Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tokoh

<font color=#FF0000>Omar Dani</font> Panglima Termuda, Lalu Terpidana

Dia datang dari keluarga priayi di Solo. Mengikatkan diri pada Angkatan Udara pada akhir 1950, perjalanan kariernya begitu melesat. Belum genap 38 tahun, dia diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Udara. Peristiwa G30S menjungkirkan karier Laksamana Madya Omar Dani. Dituduh terlibat pemberontakan Partai Komunis Indonesia, ia menghabiskan hampir sepertiga hidup sebagai tahanan politik. Tempo menemui Omar, 85 tahun, selepas melewati masa kritis akibat penyakit hepatitis C. Ia menceritakan kembali Peristiwa 30 September dan hubungannya dengan Soeharto.

15 Juni 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

”… menghukum tertuduh dengan hukuman mati dengan tambahan mencabut haknya atas pemilikan sejumlah tanda jasa, memecat tidak dengan hormat dari pangkat dan segala jabatannya.”

LEBIH dari 40 tahun sudah peristiwa itu berlalu. Tapi kalimat demi kalimat yang meluncur dari mulut hakim Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) itu masih terus terngiang di kepalanya. Hari itu Sabtu, 24 Desember 1966, di gedung Mahmilub (sekarang Bappenas, Jakarta), vonis dijatuhkan. Hakim menyatakan dia terbukti bersalah melakukan pemberontakan dan pemufakatan jahat untuk melakukan makar terhadap pemerintah Indonesia pada 30 September 1965. Kariernya hancur lebur.

Dialah Omar Dani, Menteri/Panglima Angkatan Udara 1962-1965. Usianya sekarang 85 tahun. Di sebuah rumah di kawasan Buncit Indah, Jakarta Selatan, Omar melewati hari tua bersama sang istri, Sri Setiani, 72 tahun, janda Komodor Udara Soesanto, yang dinikahi enam tahun lalu. Istri pertama Omar Dani, Sri Wuryanti, telah meninggal pada 1998, tiga tahun setelah Omar bebas dari penjara. Sesekali dia berkumpul dengan empat anak, sembilan cucu, dan seorang cicit. Sekadar bersenda-gurau atau berkaraoke bersama.

Ketika Tempo berkunjung ke rumahnya pada Mei lalu, Omar baru dua minggu keluar dari Rumah Sakit Tebet, Jakarta Selatan. Hepatitis C, penyakit yang diidap sejak di penjara, kembali kambuh. Jantung dan lambungnya juga bermasalah. Selama sebulan dia dirawat, sepuluh hari di antaranya di ruang ICU. ”Kondisinya waktu itu sangat parah. Bapak sempat koma,” kata Chica, salah seorang putrinya.

Walau telah kembali ke rumah, Omar masih terus ditopang obat-obatan. Usus dan lambungnya cuma bisa menerima susu dan bubur khusus. Dia hanya bisa berbaring di dipan rumah sakit yang diboyong keluarganya ke kamarnya. Sebuah televisi 21 inci diletakkan di atas lemari persis menghadap tempat tidur dan jadi sumber hiburannya, dari berita sampai reality show. Tubuh lelaki yang dulu dikenal sebagai pria berperawakan tinggi tegap dan berwajah setampan pemain film asal Mesir, Omar Sharif, itu terlihat kurus. Dari balik selimut, Omar memperlihatkan kedua tungkainya yang menghitam dan sedikit bengkak karena gangguan pembuluh darah.

Meskipun mulai kesulitan berbicara, Omar masih ingat hampir semua peristiwa yang dialaminya. Tapi peristiwa yang paling dia ingat adalah vonis di depan mahkamah militer tersebut. ”Pas sidang Mahmilub, saya sedang berpuasa. Waktu itu Ramadan pada Desember, tepat pada malam Natal. Begitu palu hakim diketukkan, tepat pukul 12.00 malam, lonceng gereja di samping gedung Mahmilub berbunyi. Dipersatukannya peristiwa suci dua agama itu memberi saya keyakinan bahwa Allah bersamaku, aku yakin tidak akan didor,” katanya.

Keyakinannya memang terbukti. Pada 14 Desember 1982, dia mendapat grasi, hukumannya berubah menjadi penjara seumur hidup. Pada 1995, dia dibebaskan. Lewat buku berjudul Tuhan, Pergunakanlah Hati, Pikiran, dan Tanganku, yang diluncurkan pada Februari 2001, dia mengungkapkan kesaksiannya tentang Peristiwa September 1965. Buku yang ditulis oleh Benedicta A. Surodjo dan J.M.V. Soeparno itu sebagian merupakan pleidoinya di depan Mahmilub.

”Sekarang saya, Omar Dani, yang menjadi omongan orang se-Indonesia, sudah selesai menjalani hukuman. Vonisnya hukuman mati, tapi saya tidak jadi didor.” Kata-kata itu berulang kali meluncur dari mulutnya.

Sepertiga kisah hidupnya adalah cerita tentang penderitaan. Tapi semua diceritakan dengan datar, tanpa emosi, malah diimbuhi derai tawa. Tapi sang istri mengatakan pengalaman hampir 30 tahun terasing di penjara menyisakan beban traumatis pada Daned, begitu Omar biasa disapa. ”Dia memang tak pernah bilang. Tapi secara tersirat perasaan trauma itu kelihatan, terutama akhir-akhir ini, ketika kesehatannya makin menurun,” katanya.

l l l

Omar Dani dilahirkan di Solo, Jawa Tengah, pada 23 Januari 1924 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Ayahnya, Kanjeng Raden Tumenggung Reksonegoro, seorang bupati di daerah Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Kakeknya, Kanjeng Raden Tumenggung Mangoennagoro, menjabat Bupati Surakarta. Dibanding anak-anak lain, Omar tergolong beruntung karena bisa mengecap pendidikan lengkap: dari Hollands Javaansche School—sekolah dasar zaman Hindia Belanda di Klaseman, Klaten—hingga AMS jurusan ilmu pasti di Yogyakarta.

Di bangku AMS itulah Omar mulai ”mengenal” Bung Karno. Suatu waktu seseorang menawarkan buku pidato pembelaan Soekarno di depan sidang Landraad, Bandung, pada 1930. ”Buku itu ditulis dalam dua bahasa dalam satu halaman, bagian kanan Melayu, kiri Belanda,” kata Omar. Buku berjudul Indonesia Menggugat itu membuat Omar kagum kepada tokoh yang dipujanya sejak kanak-kanak.

Omar tak sempat menamatkan sekolah di AMS karena pada 1942 bala tentara Jepang datang dan menutup sekolah tersebut. Dia bekerja di perkebunan Rosella milik Belanda. Ketika Proklamasi Kemerdekaan dibacakan, Omar bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat di Salatiga dan Klaten.

Selanjutnya hidup Omar berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain, berganti-ganti pekerjaan. ”Dia pernah menjadi penerjemah dan pembaca berita dalam bahasa Inggris di Radio Republik Indonesia Tawangmangu dan Jakarta, informan Markas Besar Tentara, sampai pegawai Javasche Bank (sekarang Bank Indonesia),” ujar Soeparno, salah seorang penulis bukunya. Pekerjaan nonformal juga pernah dilakoninya, seperti juru gambar denah kantor, tukang obat keliling, dan tukang reparasi listrik.

Pada Juli 1950, ketika usianya 26 tahun, sebuah pengumuman dari Angkatan Udara muncul di surat kabar. Isinya ajakan pada pemuda Indonesia mengikuti pendidikan penerbangan. ”Saya langsung mendaftar dan ternyata lulus,” kata pria yang fasih bahasa Inggris, Belanda, Prancis, dan Jerman ini. Pada November 1950, bersama 59 pemuda lain, dia terbang ke Amerika Serikat sebagai kadet penerbang di sekolah penerbang sipil Transocean Air Lines Oakland Airport (TALOA) di California.

Inilah awal karier Omar di Angkatan Udara. Kembali ke Tanah Air pada 1952, Omar langsung diberi tugas sebagai kopilot pesawat Dakota, Skuadron 2 di Pangkalan Udara Cililitan. Setahun kemudian dia menjadi kapten pilot. Dia juga dikirim Angkatan Udara mengikuti pendidikan staf komando di Royal Air Force Staff College di Andover, Inggris, selama setahun. Pulang dari sana, Omar diangkat sebagai Asisten Perwira Staf Udara Bidang Operasi, Latihan, dan Pangkalan Udara. Ia terlibat operasi udara menumpas pemberontakan PRRI di Sumatera dan pemberontakan Permesta di Sulawesi Utara.

Puncaknya, pada 19 Januari 1962, ketika usianya belum genap 38 tahun, Omar dilantik menjadi Menteri/Kepala Staf Angkatan Udara, yang selanjutnya berubah menjadi Menteri/Panglima Angkatan Udara (Menpangau). Dia menggantikan Laksamana Udara Surjadi Suryadarma. Pangkatnya naik dari kolonel menjadi laksamana madya udara. Dia menjadi panglima termuda.

Hubungan Soekarno dengan Angkatan Udara makin akrab sejak Omar menjadi Menteri/Panglima Angkatan Udara. ”Bung Karno sampai hafal hampir semua personel Angkatan Udara,” ujar Soeparno. Dari sini kekaguman Omar kepada Soekarno pun berubah menjadi loyalitas. ”Omar Dani itu pengagum Soekarno tanpa reserve,” kata sejarawan Asvi Warman Adam.

Omar mendukung Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis) yang merupakan ajaran Bung Karno. ”Nasakom waktu itu untuk merekatkan seluruh masyarakat yang terdiri dari berbagai golongan nasionalis, agama, dan komunis. Bukan untuk mengkomuniskan masyarakat,” Omar mengungkapkan.

Saleh Basarah, Kepala Staf Angkatan Udara periode 1973-1978, mengatakan salah satu bentuk loyalitas Omar kepada Soekarno terlihat pada saat operasi pembebasan Irian Barat. ”Dia meminta anak buahnya bekerja habis-habisan. Yang tak pernah terbang disuruh terbang lagi. Semua pesawat yang dimiliki Angkatan Udara disiapkan,” ucap Saleh, mengenang teman seangkatannya di TALOA itu.

Angkatan Udara Indonesia waktu itu dikenal paling disegani di wilayah Asia belahan selatan. Sejumlah alat tempur canggih seperti pesawat pengebom taktis IL-28, B-25, dan B-26, serta pesawat pengebom strategis TU 16 KS dimiliki angkatan ini. Kejayaan Angkatan Udara memudar setelah peristiwa G30S.

l l l

Omar tak percaya, rapat malam itu di kediaman resminya di Wisma Angkasa, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, bakal berbuah bencana. Syahdan, 30 September 1965, sekitar pukul 20.00, Omar mengundang deputinya berkumpul. Agustinus Andoko, Deputi Logistik, mengatakan undangan itu terbilang mendadak. Selain dia, hadir Deputi Operasi Komodor Udara Dewanto, Panglima Komando Operasi Angkatan Udara Leo Wattimena, serta Laksamana Muda Udara Makki Perdanakusuma.

Andoko mengatakan, mereka diminta datang untuk mendengarkan informasi dari Asisten Direktur Intelijen Angkatan Udara Heru Atmodjo. Heru melaporkan bahwa perwira-perwira Angkatan Darat malam itu bakal menjemput sejumlah jenderal Angkatan Darat yang diduga anggota Dewan Jenderal untuk dihadapkan kepada Bung Karno. ”Suasana pertemuan tegang, karena berita itu mengandung keanehan, kok malam-malam mau dijemput,” kata Andoko. Apalagi saat itu belum jelas kapan penjemputan itu akan dilakukan.

Heru mengatakan informasi itu dia peroleh dari Mayor Udara Sujono siang harinya. Komandan Resimen Pasukan Pertahanan Pangkalan Angkatan Udara yang bermarkas di Kramat Jati, Jakarta Timur, itu menyampaikan keterangan tentang Dewan Jenderal hendak melakukan kudeta. ”Sujono menyatakan gerakan para perwira Angkatan Darat itu merupakan masalah internal Angkatan Darat,” kata Heru kepada Tempo. Sujono juga mengatakan dia bakal bergabung dengan gerakan itu dengan atau tanpa restu Menteri/Panglima Angkatan Udara.

Pertemuan berakhir dengan satu kesimpulan: gerakan itu masalah internal Angkatan Darat. Angkatan Udara tak akan ikut campur. ”Tapi kami masih meragukan informasi itu,” ujar Andoko. Untuk mencegah hal yang tak diinginkan, Leo Wattimena menyarankan Omar beristirahat di Markas Komando Operasi Angkatan Udara di Halim Perdanakusuma. Lewat tengah malam, Omar akhirnya berangkat ke Halim ditemani ajudannya.

Ternyata informasi ”tak masuk akal” itu benar. Melalui siaran berita RRI pukul 07.00, Omar mendengar peristiwa tersebut. Omar segera menyusun konsep pernyataan perintah harian, sesuai dengan saran Heru pada 30 September malam. AURI perlu menyatakan sikap yang berpihak kepada Soekarno.

Isi perintah harian itu antara lain berbunyi, ”Pada 30 September 1965 telah diadakan gerakan oleh Gerakan 30 September untuk mengamankan dan menyelamatkan revolusi dan Pemimpin Besar Revolusi terhadap subversi CIA. Dengan demikian telah diadakan pembersihan dalam tubuh Angkatan Darat daripada anasir-anasir yang didalangi oleh subversi asing yang membahayakan revolusi Indonesia.”

Omar merasa perintah hariannya tergesa-gesa. Beberapa saat kemudian dia menerima telepon dari Soeparto, sopir Soekarno, bahwa Presiden akan datang ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Dia ingin mengkonsultasikan surat perintah harian itu dengan Bung Karno. Sayang, surat itu sudah telanjur disiarkan RRI pukul 10.00 WIB.

”Perintah harian itu tak menguntungkan AURI karena dianggap pro-gerakan. Akibatnya, AURI dan keluarganya dicemooh,” ucap Andoko. Pada 2 Oktober, Menteri/Panglima Angkatan Udara sebenarnya membuat pernyataan lanjutan yang menegaskan AURI tak turut campur dalam Gerakan 30 September. ”Tapi pernyataan itu baru disiarkan RRI yang sudah dikuasai Kostrad pada pukul 01.30. Siapa yang dengar?” kata Soeparno.

Angkatan Udara makin terjepit ketika Soeharto menyampaikan pidato radio yang memojokkan mereka. Kedatangan Soekarno dan Aidit ke Halim Perdanakusuma dijadikan bukti. ”Halim dianggap sebagai sarang komunis,” kata Asvi. Padahal kehadiran Soekarno ke Halim sesuai dengan standar operasi Resimen Cakrabirawa, pasukan pengawal presiden. Salah satu cara menyelamatkan kepala negara ketika situasi keamanan genting adalah membawa Presiden ke Halim karena di sana selalu disiagakan pesawat kepresidenan C-140 Jetstar. ”Jadi bukan karena terlibat G30S,” kata Asvi. Sedangkan ihwal kehadiran Aidit, Omar mengaku sama sekali tak tahu, karena mereka tak pernah bertemu.

Soekarno di Halim menginap di rumah milik Komodor Udara Soesanto, sebelum pindah ke Istana Bogor. ”Rumah kami dipakai karena satu-satunya yang memiliki kamar berpendingin udara,” ujar Sri Setiani, janda Komodor Soesanto. ”Kami tak tahu apa yang sedang terjadi.” Tak disangka, akibat kedatangan Soekarno di Halim itu, keluarga AURI menjadi bulan-bulanan. ”Istri-istri anggota AURI yang berbelanja ke pasar di luar Halim dicemooh, bahkan pasukan karbol, yang berdiri di pinggir jalan saat iring-iringan jenazah para jenderal itu lewat, diludahi,” Asvi mengungkapkan.

Apalagi berita yang berkembang menyebutkan, Desa Lubang Buaya, tempat ”pembantaian” para jenderal itu, berada di wilayah AURI. Padahal Desa Lubang Buaya itu berada di daerah Pondok Gede, bekas perkebunan karet yang jaraknya jauh dari Halim. Di Halim sendiri memang ada tempat yang disebut Lubang Buaya. ”Tapi itu untuk dropping zone—pendaratan terjun payung yang sekarang jadi lapangan golf Halim,” kata Andoko.

Posisi Omar Dani pun dari hari ke hari kian terjepit. Ia mulai disebut terlibat pemberontakan. Meski Soekarno yakin dia tak terlibat, Omar takut posisi Bung Karno bisa terganjal bila tak segera mengambil tindakan tegas terhadapnya. ”Karena sebetulnya yang jadi sasaran itu Bung Karno,” kata Omar. Ia pun memilih mengajukan permohonan mengundurkan diri. Soekarno menolak. Ia malah diberi tugas melawat ke sejumlah negara Asia dan Eropa.

Selama enam bulan, Omar dan keluarga tinggal di luar negeri. Tatkala kondisi Tanah Air makin genting, dia memutuskan pulang. ”Segala tindakan dan perbuatan anggota-anggota Angkatan Udara, tamtama, bintara, atau perwira, yang langsung atau tak langsung tersangkut dalam peristiwa G30S, adalah tanggung jawab saya selaku Menpangau,” ucap Omar di depan sidang Mahmilub. Pernyataan inilah yang kemudian memberatkan Omar.

Nunuy Nurhayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus