Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejak lahir, tubuh Bali bukan lagi milikIndonesia. Seluruh pasir pantai, kembang kemboja,tari Panji Semirang dan kepang, serta surfingdi pinggiran pantai, menjadi satu denganhirupan Bloody Mary dan sumpah serapah turis asing yang mabuk. Bali milik dunia.
Jika gemerincing ekonomi Bali selama ini bertumpu hanya pada pariwisata—danpara sosiolog kemudian menggerutu karena merasa Bali dirusak—tak mengherankan jika bom12 Oktober 2002 itu kemudian mengguncang persendian ekonomi Bali. Turisme, yangmenjadi napas kehidupan Bali, anjlok 79 persen menjadi 31 ribu orang. Awal tahun ini,jumlah turis mulai meningkat lagi, bahkan sempatmendekati angka sebelum tragedi. Namun perang Irak dan SARS membuat kunjunganwisatawan meluncur lagi ke titik nadir.
Sepinya turis berdampak langsung pada penurunan pendapatan sektor perhotelan maupun industri pendukung pariwisata, yang terdiri dari perusahaan kecil dan menengah. Akibatnya, pemutusan hubungan kerja di Bali meningkat dua kali lipat dibandingkan dengan sebelum ledakan bom. Dunia, sebagai "pemilik saham" Bali, tak ingin menyerah pada bom. Pada teror. Kini, perlahan mereka meniupkan napas kehidupan pada pasir yang sudah lama hanya bersapa dengan ombak. Arus masuk wisatawan sudah mulai naik lagi, meski perekonomian Bali belum lagi menggeliat. Adakah alternatif lain di Bali sesudah hidup dari pariwisata?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo