EMBUN masih membasahi jalan setapak di sela-sela kebun teh yang menghampar di lereng bukit itu. Penghuni bedeng satu per satu keluar menuju jalan. Dan sekejap saja, puluhan - bahkan ratusan - wanita pemetik teh bagai pasukan tentara, berjalan di tengah permadani hijau, di Perkebunan Teh Malabar, Bandung. Mereka berpakaian khas. Dari kejauhan kelihatan mengenakan seragam. Bertopi lebar dari pandan, yang membentuk kerucut di atasnya, bersepatu bot karet menutup betis, berbaju lengan panjang, bercelana panjang dari bahan yang lebih tebal, dan di luar celana mode yang agak aneh - ada rok. Untuk apa? "Rok ini mengurangi dingin," kata seorang buruh. "Juga sebagai ciri bahwa saya seorang wanita." Suhu di pagi itu 15 derajat Celsius. Masih ada lagi perlengkapan yang vital. Di punggung mereka bertengger keranjang dari anyaman bambu, disebut junok. Ketika berangkat "perang", ada dua lembaran plastik berbeda ukuran di junok ini. Kelak satu plastik untuk membungkus pucuk-pucuk teh yang dipetik, satu lagi untuk pelindung kalau-kalau hujan turun. Lebih dari itu, jangan dikira mojang-mojang pemetik teh itu tidak memperhatikan dandanan wajah. Jangan dikira mereka cukup cuci muka kalau bangun pagi, terus pergi ke tengah kebun. Mereka juga bersolek, memoles pipi dengan bedak dan bibir dengan lipstik. Seperti pada perempuan kota, perlengkapan khas selalu serta: tas kecil berisi pupur, gincu, cermin. Semuanya ditaruh di dalam junok. Sinar matahari mulai menerpa lereng bukit-bukit. Rombongan wanita ini kemudian merayap dan memencar, keluar dari jalan setapak, dan mulai menjalankan tugas, berjejer-jejer membentuk garis. Suara ingar-bingar mulai memecah sepi pegunungan dan membunuh udara dingin. Sementara tangan-tangan yang lemah dengan cekatan memetik pucuk-pucuk teh muda, mereka bergurau, bersenandung, juga berteriak, saling menyindir dengan kelompok lain yang berada di lereng seberang. Ada yang menyanyikan lagu pop, ada yang mendendangkan lagu Sunda yang biasa dibawakan pesinden. Belakangan ini suara-suara itu tak lagi dimonopoli mulut belaka: ada peralatan canggih yang mereka bawa - dan lagi-lagi digantungkan di junok - yakni tape recorder mini. Madu di tangan kananmu/Racun di tangan kirimu /Aku tak tahu, mana yang akan kau berikan padaku. Memetik teh, tak salah, bisa disebut suatu keahlian. Tidak sembarang kuncup bisa dipetik. "Pemetikan sembarangan bisa merugikan pemetik sendiri, karena bisa ditolak," ujar Inon, laki-laki 38 tahun, salah seorang mandor. Sambil mengawasi 32 pemetik, Inon bercerita soal keahlian yang dimiliki para mojang pegunungan ini. Pucuk teh yang dipetik disebut pucuk manjing. Usianya tujuh hari. Pucuk seperti ini biasanya banyak mekar kalau perkebunan disiram hujan. Dengan patokan pucuk manjing, pihak perkebunan menetapkan rumus pemetikan p + 2dm atau p + 3dm. P berarti peko, sebutan manjing yang masih kuncup, sedangkan dm singkatan daun muda. Jadi p + 2dm = peko ditambah dua daun muda di bawahnya. Di Malabar, juga di perkebunan teh lainnya milik PTP XIII, hanya dikenal dua rumus itu untuk menjaga produksi teh tetap bermutu prima. Di perkebunan rakyat rumus itu bisa p + 5dm, dan, tentu saja, kualitas produksi teh nantinya tidak sebaik PTP XIII. Prestasi seorang pemetik tentu saja berbeda-beda. Di sini yang diadu bukan saja kegesitan tangan, tapi juga kejelian mata. Kalau pandangan tak jeli, ada daun keempat yang ikut dipetik, dan si pemetik mendapat sanksi. Misalnya: seluruh hasil petikannya dalam sehari dianggap tidak ada. Siapa yang menyortir? Mandor. Penyortiran biasanya dilakukan menjelang penimbangan, selesai pemetikan. Tempat penimbangan banyak dibangun di perkebunan. Berupa bangunan seluas 5 x 5 meter persegi, berlantai semen dan beratap seng. Dua juru timbang, sejumlah mandor - tergantung berapa buruh pemetiknya - dan sebuah truk sudah menunggu di sore hari. Di sini ada catatan hasil penimbangan, yang nantinya berpengaruh pada upah. Catatan prestasi itu - begitu namanya dibuat dua lembar, satu untuk mandor yang mengawasi buruh pemetik dan satu lagi dipegang juru timbang. "Kecil sekali kemungkinan terjadi salah catat, atau main-main sulap angka," ujar Mandor Inon. Prestasi wanita pemetik teh ini bervariasi. Ada yang bisa memperoleh 50 kg sehari, ada yang lebih, ada yang kurang. Untuk itu Perkebunan Malabar, yang mempekerjakan 1.486 pemetik teh (karyawan perkebunan seluruhnya 2.783 orang) telah menetapkan standar minimum pemetikan, yakni 35 kg daun teh setiap buruh sehari. Hasil petikan di atas standar minimum dihargai dengan premi. Besar kecilnya gaji pada akhirnya ditentukan oleh catatan prestasi itu. Untuk hasil petik standar, upahnya ditetapkan Rp 1.320. Lima kilogram pertama di atas standar mendapat premi Rp 3 per kg, lima kilogram berikutnya Rp 2 per kg, dan selebihnya Rp 1 per kg. Premi ini, begitu pula upah, walau cara menghitungnya harian, dibayarkan setiap bulan semuanya rata-rata Rp 40 ribu sampai Rp 50 ribu per orang. Setahun sekali mereka menerima bonus, besarnya satu setengah kali penghasilan standar. Gaji dan bonus sebesar itu, untuk ukuran di Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung, termasuk bukan kecil. Apalagi setiap keluarga, yang menghuni bedeng-bedeng di hamparan permadani teh itu, melibatkan semua anggota rumahnya di perkebunan. Anak usia sepuluh tahun pun sudah dididik memetik teh. "Di kebun teh, asal mau bekerja, pasti dapat uang," ujar Cucu, 30, ibu tiga anak yang sejak remaja sudah menjadi pemetik. Kecamatan Pangalengan, yang juga terkenal dengan sapi perahnya, luasnya 34.081 hektar. Sebanyak 12.127 hektar - jadi 35%-nya - adalah perkebunan teh. Ada empat perkebunan milik PTP XIII dan sebuah perkebunan milik swasta. Perkebunan yang dikelola PTP XIII bertetangga, dan batas-batasnya ditentukan oleh kali atau jalan aspal yang dibangun perusahaan. Perkebunan Malabar - pertama di Indonesia - menjadi gerbang. Orang luar tak boleh seenaknya keluar masuk wilayah perkebunan ini: ada pos di pintu gerbang. Dengan suasana seperti itu, kehidupan di bedeng-bedeng hampir terpisah dari dunia luar. Mereka lahir di kebun teh, dewasa di kebun teh, kawin di tengah teh, menjadi tua dan mati di kebun teh. Regenerasi pemetik teh berlangsung alamiah. Ibunya pemetik teh, gadisnya akan jadi pemetik teh pula. Ada ungkapan di kalangan orang kebun. Yakni, "Orang kebun untuk orang kebun" - seperti yang diceritakan Mandor Inon. Gadis-gadis pemetik teh biasanya ketemu jodoh karyawan pabrik atau karyawan kebun bagian penyiangan, juru timbang dan kalau nasib baik bisa ketemu mandor. "Cerita para mandor mencicipi gadis-gadis pemetik teh yang dibawahkannya itu cerita tempo dulu," kata Inon lagi. Sekarang, kata dia mandor kebun sudah tak berani lagi. "Buruh pemetik juga tambah pintar, dan tidak lagi takut takut," cerita Inon lagi. Fasilitas di dalam perkebunan agaknya juga mendukung betahnya orang kebun di kesepian itu. Rumah disediakan perusahaan - tentu menurut tingkat-tingkat yang berbeda. Rumah administratur seperti vila saja, dengan perabotan yang serba wah. Untuk pemetik teh yang di bedeng-bedeng itu, selain tempat tinggal gratis juga ada listrik gratis. Air minum dialirkan dari sumbernya lewat saluran yang cukup bersih. Dan setiap pekarangan rumah ditanami sayur-sayuran. "Yang kami beli cuma beras dan ikan asin. Lainnya, semua ada di kebun," kata Cucu. Karena serba mudah diperoleh itu, Cucu - dan buruh-buruh lainnya - merasa upah standar minimum yang Rp 1.320 sehari itu cukup untuk hidup layak. Di luar urusan rumah tangga, sarana lain juga lengkap. Punya anak kecil? Tak juga jadi hambatan memetik teh. Di setiap perkebunan ada panti penitipan bayi. Bahkan di Perkebunan Malabar yang luasnya 1.500 hektar itu ada empat. Penitipan itu, yang dalam kenyataan juga untuk anak di bawah lima tahun dikelola Dharma Wanita Perkebunan. Setiap pagi ibu-ibu yang punya anak balita mendatangi tempat itu sebelum ke lokasi yang kena giliran petik. Tidak ada yang khawatir menyerahkan anaknya, karena di tempat ini ada baby sitter yang mengawasinya, termasuk memberi makanan yang "layak gizi". Bila anak sakit, baby sitter ini menelepon - di perkebunan ada telepon dengan sentral khusus - mantri kesehatan. Bangunan penitipan itu tidak besar - hanya 7 x 8 meter. Beberapa box bayi berjejer lalu ada sudut bermain untuk anak-anak yang sudah bisa jalan. Ny Titi, 37, salah seorang baby sitter di tempat ini, asyik memberi makanan bubur kacang hijau kepada dua anak. Ada 17 bocah dititipkan di situ, di awasi empat sitter. "Kalau yang masih bayi diberi susu cair, kalau yang tak lagi menyusu diberi tepung susu," kata Ny. Titi, pengasuh yang hanya lulusan SD. Selain makanan pokok tadi, anak yang dititipkan juga diberi biskuit dan bubur kacang hijau, seminggu dua kali. "Dari orangtua bayi tidak dipungut biaya apa-apa," ujar Ny. Hasan Soemantri, 43, Ketua Dharma Wanita Perkebunan Teh Malabar. "Semuanya ditanggung perkebunan." Anak-anak yang dititipkan itu juga dikontrol perkembangan tubuhnya: sebulan sekali ditimbang. "Kalau beratnya tidak naik-naik, kami serahkan pemeriksaannya kepada petugas kesehatan," ujar Ny. Titi. "Jadi, yang kami kerjakan cuma mengasuh." Sore hari, menjelang magrib, beberapa pemetik teh mampir di tempat penitipan ini, mengambil anak, dibawa kembali ke bedeng. "Menitipkan anak di sini terjamin. Anak saya terawat baik," kata Imeh, yang segera menggendong anaknya yang dua tahun. Di Perkebunan Malabar ada empat taman kanak-kanak - lagi-lagi disesuaikan dengan lokasi bedeng. Setiap TK menampung sekitar 90 anak. Sekolah ini pun gratis: tak ada uang pendaftaran dan uang bulanan. "Setiap anak karyawan diterima di sini. Gratis, kok," kata Ny. Asmaraningsih, 46, lulusan Sekolah Guru Taman Kanak-Kanak (SGTK) Biduri, Jakarta, yang memimpin sebuah TK di sana. Tentu saja tak ada kendaraan antar jemput untuk murid-murid ini - seperti di Jakarta, misalnya - karena lokasi TK sudah dipilih di tengah-tengah perkampungan. Sekolah dasar juga ada, masing-masing sebuah di setiap perkebunan. Tidak ada uang pangkal dan uang pendaftaran, tapi setiap bulan ditarik iuran Rp 500. Nah, murid SD ini pun setiap pagi diantar ke sekolah dengan truk-truk kebun. Gratis, tentu. Tapi siangnya tak ada jemputan, karena truk di kirim ke tempat penimbangan. Yang menarik, anak-anak kebun yang melanjutkan sekolah ke SMP atau SMA di luar perkebunan - karena di dalam perkebunan tak ada - diberi tunjangan perusahaan, yang besarnya Rp 7 ribu sampai Rp 22 ribu, tergantung di tingkat sekolah mana mereka belajar. Sayangnya, ketentuan perusahaan yang berpusat di Bandung ini tak banyak dinikmati karyawan. Jarang sekali orangtua yang menyuruh anaknya melanjutkan sekolah ke SMP. Malah, walau sekolah serba gratis, anak-anak perkebunan banyak yang tidak lulus SD. "Ini jelas karena pengaruh lingkungan. Tanpa bersekolah pun mereka sudah bisa mencari uang di sini, dan hidup layak sesuai dengan kebutuhan orang kebun," itu analisa Kuswandi, S.H., Kepala Humas PTP XIII. Dengarkanlah alasan Ny. Epon, keluarga pemetik yang punya sepuluh anak. "Apa lagi yang dicari di sekolah? Orang sekolah 'kan juga untuk mencari pekerjaan, mencari makan. Di sini, tanpa perlu sekolah, sudah bisa!" Dari sepuluh anaknya, cuma tiga yang tamat SD lainnya gugur di kelas III dan IV. Tanpa ditutup-tutupi, Ny. Epon menunjukkan hartanya - yang ia kategorikan sebagai sudah cukup untuk "hidup sejahtera". Suaminya, yang bekerja sebagai juru timbang, sudah punya sepeda motor. Lalu di dalam kamarnya, di sudut tempat tidur, ada pesawat TV. Di sudut lain ada mesin jahit. "Saya malah khawatir sekali kalau anak saya sekolah tinggi-tinggi, nantinya tidak mau bekerja." * * * Kebutuhan akan tenaga pemetik teh tampaknya akan selalu bisa dipenuhi dari "produksi" bedeng-bedeng. Pihak perusahaan perkebunan juga memberi angin ke arah "swadaya" itu. Lebih praktis, lebih terjamin ke terampilannya. Seorang anak berusia sepuluh (apalagi kalau perempuan) sudah diajak ibunya memetik teh. Hasil petikan si anak tentu saja tidak memakai standar minimum seperti pada orang dewasa. Anak ini disebut belo - bisa diartikan se bagai buruh lepas. Upahnya berdasarkan hasil petikan, yang dihitung tiap kilo. Suatu saat, ketika sang anak sudah cukup umur untuk bekerja resminya 17 tahun, tapi usia itu bisa "dimainkan" - ia di daftarkan sebagai buruh tetap. Ia pun menerima hak-hak seperti premi, pengobatan gratis, hak cuti haid (dua hari), dan hak pensiun kalau sudah berumur 50. Buruh-buruh pemetik ini, seperti juga karyawan lain di perkebunan, tergabung dalam Perkapen (Persatuan Karyawan Perkebunan Negara) yang bernaung di bawah - tentu saja - Golongan Karya. Sesungguhnya istilah buruh sudah tidak dikehendaki perusahaan. Tetapi di kalangan pemetik, istilah itu sulit dihapus - maklum, malah mempertegas perbedaan dengan karyawan pabrik teh atau bagian-bagian lain. Karyawan lepas atau belo tadi bisa pula dicari di kampung-kampung di luar kekuasaan perkebunan - kalau panen teh berlimpah. Itu terjadi kalau musim hujan tiba, seperti sekarang-sekarang ini. Tapi, biasanya, peminatnya juga tidak banyak - karena upahnya minim sekali, berhubung yang mereka terima hanya upah petik, bukan plus fasilitas lain. Apalagi kemungkinan diangkat jadi karyawan tetap - setidak-tidaknya dibanding kesempatan belo yang dari keluarga karyawan. Pensiun di perkebunan sudah menjadi cita-cita sejak dini. Menurut Yos Budiman, 44, Wakil Administratur Perkebunan Malabar, begitu tiba saat pensiun, karyawan diberi uang pangjeujeuh yang besarnya diperhitungkan sesuai dengan masa kerja. Ini semacam uang pesangon - sekitar Rp 300 ribu. "Sedang uang pensiun setiap bulan berkisar antara Rp 7.500 dan Rp10.000," kata Yos. Hak pengobatan tetap diberikan, begitu pula hak menempati bedeng - umumnya nebeng anak yang belum pensiun. Hanya saja, kalau sudah pensiun dan masih ingin memetik, mereka diperlakukan seperti belo. Bagaimana kalau para pensiunan tidak punya lagi sanak keluarga di situ? Ada ungkapan khas perkebunan: Teu paeh jadi siit iyeuh. Kira-kira: tidak akan mati jadi hantu. Inilah keistimewaan perusahaan perkebunan negara, yang tak dijumpai di perkebunan swasta: disediakan Panti Asuhan Orang Jompo, nama lengkapnya. Di Perkebunan Malabar, panti itu dihuni delapan jompo - di antaranya empat yang tunanetra. Bangunan 5 x 10 meter itu terbuat dari kayu yang kukuh dan bersih. Seorang jompowan dan tujuh jompowati itu berusia 60 sampai 80 tahun. "Mereka ini sudah tidak punya keluarga lagi, atau tak tahu di mana keluarganya," kata Ny. Hasan. Rumah Jompo itu, seperti juga tempat penitipan bayi, TK, dan SD, diurus Dharma Wanita. Para jompo itu dijamin kesehatannya. Ongkos perawatannya, selain dari perusahaan, juga dari dana Perkapen dan bantuan tak terikat seperti zakat dan sedekah. Setiap bulan biaya yang dikeluarkan untuk delapan jompo ini sekitar Rp 50 ribu, plus 80 kg beras. Dari mereka inilah kita bisa membayangkan gambaran orang kebun masa lalu. Odah, 70, nenek yang tak punya keturunan itu, sudah menjadi pemetik teh ketika Tuan Bosscha masih menjadi administratur. "Waktu itu usia saya tujuh tahun. Tidak sekolah, karena dilarang orangtua," ujarnya. Usia sepuluh, Odah sudah punya keterampilan yang baik, walau statusnya masih belo. Baru pada usia 13 ia menjadi karyawan tetap dengan upah standar - tujuh sen sehari. "Upah itu sangat besar bila dibandingkan dengan upah buruh tani di sawah," katanya. "Uang sebanyak itu bisa untuk membeli tiga liter beras." Tapi di masa itu, menurut Odah, pemetik teh benar-benar seperti budak. Menghadap mandor saja seperti menghadap raja. Tidak boleh menyebut namanya - cukup Juragan Mandor. Dan sang juragan punya kekuasaan yang besar: bisa memecat buruh dengan mudah, bisa mengancam mengeluarkan kalau buruh cewek tidak mau ditiduri. "Perintahnya tak bisa dibantah, kalau buruh tidak mau diusir dari perkebunan," cerita Odah. Odah sendiri tidak bercerita apakah ia termasuk yang ditiduri. Itu baru mandor pribumi. Yang Belanda, oh, "Menghadapi Tuan Administratuur lebih payah lagi. Bila berpapasan di jalan, jarak seratus meter harus sudah gengsor (merangkak). Apalagi kalau dipanggil ke rumahnya. Begitu masuk halaman sudah harus mulai merangkak, padahal tuan rumah belum tentu ada." Ketika itu semua buruh pemetik teh harus mengenakan bendo, jas tutup, betis berbelit kain tebal, tapi tak boleh memakai sepatu. Buruh pribumi yang bersepatu dianggap kurang ajar, menyamai juragan. "Mandor itu bukan main kejamnya," kata Imok 64, kawan senasib Odah. "Kalau memetik jelek salah ambil daun, kami didenda setalen. Pulang metik kami tak bawa uang, habis untuk denda." Perintah mandor harus dijawab tunggal: "Sumuhun dawuh, abdi gamparan." Tak ada istilah membantah. Karyawan kelas mandor, wakil mandor, staf administratur, benar-benar raja kebun. Menurut Katma, pensiunan mandor, di zamari itu semua mandor punya istri simpanan. Ia sendiri punya sahabat Belanda yang jadi mandor besar (membawahkan beberapa mandor), namanya Willem van Hein. Belanda ini sering meniduri para pemetik teh yang masih ranum, walau istrinya sendiri galak dan cemburuan. "Suatu ketika, Van Hein ada main dengan janda pribumi. Ia rupanya lupa membawa uang," cerita Katma. Tapi ia punya akal. Udi, si janda kembang buruh teh itu, diberinya cangklong. "Antarkan ini cangklong ke rumah, kamu pasti dikasih uang sama Nyonya." Udi menurut. "Nyonya, barangkali Tuan lupa. Ini cangklong Tuan ketinggalan di kebun," kata Udi, versi Katma. Tanpa curiga, istri Van Hein memberi hadiah, dengan jumlah yang melebihi upah buruh pemetik sebulan. Kampung-kampung di sekitar perkebunan di Pangalengan itu, di zaman Belanda, namanya juga porno-porno, dan itulah memang kegemaran si Belanda. Ada Sindangkeclak (artinya mampir untuk naik), ada Sindangpalay (mampir untuk memenuhi keinginan), lalu ada Legoksono (lembah sono). "Nama kampung itu sekarang sudah diganti semua," ujar Katma. Tempo doeloe itu buruh teh mengantar sendiri hasil petikannya ke pabrik dengan jalan kaki, menempuh jarak berkilometer. Berakhirnya tugas memetik ditandai dengan bunyi peluit. Mendengar bunyi peluit, para buruh pemetik segera mengganti pakaian kerja mereka dengan busana bersih, yang sudah di siapkan dari rumah. Kemudian berangkat beriringan. Karyawan pabrik tak mau melihat buruh teh kumal-kumal. Ehm. * * * Malabar dirintis oleh Karel Albert Rudolf Bosscha (namanya sekarang lebih dikenal sebagai bapak peneropong bintang) 1892. Berada di ketinggian 1.600 meter di atas muka laut, panorama Malabar memang cantik. Di tengah hamparan hijau itu ada bukit yang disebut Gunung Nini. Di puncaknya berdiri bangunan berlantai kayu, beratap bulat, dilengkapi taman yang asri. Dari sini orang bisa menatap seluruh areal perkebunan di Kecamatan Pangalengan, sejauh mata memandang. Panorama itu semakin cantik dengan adanya Danau Cileunca di tengah perkebunan itu. Dari danau inilah sebagian tenaga listrik untuk Bandung berasal. Warisan zaman Belanda masih tetap kukuh, terutama pada bangun-bangunan. Rumah tinggal Meneer Bosscha kini dijadikan mes karyawan pabrik. Rumah yang kini ditempati administratur kebun dan stafnya pun semuanya peninggalan masa Belanda yang dipugar kembali. Gedung itu bergaya Eropa, lengkap dengan perapian dan cerobong asapnya, yang sampai sekarang masih berfungsi baik. Rumah untuk wakil mandor, mandor, dan mandor besar, juga warisan kuno. Sebuah bangunan panggung yang berbentuk kopel. Hanya saja sekarang punya dua serambi. "Dulu berserambi satu supaya para buruh bisa berkumpul untuk berjudi," kata Hasan Soemantri, administratur perkebunan Malabar. Penguasa kebun Belanda memang menganjurkan semua buruhnya berjudi. Yang uangnya ludes di meja judi, diberi kesempatan berutang ke perusahaan. Dengan selalu bergantung pada perusahaan - karena punya utang - Belanda tak khawatir kehilangan pekerja. Sekitar satu kilometer dari mes peninggalan Bosscha, ada hutan seluas lima hektar yang sampai sekarang tak boleh diganggu gugat. Bosscha membuat hutan itu untuk tujuan penelitian. "Dulu, zaman Tuan (maksudnya: Bosscha) masih hidup, siapa yang masuk hutan itu didenda seringgit," kata Katma, pensiunan mandor yang masih tetap suka ke hutan itu. Sekarang di hutan itu ada makam, bangunannya berbentuk topi bulat, terbuat dari marmar, disangga delapan tiang bundar. Di sekeliling kubur ada kursi santai. Itulah kubur Tuan yang meninggal tahun 1928 itu. Kursi santai itu konon peninggalannya. Sedangkan bentuk makam itu sengaja di wujudkan untuk mengenang bentuk topi itu meneer yang selalu dipakainya mengontrol kebun. Bosscha jadi mitos bagi karyawan. "Tuan tidak pernah mati," kata Katma. "Ia hanya mengaso di Nyonya." Udi menurut. "Nyonya, barangkali Tuan lupa. Ini cangklong Tuan ketinggalan di kebun," kata Udi, versi Katma. Tanpa curiga, istri Van Hein memberi hadiah, dengan jumlah yang melebihi upah buruh pemetik sebulan. Kampung-kampung di sekitar perkebunan di Pangalengan itu, di zaman Belanda, namanya juga porno-porno, dan itulah memang kegemaran si Belanda. Ada Sindangkeclak (artinya mampir untuk naik), ada Sindangpalay (mampir untuk memenuhi keinginan), lalu ada Legoksono (lembah sono). "Nama kampung itu sekarang sudah diganti semua," ujar Katma. Tempo doeloe itu buruh teh mengantar sendiri hasil petikannya ke pabrik dengan jalan kaki, menempuh jarak berkilometer. Berakhirnya tugas memetik ditandai dengan bunyi peluit. Mendengar bunyi peluit, para buruh pemetik segera mengganti pakaian kerja mereka dengan busana bersih, yang sudah disiapkan dari rumah. Kemudian berangkat beriringan. Karyawan pabrik tak mau melihat buruh teh kumal-kumal. Ehm. * * * Malabar dirintis oleh Karel Albert Rudolf Bosscha (namanya sekarang lebih dikenal sebagai bapak peneropong bintang) 1892. Berada di ketinggian 1.600 meter di atas muka laut, panorama Malabar memang cantik. Di tengah hamparan hijau itu ada bukit yang disebut Gunung Nini. Di puncaknya berdiri bangunan berlantai kayu, beratap bulat, dilengkapi taman yang asri. Dari sini orang bisa menatap seluruh areal perkebunan di Kecamatan Pangalengan, sejauh mata memandang. Panorama itu semakin cantik dengan adanya Danau Cileunca di tengah perkebunan itu. Dari danau inilah sebagian tenaga listrik untuk Bandung berasal. Warisan zaman Belanda masih tetap kukuh, terutama pada bangun-bangunan. Rumah tinggal Meneer Bosscha kini dijadikan mes karyawan pabrik. Rumah yang kini ditempati administratur kebun dan stafnya pun semuanya peninggalan masa Belanda yang dipugar kembali. Gedung itu bergaya Eropa, lengkap dengan perapian dan cerobong asapnya, yang sampai sekarang masih berfungsi baik. Rumah untuk wakil mandor, mandor, dan mandor besar, juga warisan kuno. Sebuah bangunan panggung yang berbentuk kopel. Hanya saja sekarang punya dua serambi. "Dulu berserambi satu supaya para buruh bisa berkumpul untuk berjudi," kata Hasan Soemantri, administratur perkebunan Malabar. Penguasa kebun Belanda memang menganjurkan semua buruhnya berjudi. Yang uangnya ludes di meja judi, diberi kesempatan berutang ke perusahaan. Dengan selalu bergantung pada perusahaan - karena punya utang - Belanda tak khawatir kehilangan pekerja. Sekitar satu kilometer dari mes peninggalan Bosscha, ada hutan seluas lima hektar yang sampai sekarang tak boleh diganggu gugat. Bosscha membuat hutan itu untuk tujuan penelitian. "Dulu, zaman Tuan (maksudnya: Bosscha) masih hidup, siapa yang masuk hutan itu didenda seringgit," kata Katma, pensiunan mandor yang masih tetap suka ke hutan itu. Sekarang di hutan itu ada makam, bangunannya berbentuk topi bulat, terbuat dari marmar, disangga delapan tiang bundar. Di sekeliling kubur ada kursi santai. Itulah kubur Tuan yang meninggal tahun 1928 itu. Kursi santai itu konon peninggalannya. Sedangkan bentuk makam itu sengaja di wujudkan untuk mengenang bentuk topi itu meneer yang selalu dipakainya mengontrol kebun. Bosscha jadi mitos bagi karyawan. "Tuan tidak pernah mati," kata Katma. "Ia hanya mengaso di hutan yang dibuatnya." Karena itu, setiap karyawan yang lewat di sebelah hutan ini selalu memberi hormat ke kuburnya, dengan menundukkan kepala. Setiap Natal, makam ini dipenuhi roti dan wiski, seperti yang disukai sang meneer. Malah setiap tamu ke Perkebunan Malabar harus dilaporkan kepada Bosscha di kuburnya. "Bila tidak melapor, Tuan Bosscha akan marah," kata Yos Budiman, kini orang nomor dua di Malabar. Bosscha tak pernah mati. Apa bukti Bosscha marah? Menurut Yos, banyak. Misalnya, tiba-tiba listrik padam (perkebunan punya jaringan listrik sendiri, bukan dari PLN). Atau aliran air macet, persis ketika tamu sedang menggunakannya. "Kalau setiap kedatangan tamu kami laporkan ke kubur, musibah itu tak pernah terjadi," kata Yos, orang kebun sejak kecil. Bulan Juni tahun lalu perkebunan di Pangalengan dilanda hama ulat cacar daun, menyebar secara cepat. Dihitung-hitung, 1.335 pohon teh diserangnya. Semua obat dicoba - tak ada yang mempan. Berbagai jalan penanggulangan ditempuh - dan hama tetap merayap. Tiba-tiba Yaya, 25, buruh wanita pemetik teh, kemasukan roh Bosscha. Ia bertingkah seperti Bosscha ketika masih hidup, konon. Ibu dua anak itu menganjurkan agar segera menanggulangi bencana. "Kalau obat pabrik tak mempan, pakai saja cara lama dengan kacang babi," perintah Bosscha via mulut Yaya, begitulah yang dipercaya. Cara itu ditempuh. Kacang babi, yang banyak tumbuh di sekitar kebun, daunnya ditumbuk, lalu direndam, dan airnya disemprotkan ke tanaman pasien. Semua petunjuk itu dilaksanakan. Eh. "Ternyata, hama bisa dibasmi dengan tuntas," ujar Yos. Sudah 57 tahun Meneer meninggal. Bukan saja namanya diabadikan di Lembang, pada gedung peneropong bintang yang disumbangkannya. Tetapi rohnya masih tetap gentayangan mengawasi perkebunan di Pangalengan, rupanya. Tidak saja karyawan Perkebunan Malabar yang mempercayai itu, tapi juga perkebunan tetangganya: Pasir Malang, Purbasari, dan Kertamanah. * * * Produksi teh dunia memang terus meningkat dari tahun ke tahun. Jumlahnya, di tahun 1982, 1.878.800 ton. Negara produsen terbesar tetap saja India. Menyusul Cina dan Sri Lanka: Indonesia termasuk nomor tujuh, di bawah Jepang dan Kenya. Celakanya, produksi teh Indonesia merosot dari tahun ke tahun. Angka ekspornya pun - ke Belanda, daerah pasaran utama - terus turun. Tahun 1982 nilai ekspor itu masih 12,847 juta gulden, tahun 1984 sudah di bawah 10 juta gulden. Sebabnya, perkebunan swasta - teh rakyat mengalami kemunduran. Peremajaan yang terlambat, manajemen yang kurang, dan berbagai alasan lain, termasuk peraturan-peraturan, dan sulitnya memperoleh kredit bank, merupakan penentu. Tapi selain teh rakyat, teh perkebunan negara sendiri juga merosot produksinya. Memang, kita kala bersaing dengan India dan Cina di pasaran internasional. Jawa Barat menjadi daerah perkebunan teh utam di Indonesia. Dari 121 perkebunan milik negara, 9 buah ada di sini, dikelola PTP XII dan PTP XIII. Dengan areal sekitar 50.000 hektar. Kalau perkebunan negara lebih banyak memproduksi teh hitam, kebun rakyat saat ini memproduksi teh hijau - yang kemudian diolah pabrik menjadi teh wangi. Teh jenis ini hanya laku di pasaran dalam negeri. Nasib buruk yang lebih menimpa perkebunan rakyat itu akhirnya dipikul para karyawannya. Kemakmuran seperti di Malabar tak ada di sini. Lihatlal suasana di Perkebunan Cukul - hanya 15 km aral barat daya Malabar. Malam hari sunyi senyap. Dari bedeng-bedeng yang kotor terlihat kelap-kelip lampu tempel. Tidak ada listrik. Sepuluh kilometer jalal menuju lokasi rusak parah. Bahkan jalan di lingkungan perkebunan juga rusak, sudah tak kelihatan lagi aspalnya. Dulu, usaha patungan Indonesia-lnggris itu terkenal sebagai perkebunan yang baik ketika dikelola oleh P & T Lande London (P & T itu singkatan dar Pemanukan & Tjiasem, entah mengapa nama itu diambil). Sekarang kebun yang dirintis tahun 1909 itu dikelola PT Tatar Anyar. Luasnya seribu hektar tetapi hanya 600 hektar yang produktif. Ada 300 pemetik mengandalkan hidup di sini, di antara 765 karyawan seluruhnya. Para pemetik mendapat upah dasar Rp 1.240 dengan standar minimun pemetikan 30 kg sehari. Lebih besar, sebenarnya dibanding pada perkebunan negara yang berupah Rp 1.320 untuk standar minimum 35 kg sehari. Dengan kata lain: di perkebunan negara 1 kg dihargai Rp 37,70, di perkebunan swasta Rp 41,33. Apalagi mereka juga mendapat premi petik, dihitung dari upah dasar itu. "Premi itu baru dibayar kalau kualitasnya dinilai baik oleh pabrik," kata Kadal Suratno, 38, asisten manajer Kebun. Di perusahaan ini pimpinannya memang disebut manajer, sedang di perkebunan negara administratur. Hanya, karena jumlah wajib petik harian yang lebih kecil dalam kilogram, seorang pemetik di swasta setiap bulan mengantungi uang sedikit lebih kecil - yakni, teoretis, Rp 37.200. Sementara itu, yang di negeri, juga teoretis, Rp 39.600. Tapi jumlah itu tergantung kekuatan memetik, dan keadaan pohon. Semakin tua pohon teh itu semakin langka pucuk yang bisa dipetik. Nah, kemudian karyawan tetap - bukan buruh musiman - di swasta ini mendapat bonus sekali gaji (di negeri 1,5 kali gaji). Jika sudah waktunya pensiun, mereka hanya menerima uang pesangon yang tak lebih dari Rp 10 ribu tanpa pensiun bulanan. Para mandor juga kurang "makmur" dibanding di Malabar. Aman, ayah enam anak, tamatan SD, bergaji Rp 46 ribu sebulan. Tahun lalu ia mendapat bonus Rp 14 ribu. Ia iri juga melihat mandor di perkebunan negara, yang bisa membeli sepeda motor, punya TV atau radio. Lagi pula, biaya hidup ternyata lebih tinggi di perkebunan swasta. Mungkin karena transportasi yang parah, harga minyak tanah yang di Pangalengan 180 per liter di sini dijual Rp 225. "Hidup di sini payah," ujar Ratmah. Menurut ibu ini, sayur-mayur pun harus dibeli. "Tak sempat menanam sayuran karena dari subuh sampai malam memetik teh, mengejar target," keluhnya. Mungkin ini hanya soal pengaturan. Sebab, bukankah buruh di perkebunan negara juga mengejar target? Hanya, memang ada hal yang khusus di perkebunan swasta ini: pohon-pohon tehnya sudah pada tua kuncup sukar sekali tumbuh. Kehidupan itu masih diwarnai oleh banyaknya kawin cerai. "Tak jarang, baru nikah sebulan sudah cerai," kata Suratno, seorang mandor. Untuk nikah atau cerai gampang sekali "asal punya uang Rp 10 ribu, bisa." Karyawan pria, apalagi yang berpangkat mandor atau asisten penyiangan, mudah sekali menyunting wanita pemetik teh sebagai istrinya nomor sekian. "Tak ada risiko apa-apa sebab, para istri tua tak banyak tuntutan. Kalaupun tak diperhatikan, toh mereka punya penghasilan sendiri sebagai buruh pemetik," ujar Suratno lagi. Ia hanya ketawa, ditanya apakah dirinya juga suka mencari istri baru. Ia hanya menunjukkan, bedeng yang sepi, hiburan yang langka, udara yang dingin. "Hiburan satu-satunya, ya, apalagi, Pak ...," Suratno lantas nyengir. Toh kasus kawin-cerai - atau hubungan laki-perempuan di luar nikah - bukan monopoli perkebunan swasta. Hanya saja tak sempat dilacak sungguh-sungguh. Yang lebih menyedihkan adalah karyawan perkebunan Pamegatan di Kecamatan Cikajang, Kabupaten Garut. Perkebunan yang didirikan tahun 1903 dengan nama NV Maatachanni tot Exploitatis der Ondernemingen Nagelatan Deer Mr. W.A. Baron Baud ini sekarang dikelola Pemda Jawa Barat dalam bentuk perusahaan daerah. Namanya sekarang: PD Kerta Gemah Ripah. Perkebunan ini luasnya 1.987,76 hektar, tetapi pohon teh yang masih bisa dipetik hanya seluas 848,27 hektar. Lainnya: pohon tua, rusak, telantar. Di kebun ini bekerja 923 karyawan, di antaranya 303 pemetik. Upah standar mereka sehari Rp 775 (standar minimum 30 kg), ditambah premi Rp 16 untuk setiap kelebihan satu kilo. Jika hari Minggu bekerja, setiap minggu selama sebulan, pemetik mendapat lagi premi Rp 650 di luar upah standar. Mereka tidak mendapat bonus. Karena kondisi pohon teh itu, sulit bagi buruh mendapatkan premi dengan kualitas yang baik, yang sesuai dengan rumus petik. Ii (entah siapa nama lengkapnya) mengaku hanya menerima upah Rp 20 ribu sebulan. Padahal, ibu dengan empat anak ini sudah bekerja 16 tahun sebagai pemetik. Suaminya, Eman, bertugas di bagian obat-obatan pemberantas hama, mendapat Rp 650 sehari. "Upah dari kebun, mah, sudah untung bisa dipakai untuk makan," kata Ii. Ia punya proyek sampingan, bertanam cabai di pekarangan rumah. Rumah sendiri? Ya, memang. Di perkebunan ini tak ada bedeng gratis untuk karyawan. Apalagi rumah penitipan bayi, rumah jompo, dan sejenisnya. "Tak ada sukanya bekerja di kebun. Banyak utang," kata Eni, 61, mandor wanita satu-satunya, yang di kebun lain mestinya sudah pensiun. Janda beranak tujuh dan sudah punya 40 cucu ini ditinggal suaminya, yang juga mandor, yang kawin lagi ketika Eni mengandung anak ketujuh.. "Maklum, mandor, kebelet pemetik teh janda, ya kawin," ujar Eni. "Anak saya tak saya izinkan bekerja di kebun. Payah." Perkebunan ini terlambat dinasionalisasikan. Ada permainan licik sekelompok orang untuk mengatasnamakannya. Saham perkebunan milik Belanda itu, entah bagaimana caranya, pernah jatuh ke perusahaan Amerika Serikat dengan nama Baud Corporation Limited, yang mendirikan PT Baud Indonesia. Tapi permainan ini terbongkar juga, dan, pemerintah Indonesia secara resmi mengambil alih. perkebunan ini pada 7 April 1964. Waktu itu keadaannya sudah parah. Mesin-mesin pabrik kurang terawat, sebagian komponen rusak. Kebun juga kurang terpelihiara. Tetapi di tangan pemerintah, perkebunan toh tak kunjung maju. Pengelolanya sampai tahun 1972 adalah sebuah perusahaan milik ABRI, PT Usaha Bhakti. Areal seluas itu hanya menghasilkan teh kering 390 ton per tahun. Akhirnya pemerintah mencabut hak pengelolaan dari PT itu, lalu menyerahkannya pusat kepada Pemda Jawa Barat. Bank Ekspor Impor Bandung memberi kredit asalkan pengelolaan itu ditangani PTP XII. Bulan madu antara Pemda Ja-Bar dan PTP menghasilkan perbaikan yang cukup berarti. Mesin pabrik berfungsi normal, peremajaan pohon dilakukan bertahap. Sayangnya, tahun lalu keluar instruksi dari Dirjen Perkebunan: PTP-PTP tidak boleh mengelola perkebunan swasta. Karena itu, sekarang, sepenuhnya PD Kerta Gemah Ripah mengurusi kebun itu. Konon, bank Eksim Bandung kembali memberikan kredit, dalam waktu dekat ini, Rp 1,4 milyar. Pertimbangannya: sudah ada tenaga profesional dari pengalaman "bulan madu" dengan PTP XII. Tentu, berita ini menggembirakan para pemetik di Pamegatan. * * * Seburuk-buruk perkebunan teh rakyat, toh mereka telah berjasa menyegarkan kerongkongan Anda. Teh yang Anda minum setiap hari - termasuk teh botol - adalah jenis yang rakyat, entah dari perkebunan di Jawa Barat atau Jawa Tengah. Produksi perkebunan negara sebagian besar untuk ekspor dari Malabar, misalnya, 95%-nya. Sisanya hanya untuk kalangan terbatas, termasuk untuk bahan penelitian meningkatkan mutu. Teh perkebunan negara ini memang tidak laku di pasaran dalam negeri. Selain mahal, "Orang kita tak akan mengerti mutunya - justru karena setiap hari minum teh," kata Setiono, Kepala Bagian Pengolahan Perkebunan Malabar. Alumnus Fakultas Pertanian UGM ini menyebutkan, orang kita minum teh karena haus. Sedang di Eropa, minum teh - yang tak terlalu sering - untuk menikmati rasanya. Mencari rasa teh yang baik selalu didahului beberapa percobaan dengan sistim tradisional: dicicipi. Tak ada alat lain, memang, selain lidah. "Seni mencicipi teh juga tak ada sekolahnya. Semua karena pengalaman bertahun-tahun," ujar Setiono. Para pencicip itu tak lain administratur dan wakilnya, kepala bagian pengolahan dan wakilnya, dan dua-tiga mandor. Yang disedu adalah teh yang baru keluar dari mesin pengeringan, satu tahap sebelum sortasi. "Ini untuk memudahkan cara-cara penanggulangan, kalau hasil teh kurang nikmat," kata Setiono. Kurang sedapnya teh itu dianalisa kemudian. Mungkin, penyebabnya mesin rusak, aliran listrik lemah, pengeringan kurang masak. Kalau keterlaluan kurang sedapnya, mandor yang hadir saat pengetesan itu diinterograsi jangan-jangan ada daun di luar rumus yang nyelonong ke mesin. Teh yang dicoba juga disedu dengan ketentuan khusus. Beratnya 5,6 gram, diguyur air panas bertemperatur tertentu selama lima menit, kemudian dimasukkan ke dalam mangkuk dengan ukuran tertentu. Yang dilihat pertama kali: kepekatannya. Kalau warnanya kuning keemasan, berarti kualitas bagus. Warna merah tua, jelek. Setelah tes selesai, baru dicicipi. "Karena rasa itu termasuk seni, ya tak ada ukuran standarnya. Itu menyangkut perasaan. Kalau semua pimpinan sepakat, ya, dilempar ke pasaran," ujar Setiono. "Berhasil tidaknya pemasaran teh produksi perkebunan ini terletak pada lidah pimpinan." Produksi perkebunan Malabar sekarang sudah berjalan di atas target. Target produksi September adalah 25.800 kg bubuk teh kering realisasinya 31.549 kg teh kering. Karena produksi selalu di atas target, ketika pemasaran teh internasional guncang, Malabar mengalihkan sasaran ke dalam negeri, dengan mengeluarkan merk Teh Sedap. Yang kemasan 150 gram dijual Rp 500. Hasilnya? "Kurang laku. Pembelinya terbanyak hanya kelas atas," keluh Setiono. Perkebunan Purbasari juga mengalihkan pasaran ke dalam negeri. Tetapi tetap seret, karena konsumen dalam negeri belum terbiasa minum teh kualitas ekspor. Sedang jika perkebunan negara ini menurunkan mutu produksinya dengan ikut-ikutan memperoduksi teh wangi, dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan yang akan menurunkan mutu teh Indonesia di perdagangan internasional. Keguncangan harga teh dunia memang sedang berkecamuk. Menurut Kuswandi, S.H., jika tahun 1970-an harga teh di pasaran dunia mencapai 35 sen dolar AS per kg, sekarang cuma 15 sen. "Ini, tantangan buat orang perkebunan karena pemerintah menetapkan dalam Pelita IV, sektor perkebunan bisa menyumbangkan devisa US$ 5,5 milyar," kata Kuswandi. * * * Malam telah turun di perkebunan kawasan Pangalengan. Sinar lampu merkuri di jalan, kelap-kelip lampu kecil di atas antena TV bedeng-bedeng pemetik teh, memperindah lereng perkebunan. Para pemetik keluar ke jalan raya, menuju tanah lapang di wilayah perkebunan Purbasari. Mereka yang menghuni bedeng di wilayah Kertamanah, Pasir Malang, dan Malabar juga datang ke tanah lapang itu dengan truk pengangkut teh. Wajah-wajah pada semarak dengan tatanan rambut masa kini dan pakaian yang tak ketinggalan mode. Malam itu ada pemutaran film. Setiap dua minggu, perusahaan memutar film gratis di perkebunan, yang lokasinya dipindah-pindah. Memang tidak ada gedung bioskop atau aula besar untuk memutar film dalam ruangan. Konon, itu malah kurang semarak. Karena hiburan yang diperoleh penghuni perkebunan, di tengah lapangan itu, bukan cuma dari menonton film. Tapi proses menontonnya itu: saling colak-colek, atau lebih dari itu, atau saling pamer baju. Dari kegiatan inilah jodoh datang. Judul film, bintang film, itu, sih, nomor sekian. Nomor satu, datang ramai-ramai di malam hari, dalam pakaian yang lain dari pakaian "dinas" sehari-hari. Tiga ratus meter sebelum gerbang perkebunan, ada salon kecantikan. "Bila saat gajian tiba, kami benar-benar kewalahan. Ada yang mengeritingkan rambut, ada yang cuci muka, pokoknya seperti orang kota," kata Ny. Dahlia, yang punya Salon Delyana itu. Apalagi kalau sudah terima bonus (sekarang bonus tahunan dicicil tiga kali, setiap kuartal), "jumlah empat pembantu tak cukup banyak menerima pemetik teh yang datang," kata putri T.M. Thayeb (pensiunan Konsul Perdagangan Indonesia di Singapura) ini. Sebelum ada salon kecantikan di sana, para pemetik teh berbondong bondong mencarter Coli ke Bandung. "Saya heran mulanya: kok mereka juga pesolek. Akhirnya saya buka salon di sini. Ternyata, menguntungkan," ujal Ny. Dahlia lagi. Setiap hari rata-rata enam orang datang. Umumnya untuk cuci muka, menghilangkan kokoloteun (ulek) yang rata-rata menjangkiti wajah pemetik teh. "Kalau habis gajian, setiap hari yang datang sepuluh sampai lima belas orang," tutur nyonya yang membuka salon di sejak 1976 itu. Kini di Kecamatan Pangalengan ada - tak kurang dari - sepuluh salon kecantikan, ukuran lain untuk mengetahui tingkat kemakmuran sebuah desa. Para pemetik teh yang cantik mendapat julukan yang unik - dan mereka bangga dengan panggilan itu. Ada panggilan Si Muangthai - itu yang berkulit kuning, bermata sipit. Ada lagi Si Baterai, yang sorot matanya memesonakan. Nama-nama ini mulanya dilontarkan secara spontan ketika ada pertandingan voli atau sepak bola antarkaryawan. Dan, entah mengapa, pemain voli dan sepak bola itu dipilih yang cantik-cantik. "Kalau tak cantik seperti saya, tak akan dipilih untuk ikut macam-macam," celetuk seorang buruh. Yang mendapat gelar Muangthai adalah Imas Halimah. Ia pernah dikirim ke lomba nasional kecepatan memetik teh di Wonosobo, Jawa Tengah, 1979. Ketika itu, "saya memang cantik, seperti gadis Muangthai. Sekarang, mah, tidak lagi," kata Imas, yang kini sudah kawin dan beranak satu. Ia menjadi juara dalam lomba itu dan mengantungi hadiah Rp 100.000. "Lebih dari bonus setahun," katanya. Lomba semacam ini memang sering diadakan. Caranya: setiap peserta menghadapi sebuah petak tanaman teh ukuran 5 x 5 meter. Yang dinilai bukan saja kecepatan memetik, tapi juga kualitas hasil petikannya. Lomba dimulai tingkat bawah, pada kemandoran, lalu tingkat mandor besar, lalu tingkat perkebunan wilayah, kemudian tingkat nasional. Perlombaan olah raga juga bertahap - dimulai dari tingkat mandor besar. Di Malabar saja ada tujuh kesebelasan sepak bola putri, yang pemainnya semua wanita pemetik. Mereka latihan pada hari libur. Kalau perusahaan membutuhkan, menjelang pertandingan, misalnya, latihan juga diadakan di hari kerja - dengan ketentuan tetap menerima upah sesuai dengan standar minimum. "Sejak berdiri tahun 1984, kesebelasan kami tak pernah kalah. Ingin rasanya bertanding di Jakarta," kata Tuti, 20, kapten Porak (Persatuan Olah Raga dan Kesenian) Malabar. Tentu saja, dalam sepak bola, prestasi perkebunan negara di Bandung masih kalah dengan Perkebunan Pagilaran, Pekalongan. Putri Pagilaran, klub sepak bola wanita yang sampai sekarang sejajar dengan klub Buana Putri, pemainnya juga para pemetik. Tidak cuma olah raga, kesenian pun berkembang. Latihan jaipongan, misalnya, diadakan secara teratur. * * * Pagi datang. Wajah-wajah pesolek tadi malam telah berubah - kini dibungkus busana khas pemetik teh, celana panjang dengan rok. Puluhan buruh berjalan menuju perkebunan, melambaikan tangan ketika administratur dan beberapa staf pabrik lewat. Para pejabat tinggi perkebunan ini sedang tekun lari pagi. Tidak ada buruh pemetik teh yang berjongkok kayak di zaman Belanda. Deru motor memecah sunyi: mandor mau lewat. Pemetik teh itu mencegat. "Kamu kalau turun ke Bandung, belikan kaset seperti di TV tadi malam," kata si buruh. Pak Mandor mengangguk, lalu mencolek lengan si buruh. Dan buruh itu meneruskan perjalanan sambil asyik bercerita soal film, soal penyanyi di TV, dan pakaian yang dikenakan para penyanyi. Di bedeng-bedeng itu TV bukan barang mewah lagi. Bahkan ada mandor yang punya TV warna. Sebuah bukit dekat bedeng dipenuhi tiang antena menjulang. Kalau kotak ajaib itu menyiarkan lagu pop, suaranya sampai terdengar ke jalanan (umumnya lokasi bedeng terletak 300-an meter dari jalan raya). Acara yang paling tidak mereka sukai adalah wawancara dan warta berita pukul 19.00. TV, radio, tape recorder - dan sekarang walkman - bisa dicicil lewat koperasi karyawan, lewat pemotongan gaji. Bahkan lipstik sudah ada pula dikoperasi. Buruh pemetik teh sebenarnya karyawan yang dimanjakan. Para lelaki yang bekerja di bagian perawatan tanaman, bagian hama, dan bagian kebersihan boleh merasa iri. Buruh pemetik, dengan jari-jarinya yang cekatan itu, adalah bagian vital dari produksi pabrik. Mereka memetik kuncup-kuncup muda dengan tembang-tembang gembira - dan tubuh-tubuh yang halus. Mereka seolah punya dunia tersendiri, dunia perkebunan yang sesungguhnya agak terpencil. Namun, mereka hampir tak punya pikiran untuk keluar dari dunia itu. Mereka lahir, mencari jodoh, kawin, punya anak, dan ingin mati di perkebunan. Anak mereka kemudian meneruskan tradisi itu. Dan itu telah terjadi tiga generasi, sejak Perkebunan Malabar didirikan Bosscha pada 1892. Malabar, yang konon berasal dari bahasa Arab (mal =, harta, abar = sumur/sumber), dulu memang menjadi sumber dana pemerintah Belanda. Perkebunan ini pulalah salah satu sumur uang terbesar perusahaan perkebunan sekarang. Malabar yang tak pernah surut. Yang tetap tegak. Berkat roh Bosscha yang tetap melotot, 'kali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini