lokal.

01. Pantai Lenggoksono

Pantai Lenggoksono di Desa Purwodadi, Kecamatan Tirtoyudo, Kabupaten Malang, membentang sepanjang sekitar satu kilometer membentuk setengah lingkaran dengan kedua sisi diapit tebing. Dengan ombaknya yang besar, Lenggoksono juga menjadi tempat para penggemar selancar beraksi.

Di sekitar Lenggoksono terdapat beberapa pantai lain yang menarik. Di sisi kanan terdapat pantai Banyu Anjlok, yang menyuguhkan air terjun setinggi 7 meter dan lebar 20 meter. Air terjun itu jatuh dari sungai yang mengalir dari atas tebing. Lalu Pantai Bolu-bolu dengan panorama alamnya yang menawan. Di pantai ini terdapat area berkemah (camping ground). Ada juga spot snorkeling di Teluk Kletekan.

Lenggoksono juga menjadi kawasan konservasi lobster mutiara, pasir, dan batu. Kawasan konservasi itu berada di Pantai Pulau Gadung. Di sana terdapat gua lobster yang selalu dijaga nelayan lokal dari penjarah yang menggunakan potasium.

Untuk mencapai pantai-pantai di sekitar Lenggoksono itu, pengunjung harus naik perahu dengan ongkos Rp 350 ribu per satu rombongan maksimal 7 orang. Sedangkan untuk sewa alat snorkeling Rp 25 ribu.

02. Pantai Clungup, Gatra, dan Tiga Warna

Pantai Clungup, Gatra, dan Tiga Warna merupakan tiga dari delapan pantai yang berada di kawasan Konservasi Sendangbiru. Kawasan konservasi ini dikelola oleh Bhakti Alam, komunitas pelestari hutan, pesisir, dan laut di Sendangbiru. Saat ini, anggota Bhakti Alam sekitar 60 orang, sebagian besar masyarakat lokal. Mereka meliputi pemandu wisata, pendukung, dan penjaga pantai.

Kedelapan pantai yang tengah dikembangkan sebagai ekowisata itu: Pantai Clungup dan Gatra (kawasan konservasi hutan bakau), Pantai Savana, Mini, Watu Pecah, dan Tiga Warna (konservasi terumbu karang), serta Pantai Bansong dan Teluk Asmoro (konservasi penyu).

  • Tiket masuk: Rp 5.000 per orang
  • Pemandu: Rp 100 ribu per rombongan (maksimal satu rombongan 10 orang)

    03. Snorkeling di Pantai Tiga Warna

  • Selain berpasir putih nan lembut dan air laut berwarna biru, kehijauan, dan kekuningan, Pantai Tiga Warna merupakan salah satu spot snorkeling terbaik di Malang. Pengunjung bisa menikmati taman bawah laut dan aneka ikan hias pada kedalaman 3-5 meter. Biaya satu set alat snorkeling + pelampung Rp 15 ribu per orang untuk 2 jam.

    04. Berkemah di Pantai Gatra

    Dari delapan pantai di kawasan konservasi itu, hanya Pantai Gatra yang menyediakan area untuk kemah (camping ground). Biaya sewa lahan kemah Rp 25 ribu dan satu set tenda Rp 25 ribu.

    05. Pantai Kondang Merak

    Terletak di Desa Sumberbening, Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang, Pantai Kondang Merak menawarkan pasir putih lembut sepanjang sekitar 800 meter. Di bibir pantai, deretan pulau karang menyembul kokoh dari balik air laut nan biru. Deburan ombak dari laut lepas Samudra Hindia yang tertahan pulau-pulau karang terdengar menggetarkan.

    Kondang Merak, yang berada di kawasan hutan lindung yang rimbun dengan aneka pepohonan, juga menawarkan ekowisata jelajah hutan (jungle trek) sembari mengamati berbagai jenis burung. Kawasan laut di Kondang Merak merupakan teritorial lumba-lumba. Dengan menyewa perahu, setiap saat kita bisa menyaksikan kawanan lumba-lumba menari di sana.

  • Tiket masuk: Rp 5.000 per orang
  • Parkir: Mobil (Rp 10 ribu), sepeda motor (Rp 5.000)
  • Sewa perahu: Rp 750 ribu per rombongan (maksimal 6 orang)

    PANTAI-PANTAI DI MALANG SELATAN:
    1. Pantai Jonggring Saloka
    2. Pantai Watu Ngebros
    3. Pantai Ngliyep
    4. Pantai Kondang Iwak
    5. Pantai Kondang Merak
    6. Pantai Balekambang
    7. Pantai Nganteb
    8. Pantai Bajulmati
    9. Pantai Goa Cina
    10. Pantai Tamban
    11. Pantai Lenggoksono
    12. Pantai Banyu Anjlok
    13. Pantai Bolu-bolu

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus