Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Surat Pembaca

22 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat dari Redaksi

ADA yang berubah dalam susunan redaksi majalah ini. Di belakang nama Fikri Jufri, pemimpin umum, ada tambahan kata ”non-aktif”. Ada apa dengan FJ (begitu pendiri TEMPO ini biasa disapa)? Tak ada apa-apa. FJ tidak kurang suatu apa jua dan bahkan pada waktu mendatang ini akan lebih sering bepergian ke daerah. FJ dicalonkan oleh Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PIB) untuk menjadi anggota parlemen RI dari wilayah Jawa Tengah Satu (Semarang, Salatiga, dan sekitarnya). Wartawan sejak 1967 ini—dia pernah bekerja di Harian KAMI, Pedoman, dan majalah Ekspres—dikenal luas pergaulannya. Jebolan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini sampai sekarang masih tercatat sebagai salah satu Ketua Forum Komunikasi Kesatuan Bangsa—forum yang memperjuangkan persatuan antar-etnis. Mungkin karena itulah PIB ”melamar”-nya.

Yang juga ”non-aktif” adalah Wahyu Muryadi, redaktur pelaksana. Jebolan Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga itu dicalonkan Partai Kebangkitan Bangsa sebagai calon anggota legislatif untuk wilayah Banten Satu (Banten, Serang, Lebak, Pandeglang, Cilegon). Sebenarnya, dua pekan sebelum menjadi calon anggota parlemen, Wahyu, arek Suroboyo berusia 40 tahun, kepala protokol Istana zaman Presiden Abdurrahman Wahid ini, kami promosikan sebagai Redaktur Eksekutif Tempo Newsroom dan Tempo Interaktif.

Kenapa harus non-aktif? Bagi kami, urusan calon anggota legislatif ini memang dilematis. Di satu sisi, kami ingin menyumbangkan tenaga-tenaga terbaik untuk mengisi pos yang menentukan sebagian jalannya demokrasi kita itu—ketimbang dijejali oleh para politikus ”busuk”. Tapi di sisi lain kami juga sadar bahwa independensi majalah ini juga merupakan sesuatu yang tidak bisa ditawar-tawar. Kami yakin kedua wartawan TEMPO itu tidak akan memakai majalah ini untuk mengkampanyekan partainya, seraya menohok partai lawannya. Tapi, demi menjaga kemandirian pemberitaan, termasuk terhadap Partai Perhimpunan Indonesia Baru dan Partai Kebangkitan Bangsa, kami sepakat membebaskan keduanya dari segala pekerjaan yang bersangkut paut dengan pemberitaan.

Wahyu Muryadi, selama masa menunggu kepastian jadi masuk Senayan atau tidak, akan diberi tugas sebagai Kepala Pusat Data dan Analisa Tempo—mengurusi proyek non-berita, seperti menyiapkan buku panduan masuk perguruan tinggi. Sedangkan FJ kami bebaskan dari kewajiban memberikan evaluasi atas pemberitaan di grup TEMPO.

Jika kelak keduanya benar-benar memenangi kursi parlemen, kami merelakan keduanya seratus persen bertugas di Senayan.

Yang juga berubah adalah posisi Redaktur Eksekutif. Pos yang sebelumnya dijabat Leila S. Chudori itu kini dijabat oleh S. Malela Mahargasarie, yang sebelumnya menjabat Redaktur Eksekutif Koran Tempo. Leila mendapat tugas penting sebagai redaktur senior: membimbing para wartawan yang bersiap menjadi redaktur dan redaktur utama, sekaligus melakukan evaluasi terhadap tulisan para calon redaktur itu.

S. Malela, lulusan Seni Rupa ITB, selain menyiapkan isi majalah ini setiap pekan, juga ditugasi ”mempercantik” penampilan desain dan visual majalah ini. Posisi S. Malela di Koran Tempo digantikan oleh Diah Purnomowati, lulusan Institut Pertanian Bogor, yang menjadi redaktur eksekutif perempuan yang pertama di Koran Tempo.

Dengan rotasi yang rutin, dan dengan kesadaran menjaga kemandirian ini, kami mencoba terus mempertahankan semboyan ”enak dibaca dan perlu”.


Keluhan buat Telkom

Saya ingin mengajukan komplain kepada Telkom atas tanggapannya terhadap keluhan yang saya sampaikan perihal telepon dengan nomor 8715336 atas nama Endang Sri. Telepon tersebut tidak berfungsi selama 19 hari.

Tak terhitung berapa kali keluhan tersebut saya sampaikan, mulai tanggal 9, 12, 16 dan 19 Januari 2004, melalui telepon 147. Namun, semua itu hanyalah mendapatkan janji-janji yang tak pernah ditepati. Bagaimana Telkom? Kapan telepon tersebut berfungsi kembali?

BAMBANG PRAYITNO
Depok, Jawa Barat, 16952


Penjelasan PT BFI

KAMI ingin memberikan penjelasan sehubungan dengan komplain Saudara Akhmad Firdaus yang dimuat di rubrik Surat dan Komentar pada Majalah TEMPO edisi 26 Januari-1 Februari 2004, agar khalayak mendapatkan informasi yang jelas.

Sebenarnya Akhmad Firdaus bukan konsumen kami sebagaimana ditulis oleh yang bersangkutan, bahwa kontrak nomor 5238006788 tercatat atas nama Hj. Arofah (konsumen). Sehingga, sangat tidak berdasar apabila pihak lain yang sama sekali tidak memiliki hubungan hukum dengan kami dapat memahami apa yang telah disepakati antara kedua pihak yang mengadakan pengikatan satu sama lain.

Kontrak pembiayaan diberikan Bunas Finance Indonesia (BFI) Malang, Jawa Timur, kepada konsumen pada tanggal 9 Januari 2002 dengan nomor kontrak 5238006788, dengan domisili konsumen berada di wilayah Pasuruan, Jawa Timur. Cara pembayaran yang disepakati di dalam perjanjian adalah secara tunai. Sejak awal kontrak, konsumen sering menunggak harian. Pada saat pembayaran terlambat dua bulan, konsumen baru mengakui, unit/mobil telah dialihkan ke menantunya di Bali, tanpa melakukan konfirmasi sebelumnya kepada BFI.

BFI tidak pernah mengetahui siapa Saudara Akhmad Firdaus dan tidak pernah berhubungan dengannya selama masa pembiayaan. BFI selalu menghubungi konsumen setiap kali melakukan penagihan atas keterlambatan pembayaran. Pihak konsumen yang menginformasikan bahwa ia telah melakukan pembayaran melalui transfer, namun tanpa mengirimkan bukti transfer, sehingga pembayaran yang diterima menjadi tidak teridentifikasi (unrecord payment). BFI tidak dapat memastikan apakah konsumen telah melakukan pembayaran pada tanggal jatuh tempo, mengingat hasil pengecekan di bank tidak tercatat nama konsumen dan nomor kontrak. Hal ini menimbulkan pembebanan denda sesuai dengan ketentuan di dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen yang telah disepakati.

Pada saat Saudara Akhmad Firdaus menghubungi BFI, pihak BFI (diwakili oleh Indri, kasir) telah menjelaskan bahwa unrecord payment terjadi karena hal-hal tersebut di atas dan memohon kedatangannya ke kantor dengan membawa bukti-bukti pembayaran secara lengkap untuk pengecekan dan pembuktian transfer tersebut. Tapi, yang bersangkutan tidak pernah datang ke BFI. Sampai saat ini, konsumen masih memiliki kewajiban pembayaran denda sebesar Rp 3.151.325. BFI akan melakukan koreksi atas timbulnya denda tersebut apabila konsumen dapat membawa bukti-bukti pembayaran secara lengkap. Misi kami adalah kualitas pelayanan yang tinggi, sehingga merekayasa tanggal pembayaran tidak pernah ada dalam tujuan perusahaan kami sebagaimana tuduhan Saudara Akhmad Firdaus.

SELVI
PT BFI Finance


Janji-Janji Pengembang

IMPIAN memiliki rumah idaman sudah lama kami cita-citakan. Setiap ada pameran property, kami selalu menyempatkan hadir. Suatu ketika, tertarik dengan tampilan stan yang begitu megah dan janji menjadi kota mandiri, saya akhirnya melakukan pengikatan jual-beli melalui kredit rumah tipe 54 seluas 135 meter persegi di Kota Kembang, Depok, dengan developer PT Inti Karsa Daksa, pada Januari 2003.

Sebagai konsumen yang baik, kami mengikuti prosedur yang ditetapkan developer. Uang muka kami bayarkan, cicilan tepat waktu, administrasi lengkap. Tapi, apa balasan yang kami dapat? Sampai saat ini rumah kami belum dibangun selayaknya. Jangankan naik atap, pondasi saja masih berantakan. Padahal, dalam surat perjanjian tertera bahwa proses pembangunan rumah hanya memakan waktu 6 bulan sejak pengikatan jual-beli pada Januari 2003.

Tak terhitung berapa kali kami komplain ke kantor developer, tapi tidak ada pejabat PT Inti Karsa Daksa yang mau menerima kami, hanya customer service yang berganti-ganti orang. Kalaupun ada permohonan maaf, developer baru mengirimkan surat bulan Oktober 2003 bahwa rumah kami akan diselesaikan akhir April 2004. Saat dihubungi, orang yang membuat surat sudah mengundurkan diri.

Akhirnya, kami hanya bisa terus memperpanjang kontrakan rumah kami tanpa tahu kepastian kapan pindah. Saya berdoa, semoga pengembang menyadari tindakan menzalimi para konsumennya. Kepada Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, apa yang bisa kami lakukan? Apakah Real Estat Indonesia bisa memberikan tindakan tegas? Bagi yang merasa senasib, silakan berbagi info ke [email protected] atau 0816-1465877. Semoga Allah SWT membuat kita sabar sebelum memutuskan upaya hukum.

M. THORIQ
Anggrek 3 / Blok G-1 No. 2


Menyesalkan Jaya Suprana

Pernyataan Bapak Jaya Suprana yang mengatakan bahwa mantan presiden Abdurrahman Wahid jatuh karena lupa memberikan amplop kepada wartawan dalam forum Konvensi Nasional Media Massa se-Indonesia (Minggu, 9 Februari) membuat saya hampir tidak percaya bahwa hal itu diucapkan oleh seorang Jaya Suprana, yang selama ini saya hormati.

Sebagai seorang wartawan muda, saya tidak menutup mata akan adanya praktek wartawan amplop, yang tidak saja merusak kebebasan pers bagi kepentingan publik, tapi juga telah merusak citra jurnalis yang selama ini tetap konsisten dengan integritasnya. Untuk itu saya setuju dengan apa yang dikatakan Ibu Erna Witoelar bahwa masyarakat pers sendiri harus ikut membersihkan diri dari kebusukan sebelum ia menjadi pengontrol sosial bagi publik.

Tapi apa yang dikatakan oleh Bapak Jaya Suprana bahwa Gus Dur lupa memberikan amplop kepada para pemimpin redaksi sehingga wartawan menjatuhkan Gus Dur dari kursi presiden mencerminkan pelecehan dan penghinaan luar biasa berdasarkan generalisasi serampangan pada profesi jurnalis.

Saya tidak dapat berpikir bagaimana seorang Jaya Suprana yang terhormat bisa melakukan tuduhan keji seperti itu. Saya bisa membayangkan betapa hancurnya hati teman-teman wartawan Istana yang mendapat tuduhan dari narasumber yang sama, padahal banyak di antara mereka yang telah bekerja dengan baik tanpa melakukan apa yang menjadi tuduhan Pak Jaya Suprana. Protes seorang wartawan Istana di forum itu pun ditanggapi dengan jawaban bahwa amplop jangan ditabukan tapi bagian dari hak profesi seperti yang diterimanya setelah menjadi pembicara. Semoga itu hanya lelucon, tapi buat saya itu semakin menunjukkan ke-ngawur-an berpikir. Amplop bagi wartawan untuk menuliskan hal berbau sponsor berbeda konteksnya dengan amplop saat seseorang mendapat honor setelah ia menjalankan tugasnya sebagai pembicara.

Adanya wartawan yang melakukan praktek amplop bukan menjadi sesuatu yang harus ditutup-tutupi, dan harus kita lawan bersama, tapi menyamakan kejatuhan Gus Dur dengan amplop buat para pemimpin redaksi/jurnalis mencerminkan kedangkalan berpikir.

Saya berharap pernyataan Bapak Jaya Suprana dalam forum peringatan Hari Pers itu hanyalah guyonan tidak lucu berbingkai stereotipe sempit.

Rosianna Silalahi
Jurnalis SCTV


Tanggapan Bank Danamon

Sehubungan dengan surat Bapak Ngakan Putu Putra yang dimuat di Majalah TEMPO Edisi 22-28 Desember 2003 berjudul Mantra dan Iklan Danamon, berikut ini kami sampaikan penjelasan Bank Danamon untuk dimuat dan disampaikan kepada yang bersangkutan.

Terima kasih atas dukungan Bapak Ngakan Putu Putra yang telah turut menjaga reputasi Bank Danamon dengan memberikan masukan berharga mengenai iklan "Bank Danamon Terkabul" yang diputar di beberapa stasiun radio.

Kami sama sekali tidak bermaksud menyudutkan atau melecehkan kelompok sosial atau agama mana pun. Apabila penggunaan kata "mantra" tidak pada tempatnya dan menimbulkan kesalahpahaman, kami sangat menyesal dan mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Memperhatikan masukan Bapak dan sebagai tindak nyata, kami telah menghentikan pemutaran iklan radio tersebut. Tindakan ini kami lakukan guna menjaga kepercayaan yang telah diberikan oleh nasabah kami dan juga masyarakat Indonesia pada umumnya.

Harapan kami, dengan upaya untuk selalu memperbaiki diri, Bank Danamon juga dapat menjaga sikap corporate citizen yang bertanggung jawab serta terus meningkatkan kinerja.

Tya Adhitama Daud
Kepala Divisi Komunikasi
PT Bank Danamon Indonesia Tbk.


Panser van Bandung

Tulisan dalam Majalah TEMPO Edisi 8-14 Desember 2003 yang berjudul Menunggu Panser van Bandung perlu dicermati. Sebagai anggota TNI, saya merasa bangga dengan adanya keputusan pemimpin TNI untuk menerjunkan "panser van Bandung" dalam kancah penumpasan GAM di Aceh. Pola dasar kemandirian yang diperjuangkan oleh Tim Industri Pertahanan di bawah Letjen (Purn.) Hasnan Habib tidak berhasil. Pada saat itu, Pindad telah menghasilkan prototipe SS-77 kal. 5,56 mm dan prototipe APC oleh Bengpusmat-II dengan bantuan tim teknis AMX Prancis, yang sekarang tidak diketahui nasibnya. Peralatan perang baru andal bila sudah melalui uji coba perang.

Dalam masalah ini, saya teringat sewaktu mengikuti kunjungan yang dipimpin oleh Bapak Hasnan Habib pada fasilitas-fasilitas produksi industri pertahanan di India. Atas pertanyaan mengapa tentara India sampai membangun fasilitas industri sebesar waktu itu, yang jelas memberikan beban pada anggaran negara, didapatkan penjelasan yang sama sekali di luar dugaan. Dalam pembangunan industri pertahanan, India harus memiliki 60 persen kemandirian yang disebut dengan self-reliance policy. Kebijakan ini dicetuskan sebagai akibat kekalahannya sewaktu diserbu oleh RRC. Pada saat itu, pemerintah India telah berteriak minta bantuan dari negara-negara adidaya, tapi tidak satu pun memberikan respons. Meskipun pendudukan oleh RRC hanya selama dua pekan, kekalahan itu telah menggugah pemerintah India untuk bertekad membangun kekuatan militer atas kemampuannya sendiri. Pada saat itu, India memiliki lima pabrik mesiu kal. 7,62 mm, yang semuanya bekerja dalam dua shift yang dibutuhkan untuk latihan. Di Mazagon Dock, dibangun 8 destroyer kelas Leander, dan tidak kalah di Hindustan Aeronautics dibangun pesawat ground attack tipe Mardut hasil desain sendiri, di samping meng-assemble MiG-23.

Saat itu pemerintah India juga telah menawarkan kredit US$ 50 juta untuk membantu pembangunan industri pertahanan Indonesia. Bantuan itu tidak digubris oleh para elite penentu kebijakan karena India dianggap menggunakan teknologi yang obsolete. Sampai-sampai gagasan memanfaatkan Hindustani Machine Tools (HMT) untuk revitalisasi Pindad dan pembangunan industri permesinan nasional juga tidak terwujud. Sedangkan ada pemeo yang mengatakan bahwa "all talks of self-reliance in defense was meaningless, so long as the country did not have a strong machine tools industry."

Pembangunan industri nasional, termasuk industri pertahanan, memang merupakan proyek jangka panjang dengan penguasaan teknologi yang bertahap. Dan tidak bisa dilupakan masalah pemasaran produknya. Pada 20 tahun yang lalu, dengan kembalinya Dr. Ing. B.J. Habibie, trennya memang langsung pada "lompatan" teknologi tinggi dengan pola transfer "berawal dari akhir dan berakhir dengan awal" sebagaimana yang dilakukan pada industri PT Nurtanio (sekarang PT Dirgantara Indonesia), industri kesayangannya, yang jelas bukan jenis industri yang dapat mendasari pembangunan industri nasional.

Meskipun saya oleh Hankam ditetapkan sebagai "stroman" dalam penandatanganan akta notaris pendirian PT Nurtanio, saya tetap tidak yakin akan kebenaran kebijakan menjadikan pembangunan industri pesawat terbang sebagai batu lompatan dalam pembangunan industri nasional, khususnya industri pertahanan. Tapi apa mau dikata kalau (waktu itu) Presiden Soeharto sudah memberikan dukungan penuh untuk kebijakan itu.

Kekeliruan pola pembangunan industri nasional, khususnya industri pertahanan, memang baru sekarang kita rasakan pahitnya. Semoga pemunculan "panser van Bandung" bukan karena kondisi keterpaksaan, melainkan karena timbulnya era baru akan kesadaran betapa perlunya pola self-reliance (kemandirian, berdikari, atau apa pun namanya).

Abdul Rachman
Kolonel (Purn.) Angkatan Laut


Tertahannya Uang TKI

Atas permintaan tenaga kerja Indonesia (TKI) atau keluarganya, saya membantu mengirim sekitar 400 permohonan mereka ke Kantor Asuransi (GOSI) di Riyadh, Arab Saudi. Sejak 1999, pihak General Organization for Social Insurance di Riyadh menyetop pengiriman uang asuransi TKI tersebut. Saya sudah minta tolong kepada beberapa pihak, seperti Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea, Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, perwakilan perburuhan internasional (ILO), Menteri Tenaga Kerja dan Sosial Arab Saudi, dan perwakilan RI di Riyadh. Hasilnya nihil.

Belakangan ini, para TKI tersebut mendesak saya untuk mempercepat urusan ini. Saya sampaikan bahwa yang punya wewenang adalah Kantor Asuransi Arab Saudi. Bahkan minggu lalu saya datang lagi ke Departemen Tenaga Kerja, ingin menemui Bapak Marjono, tapi tak berhasil. Saya khawatir, jika tidak ada yang bertanggung jawab, uang asuransi TKI Arab Saudi tersebut lenyap ditelan zaman. Demikianlah nasib TKI kita sebagai pahlawan devisa.

Ali Muchsin
Jakarta Timur


Wajah Bandar Udara Soekarno-Hatta

Kami malu melihat perilaku petugas Bandar Udara Soekarno-Hatta terhadap warga negara asing. Ketika itu, 31 Januari 2004, kami menemani saudara kami, seorang ayah beserta anak perempuannya, warga negara Republik Rakyat Cina. Mereka akan kembali ke RRC setelah mengunjungi Indonesia selama seminggu atas undangan kami.

Saudara kami sangat terkejut karena, pada saat mengurus keimigrasian, petugas imigrasi di bandar udara meminta uang kepadanya dengan setengah memaksa. Saudara kami terpaksa memberikan uang Rp 100 ribu karena terdesak waktu dan tak ingin urusan yang merepotkan.

Yang menjadi masalah bagi kami bukan uangnya, melainkan tindakan oknum imigrasi yang telah meminta-minta uang tersebut. Bandara adalah salah satu gerbang keluar-masuk wilayah Indonesia, apalagi Bandara International Soekarno-Hatta, yang tentunya yang pertama kali dilihat oleh pendatang dari luar negeri.

Melalui surat pembaca ini, kami mohon bapak-bapak pejabat imigrasi agar dapat menertibkan petugas-petugasnya, terutama di Bandara International Soekarno-Hatta, dan membersihkan bandara tersebut dari para pengemis.

Benny Gunawan
Jakarta Selatan


Ralat

DALAM tulisan Seperti Kematian, yang dimuat di rubrik Musik, Majalah TEMPO Edisi 9-15 Februari lalu (halaman 90), ada sedikit kesalahan. Di alenia pertama disebut pelukis Saut Situmorang. Yang benar adalah Saut Sitompul. Kami minta maaf atas kesalahan ini. Red.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus