Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Musi, Penyabangan, sebuah desa di kawasan Buleleng di pantai utara Bali, seorang bocah menghabiskan sebagian masa kanak-kanaknya di seputar lemari buku ayahnya. Dari lemari tua tersebut, yang sarat oleh kitab-kitab berbahasa Indonesia, Inggris, Belanda, dan Jepang, I Made Mangku Pastika—nama bocah itu—berkenalan dengan Mahabarata dan Ramayana. Dia membaca swadesi. Dia menyerap ahimsa, satu gerakan antikekerasan yang diajarkan tokoh India, Mahatha Gandhi. Sampai Pastika akhirnya meyakini ini: "Kekerasan tak pernah menyelesaikan masalah. Kekerasan sering kali harus ditutupi dengan kebohongan. Dan kebohongan harus ditutupi dengan kekerasan atau kebohongan yang lebih besar lagi."
Beberapa dekade kemudian, garis hidup Pastika bersilangan dengan sebuah tugas besar: menjadi Ketua Tim Investigasi Bom Bali. Tugas itu diterimanya beberapa waktu setelah Bali diboyakkan oleh tragedi bom 12 Oktober, yang me-moksa-kan 200 jiwa lebih dan melukai ratusan manusia. Pastika bukan lagi bocah pesisiran dengan angan-angan naif tentang ahimsa. Dia jenderal polisi berbintang dua yang paham betul bahwa persentuhan manusia dengan kekerasan bisa jauh melampaui akal sehat. Dia mahir di bidang reserse ataupun intelijen. Maka, jelas tugasnya—memimpin penyelidikan tentang jaringan terorisme yang telah meletupkan Bali dalam ledakan dan kobaran api, setahun silam.
Dan setahun sudah lewat pula sejak tragedi itu pecah. Pastika telah melepaskan jabatannya sebagai Ketua Tim Investigasi Bom Bali. Toh kesibukannya tak juga berkurang. Pekan silam, misalnya, dia harus menjamin keamanan 14 kepala negara tatkala para pemimpin negara-negara ASEAN bersidang di Nusa Dua, Bali. Di Bandara Ngurah Rai, penjagaan ketat dan berlapis-lapis. Setiap kendaraan digeledah sejak di gerbang parkir. Di ruang tunggu, berkali-kali terdengar pengumuman meminta penumpang tak meninggalkan barang bawaannya. Barang-barang tak bertuan akan dimusnahkan segera oleh pasukan pengamanan.
Menjabat Kepala Polda Bali sejak beberapa waktu lalu, Pastika memang tuan rumah di bidang keamanan selama perhelatan besar ini dilangsungkan. "Urusan saya sekarang adalah Bali," ujarnya. Dia berterus terang enggan bicara lagi soal terorisme secara khusus, karena urusan berbahaya itu kini ditangani langsung di Markas Besar Polri melalui Direktorat 6 Anti-Teror. Kegiatan investigasi terorisme sempat melambungkan namanya ke panggung dunia. Mingguan Time edisi November 2002 menempatkan dia sebagai salah satu Asian newsmaker.
Sepanjang kariernya, Pastika akrab dengan investigasi sejumlah kasus berat. Umpamanya pembunuhan Theys Hiyo Eluay, Ketua Presidium Papua, dan penembakan warga negara asing di Timika—yang sempat menjadi sorotan dunia. Menjadi polisi nomor satu di kampung halamannya sendiri, Pastika tetap bekerja dengan naluri seorang reserse: waspada. Dalam menangani perkara kriminal bermuatan politik, dia amat hati-hati. Seperti yang pernah diakuinya kepada TEMPO "...selalu bergerak berdasarkan data lapangan dari tempat kejadian perkara."
Sikap yang sama dipegangnya ketika memburu pelaku bom Bali. Sebelum menemukan fakta, dia enggan menyebut para pelaku dari kelompok militan Jamaah Islamiyah. Akhir September lalu, di sela-sela kesibukannya, Pastika menerima wartawan TEMPO Jalil Hakim untuk melakukan wawancara khusus dalam beberapa kesempatan. Berikut ini petikannya.
Setelah bom Bali, Makassar, dan Hotel Marriott Jakarta, menurut Anda apakah para teroris masih akan terus melancarkan aksinya?
Ancaman teror, seperti aksi pengeboman, masih akan terjadi dan menjadi ancaman yang amat berbahaya. Aksi teror bisa terjadi kapan saja dan di mana saja—sesuai dengan incaran jaringan teroris tersebut. Tinggal tunggu waktu.
Apa saja indikasinya?
Orang-orang yang menjadi pentolan jaringan teroris itu masih terus berkeliaran dan belum dapat ditangkap. Mereka masih punya banyak persediaan bom. Dan mereka semakin pintar bermain.
Anda punya perkiraan berapa banyak bom yang masih di tangan mereka?
Saya tak bisa merincinya untuk Anda. Saya tidak punya kapasitas untuk bicara soal itu secara detail. Saya sekarang Kapolda Bali, bukan lagi Kepala Tim Investigasi Bom Bali. Yang jelas, bom mereka masih banyak.
Sulitkah mengendus bom-bom "masa kini"?
Bom di era sekarang ini bukan bom yang terbuat dari besi. Jadi, harus ada detektor logam yang bisa melacak bahan-bahan bom, seperti bahan kimia. Bom yang diledakkan di Paddy's Pub, bungkusannya menggunakan pipa paralon. Sedangkan yang diledakkan di depan Sari Club dibungkus dalam kotak plastik filing cabinet, lalu dibawa dengan mobil Mitsubishi L-300. Peralatan seperti itu sengaja mereka pakai agar tak terendus oleh alat deteksi yang kini dipunyai aparat keamanan di Indonesia.
Apa saja yang membuat jaringan aksi kelompok teroris kian berbahaya?
Teroris generasi baru, seperti Imam Samudra dan kawan-kawan, tergolong penjahat yang memanfaatkan teknologi untuk memperbesar jaringan serta pengaruhnya. Mereka memakai teknologi untuk menghindari deteksi aparat keamanan. Bukan penjahat kelas teri. Mereka tak punya rasa takut, termasuk terhadap aparat keamanan. Fanatisme dan militansi mereka tinggi. Bahkan ada yang bersedia mati dalam menjalankan pekerjaannya. Mereka juga tak memilih sasaran dan menggunakan teknologi tinggi.
Dengan lain kata, aparat keamanan harus beradu cepat dan lihai?
O, iya. Tidak hanya adu cepat dan lihai. Aparat keamanan juga harus beradu pintar dengan para teroris, tak boleh lengah sedikit pun. Bahaya aksi teror itu masih tetap ada. Celakanya, dalam situasi adu cepat dan adu kepintaran itu, aksi, gerakan, dan jaringan mereka belum tentu bisa kita deteksi.
Itukah yang terjadi saat bom meledak di Hotel JW Marriott Jakarta? Idris, salah seorang pelaku bom Bali, ketika menjadi buron justru bersembunyi di rumah Asmar Latin Sani, salah satu pelaku bom Marriott.
Seperti itulah kelihaian mereka, sehingga tak terdeteksi oleh aparat. Tapi toh akhirnya terkuak bahwa antara bom Bali dan bom Marriott itu nyambung. Idris sempat lama tinggal di tempat Asmar. Di situ juga ada Dr. Azahari. Fakta ini kian memperkuat tali-temali antara satu dan lainnya, meskipun mereka terdiri dari sel-sel yang seolah terpisah.
Berapa anggota jaringan teroris itu sekarang?
Saya tak bisa menyebutkannya secara pasti. Apalagi wilayah tugas saya sekarang adalah Bali. Tapi, yang bisa saya katakan: banyak. Alumni perang Afganistan saja masih ada sekitar 200 orang. Belum lagi alumni Mindanao di Filipina Selatan. Di sana ada kamp latihan militer yang digunakan oleh jaringan itu untuk menebarkan teror. Itu sebabnya, kalau saya ditanya apakah kita masih cemas terhadap ancaman akan adanya teror, saya katakan: ya, saya tetap cemas.
Apakah para teroris ini rata-rata pernah ke Afganistan dan Moro?
Saya tak bisa mengatakan semua yang eks Afganistan sudah pasti teroris. Tak bisa dipukul rata begitu. Tapi, sekurang-kurangnya, kalau kita bisa terus memantau keberadaan mereka, di mana mereka saat ini, apa saja aktivitas mereka sekarang, saya kira itu akan lebih baik.
Lalu, berapa banyak yang harus dipantau aktivitasnya?
Yang kita ketahui, sekitar 300 orang pernah berangkat ke Afganistan. Data itu kami dapatkan dari para tersangka yang sudah kami proses. Cuma, di mana mereka sekarang, apa pekerjaannya, apa kegiatannya, itulah yang kita pantau.
Anda masih terlibat dalam penyelidikan soal terorisme?
Terus terang, sudah tak banyak tahu tentang terorisme sekarang ini. Batasan tugas saya sekarang adalah daerah Bali. Urusan saya sekarang adalah Bali. Pada tingkat nasional, ada desk anti-terorisme di kantor Menteri Koordinator Polkam. Di Mabes Polri, ada Direktorat 6 Anti-Teror. Mungkin yang lebih tahu, ya, mereka.
Kembali ke soal bom di Hotel Marriott. Bisakah Anda menjelaskan keterkaitan antara Idris (pelaku bom Bali) dan Asmar Sani Latin (pelaku bom Marriott)?
Ya, akhirnya kita tahu ada jaringan yang luas. Ada sel-sel yang saling terkait satu dengan yang lain. Bom Bali adalah salah satu implementasi dari strategi mereka untuk mewujudkan cita-cita seperti yang tertuang dalam PUPJI, Pedoman Umum Perjuangan Jamaah Islamiyah.
Tapi, soal dokumen PUPJI itu, banyak pihak masih mempersoalkan, bahkan meragukan kebenarannya....
Kami mengungkapkan itu fakta, disertai bukti-bukti autentik. Itu bukan karangan kami. Semuanya terungkap secara jelas dalam persidangan.
Apakah betul para tersangka itu dari kelompok Jamaah Islamiyah?
Lo, yang menggunakan atau memberi istilah Jamaah Islamiyah (JI) itu bukan polisi. Para tersangka sendiri yang menyebut istilah itu. Bukunya dan dokumen tentang JI memang ada. Nanti dibilang lagi, buku dan dokumen itu rekayasa polisi. Tidak sejauh itulah polisi berbuat. Mari berhenti main rekayasa. Seluruh dokumen tentang JI itu temuan polisi di rumah Saad (nama alias dari Achmad Roihan, anggota Markaziyah Jamaah Islamiyah—Red.), salah satu tersangka yang juga anggota JI.
Mulai kapan polisi menggunakan istilah JI?
Ketika saya menjadi Ketua Tim Investigasi Bom Bali, saya tak pernah menyebut istilah JI. Selalu saya katakan mereka itu "kelompok tersangka". Bolak-balik wartawan, termasuk wartawan luar negeri, bertanya bagaimana keterkaitan dengan Al-Qaidah. Saya bilang, kami belum menemukan keterkaitan itu. Sampai akhirnya dokumen mereka temukan, barulah kami berani menyebutkan keterkaitan JI.
Dari hasil penyidikan selama ini, apakah ada motivasi yang terkuak?
Motivasi mereka kami identifikasi berdasarkan pengakuan para pelaku bom Bali. Yang paling bawah adalah mereka yang ingin masuk surga dengan cara mati syahid. Kelompok kedua, yang lebih di atas, ingin membalas dendam terhadap Amerika dan sekutunya, karena negara-negara itu telah menzalimi umat Islam di dunia. Itu kata mereka. Kelompok ketiga, yang paling tinggi, ingin mendirikan Negara Islam Indonesia. Bahkan lebih luas dari itu, Negara Daulah Islamiyah Nusantara dengan bentangan wilayah dari Malaysia, Singapura, hingga Filipina. Itulah cita-citanya, motivasinya.
Ada yang bilang, bom yang meledak bukan cuma milik Amrozi dan kawan-kawan....
Memang, sampai sekarang masih saja ada yang bilang bukan kelompok itu saja (Imam Samudra dan kawan-kawan) yang melakukan pengeboman. Ada yang bilang pihak asing ikut melakukannya. Padahal, sudah jelas apa yang terungkap dalam persidangan. Bahkan, sejak kami sidik, orang-orangnya jelas-jelas sudah mengaku serta didukung oleh bukti-bukti fisik.
Dalam hal jenis jenis bom, misalnya, ada yang menduga jenis C-4. Apa betul?
Kami tidak mengerti apa dasarnya sehingga ada yang bilang jenis bom itu C-4. Hasil penyelidikan kami, tidak ada jenis C-4. Kami bekerja secara ilmiah. Yang ada dan kami memang menemukannya adalah potasium klorat, sulfur. RDX (research development explosive) memang ada. Sidang berjalan terbuka, jelas, transparan. Orang-orangnya mengaku, sisa-sisa barangnya (berupa residu) ada. Orang-orangnya memang terlatih membuat bom. Ada buku manualnya tentang cara-cara merakit bom. Tapi kok aneh ya, saya tidak habis pikir, masih ada saja yang meragukannya.
Lalu, bagaimana polisi meyakinkan bahwa tidak ada bom lain yang mendompleng bom Imam Samudra dan kawan-kawannya?
Saya tegaskan, tidak ada C-4! Tidak ada bom lain. Yang meledak itu adalah bom bikinan mereka (Imam Samudra dan kawan-kawannya). Faktanya sudah jelas. Bukannya kami tidak mau menerima pendapat orang.
Polisi awalnya sempat menyebut jenis bom adalah C-4?
Memang penjelasan pertama Kapolda Bali, pada saat awal peristiwa, menyebutkan C-4. Tapi itu baru penjelasan awal, yang sifatnya masih prematur, yang bisa saja salah. Dari hasil penyelidikan secara ilmiah melalui penelitian laboratorium forensik yang dibantu polisi Australia, lalu menggunakan peralatan teruji keampuhan dan kebenarannya, dan diperkuat lagi keterangan tersangka, sama sekali tidak ditemukan unsur bom C-4. Jadi, mau apa lagi? Kami berpatokan pada fakta itu.
Berbeda dengan bom Bali, kasus bom Marriott lebih cepat teridentifikasi pelakunya karena ditemukannya kepala Asmar Latin Sani. Apa komentar Anda?
Pada dasarnya, prinsip kerjanya sama saja. Polisi memiliki referensi tentang pelaku serta jaringan teroris. Jadi, polisi bisa sampai pada kesimpulan keterlibatan Asmar itu berdasarkan referensi dari pengungkapan kasus bom Bali. Bahwa akhirnya diketahui orang itu adalah Asmar, ini karena kita punya referensi kelanjutan penyelidikan kasus bom Bali. Jadi, nyambung.
Jadi, bom Bali tidak berdiri sendiri?
Oh, tidak. Bom Bali, Makassar, dan Marriott itu nyambung.
Apakah hal ini yang membuat polisi menangkap sejumlah penggiat masjid? Yakni untuk mengembangkan penyelidikan kasus tiga bom itu?
Ya. Sebab, untuk kasus bom Bali saja masih ada orang-orang yang punya peranan penting yang belum ditangkap. Kami membutuhkan informasi yang sebanyak-banyaknya agar bisa memburu mereka.
Tapi, aksi polisi itu bukankah memancing reaksi keras dari masyarakat?
Begini. Pertama, apa yang polisi lakukan itu didukung oleh semangat untuk menenangkan bangsa ini dari ancaman terorisme. Kedua, polisi tidak sembarangan melakukan penangkapan. Memang, orang-orang yang kami tangkap itu pandai menutupi dirinya dengan rapi. Tampil di masyarakat sebagai orang biasa saja, ramah, dan alim. Emangnya polisi punya sentimen pribadi dengan orang itu? Sama sekali tidak. Polisi tidak ujuk-ujuk, asal pengurus masjid ditangkap, asal aktivis Islam ditangkap. Tidak begitu. Semua penangkapan itu harus melewati proses penyelidikan yang panjang dan akurat. Jadi, ada fakta dan alasan yang kuat.
Ada tugas yang belum Anda selesaikan sebagai Ketua Tim Investigasi bom Bali?
Yang tersisa adalah menangkap yang belum tertangkap. Lalu, memberkasnya untuk dibawa ke pengadilan—kalau sudah tertangkap. Khusus untuk bom Bali, boleh dibilang belum tuntas. Belum dapat semuanya. Pekerjaan lainnya yang lebih besar adalah memulihkan keamanan dan membangun kekuatan Bali supaya mampu bertahan.
Bagaimana komentar Anda tentang proses persidangan kasus bom Bali?
Bagus sekali. Adil, terbuka, tak ada yang ditutup-tutupi. Majelis hakim memberikan keleluasaan yang luar biasa kepada semua pihak untuk menyampaikan pikiran dan argumentasinya.
I Made Mangku Pastika
Tempat/tanggal lahir:
Pendidikan:
Pangkat:
Karier:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo