Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEMUANYA berubah menjelang petang. Pukul 15.30, Kamis pekan lalu, suasana di ruang tamu kediaman Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung mendadak meriah. Sebelumnya—ketika pada pukul 10.00 pagi para hakim agung membuka sidang kasasi kasus penyelewengan dana Bulog Rp 40 miliar—seantero rumah tegang senyap. Akbar Tandjung, istri, anak, dan sejumlah pendukung melipat wajah menanti keputusan yang menentukan karier politik sang Ketua DPR.
Tapi pertimbangan hukum yang dibacakan Majelis Hakim Agung mulai menunjukkan tanda-tanda menggembirakan bagi Akbar and the gang. Setiap kali hakim mematahkan pertimbangan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi—yang menghukum Akbar dengan kurungan tiga tahun—para petinggi Golkar dan handai-taulan bertempik sorak. Wakil Sekretaris Jenderal Golkar, Bomer Pasaribu, berkali-kali meninjukan tangannya ke langit. "Yes, yes," katanya berulang-ulang.
Krisnina Maharani, istri Akbar Tandjung, menahan haru sembari sesekali mengusap mata. Akbar, yang duduk di sebelahnya, membatu. Walau wajahnya tak lagi terlihat tegang, matanya terpaku tajam ke layar televisi. Setiap kali hakim agung mematahkan keputusan para hakim di bawahnya, Akbar mengusap wajah sembari melafalkan wirid. Berulang-ulang. Ruangan itu tersaput keriangan.
Saat magrib, keputusan itu akhirnya datang: majelis hakim menyatakan kasasi Akbar Tandjung mereka terima. Artinya, Akbar bebas dari segala hukuman atas kasus yang selama lebih dari dua tahun membetot perhatian publik itu. Pertimbangan hakim pengadilan negeri dan tinggi, bahwa Akbar bertanggung jawab atas penyelewengan dana Bulog, tak digubris kecuali dalam dissenting opinion Hakim Abdul Rahman (lihat Yang Berbeda dari Abdul Rahman). Fakta bahwa uang Rp 40 miliar mengalir ke kas Golkar—seperti muncul dalam investigasi majalah ini—masuk keranjang sampah.
Rumah Akbar Tandjung riuh-rendah. Para pendukung Akbar sibuk memberikan ucapan selamat. Sun pipi kiri, sun pipi kanan. Ponsel milik Akbar pun ikut berteriak-teriak. "Ketua Golkar dari Sulawesi mau bicara, Pak," kata seorang staf Akbar sembari menyodorkan seluler itu.
Lupalah sudah kegentingan yang melanda Gedung Mahkamah Agung beberapa menit sebelumnya. Ketika itu ribuan mahasiswa yang menuntut Akbar Tandjung dijebloskan ke bui beradu ketangkasan dengan aparat polisi yang bersenjata pentungan. Entah siapa yang memulai kekisruhan itu. Para polisi memburu seraya mengayunkan pentungan ke batok kepala para pendemo. Puluhan mahasiswa bocor kepalanya. Darah berceceran. Yudi, mahasiswa Fakultas Teknik Mesin Universitas Negeri Jakarta, hingga Sabtu lalu masih koma di Rumah Sakit Pondok Indah, Jakarta Selatan. Ia gegar otak.
Akbar Tandjung, yang menonton huru-hara itu di layar televisi, sempat tersentak kaget. Sejenak ia memicingkan mata. Beberapa pengurus Golkar yang setia mendampingi sang bos meminta volume televisi dibesarkan. Tapi tak lama. Ricuh itu segera tersapu oleh keputusan hakim yang memenangkan Akbar.
Yang terjadi selanjutnya adalah adagium klasik dalam ilmu politik: bahwa politik adalah seni memainkan segala kemungkinan. Para penyerang Akbar ramai-ramai berbalik badan. Salah seorang Ketua Golkar yang selama ini keras menentang Akbar Tandjung sore itu justru memeluk sang pemenang sambil terisak.
Di daerah, beberapa pengurus partai yang selama ini menyeruduk Ketua Umum seraya memberikan angin kepada para peserta konvensi Partai Beringin, juga merapatkan badan kepada Akbar Tandjung.
Hino Biohamis, Ketua Golkar Sulawesi Tenggara, mengaku akan meralat dukungan kepada calon presiden lainnya dan memberikan sokongan penuh untuk Akbar Tandjung. "Semua pengurus Golkar sudah sepakat, sepanjang Akbar bebas murni, kami mendukungnya," kata Hino. Sejumlah daerah juga mengirim isyarat serupa (lihat Tolak Dahulu, Dukung Kemudian).
Semua gembira. Semua bertepuk tangan. Yang murung tentu saja para peserta konvensi Golkar. Kuat diduga, Akbar memang akan menguasai arena kovensi, yang akan dilaksankan pasca-pemilu legislalatif, April nanti.
Surya Paloh, misalnya. Bos Media Indonesia dan Metro TV ini hari itu sengaja meliburkan diri untuk mendengarkan keputusan majelis. Sejak pukul 12.00 Surya dan tim pendukungnya sudah mengumpulkan wartawan di Hotel Crowne Plaza—yang letaknya boleh dibilang cuma "di pekarangan depan" kediaman Akbar Tandjung. Jumpa pers itu dijadwalkan pukul satu siang. Tapi, karena keputusan tak kunjung dipalu, jadwal itu pun diulur-ulur.
Surya terlihat tegang. Berkali-kali sejumlah petinggi Media Indonesia dan Metro TV menelepon reporter mereka di Mahkamah Agung. "Hakim sedang reses satu jam, Pak. Sekarang sudah 40 menit berjalan," kata Elman Saragih, Redaktur Eksekutif Media Indonesia. "Oh, kurang 10 menit lagi, ya," Surya menukas.
Begitu sidang digelar lagi, Surya kembali memelototi layar kaca. "Paling setengah jam lagi. Itu berkasnya sudah tipis," ujarnya menghibur diri. "Meski kita sudah tahu, fatsoen-nya kan harus menunggu," katanya lagi.
Sembari menyeruput jus, sesekali Surya berkomentar atas pembacaan vonis para hakim itu. Ketika seorang hakim agung mematahkan satu demi satu pertimbangan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, Surya kontan menukas, "Semua pertimbangan itu (dianggap) salah. Jadi sepertinya tolol semua pengadilan tinggi dan negeri."
Menurut Surya, walau Akbar bebas, 99 persen opini media massa bakal minor. Katanya, putusan hakim dianggap tak memenuhi rasa keadilan masyarakat. Opini media massa akan merugikan kredibilitas Akbar. "Berat buat citra Golkar," katanya.
Menjelang petang, para hakim itu masih membaca lembar-lembar pertimbangan. Kali ini Surya tak sabar lagi. Walau para hakim belum memberikan putusan final, ia nekat menggelar jumpa pers. "Kita gelar sekarang, toh pertimbangan hakim sudah jelas arahnya," perintah Surya kepada stafnya.
Di bawah sorotan kamera televisi dan kilatan jepretan juru foto, Surya berucap, "Selamat pada Bung Akbar." Mimiknya serius. Ia menegaskan bahwa dirinya terus melaju ke percaturan konvensi. Sampai di situ semuanya oke-oke saja.
Tapi sabar dulu. Sejumlah anggota tim sukses Surya Paloh bingung. Mereka cemas wartawan televisi dan radio menyiarkan pernyataan Surya, padahal putusan finalnya belum diketuk. "Jangan ditayangin sekarang ya, tunggu semua selesai," bisik anggota tim sukses kepada seorang reporter televisi swasta. Tapi Surya tak salah menduga. Akbar akhirnya memang dimenangkan MA.
Lain Surya, lain pula Wiranto, calon presiden lainnya dari partai itu. Ia menggelar siaran pers di Cafe Quantum, lantai tujuh Menara Imperium, Jakarta Selatan. Dibalut jaket blue jeans, jenderal purnawirawan ini terlihat santai. Setelah memesan orange juice, ia bertanya-jawab dengan wartawan menjelang pukul dua siang. "Apa pun keputusan Mahkamah Agung, tidak akan mengubah keputusan saya maju menjadi kandidat presiden," katanya. Tanya jawab ini berlangsung singkat, karena Wiranto langsung pamit. Orange juice yang dipesan tak sempat ia sentuh.
Wiranto berangkat menuju Kompleks Pejabat Tinggi Widya Chandra, tempat tinggal Akbar Tandjung. Sore itu, selain Wiranto, tampak pula beberapa peserta konvensi lainnya seperti Prabowo Subianto, Aburizal Bakrie, dan Jusuf Kalla.
Dari Yogyakarta terdengar kabar yang semula cuma sayup-sayup: Sultan Hamengku Buwono X, yang juga ikut konvensi, menyatakan mengundurkan diri. "Saya, sebagai representasi kebudayaan yang menjunjung tinggi nilai moralitas, berada dalam posisi dilematis antara penghormatan hukum dan rasa keadilan masyarakat," katanya berdiplomasi.
Ada yang berang, ada yang berusaha menahan diri. Yang tak tertahan adalah banjir kritik segera menghambur ke Mahkamah Agung. "Satu saja komentar saya: kebangetan," kata Sutjipto, Sekjen PDI Perjuangan.
Putusan itu, kata Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais, bakal menyuburkan korupsi di Indonesia. "Ini seperti menggairahkan para pejabat kita untuk semakin ringan, menganggap pemakaian uang negara, berapa pun banyaknya, asal bisa berkilah atas suruhan atasan, bisa dianggap selesai," kata Amien.
Anjing menggonggong, kafilah berlalu. Di rumah Akbar Tandjung keriuhan belum berakhir. Kawan, sanak keluarga, handai-taulan, bahkan musuh, semua berkumpul. Akbar ramah melayani pertanyaan juru warta.
Di pekarangan rumah Akbar Tandjung, seorang pengurus Golkar yang dekat dengan Akbar berbisik. "Kalau Bang Akbar bebas, lima ribu orang datang ke sini. Kalau Akbar kalah, semua pergi, dan isi rumah ini cuma lima orang: Akbar, istri, dua anaknya, dan seorang pembantu," katanya terkekeh.
Wenseslaus Manggut, Jobpie Sugiharto, Sudrajat, Dedy Kurniawan (Kendari)
Akbar dan Golkar, Sudahlah
Inilah suara mereka sesaat setelah palu Mahkamah Agung untuk Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung diketuk. "Tidak" untuk Partai Golkar dan "tidak" untuk Akbar Tandjung dalam Pemilihan Umum 2004 mendatang.
Ditemui di tempat-tempat keramaian, ekspresi responden jajak pendapat TEMPO di lima kota besar di Indonesia ini mengindikasikan kemarahan yang sama: tak sepantasnya Mahkamah Agung membebaskan Akbar.
Tak mudah memang memproyeksikan hasil jajak pendapat ini kepada hasil Pemilu 2004 nanti. Terlalu banyak faktor yang bisa datang mempengaruhi: strategi kampanye Golkar, bujuk rayu, atau mungkin politik uang.
Tapi ekspresi spontan responden jajak pendapat ini menunjukkan kejujuran publik: Akbar dan Golkar, sudahlah.
Setelah Mahkamah Agung membebaskan Ketua Umum Partai Golkar dari tuduhan korupsi, apakah Anda akan memilih Golkar dalam pemilu mendatang? | |||||||||||||
Ya | 26%Tidak | 74% | Â |
Apakah Anda akan memilih Akbar Tandjung sebagai presiden dalam pemilu mendatang?
| Ya | 21% | Tidak | 79% | Â | |
---|
Metodologi jajak pendapat :
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo