Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lukisan Terakhir di Padaido

Ini cerita dari gugusan pulau karang di sebelah tenggara Pulau Biak, Papua. Kisah tentang masyarakat yang menjaga samudra. Agar anak-cucu kelak tahu mengapa kepulauan yang mereka tinggali diberi nama Padaido: keindahan yang tak terlukiskan.

16 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA jam pelayaran yang nyaman menyusuri perairan Kepulauan Padaido di selatan Biak, Papua, berubah menegangkan. Siang itu, Sabtu dua pekan lalu, kami-saya dan fotografer Tony Hartawan-baru saja melewati Pulau Pakreki yang rimbun tertutup hutan tropis. Laut di sekitar pulau karang besar tak berpenghuni ini seolah-olah menjadi ujian terakhir sebelum kami tiba ke tujuan: Pulau Meosmangguandi.

Air yang tadi tenang tiba-tiba bergejolak. Seketika perahu "johnson"-begitu nelayan setempat menyebut kapal tradisional bermesin tempel-kami diterpa ayunan ombak yang datang tak tentu arah. Beberapa kali Tony yang duduk di haluan menengok ke belakang sambil tersenyum kecut. Saya membalasnya dengan mimik tak kalah khawatir.

"Meosmangguandi...!" Teriakan Melkias Rumkorem, kepala adat Meosmangguandi, membawa ketenangan baru. Dia menunjuk ke arah haluan perahu yang masih berayun naik-turun mengikuti alun.

Kami bertemu dengan Melkias secara tak sengaja siang tadi, saat hendak menyeberang dari dermaga Pasar Bosnik-sekitar 12 kilometer sebelah timur pusat Kota Biak. Seperti kebanyakan nelayan di penjuru Kepulauan Padaido, pria 70 tahun itu biasa pergi ke kota pada hari-hari pasar: Selasa, Kamis, dan Sabtu. Selain menjual hasil tangkapan, warga kepulauan mendatangi pasar tersebut untuk membeli berbagai bahan kebutuhan pokok di pulau.

Sesaat saya tak berhasil melihat satu pun pulau di arah yang ditunjuk Melkias. Namun lamat-lamat bayangan punggung Meosmangguandi mulai terlihat di kejauhan, berbaris dengan dua pulau lainnya, Pasi dan Mbromsi. Berbeda dengan dua pulau tetangganya yang besar membulat, wujud Meosmangguandi seperti namanya. "Meos" adalah pulau, "mangguandi" berarti panjang.

Sekilas tak ada yang luar biasa dari sosok Meosmangguandi. Tanjung di sisi utara pulau yang kami jumpai pertama kali hanya berupa tebing karang terjal, penuh sesak oleh pepohonan yang terlihat liar.

Tapi perhatian saya tertuju ke arah laut, di bawah lambung perahu. Muka air asin yang tadi gelap kebiru-biruan seolah-olah memudar. Satu per satu bayangan karang besar muncul dari dasar laut yang mulai dangkal. Kelak saya tahu, lebih dari satu dekade lalu, warga menetapkan tanjung bagian utara Meosmangguandi tersebut sebagai satu dari empat kawasan lindung, atau biasa disebut sasisen, untuk terumbu karang.

"Ikan semakin sedikit di Padaido karena dulu banyak orang buang bom," kata Melkias dengan bahasa terbata-bata. "Sekarang semua orang dari pulau lain mencari ikan di Meosmangguandi. Jadi kami harus jaga."

Sore itu kami akhirnya tiba di sisi timur Meosmangguandi. Deretan pohon kelapa seolah-olah menjadi pagar di atas pantai pasir putih yang memanjang dari utara ke selatan. Di bawah salah satu pohon, saya duduk terpaku melihat ombak yang malu-malu menerjang tubir pantai. Di balik sana, Samudra Pasifik membentang luas hingga ke Amerika.

Meosmangguandi merupakan satu dari 32 daratan-sepuluh di antaranya berpenghuni-yang membentuk Padaido, sebuah gugusan pulau di perairan selatan Biak, Papua. Terletak di pojok tenggara kepulauan, 32 mil laut dari pusat kota Biak, pulau seluas 14 kilometer persegi ini hanya dihuni 84 keluarga.

Mereka tinggal di rumah panggung yang masing-masing berjarak, dipisahkan tanah cukup luas. Selama di sana, saya tak habis pikir mendengar rencana pemerintah kabupaten membangun resor miliaran rupiah di pulau tetangga untuk menarik wisatawan. Karena di Meosmangguandi, hunian warga sudah nyaman ditinggali, dengan fasilitas mandi-cuci-kakus (MCK) yang cukup memadai. Air tanah juga tak sulit ditimba dari sumur-sumur warga.

Pagi itu laut di sekeliling pulau mulai teduh seiring dengan meti, istilah setempat untuk air surut. Dentuman ombak yang menderu tadi malam juga nyaris tak terdengar lagi. Jalan tak beraspal yang membelah perkampungan juga lengang. Memang belum lama lonceng Gereja GKI Imanuel Meosmangguandi yang berada tepat di tengah perkampungan berdentang, tanda ibadah Minggu dimulai.

Tapi, di dermaga kayu tak jauh dari gereja, suasananya begitu meriah. Belasan bocah berlarian. Satu per satu mereka melompat ke laut. Wushh..., byur.... Tawa keluar di setiap wajah mereka yang muncul ke permukaan. Mereka tak ikut beribadah bersama para orang tua. Pagi-pagi tadi kebaktian khusus anak-anak digelar lebih dulu.

Warga Meosmangguandi melihat laut sebagai sumber kehidupan. Tapi gereja adalah tempat segala aturan tentang hidup berkiblat. Banyak kegiatan warga juga kerap dilakukan atas nama gereja.

Seperti hari ketiga saat kami di sana. Sekelompok ibu-ibu di Kampung Supraima-kampung di bagian selatan Pulau Meosmangguandi-baru saja memulai proses membuat kopra. Kegiatan serupa sebenarnya biasa dikerjakan setiap rumah tangga di Meosmangguandi sebagai tambahan penghasilan.

Khusus pada hari itu, duit hasil penjualan kopra yang mereka produksi bersama akan disumbangkan ke gereja. "Untuk membeli korden," kata Erick Mourine. Pria 40 tahun ini membantu menyiapkan tungku besar yang disusun dari batang pohon untuk mengasapi daging buah kelapa. Siang itu mereka berhasil mengumpulkan 800 butir kelapa, hasil barter dengan tepun barapen-makanan dari tepung yang dibungkus daun tunas kelapa, lalu dibakar di balik timbunan batu.

Ketaatan warga itu pula yang menjadikan para pengurus gereja sebagai tumpuan dalam berbagai persoalan. Di Meosmangguandi, setiap aturan kampung harus disepakati bersama oleh pengurus kampung, pemangku adat, dan pengelola gereja. Biasanya mereka memanfaatkan waktu ketika warga berkumpul di gereja untuk berembuk, sehingga aturan bisa dibahas dan segera ditetapkan.

Termasuk untuk menetapkan sasisen. Februari lalu, misalnya, bersamaan dengan perayaan 160 tahun masuknya Gereja Kristen Injili di tanah Papua, di dalam gereja warga menyepakati jenis-jenis biota laut yang dilarang untuk diburu pada tahun ini. "Lewat gereja kami ingin warga patuh bahwa melindungi laut adalah perintah Tuhan," kata Yunus Rumkorem, yang kami temui malam harinya.

Dalam bahasa lokal sisen berarti tutup. Dengan imbuhan sa, maknanya menjadi penutupan atau pelarangan. Intinya, sasien sebenarnya merupakan sistem adat yang melarang siapa pun berburu atau mengambil sesuatu di titik yang telah ditetapkan sebagai daerah sasi-begitu warga biasa melafalkannya.

Sejak 2003, warga Meosmangguandi kembali menerapkan sasisen untuk lautan. Sebelumnya, sasisen hanya dipakai untuk menjaga sumber daya alam di darat.

Sebenarnya tradisi serupa dikenal di sejumlah daerah di wilayah timur Indonesia. Namun di Meosmangguandi ada dua macam sasi. Larangan sementara diterapkan setahun sekali, biasanya selama enam bulan atau lebih, tergantung seberapa sulit biota laut tertentu bisa ditemukan. Tahun ini, sebagai contoh, sudah delapan bulan mereka belum membuka sasi terhadap lobster, teripang, lola, dan kima batu (kerang), juga pea-pea (siput mutiara).

Lalu ada sasi abadi: larangan menangkap biota laut di beberapa lokasi lindung tanpa batas waktu. Wilayah tanjung utara Meosmangguandi adalah kawasan sasi abadi untuk terumbu karang. Di selatan pulau, tak jauh dari tanjung Mambro, ada satu lokasi dijuluki In Pekem, zona sasi abadi kakap merah. Tepat di bibir pantai sebelah utara dermaga, sebuah kawasan menjadi area sasi abadi anadara atau kerang darah. Adapun area bagian barat, pantai berukuran dua kali lapangan bola, dijadikan sasi abadi untuk teripang.

Warga Meosmangguandi juga menerapkan sasi abadi untuk penggunaan alat penangkapan yang tak ramah lingkungan. Pukat harimau, bahan peledak, dan berbagai ramuan racun dari akar-akaran termasuk yang diharamkan.

Yunus-warga kampung memanggilnya Bapak Nabi karena namanya ini-ialah kepala jemaat Meosmangguandi ketika pertama kali sasisen terhadap bom ikan ditetapkan di gereja pada 2003. Beberapa tahun sebelumnya, kata dia, lembaga swadaya masyarakat di bidang konservasi laut telah aktif membantu menyebarkan kabar bahaya bom ikan bagi laut.

"Sebelumnya kami hanya tahu pakai bom. Ikan banyak," ucap Yunus, yang mengakui sempat juga menjadi salah satu pelaku. "Lama-lama kami sadar, ikan semakin sedikit. Koral tempat mereka bertelur semuanya rusak."

Menurut dia, sasisen sebenarnya telah lama diterapkan di laut Meosmangguandi, jauh sebelum ada seruan dari LSM dan gereja. Dia masih ingat masa kecilnya, sekitar enam dekade lalu, ketika ayahnya kerap melarang berburu biota laut seperti lola, pea-pea, dan pea bulan, yang waktu itu dihargai mahal oleh para pedagang dari Buton dan Cina. "Kami menunggu panen agar bisa dijual dalam jumlah banyak, ketika kapal pedagang datang," ujarnya.

Kala itu, warga juga tak berani berbuat onar di laut. Seperti masyarakat Biak pada umumnya, orang Meosmangguandi mempercayai keberadaan faknik, hantu yang diyakini bersembunyi di dasar laut. Dari perbincangan tentang ini, kami akhirnya tahu Pulau Pakreki yang kami lalui kemarin merupakan salah satu tempat yang ditetapkan sebagai faknik.

Namun, seiring dengan berjalannya waktu, kepercayaan terhadap faknik memudar, terutama di kalangan anak muda. Pada saat bersamaan, Yunus menceritakan, masyarakat mulai menguasai teknik membuat bom ikan sederhana. Bubuk bahan peledaknya mudah mereka peroleh dari sisa-sisa bom dan ranjau peninggalan Perang Dunia II, yang dulu berserak di perairan sekitar Pulau Nusi, Auki, dan Owi.

Ketiga pulau tersebut merupakan gugusan terdepan Kepulauan Padaido yang berhadapan langsung dengan Pulau Biak. Sekitar 75 tahun lalu, tentara Sekutu membangun pangkalan udara dan laut di tiga pulau tersebut untuk merebut Biak dari tangan Jepang. Kini gua-gua peninggalan tentara Jepang masih dapat ditemukan di lereng bukit, tak jauh dari pusat Kota Biak. Sedangkan di Auki, dermaga peninggalan Sekutu tinggal tersisa sebuah tiang penyangga yang bertahan di laut, tak jauh dari bibir pantai.

Yunus memperkirakan kebiasaan membuat dan melempar bom ikan mulai marak pada 1960-an. Sejak saat itu, setiap malam bak perayaan tahun baru di Meosmangguandi. Dentuman bom bersahutan dari penjuru Kepulauan Padaido. Keesokan harinya, laut di sekitar pun keruh. "Saat itu kami masih di zaman kegelapan," kata Yunus tertawa menceritakan masa mudanya.

BERUNTUNG, kami tak lagi mendengar dentuman bom ikan, setidaknya selama enam hari di Kepulauan Padaido, walaupun kegelapan sebenarnya belum hilang betul di Meosmangguandi. Maksudnya, setiap malam pulau ini benar-benar gelap-gulita. Tak ada jaringan listrik PLN di sini. Sinyal seluler pun tiada. "Yang ada pembangunan lima tahun, pelita," ujar Nikson Rumkorem, anak "ibu kos" kami yang menjadi pemandu selama di Padaido, berkelakar.

Namun laut di Kepulauan Padaido, terutama Meosmangguandi, benar-benar membuat saya lepas dari ketergantungan terhadap listrik dan telepon seluler. Coba lihat Rasi, pulau paling selatan di wilayah perairan Meosmangguandi. Di sini butiran pasir putih sehalus tepung membentang di pantai yang lebar dan meninggi. Di depan sana, warna laut biru bergradasi.

Atau cobalah ke Kebori. Terletak di antara Meosmangguandi dan Rasi, laut di pulau tak berpenghuni ini dangkal dan tenang. Dari atas perahu, Anda pasti tergoda untuk segera melompat. Ikan kecil beraneka warna berkerumun, berlalu-lalang, di atas koral beraneka warna yang membentang tak jauh di depan pantai pasir putih sebelah timur.

Kami sempat menginap di sana. Malam itu seolah-olah tak ada lagi yang dibutuhkan dalam hidup ini. Api unggun telah berkobar di atas pasir yang menimbun singkong. Empat ikan gemuk, tiga di antaranya baronang, siap dibakar setelah terperangkap jala yang belum lama tadi dijulurkan Nikson menjelang laut surut. Tambah lagi sepuluh bungkus mi instan siap dimasak. Ai mama....

Pada hari terakhir di Meosmangguandi, kami mampir ke gugusan pulau seberang di utara. Dalam perjalanan, sekelompok lumba-lumba berlompatan, seolah-olahs ingin berkejaran dengan perahu kami yang melintas di tengah laut perbatasan Pulau Pasi, Mbromsi, dan Dauwi. Di pulau terakhir ini, kami sengaja menunggu petang, lalu pergi ke Pulau Samakur.

Warga sekitar menjuluki Samakur sebagai pulau burung. Bukan bentuk pulaunya yang mirip burung, melainkan ketika lembayung di langit barat Padaido semakin merah, ratusan ribu-jika tak ingin menyebut jutaan-burung laut berduyun-duyun terbang mendekati pulau tersebut.

Selama beberapa saat mereka berputar-putar di atasnya. Tidak untuk berburu mangsa, tapi menunggu kelelawar pergi dari tebing-tebing padas di tengah pulau itu untuk kemudian menjadikannya tempat peristirahatan. Esok pagi, giliran bangau yang pergi digantikan kelelawar, begitu seterusnya....


Pintu Masuk dari Laut

Laut menjadi satu-satunya jalur untuk pergi ke Pulau Meosmangguandi, Kepulauan Padaido. Meski pulau ini bisa ditempuh dari seluruh daerah di pesisir utara Teluk Cenderawasih, Papua, Biak merupakan titik tolak terdekat untuk menggapainya.

UDARA
-Untuk Anda yang berada di luar Papua, hanya Garuda Indonesia dan Sriwijaya Air yang membuka layanan menuju Bandar Udara Internasional Frans Kaisiepo, Biak. Harga tiket pergi-pulang Jakarta-Biak hanya sekitar Rp 4 juta per orang.
-Jika sedang di wilayah lain di Papua, Anda bisa terbang menggunakan pesawat perintis milik Susi Air.

LAUT
-Tak ada angkutan penyeberangan komersial ke pulau-pulau di Padaido, termasuk ke Meosmangguandi. Anda bisa menyewa jasa nelayan lokal di dermaga Pasar Tradisional Bosnik, sekitar 12 kilometer ke arah timur dari pusat Kota Biak. Biayanya berkisar Rp 300 ribu untuk sekali pergi dan pulang, belum termasuk minyak.

AKOMODASI

PENGINAPAN
-Di pulau-pulau kecil di wilayah Kepulauan Padaido, Anda bisa menginap di rumah warga. Agar hemat, sebelum menyeberang, ada baiknya menyiapkan kebutuhan bahan pokok sesuai dengan waktu yang akan dihabiskan selama di pulau.
-Hotel beraneka ukuran tersebar di sekitar pusat Kota Biak.

TRANSPORTASI LOKAL
-Satu-satunya moda transportasi darat di Meosmangguandi dan sebagian besar pulau kecil lain di Padaido adalah kaki Anda.
-Ketika sudah di pulau-pulau kecil, seperti Meosmangguandi, Anda bisa meminta penduduk setempat mengantar berkeliling kepulauan menggunakan perahu mereka. Untuk jarak dekat, kami hanya membayar Rp 150 ribu per hari.
-Di Pulau Biak, Anda dapat berkeliling naik mobil angkutan kota--warga biasa menyebutnya taksi--jauh-dekat Rp 5.000. Penyewaan mobil juga banyak di sekitar kota, dengan tarif Rp 500 ribu-1 juta per hari, tergantung lokasi tujuan.

SARANA
-Jaringan listrik belum tersedia di sebagian besar wilayah kepulauan, termasuk di Meosmangguandi. Tapi sebagian warga memiliki genset. Jangan sungkan minta mereka membantu.
-Sinyal seluler juga tak ada di wilayah Kepulauan Padaido, apalagi yang jauh dari Pulau Biak, seperti di Meosmangguandi.

ATM
Anjungan tunai mandiri, terutama ATM bank pemerintah, mudah ditemukan di sekitar pusat Kota Biak.

Bila Ingat Akan Kembali

Ada yang bilang Biak adalah singkatan dari "bila ingat akan kembali". Kami tak kuasa membantahnya. Di sini, hampir setiap kampung pesisir memamerkan pantai pasir putih dan karang, seolah-olah sedang berlomba dalam kontes kecantikan. Belum lagi Kepulauan Padaido yang layak menjadi peserta unggulan. Berbagai peninggalan Perang Dunia II dapat dijumpai di lereng bukit dan dasar lautan.

01. Pasar Bosnik
Pasar Tradisional Bosnik merupakan salah satu pusat berkumpulnya nelayan dari seantero Biak: menjajakan hasil tangkapannya atau saling tukar apa saja. Mereka punya sistem SKS, yaitu Selasa, Kamis, dan Sabtu, sebagai hari pasar. Pada akhir pekan, ikan segar dan olahan beraneka ukuran bersaing dengan sayur-mayur. Ada juga bermacam kerajinan laut dan batu akik.

02. Mumwar
Terletak di semenanjung timur Pulau Biak, kawasan hutan tepi pantai di Mumwar menunjukkan jejak betapa dahsyatnya tsunami menerjang kawasan ini dua dekade lalu.

03. Pantai Anggaduber
Sebuah jembatan alam-berupa tebing menjorok ke arah laut-seolah-olah menjadi pintu gerbang pantai pasir putih yang memanjang dan menghadap langsung ke arah gugusan pulau Padaido. Kalau cukup bernyali, Anda bisa terjun dari atasnya.

04. Pantai Korem
Pantai ini merekam sejarah tsunami 1996. Warga Kampung Korem, yang dulu memenuhi pinggiran pantai, pindah menjauh dari laut sejak gelombang air bah menghantam teluk.

05.Pantai Wari
Inilah pantai terlebar yang kami temukan di Biak bagian utara. Di sini, muara sungai yang kehijauan berpunggungan dengan pantai, membentuk delta berpasir nan putih.

06. Pantai Batu Pica
Laut tak pernah menyerah untuk memecahkan tebing karang yang memanjang di pantai ini.

07. Air Terjun Warsafak dan Pantai Warsa

08. Gua Jepang

09. Bengkel tifa
Di tepi Jalan Raya Bosnik, Kampung Mokmer, Biak, Anda bisa mengunjungi bengkel tifa perajin ukir Denis Koibur. Setiap hari, bengkel bernuansa rumah adat ini melatih puluhan bocah agar mencintai seni ukir yang kini makin langka di Biak.

10. Pulau Samakur

11.Pulau Meosmangguandi dan Rasi

12.Pulau Owi, Auki, dan Wundi
Ketiganya adalah pulau terdepan di Padaido. Di sini, sekitar 75 tahun lalu, tentara Sekutu membangun dermaga dan pangkalan udara untuk menyiapkan serangan ke Pulau Biak, yang dikuasai tentara Jepang. Sayang, peninggalan perang semakin sulit dijumpai lagi di atas pulau. Namun Anda bisa menyelam untuk menemukannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus