Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Secuplik Cerita dari Pulau Bunga

Pantai-pantai di Pulau Flores menyimpan panorama menakjubkan yang belum terjamah industri pariwisata. Pun keindahan ini dilengkapi mitos dan legenda yang diwariskan secara turun-temurun oleh penduduk setempat.

16 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Matheus Kasaluron bergerak lincah di antara karang dan tebing menuju Pantai Kateki, Tanjung Bunga, Flores Timur.Di satu kaki bukit karang dengan kecuraman60 derajatsetinggi tiga meter, kepalanya mendongak, matanya menyipit, mengamatititikyang bisa dijadikan pijakan. Dia berjinjit, melompat, kemudian hap, hap, hap.Kakinya mendaratdengan sempurnadi puncak karang.Dia lalumengawasi kami-fotografer Subekti dan saya-yangmendaki dengan terengah-engahsembarisibukmenyeka keringat di dahi.

Perjalanan menembus hutan dan mendaki tebing yang menguras keringat selama setengah jam itu akhirnya terbayarlunas. Kami tiba di pantai berpasirputih kecokelatandengan batu besar berdinding tajam. Hanya ada keheningankarena industri pariwisata belum menjamah tempat ini. Matheus menoleh pada satutitikdi cakrawala. "Di situlah sang naga berkepala tujuh tinggal," katanya pada awal Oktober lalu.

Sang nagayang dimaksud oleh pria 26 tahun ini adalah legenda dalam cerita rakyatdi Tanjung Bunga. Tempat tinggalnya berupa gua panjang disebut Tanabela. Saban awal tahun,ketika angin muson barat tiba, nagakeluar dari sarangnya. Dia memuntahkan rezeki untuk mereka yang mencari sumber penghidupan di laut. "Kami tinggal menyendokkan tangan ke air untuk meraup ikan," ujarnya. Sang naga berkepala tujuh,naga kotom pito,menjadi mitos yang dituturkan dari mulut ke mulut dan melekat dalam tradisi setempat.

Tanjung Bunga menjadi salah satu titik persinggahan kami dalam perjalanan darat sepanjang 400 kilometer menyusuri pantai di sepanjang timur Pulau Flores hingga menyeberang ke Pulau Adonara. Kami memulai perjalanan darat dari Kota Ende, melewati perbukitan di sekitar Danau Kelimutu, turun ke sisi selatan pulau untuk menemukan Pantai Koka yang indahnya bukan main. Dari sisi selatan, kami naik lagi menuju Kota Maumere, yang berada di sisi utara pulau. Larantuka menjadi poros tujuan kami setelah menyinggahi Pantai Koka dan sebelum mengunjungi Adonara dan Tanjung Bunga.

Soal keindahan pantai, Tanjung Bunga jangan ditanya. Daratan ini memiliki deretan pantai perawan yang menawan. Pantai Kaba, Pantai Kateki, hingga Pantai Nipa adalah surga yang menunggu di ujung utara Flores. Keindahan ini menjadi magnet bagi wisatawan dan nelayan dari penjuru Nusantara. Nelayan Bugis, Buton, hingga Maduraacapmelemparkan sauh di tengah laut lalumenepi dengan perahu kecil. Bahkan tak sedikit yangmenetap dan berbaur dengan penduduk setempat. Tapi itu cerita lama. "Setelah tsunami, tak ada lagi yang datang kemari," kata Alfonsus Jamaluruon, tokoh masyarakat Riangkeroko, perkampungan di Tanjung Bunga. Tsunami terjadi pada akhir 1992 dan mengakibatkan 137 orang tewas.

Kecamatan Tanjung Bunga adalah tempat lahirnya nama Flores.Pada 1512, di ujung tanjung ini, seorang pelaut Portugis bernama Antonio de Abreu konon menjadi orang Eropa yang tiba pertama di pulau ini. Antonio melihat bunga flamboyan merah bermekarandiseantero pulau. Seorang Portugis lain, S.M. Cabot, kemudian menyebut daratan ini dengan namaCabo das Flores, yang berarti Tanjung Bunga.Pada 1636,Gubernur Hindia Belanda Hendrik Brouwer mengesahkan nama Flores untuk pulau ini.

Matheus menuturkan kepercayaan tertinggi warga Tanjung Bungaadalah pada Lera Wulan Tanah Ekan,yang berartiTuhan Matahari, Bulan, dan Bumi. Lera Wulan diyakini sebagai penguasa langit dan Tanah Ekan merupakan sosok yang berkuasa atas bumi. Lera Wulan Tanah Ekan merupakan orang tua yang menciptakan mereka. Karena itulah merekamemegang teguh prinsipLera Wulan Tanah Ekan no-on matan yang berarti Tuhan mempunyai mata untuk melihatdan akan bertindak adil. Matheus menuturkan, semua yang ada di dunia juga bakal kembali pada sang pencipta. Ketika ada kematian, mereka akan berdoa,Lera Wulan Tanah Ekan guti na-en, Tuhan mengambil pulang milik-Nya.

Kedatangan bangsa Portugis membawa agama Katolik. Penyebaran agama ini ditandai oleh pengiriman empat misionaris Dominikan pada 1561 oleh Uskup Malaka. Lima tahun berikutnya, Pastor Antonio da Cruz mendirikan sebuah benteng di Solor dan sebuah seminari di Kota Larantuka. Jumlah penduduk Katolik di Larantuka semakin banyak tatkala Portugis ditaklukkan Belanda di Malaka pada 1641. Sejak saat itulah agama Katolik mendominasi Larantuka, yang kemudian menyebar ke seluruh daratan Flores, Adonara, hingga Pulau Timor.

Alfonsus menuturkan, meski sudah memeluk agama Katolik, tradisi penghormatan terhadap pencipta alam semesta tetap mereka jaga. Sistem kesukuan di lewotana (tempat tinggal) mengekalkan tradisi ini. Setiap perkampungan di Tanjung Bunga dihuni suku atau ama yang dibagi menjadi empat jenis berdasarkan fungsi ketika ritual adat digelar. Keempat suku itu adalah Ama Koten, Ama Kelen, Ama Marang, dan Ama Hurint, yang disebut dengan suku raja.

Suku-suku ini berperan ketika ritus memuja Lera Wuran Tanah Ekan dilangsungkan, terutama ketika upacara pengorbanan hewan. Persembahan hewan korban akan diletakkan di koke bale, rumah panggung tanpa dinding di pusat lewotana. Ama Koten bertugas memegang hewan kurban, sedangkan Ama Kelen memegang bagian belakang hewan. Adapun Ama Marang bakal membacakan doa, menceritakan asal-usul (tutu maring usu-asa) untuk mendapatkan restu leluhur. Matheus menuturkan Ama Hurint bertugas membunuh hewan. "Merekalah yang mengerti bagaimana bunyi doa-doa," kata Matheus.

Penghormatan terhadap lewotana, menurut Alfonsus, dilakukan dengan aneka ritual. Misalnya ketika ada ikan besar yang terdampar di pinggir pantai. Mereka percaya, sang penemu ikan tak boleh memakan ikanini sendirian, karena itu adalah simbol dari rezeki yang bakal datang ke seluruh kampung. Warga Tanjung Bunga akan menggelar upacara syukuran yang disebut ehiwaing jereluwo. Upacara ini biasanya dilaksanakan di rumah salah satu dari tokoh Ama Hurint. "Mereka inilah yang dituakan," kata Alfonsus.

Ritual adat digelar di nuba-nara, altar dari batu tempat pemujaan. Tetua adat akan mencincang ikan dan membagikannya. Alfonsus menuturkan, mereka percaya, jika pantangan ini dilanggar, penduduk kampung bakal ditimpa malapetaka, menderita sakit, bahkan meninggal. "Ketika ada ikan besar terdampar, kami langsung menggelar upacara ini," kata Alfonsus.

Ama-ama di Tanjung Bunga berkeyakinan laut dan bumi merupakan simbol kehadiran sang pencipta. Ada pantangan untuk menghormati itu. Ketika musim tanam tiba pada November hingga Desember,mereka dilarang membakar apa pun atau menimbulkan api di pinggir pantai.

Masa awal tanam yang penuh tantangan ini mereka sebut puroai. "Sepanjang awal musim tanam, tak boleh ada bakar-bakar ikan," kata Matheus. Pantangan ini berlangsung hingga padimulai berisi. Setelah padi mulai merunduk hingga musim panen tiba, pantangan membakar ikan tak lagi berlaku. Mereka pun akan merayakan hal ini dengan diawali doa untuk mempersembahkan hasil panen kepada penguasa alam:

Bapa Lera Wulan lodo hau
Ema Tanah Ekan gere haka
Tobo tukan
Pae bawan
Ola di ehin kae

Bapak Lera Wulan turunlah ke sini
Ibu Tanah Ekan bangkitkan ke sini
Duduklah di tengah
Hadirlah di antara kami
(Karena) kerja ladang sudah berbuah

Here di wain kae
Goong molo
Menu wahan
Nein kame mekan
Dore menu urin.

(Karena) menyadap tuak sudah berhasil
Makanlah terlebih dahulu
Minumlah mendahului kami
Barulah kami makan
Barulah kami minum kemudian

Matahari baru menyeruak dari balik gunung ketika perahu tempel yang kami tumpangi membelah SelatLarantuka yang memisahkanFlores dan Adonara. Dari tengah selat ini,kamimelihat Kota Larantuka yang bermandikan cahaya emas dengan latar Gunung Ile Mandiri. Larantuka adalah kota yang romantis. Dia mempertemukanbirunyalaut, kokohnyagunung, danterangnyalangit dalam satu jepretan kamera. Tujuan kami adalah Pantai Watotena di sisi selatandan Pantai Mekko dibagianutara Adonara.

Bertolak dari Tobilota, kami menyusuripinggir selatan Adonara. Selepas dari Tobilota, jalanan masih mulus. Lima menit kemudian,aspal terkelupas, jalan tanah berbatu ditambah topografi di perbukitan yang berkelok seperti ular melilit.

Kecemasanpunmendera saat sepeda motor kami terus-menerus dihajar jalanan seperti ini. Bukan tak mungkin ban motor ini bakal bocor. Dan rasa waswasini menjadi kenyataan di Desa Samasoge, sejam perjalanan dari Tobilota. Hari belum terang betul ketika ban kami kempis. Adonara bukanlah pulau yang bergegas. Tak ada pengendara lain yang melintas. Tak ada tanda-tanda rumah penduduk.

Orang pertama yang kami temui adalah gadis kecil yang berangkat ke sekolah. Wajahnya takut-takut memandang saat kami bertanya. Dia hanya menggeleng saat ditanya apakah ada bengkel di wilayah tersebut. Setelah terseok-seok pelan selama setengah jam, kami baru menemukan bengkel di Desa Klukengnuking.

Jalanan setelahWaiwerang, kelurahan paling ramai di Adonara,amat mulus dan sepi sehinggakami menggeber motor dengan leluasa. Dari WaiwerangkePantai Watotena diDesa Bedalewun, Kecamatan Ile Boleng,membutuhkan waktu setengah jam.Dari jalan utama, kami menempuh jalanan berkerikil penuh debu menuju bibir pantai selama 10 menit. Kami kembali ekstrahati-hati karena tak ingin ban bocor kedua kali.

Perjalanan ini terpuaskan dengan deburan ombak dan hamparan pasir putih. Nun jauh di horizon selatan, perbukitan Pulau Solor kukuh berdiri. Pantai Watotena berkarang tajam. Di atas karang, warga Bedalewun membangun balai-balai. Watotena berasal dari kataWatoyang artinya batu danTenayang bermakna perahu. Dari Watotena, kami beranjak ke Pantai Mekko.

Sementara Watotena berada di sisi selatan Adonara, Pantai Mekko berada di sisi utara pulau. Kondisi jalan sebagian besar masih berbatu. Aspal ada, tapitak rata. Kepada seorang penduduk kami bertanya bagaimana carake Pantai Mekko. Dia menjawab, belok kanan di pertigaan Witihama.Kami bertanya lebih detail, tapi dia memberi jawaban yang sama.Baiklah, itulah satu-satunya petunjuk yang kami miliki.Kami mestibertanya berkali-kali kepada sejumlah orang,memastikan agar satu-satunya panduan itu tak terlampaui.

Dari Witihama, sepeda motor kami mestimelalui jalan semen, jalan berbatu kemudian berakhir jalan tanah dengan batu-batu menonjol. Kemampuan mengendarai motor dan navigasi benar-benar diuji sebab ada persimpangan yang membingungkan.

Beruntung, di tengah jalan kami bertemu dengan Hendrik, seorang warga Mekko yang membeli air dari kampung sebelah. Dialah yang akhirnya memandu kami menuju Pantai Mekko. Risikonya, kami mesti rela menerima kepulan debu karena berada di belakang sepeda motornya.

Dari Pantai Mekko, kami harus menyewa perahu untuk bisa menyeberang ke Pulau Mekko. Nelayan yang mengantar kami, Ismail Waimahi, berasal dari Sulawesi Selatan. Dia lahir dan besar di kampung ini. Nenek moyangnya bersuku Wajo (atau Bajo). Dia tak mengetahui sejak kapan suku Wajo sudah membangun perkampungan di pesisir ini.

Arus bawah laut menuju Pulau Mekko amat kencang. Ismail menunjuk satu kapal penumpang yang karam di sisi barat pulau. Sudah berbulan-bulan kapal tersebut karam tanpa diambil pemiliknya. "Kapal dari Bali," kata Ismail. Selat yang memisahkan pulau tak dalam amat, karena kami bisa melihat terumbu karang dari atas perahu.

Pulau Mekko merupakan pulau pasir putih seluas lapangan bola. Dari kejauhan, terlihat burung camar bermain dan beterbangan di pulau ini. Mereka berhamburan ketika kami berlabuh di tepi pulau.Airnya di sekeliling pulau birukehijauan dengan pasirnya halusmenyilaukan mata.

Ismail mengatakan banyak wisatawan asing datang ke Pulau Mekko tapi tak melewati desanya. "Mereka memarkir kapal pesiarnya di tengah laut," ujarnya. Dari Pulau Mekko, kami menyusuri laut, kemudian mengelilingi pulau kembar yang disebut Watopeni. Tidak ada penduduk di pulau dengan pasir putih ini. Diving dansnorkelingtidak disarankan di perairan berarus deras ini.

Setelah seharian berada di Pantai Mekko, kami beranjak pulang. Kami mengejar kapal terakhir di Waiwerang yang berangkat pukul setengah tiga sore. Kali ini giliran fotograferTempoSubekti yang memegang kendali perjalanan. Kembali kami melewati jalan tanah berbatu besar yang menyembul di sepanjang jalan. Tidak ada pilihan lain.

Nahas, belum jauh lepas dari kampung Mekko, sepeda motor kami menghantam batu besar.Braaak! Terdengar bunyi besi beradu dengan batu. Saat kami cek, penyangga persneling patah. Kami saling pandang. Cemas. Seingat kami, di sepanjang jalan ini tak ada satu pun bengkel. Kami melongok bagian bawah motor, berharap masih bisa diakali. Beruntung, persneling bisa dipindahkan dengan tangan asalkan besi yang patah dipasang manual.

Subekti menghajar jalanan menanjak dan menurun dengan gigi satu atau dua. Begitu melihat jalanan mendatar, kami berhenti, turun dari motor,memindahkan persneling ke gigi empat dengan tangan, lalu berangkat lagi.Ritual yang sama kembali kami lakukan saat motor sudah mulai meraung-raung di tanjakan. Begitu terus sepanjang perjalanan hingga Waiwerang.

Di dalam kapal ke Larantuka, kami terbahak-bahak mengingat momen menegangkan itu.Goin'Where the Wind Blows-nyaMr. Big sayup-sayup terdengar dari ruang kemudi."Here I sit halfway to somewhere, thinking about what's in front of me and what I left behind...."


Banyak Jalan Menuju Flores

Nusa Tenggara Timur tidak lagi sepenuhnya tertinggal seperti bayangan masa lalu. Semua kabupaten memiliki bandar udara. Jalanan mulus, meskipun bentuknya membuat pening kepala. Tidak susah datang dan pergi ke wilayah yang sangat ramah ini.

TRANSPORTASI

Udara
Cara termudah mencapai Flores dari Jakarta adalah penerbangan melalui Kupang. Dari Kupang, kita tinggal memilih mau ke mana karena semua kabupaten memiliki bandara. Harga tiket dari Kupang ke kabupaten-kabupaten bervariasi, mulai sekitar Rp 500 ribu. Kami memilih terbang menuju Ende agar perjalanan darat bisa lebih panjang.
Pilihan lain ke Flores adalah melalui Denpasar. Sejumlah maskapai penerbangan melayani rute Denpasar ke Labuan Bajo, sisi barat Pulau Flores. Dari Labuan Bajo, pesawat kemudian terbang lagi ke kabupaten lain, seperti Ende.

Transportasi lokal
- Tidak ada angkutan umum di Bandara H. Hasan Aroeboesman, Kota Ende. Namun kita akan mudah menemukan taksi gelap yang menawarkan harga Rp 50-100 ribu tergantung jarak tempuh.
- Agar praktis, sebaiknya sewalah kendaraan roda empat bertarif Rp 800 ribu-1 juta per hari, termasuk sopir. Kendaraan sewaan mudah ditemukan di bandara, terutama pada jam-jam kedatangan pesawat.
- Perjalanan dari Ende ke Larantuka via Maumere membutuhkan tujuh-delapan jam. Rute ini dilayani oleh bus antarkota dengan tarif Rp 80 ribu. Jalan Trans Flores saat ini sedang diperbaiki di beberapa titik dan berpotensi memperpanjang waktu perjalanan. Sejumlah titik di ujung timur Flores, seperti Adonara, Solor, dan Tanjung Bunga, lebih mudah dicapai via Larantuka.
- Pulau Adonara terletak di sebelah timur Flores. Ada dua opsi penyeberangan, yakni melalui Pelabuhan Tobilota atau Waiwerang. Perahu ke Tobilota tersedia setiap saat sejak subuh hingga malam dengan waktu tempuh selama 15 menit dan tarif Rp 15 ribu. Sedangkan penyeberangan ke Waiwerang hanya tersedia pada jam tertentu dengan waktu tempuh dua jam perjalanan. Tarif ke Waiwerang Rp 35 ribu.
-Di Adonara, ada angkutan umum berupa mobil terbuka tapi tak menjangkau seluruh jalanan di pulau ini. Agar lebih leluasa, sewalah sepeda motor di Larantuka dengan tarif Rp 150-250 ribu per hari. Jika tak mau repot, bisa juga memakai jasa tukang ojek di Pelabuhan Larantuka. AKOMODASI
- Di Kota Ende, ada sejumlah penginapan di dekat bandara, seperti Hotel Safari dan Hotel Nurjaya. Tarif penginapan di sekitar Ende Rp 250-300 ribu lengkap dengan penyejuk udara dan air panas.
- Penginapan terdekat di Pantai Koka berada di Kota Maumere dengan tarif Rp 250-350 ribu per malam. Ada sejumlah warung kecil di pantai ini. Namun, sebaiknya, isilah perut jika ingin menghabiskan hari di pantai ini.
- Di Larantuka, ada banyak hotel dekat pelabuhan dengan tarif Rp 300-500 ribu. Tinggal tanya penduduk setempat, kita akan ditunjukkan hotel yang sesuai dengan bujet kita.
- Wilayah Tanjung Bunga amat terpencil. Tidak ada penginapan atau hotel sehingga bila ingin menginap mesti di rumah penduduk. Jika hendak bepergian ke sana, bawalah logistik memadai karena tak ada warung makanan.
- Di Adonara, tak ada penginapan yang representatif. Umumnya turis menginap di Larantuka. Di Pantai Watoteta dan Pantai Mekko juga tak ada warung makan. Karena itu, persiapkan logistik secukupnya, terutama air untuk mencegah dehidrasi sepanjang perjalanan.

KULINER
-Tidak ada makanan istimewa yang bisa dinikmati di Larantuka ataupun Adonara. Pedagang kebanyakan berasal dari Jawa, yang menjual pecel, bakso, dan soto Lamongan.

GUIDE
-Menikmati pantai di sepanjang Flores tidak sulit. Jalan tidak terlalu rumit sehingga kita tak gampang tersesat. Jika butuh pemandu, sewa kendaraan sekaligus sopir. Mereka akan menjadi penunjuk jalan yang ciamik.

ATM
-Anjungan tunai mandiri (ATM) Bank BNI dan Bank Mandiri tersedia terbatas di ibu kota kabupaten. Sebaiknya bawa uang tunai secukupnya.

Menikmati Cabo das Flores

Menyusuri ratusan kilometer pesisir timur Pulau Flores adalah menyediakan diri untuk menikmati keindahan. Di balik jalannya yang keriting berkelok-kelok dan keringnya pegunungan, pulau ini menawarkan aneka pantai yang menawan. Jangan lupakan juga perbukitan dengan gereja yang sunyi di Kecamatan Nita. Keheningan adalah saat terbaik memanjatkan doa-doa.

01. Rumah Pengasingan Bung Karno
Rumah ini menjadi saksi sejarah ketika Sukarno diasingkan ke Ende pada 14 Januari 1934-18 Oktober 1938. Bung Karno diasingkan bersama istrinya, Inggit Garnasih; anak angkatnya, Ratna Djuami; dan mertuanya, Ibu Amsi. Di kota inilah Bung Karno merenungkan lima dasar yang kini dikenal dengan Pancasila.

02. Bukit Nilo
Patung Maria Bunda Segala Bangsa berdiri kokoh di Bukit Nilo, Desa Wuliwutik, Kecamatan Nita. Jalan berkelok, sempit dengan bukit terjal, adalah rute yang mesti ditempuh jika hendak datang ke tempat ibadah ini. Patung ini menjulang karena berfondasi 18 meter. Tinggi patung 28 meter dan berat 6 ton. Dari puncak bukit, kita bisa melihat Kota Maumere yang memunggungi laut Flores sembari menikmati semilir angin.

03. Pantai Paga
Pantai ini terletak di sebelah timur Pantai Koka, berjarak 10 menit perjalanan. Di puncak bukit, terdapat patung Yesus setinggi 15 meter sedang mengangkat kedua tangannya ke langit. Wajahnya menghadap ke pantai dengan pakaian putih dan jubah melambai-lambai. Dari puncak bukit ini, kita bisa melihat tambatan perahu nelayan Desa Paga di pesisir selatan.

04. Danau Kelimutu
Danau melegenda yang berjarak satu jam perjalanan dari Kota Ende. Memiliki puncak kawah tiga warna, Kelimutu dipercaya menjadi tempat bersemayam jiwa atau mae setelah meninggalkan raga. Di sinilah jiwa akan berdiam selama-lamanya.Datanglah saat gelap di ujung dinihari. Puncak kawah Kelimutu menjadi salah satu tempat terbaik menikmati matahari terbit.

05. Pantai Waiterang
Salah satu lokasi favorit menikmati matahari menuju peraduan. Pantai berpasir hitam ini terletak di sebelah timur Kota Maumere, sekitar 30 menit perjalanan. Dari pantai ini, kita bisa melihat kepala Pulau Flores di timur laut. Di pantai ini terdapat taman laut yang merupakan bagian dari gugusan Teluk Maumere. Sayang, tak ada fasilitas pendukung wisata apa pun di pantai. Satu-satunya warung hanya menjual camilan ala kadarnya.

06. Pantai Weri
Jika ingin menikmati matahari terbit di Kota Larantuka, datanglah ke Pantai Weri. Dari ufuk timur, semburat cahaya keemasan akan muncul dari balik pegunungan Pulau Adonara. Pantai terletak di sisi utara Kota Larantuka, sekitar 15 menit perjalanan menggunakan kendaraan bermotor. Untuk mencegah abrasi, pantai berpasir putih kecokelatan ini kini dipagari beton oleh pemerintah setempat.

07. Pantai Bluhu
Pantai yang masih sangat perawan. Tidak ada siapa pun yang menjamah pantai ini selain nelayan Desa Bahinga, Tanjung Bunga. Pantai berpasir putih ini tak kalah indahnya dibanding pantai-pantai di Bali. Nyiur di pinggir pantai, ombak tipis-tipis, air yang jernih, dan pasir putih lembut menyilaukan mata jika terkena cahaya matahari adalah daya tarik pantai ini.

08. Pulau Watopeni dan Keroko
Dua pulau ini terletak tak jauh dari Mekko, pulau berpasir putih tak berpenghuni. Aktivitas yang bisa dilakukan adalah memancing atau berjemur di bibir pantai. Menyelam tak dianjurkan karena arus laut yang begitu kencang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus