BERBICARA dalam bahasa Bali dengan kaku dan tersendat-sendat, Imam Samudra tiba-tiba menebarkan rayuan maut. ’’Titiang ten memusuhi nak Bali, titiang memusuhi Amerika lan sekutune. Yen iwang titiang nunas sinampura,’’ kata lelaki 33 tahun ini dalam pembelaannya, Agustus silam. Maksudnya? Dia menyatakan tidak memusuhi orang Bali, tapi memusuhi Amerika dan sekutunya. Kalaupun dirinya bersalah karena ada korban orang Bali akibat dari perbuatannya, dia meminta maaf.
Sebagian pengunjung yang menjejali sidang yang digelar di Gedung Nari Graha, Denpasar, sempat terbius dan terharu. Tapi hanya sekejap. Soalnya, lelaki yang lahir di Serang, Jawa Barat, ini tetap menunjukkan ”kegarangannya”. Sebagai komandan operasi peledakan bom di Kuta, Bali, 12 Oktober tahun lalu, yang menewaskan sedikitnya 202 orang, dia pun tidak mengungkapkan penyesalannya. ’’Bagaimana mungkin suatu kewajiban tertinggi yang harus disyukuri malah disesali?’’ ujar Imam Samudra alias Abdul Aziz.
Kewajiban tertinggi? Dia memang masih meyakini apa yang dilakukanya sebagai jihad. ”Warga Amerika dan sekutunya pantas diperangi. Namun, jika ada korban lain, saya hanya bisa berdoa untuk mereka dan semoga keluarga korban sabar,” katanya.
Hanya, majelis hakim yang diketuai Wayan Sugawa dengan cerdik mematahkan pembelaan Imam. Dalam pertimbangan putusan yang diketuk pada September lalu, terdakwa dinilai salah mengartikan jihad. Mereka mengutip pendapat almarhum Azhar Basyir, bekas Ketua Muhammadiyah, yang menyatakan bahwa jihad melalui perang hanya bisa dilaksanakan di negara-negara Islam yang diperangi. ”Karena Indonesia yang mayoritas beragama Islam dalam kondisi aman dan damai, jihad harus diartikan sebagai upaya menyebarluaskan ajaran Islam, bukan menyebar teror dan meledakkan bom,” begitu pendapat majelis. Akhirnya, majelis hakim menjatuhkan hukuman mati kepada Imam Samudra, sesuai dengan tuntutan jaksa.
Tidak seperti kasus biasa, sidang bom Bali memang luar biasa cepat. Rata-rata terdakwa utama hanya menjalani sidang selama 3 bulan dan langsung divonis. Imam Samudra mulai diadili awal Juli dan divonis 10 September silam. Sebulan sebelumnya, Amrozi, pelaku peledakan yang juga menjalani sidang selama kira-kira 3 bulan, sudah divonis sama: hukuman mati. Ali Imron (adik Amrozi) malah lebih cepat lagi prosesnya. Tak sampai memakan waktu satu bulan, pertengahan September lalu perakit bom ini sudah divonis hukuman seumur hidup.
Berbeda dengan terdakwa lainnya, Ali Imron cukup jujur mengungkapkan perbuatannya. Inilah yang meringankan dirinya, apalagi dia menyatakan permintaan maaf. Ali Imron pun menegaskan perbuatannya tidak sesuai dengan konsep jihad dalam Islam. ”Secara hukum dan agama dan negara, perbuatan yang menewaskan ratusan manusia itu tetap salah,” kata Ali.
Yang menarik, dalam persidangan bom Bali, Ketua Pengadilan Negeri Denpasar, I Made Karna, menyiapkan jurus khusus dengan menampilkan ”majelis pelangi”. Anggota majelis hakim sengaja dipilih mewakili berbagai agama agar bisa memberikan putusan yang obyektif. ”Dengan cara itu, putusan bisa lebih komprehensif dan bisa dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan juga Tuhan,” katanya.
Karna sendiri turun tangan langsung menjadi ketua majelis hakim dalam perkara Amrozi. Anggotanya antara lain Lilik Mulyadi (42 tahun), Mulyani (44 tahun), dan Gusti Ngurah Astawa (47 tahun). Untuk berdebat dengan Amrozi dan pengacaranya tentang konsep jihad, tim ini mengandalkan Mulyani, yang beragama Islam. Lelaki ini (kendati namanya mirip perempuan) tergolong muslim yang taat. Ayah dari dua anak ini mengaku selalu berzikir dan kerap melakukan salat sunah selama mengadili Amrozi. Tujuannya, ”Agar tenang selama sidang, apalagi menjelang menjatuhkan vonis,” tutur orang Jember, Jawa Timur, ini.
Lain lagi hakim yang diturunkan untuk mengadili Imam Samudra. Dipimpin oleh I Wayan Sugawa, majelis perkara Imam beranggotakan antara lain I Gusti Lanang Dauh, Linton Sirait, Arif Suprataman, dan Ifa Sudewi. Hampir semuanya telah sarat pengalaman. Untuk menghadapi terdakwa dalam soal jihad, kali ini majelis mengandalkan Arif, yang amat menguasai dalil-dalil Islam. Diakui oleh lelaki kelahiran Pamekasan 14 Maret 1959 ini, bom Bali termasuk perkara berat. ”Tapi, sebagai hakim, saya harus siap menjalankan tugas, termasuk menjatuhkan vonis mati,” katanya kepada TEMPO.
Di tengah tatapan mata dunia, para hakim memang dituntut untuk membuat putusan seadil-adilnya. Hasilnya cukup bisa diterima masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam, dan melegakan negara-negara yang warganya menjadi korban. Duta Besar Australia untuk Indonesia, David Ritchi, pun senang. Yang pasti, ”Mereka itu pembunuh dan tidak mewakili agama apa pun,” kata David Ritchi setelah bertemu dengan Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, K.H. Hasyim Muzadi, sebulan silam.
Sebagai bentuk dukungan Australia kepada pemerintah Indonesia, pekan ini, menurut Ritchi, Perdana Menteri Australia, John Howard, akan memimpin doa bersama di Kuta.
Semua terdakwa utama bom Bali sudah divonis majelis hakim (lihat Peran dan Putusan). Para hakim ini tinggal mengadili para pemeran pembantu, yakni mereka yang membantu peledakan, ikut rapat perencanaan, atau menyembunyikan pelaku.
Cepatnya proses hukum bagi para teroris ini tak lepas dari andil kepolisian yang besar dalam menyediakan saksi dan bukti-bukti. Ini sudah sering dipuji orang. Hanya, kejaksaan pun tak kecil perannya. Untuk membantu penyidikan, Kejaksaan Agung menugasi tiga jaksa senior, Ramelan, Agus Salim, dan Bonar Pasaribu, sebagai pengawas, dan dua jaksa, Moh. Tahir dan Moh. Salim, sebagai pengkaji. Dengan bantuan mereka, 29 berkas perkara dalam kasus bom Bali bisa digodok dengan cermat lalu digelindingkan ke pengadilan dengan cepat.
Protes bukannya tak ada, terutama dari kalangan terdakwa. Muhamad Najib Nawawi alias Najib dari Jawa Tengah, misalnya, selalu menyangkal dirinya terlibat dalam aksi terorisme. Ia menjadi terdakwa lantaran rumahnya di Dusun Molud Tangan, Desa Sudimoro, Kecamatan Tulung, Klaten, Jawa Tengah, dikontrak Ali Gufron sebagai tempat persembunyiannya. Padahal, ”Saya sungguh tak tahu siapa Ali Gufron. Saya hanya merasa beruntung rumah dikontrak, uangnya lumayan untuk menopang hidup,” katanya. Ia mengaku baru tahu penyewa rumahnya bernama Ali Gufron setelah polisi menyodorkan foto tersangka kepadanya.
Kendati terus membantah tak mengenal Ali Gufron, yang menjadi salah satu terdakwa utama kasus ini, Najib tetap dijerat karena dinilai ikut menyembunyikan pelaku. Akhirnya, ia divonis hukuman 7 tahun penjara.
Undang-Undang No. 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Teroris itu memang memberikan keleluasaan yang besar bagi polisi dan jaksa untuk menjerat orang. Ini karena pembuktiannya tidak perlu sekuat seperti aturan dalam hukum acara biasa. Persidangan pun bisa dilaksanakan jadi satu di Denpasar, kendati tempat kejadiannya berlainan. Dalam perkara biasa, orang seperti Najib hanya bisa diadili di pengadilan Klaten karena kejadian perkaranya di sana. Dengan Undang-Undang Anti-Terorisme, semua terdakwa, sekalipun kejadian perkaranya di Kalimantan Timur, bisa diadili di Bali.
Sejauh ini persidangan kasus bom Bali telah melempar sinyal bahwa pemerintah cukup serius memerangi terorisme. Hanya, juru bicara tim kejaksaan, Moh. Salim, membantah jika pemerintah mengendalikan jalannya persidangan. ”Kami bekerja secara profesional. Tidak ada tekanan atau campur tangan pemerintah,” ujarnya. Diakui pula oleh Salim, Undang-Undang Anti-Terorisme amat membantu timnya untuk menjerat para terdakwa. Katanya, ”Memang inilah dasar kami yang paling kuat serta bisa dipertanggungjawabkan secara yuridis untuk mengadili para terdakwa.”
Tak lupa Salim juga memuji kinerja para hakim dalam perkara bom Bali. Bagi dia, majelis hakim telah bertindak profesional dan adil dalam menyidangkan para terdakwa. ”Mereka sudah memberikan porsi yang sama kepada jaksa dan penasihat hukum dalam beradu argumentasi. Persidangan pun berlangsung secara transparan,” ujarnya.
Kendati tidak mungkin bisa menyembuhkan, vonis-vonis mereka mungkin bisa meringankan luka dan duka keluarga korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini