SUNGAI Ciliwung tampak dangkal, jinak dan bersahabat. Tapi
ternyata tidak selalu begitu. Bila curah hujan di Bogor di musim
pancaroba (Maret sampai Mei) turun, sungai itu bisa meluap
tibatiba seperti kejadian 17 Mei. Tiga nyawa Minggu siang itu
-- ketika berpiknik di Kebun Raya -- ditelan Sungai Ciliwung.
Mereka adalah dr. Faried Bakry Lakshamana (36 tahun) dan dua
anaknya, Farah Shahrani (9 tahun) dan Muhamad Nurul (4 tahun).
Banjir mendadak ini sudah laim terjadi di aliran Ciliwung --
hampir tiap musim pancaroba. Tahun 1980, juga dalam Mei, air
Ciliwung melanda Kebun Raya dengan ganas. Untung kejadiannya
malam hari. Tak ada korban jiwa waktu itU. Tapi akibat banjir
mendadak, ditambah air bah rutin, pernah dikeluarkan biaya Rp 75
juta untuk memperbaiki tebing di pinggir kali sepanjang Kebun
Raya.
Menurut Ir. Achmad Lanti, Wakil Pemimpin Proyek Pengendalian
Banjir Jakata Raya, banjir mendadak ini akibat curah hujan yang
tinggi di Gunung Pangrango -- hulu Sungai Ciliwung. Terutama di
musim pancaroba " curah hujan di sana mencapai 3.600 mm per
tahun," katanya. Sedang "Sungai Ciliwung itu sempit dan terjal."
Dari Katulampa (hulu Sungai Ciliwung) sampai ke Bogor
ditaksirnya kecepatan gerak air bisa mencapai 33 km per jam.
Katulampa terletak pada ketinggian 298 m di atas permukaan laut,
dibanding Bogor 230 m. Tapi kemiringannya, kata Achmad, mencapai
7,6% -- "tinggi sekali." Antara Bogor-Depok kemiringan Sungai
Ciliwung cuma 0,3% dan untuk jarak 70 km itu titik air
memerlukan waktu tiga jam.
Jika antara Kebun Raya dan pos monitor debit air di Katulampa
ada komunikasi, datangnya air bah tersebut mungkin dapat segera
diketahui. "Waktu 70 menit rasanya cukup untuk memberitahu
pengunjung Kebun Raya akan datangnya bahaya. Dan mungkin mereka
bisa segera menjauh dari airan sungai," kata Achmad. Tapi
komunikasi itu belum dljadikan prioritas. Belum pernah
terpikirkan oleh petugas di Katulampa -- mungkin karena belum
ada instruksi atasannya -- untuk menelepon Kebun Raya atau Pemda
Bogor bila air bah dari hulu mengancam.
Pihak Kebun Raya tak pula memasang pengumuman (larangan
bermain-main di air) di pinggir Sungai Ciliwung. "Agak sulit
memasang pengumuman seperti itu," kata Kepala Kebun Raya Dr.
Made Sri Prana. "Panjang Sungai Ciliwung yang melalui Kebun Raya
mencapai satu kilometer." Tapi ia berjanji akan memasang
pengumuman itu sedikitnya di dua tempat. Mungkin dekat jembatan
gantung dan jembatan besar. "Karena di kedua tempat ini
pengunjung gampang sekali mencapai kali," kata Made.
Walaupun banjir datang mendadak dan deras, orang masih mungkin
menyelamatkan diri ke tepi -- tentu saja jika ia bisa berenang.
Tapi aliran Sungai Ciliwung di Kebun Raya dipenuhi oleh
batu-batu besar (tempat ini sangat disukai pengunjung berpotret)
menyebabkan kemungkinan penyelamatan Jadi kecil. "Sekali
kepalanya terantuk ke batu, ia tentu tak bisa lagi berenang,"
lanjut Made. Pada mayat Faried dan kedua anaknya memang terlihat
tanda-tanda memar di kepala.
Dari pihak Ditjen Pengairan PU ada rencana menyondet Sungai
Ciliwung guna mengurangi arusnya. "Akan dialirkan airnya ke
Sungai Cisadane," kata Achmad, hingga dapat dimanfaatkan untuk
irigasi di kawasan Tangerang.
Kecelakaan di Kebun Raya seringkali tak hanva akibat air bah.
Sebagian pengunjung memakai sepatu roda, lantas tergelincir dan
menabrak pohon. Tapi tahun ini -- sebelum Faried dan keluarga --
adalah Jusman Tanjung (21 tahun) dan seorang bocah putra
seorang pegawai Istana Bogor yang jadi korban Ciliwung di Kebun
Raya.
Korban Ciliwung umumnya pendatang. Jarang penduduk di sekitar
kali itu hanyut terbawa arus mendadak. Rupanya penduduk setempat
sudah paham sekali akan perilaku Ciliwung. "Jika mendung di
hulu, tak ada lagi penduduk yang bermain di kali," kata Achmad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini