Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERBEDA dengan kebanyakan pejabat eselon satu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Muhammad Lutfi selalu dilibatkan dalam sidang kabinet. Kendaraan dinasnya juga sama dengan tunggangan para menteri: Toyota Camry hitam. Undangundang menyebutkan ia bertanggung jawab langsung kepada presiden. ”Saya selalu diundang ikut rapat kabinet,” kata Lutfi, 40 tahun, Kamis pekan lalu.
Menduduki posisi ini empat tahun terakhir, Lutfi bercerita tentang kinerja moncer lembaga yang dipimpinnya. Realisasi penanaman modal domestik dan asing dibanding tahun lalu melonjak sekitar US$ 5 miliar menjadi US$ 17 miliar. Waktu pengurusan segala jenis izin dicukur dari 70 hari menjadi cuma lima hari.
Sampai ke posisinya sekarang, Lutfi tak cuma bekerja keras, tapi juga jeli memilih kubu. Awalnya adalah perhelatan besar Himpunan Pengusaha Muda Indonesia di Hotel Intercontinental Jimbaran, Bali, pada 2002 tentang kepemimpinan masa depan. Saat itu Lutfi mengomandani organisasi yang menaungi para pengusaha di bawah 40 tahun tersebut.
Tak kurang dari 500 pengusaha muda hadir. Datang juga Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono dan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Jusuf Kalla. Belakangan keduanya berduet pada pemilihan presiden 2004. Acara ini digagas untuk mencari terobosan kepemimpinan nasional yang peduli kepada dunia usaha. ”Saat itu pemerintah terkesan kurang peduli kepada dunia usaha,” kata Lutfi.
Seusai acara, tak ada deklarasi dukungan atau pengumpulan dana secara terbuka. ”Segan sama incumbent,” kata Lutfi. Yang dimaksudnya adalah pemerintah Megawati Soekarnoputri. Menurut Herman Heru, Sekretaris Jenderal Himpunan Pengusaha Muda Indonesia saat itu, banyak pengusaha mendukung SBYJK secara individual.
Mereka ini lalu merogoh kantong buat dana kampanye Yudhoyono. ”Saya ikut bantu atribut kampanye Rp 50 jutalah,” ujar seorang pengusaha. Lutfi sendiri tak menyebutkan berapa fulus yang sudah digelontorkannya. Lebih dari itu, ”Saya kan punya jaringan ke organisasi Islam,” katanya.
Menggunakan hubungan dekatnya dengan Ketua Umum Partai Bulan Bintang Yusril Ihza Mahendra, Lutfi ikut menggaet partai ini menjadi pengusung Yudhoyono. Lutfi juga mengaku menggamit Presiden Partai Keadilan Sejahtera Hidayat Nur Wahid untuk bergabung dalam koalisi SBYJK pada putaran kedua pemilihan presiden.
Menurut pendiri Grup Mahaka ini, ia merapat ke kubu Yudhoyono setelah diajak Sudi Silalahi—kala itu sekretaris Yudhoyono di Kementerian Politik dan Keamanan. Dalam tim kampanye, Lutfi kebagian tugas mengurusi media massa. Tugas yang tak aneh, karena selain menggeluti bisnis pertambangan, perdagangan, dan keuangan, Mahaka memiliki saham di harian Republika. Grup Mahaka didirikan Lutfi bersama Erick Tohir, Wishnu Wardhana, dan R. Harry Zulnardy.
Setelah Yudhoyono naik takhta, Lutfi mengaku dua kali pamit kepada Yudhoyono karena ingin kembali berbisnis. Namun, dalam suatu percakapan di rumah pribadi Presiden di Cikeas, ia mendapat sinyal lain. ”Pada saatnya, Mas Lutfi nanti belajar di pemerintahan,” kata Yudhoyono. Janji itu tak diingkari Presiden. Setahun setelah pertemuan itu, Lutfi didapuk duduk di Badan Koordinasi Penanaman Modal menggantikan Theo F. Toemion, kepala yang lama.
BERBEDA dengan Lutfi, baru setahun terakhir Djali Yusuf, 60 tahun, masuk lingkaran kekuasaan. Koordinator Pengamanan dan Pengawasan Kampanye SBYJK pada pemilihan presiden 2004 ini tahun lalu ”masuk Istana” sebagai anggota staf khusus Presiden bidang komunikasi politik dan kebijakan menggantikan Yenny Wahid.
Seusai Pemilu 2004, Djali—bekas Panglima Daerah Militer Iskandar Muda berpangkat mayor jenderal—sempat ditanyai SBY tentang rencana hidupnya. Ia berujar mantap: ikut pemilihan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam. Yudhoyono mengangguk. Berbekal restu itu, Djali mengumpulkan tim dan menggalang dana. Namun, pada pemilihan gubernur 2006, Djali kalah.
Djali lalu mengembangkan bisnis perusahaan sekuriti 911 dengan sesama bekas anggota tim sukses. PT Sinar Mas, perusahaan kakap pengolahan bubur kertas dan perkebunan sawit, digaet menjadi klien. Sebuah kontrak menjaga keamanan perkebunan sawit di Riau lantas dikantongi. Ketika itu, jumlah pegawai lapangan sekitar 2.000 orang.
Sebuah telepon dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuatnya segera hengkang dari bisnis jasa pengamanan ini. ”Saya minta Mas Djali untuk membantu saya,” kata Presiden. Djali langsung mengiyakan. Jadilah ia anggota staf khusus Presiden yang berkantor di lantai dua bekas gedung Dewan Pertimbangan Agung.
Djali bercerita, saat menjadi koordinator pengamanan SBY, ia melibatkan perusahaan sekuriti 911, yang bermarkas di Gedung Putra Kalimantan, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Tugasnya sederhana, mendeteksi kemungkinan bahaya di lokasi kampanye. ”Kami mendengarkan percakapan di lapangan,” katanya.
Sekarang Djali menggunakan lagi kemampuan militernya: menggalang relawan bagi SBYBoediono. Di tim kampanye, ia tercatat sebagai salah satu koordinator. ”Saya menangani relawan di luar jalur agama,” katanya Rabu pekan lalu.
BERLATAR belakang militer seperti Djali Yusuf, Letnan Jenderal Purnawirawan Muhammad Yasin juga masuk tim kampanye SBYJK pada pemilihan 2004. Bedanya, ia tak masuk struktur resmi karena masih tentara aktif. Saat SBY menjabat Menteri Koordinator Politik dan Keamanan, Yasin merupakan salah satu deputi.
Menurut Edysa Girsang, pengurus Partai Karya Perjuangan—partai yang belakangan didirikan Yasin—bosnya membentuk Tim Citra pada kampanye 2004. Tim ini tak resmi dan bertugas memoles citra Yudhoyono di tingkat bawah dengan cara membuat selebaran riwayat hidup singkat Yudhoyono. Kartu nama bergambar sang kandidat ikut ditebar. Yasin menguras isi koceknya untuk Yudhoyono. ”Pak Yasin sempat berutang Rp 300 jutaan ke percetakan,” kata Edysa.
Seusai pemilihan presiden, Yasin dipercaya menjadi Sekretaris Jenderal Dewan Pertahanan Nasional, yang bertanggung jawab langsung ke presiden. Ia juga didapuk sebagai Komisaris Utama PT Rajawali Nusantara Indonesia. Namanya sempat berembus akan menggantikan Menteri Dalam Negeri M. Ma’ruf, yang tengah gering. Namun ia tersingkir karena Presiden lebih memilih Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto.
Soal ini, Edysa mengaku sempat berbicara kepada Yasin. ”Ini seperti teori tiup balon, Bang,” kata Edysa kepada Yasin. ”Ditiup dulu, lalu dikempiskan.” Menurut Edysa, melihat jasa Yasin saat kampanye, bosnya itu layak mendapat posisi penting dalam pemerintahan.
Tapi nasib baik itu tak datang. Setelah Yasin mendirikan partai sendiri, hubungannya dengan Yudhoyono makin renggang. Belakangan, Yasin merapat ke kubu MegawatiPrabowo. Di sini, ia dipercaya menjadi koordinator penggalangan massa. Yasin dan SBY kali ini berhadaphadapan.
Budi Riza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo