Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bambu Versus Semen

1 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PAGI itu Ni Ketut Kiyeng terlihat sibuk di paon atawa dapur rumahnya di Desa Penglipuran. Perempuan 63 tahun itu tengah mengiris bawang. "Mau bikin sambal matah," kata Kiyeng. Paon berukuran 4 x 5 meter itu memang tempat Kiyeng memasak. Namun di dapur yang terbuat dari bambu itu ia juga biasa tidur menghabiskan malam. Makanya ia melengkapi paon-nya dengan alas tidur dan televisi. Dia merasa nyaman tidur di paon, yang berjarak sekitar 5 meter dari bangunan rumahnya. "Di sini hangat walaupun malam atau hujan," ujarnya.

Bukan hanya Kiyeng yang tidur di paon. Tatkala Tempo menelusuri rumah-rumah di Penglipuran, tak jarang menemukan penduduk yang tidur di paon. Mereka kebanyakan warga lanjut usia.

Boleh dibilang, pada akhir 1970-an, rata-rata rumah di Penglipuran terbuat dari bambu. Seiring dengan berkembangnya zaman, bangunan di sini sekarang tidak jauh berbeda dengan rumah pada umumnya.

Pakar arsitektur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Johan Silas, yang pada 1970-an tinggal di Bali, mengenang Dinas Pekerjaan Umum Pusat menggerakkan programnya lewat Dinas PU Provinsi Bali untuk memplester rumah bambu dengan semen. "Sirat bambu diganti genting. Itu kan konyol. Malah jadi pengap," kata pria 80 tahun itu.

Johan ingat, tatkala tiba di Desa Penglipuran, proyek Dinas PU baru saja dimulai. Sedikitnya lima rumah akan diplester menggunakan semen. Dia menuturkan, bahan bambu sangat awet digunakan, sampai 20 tahun lebih. Dosen terbang untuk Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Udayana ini lalu bersama para mahasiswanya rutin melakukan sosialisasi guna meyakinkan warga bahwa bambu lebih bermanfaat dibanding semen. "Saya percaya, aspek tradisional itu akrab dengan lingkungan. Jadi kenapa harus diubah?" ujarnya.

Sosialisasi itu menjadi semakin mudah karena ada mahasiswanya yang juga seorang undagi, arsitek tradisional Bali yang disegani, Nyoman Gelebet. Karena antusiasme warga mempertahankan bambu didukung kalangan akademikus, saat itu proyek bangunan Dinas PU mundur dengan sendirinya. "Walaupun pada zaman Orde Baru menolak program pemerintah cukup besar risikonya, semua berjalan tanpa ada masalah," ujar Johan Silas.

Beberapa waktu lalu, Johan sempat mengunjungi Desa Penglipuran. Ia melihat rumah-rumah di Penglipuran berubah menjadi bangunan permanen yang banyak variasinya. "Semestinya pihak pemerintah daerah yang lebih antusias membina Desa Penglipuran," katanya. Toh, hutan bambu di kawasan Penglipuran masih terjaga.

Nyoman Gelebet, 72 tahun, bercerita tentang Desa Penglipuran yang rutin ia kunjungi pada 1976. Saat itu ia baru meraih gelar insinyur dari ITS. Menurut Gelebet, saat itu bukan hanya mahasiswa dari Universitas Udayana yang mengunjungi Desa Penglipuran, tapi juga mahasiswa Universitas Diponegoro, Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, dan Institut Teknologi Bandung. "Kami masuk ke rumah-rumah melakukan dialog," kata Gelebet. Dialog dilakukan untuk membangun kesadaran warga melestarikan bambu sebagai bahan bangunan.

Kesadaran warga yang dibangun lewat kalangan akademikus saat itu, menurut Gelebet, juga menjadi cikal-bakal Desa Penglipuran menuju desa wisata. Penglipuran dibuka sebagai desa wisata pada 1993 berdasarkan Surat Keputusan Bupati Bangli Nomor 115. Bupati Bangli saat itu adalah Ida Bagus Gde Agung Ladip. Desa Penglipuran memiliki hutan bambu seluas 45 hektare, yang ditumbuhi 14 jenis bambu. Gelebet mengatakan bambu diutamakan menjadi maskot pariwisata Desa Penglipuran, yang menunjukkan sebuah identitas dari obyek wisata. "Para turis juga menyarankan agar bambu jangan dirombak," ujarnya.

Bram Setiawan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus