Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penglipuran, Keasrian, dan Awig-awig

Penglipuran, desa adat di Kabupaten Bangli, Bali, disebut-sebut sebagai salah satu desa paling bersih di dunia. Desa yang berada di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut itu memiliki sekitar 200 rumah tradisional yang tertata begitu rapi. Halamannya bersih tanpa sebutir sampah pun. Aneka jenis tanaman hias, seperti kembang sepatu, mawar, bugenvil, dan kemboja, menghiasi pekarangan. Udaranya segar. Tak ada kendaraan bermotor yang berlalu-lalang di desa yang dihuni masyarakat Bali Aga itu.

Menjaga kebersihan telah menjadi kebiasaan turun-temurun di Penglipuran. Desa ini juga memiliki aturan tentang menjaga kebersihan lingkungan lewat undang-undang adat awig-awig. Desa yang juga pernah meraih penghargaan lingkungan Kalpataru ini pun gigih mempertahankan kawasan hutan bambu.

1 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"PERTAMA kali saya tahu kabar itu dari baca situs boombastis.com," kata I Nengah Moneng, 65 tahun, Ketua Pengelola Wisata Desa Penglipuran. Sembari mengajak Tempo meneguk loloh cemcem, minuman khas Desa Penglipuran, yang rasanya perpaduan manis, asam, dan asin, ia membicarakan Penglipuran yang mendadak nge-hits di media sosial sebagai tiga desa paling bersih di dunia bersama Desa Giethoorn di Belanda dan Desa Mawlynnong, India

Ruang tamu rumahnya dipenuhi bingkai foto. Di antaranya terpajang foto dia bersama Bendesa (Kepala Desa) Adat Penglipuran, I Wayan Nyamod, menerima Kalpataru pada 8 Juni 1995 di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta. Warga Penglipuran meraih penghargaan itu karena dinilai mampu menjaga hutan bambu di desa tersebut. Luas keseluruhan desa ini 112 hektare. Itu terdiri atas 45 hektare hutan bambu, 9 hektare permukiman, dan 55 hektare area perkebunan. Di hutan bambu seluas 45 hektare itu tumbuh 14 jenis bambu. Pola tata ruang dan angkul-angkul, pintu gerbang masuk pekarangan beratap sirat bambu, menjadi ciri khas desa yang dihuni 237 keluarga atau sekitar 1.000 jiwa itu.

"Saya terkejut. Saya tidak tahu lembaga mana yang memberi penilaian itu," kata Moneng. Menurut Moneng, menjaga kebersihan lingkungan memang kebiasaan warga Penglipuran sejak dulu. "Nenek moyang orang Penglipuran kalau menyapu dua kali sehari dari depan sampai belakang," tuturnya.

Sudah lima kali Tempo mengunjungi Penglipuran jauh sebelum desa ini populer sebagai desa paling bersih. Kebersihan di desa ini memang menjadi prioritas, bahkan puntung rokok tidak ada di sepanjang jalan. Di balai tempat beristirahat bagi pengunjung disediakan asbak. Tertib membuang sampah begitu jelas menjadi kebiasaan penduduk. Dari area parkir hingga sepanjang jalan utama desa bukan hal yang sulit menemukan bak sampah yang dikhususkan untuk organik dan non-organik.

Got di depan rumah-rumah penduduk juga sangat bersih. Limbah rumah tangga seperti air bekas cucian, busa sabun, dan sampo bekas mandi tidak mengalir ke saluran got, tapi semuanya masuk septic tank yang berada di belakang rumah. Got di Desa Penglipuran hanya dialiri air hujan.

Menurut Moneng, sejak dibuka sebagai desa wisata pada 1993, Penglipuran memiliki petugas kebersihan khusus di beberapa area. Untuk hutan bambu dan jalan melingkar, masing-masing ditempatkan dua petugas. Sedangkan untuk area jaba pura satu petugas kebersihan. Ia berencana menambah jumlah petugas kebersihan.

Suasana di Penglipuran juga terasa nyaman memanjakan mata, karena banyak tanaman hias yang tumbuh di tiap telajakan (taman) rumah. Sedikitnya terdapat delapan jenis tanaman bunga yang menghiasi tiap telajakan, yakni kembang sepatu, mawar, bugenvil, lavender, matahari, gumitir, dan kemboja. Ada juga tanaman terung susu, yang memberi daya tarik tersendiri.

Di sepanjang jalan utama Desa Penglipuran, kendaraan bermotor dilarang melintas. Itu sebabnya, jika mengelilingi desa ini pagi hingga sore, tidak ada deru mesin. Yang terdengar hanya suara aktivitas penduduk dan riuhnya para pengunjung atau wisatawan. Biasanya sepeda motor melintasi jalan utama desa hanya pada malam hari. Itu pun jika memang sangat darurat.

Yang menarik, disiplin untuk menjaga kebersihan di Penglipuran "dilegalkan" di undang-undang desa. Bendesa Adat Penglipuran, I Wayan Supat, 49 tahun, mengatakan aturan menjaga kebersihan termaktub setebal 21 halaman. Sebelumnya, awig-awig hanya berupa tradisi lisan leluhur warga Penglipuran. Lalu pada 1989 didokumentasikan menjadi Kitab Undang-Undang Desa Adat Penglipuran.

Dalam awig-awig khusus pembahasan palemahan, Bab Hubungan Manusia dan Lingkungan, disebutkan, "Karang kerti ketata wangun manut dresta." Artinya, pekarangan atau lingkungan digunakan menurut aturan yang secara rinci disepakati lewat paruman, hasil musyawarah sesuai dengan Desa (tempat), Kala (waktu), dan Patra (keadaan).

Sanksi akan dijatuhkan bagi penduduk yang melanggar, yakni mereka yang membuang limbah lewat saluran got di depan rumah dan membuang sampah ke jalan utama desa. Supat mengatakan penduduk yang berani melanggar harus melaksanakan askara danda (ritual bayar denda), menghaturkan sesajen di empat lokasi, yaitu Pura Pentaran, Pura Dalem, Pura Puseh, dan catus pata (persimpangan jalan). Sesajen yang dipersembahkan berupa pecaruan panca sato, lima ekor ayam berbeda warna di tiap tempat. "Kalau sampah kecil, seperti bungkus permen atau puntung rokok, hanya teguran, lalu dipungut," katanya.

Menurut dia, sampai saat ini belum pernah ada penduduk yang melanggar aturan awig-awig yang terkait dengan masalah kebersihan. Bagi Supat, sanksi yang berlaku itu lebih bermanfaat untuk membangun kesadaran warga Penglipuran. "Denda kalau tidak diiringi rasa malu tidak ada gunanya," ujar pria yang sudah 17 tahun menjadi bendesa adat ini.

Upaya menjaga kebersihan di Desa Penglipuran juga dimanfaatkan untuk menghasilkan sesuatu yang berguna. Setiap bulan sampah plastik yang dikumpulkan penduduk di balai banjar kemudian dikelola oleh organisasi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga. "Kami bekerja sama dengan bank sampah," kata Supat. Sedangkan sampah organik dari hutan bambu dikelola menjadi pupuk untuk lahan perkebunan penduduk. Pupuk juga digunakan untuk menyuburkan aneka jenis tanaman hias yang berada di telajakan rumah, lahan kecil semacam taman. "Kami tidak membeli pupuk. Hasil sampah organik di desa ini sudah cukup."

Desa Penglipuran sudah ada sejak sekitar 700 tahun silam atau abad ke-13. Menurut catatan sejarah, leluhur orang Penglipuran berasal dari Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani, Bangli, yang berjarak 20 kilometer dari Desa Penglipuran. Saat itu Raja Bangli meminta warga Bayung Gede turun ke wilayah seputaran Kelurahan Kubu. Dulu, sebelum bernama Penglipuran, desa ini bernama Kubu Bayung, yang berarti orang Bayung Gede yang tinggal di Kubu. Atau orang Kubu yang berasal dari Bayung Gede. Menurut Supat, tujuan berpindahnya orang Bayung Gede ke Penglipuran adalah mendekatkan diri dengan pusat Kerajaan Bangli, yang berjarak 4 kilometer. "Karena sering dipanggil raja, mereka dipindahkan ke permukiman ini sebagai abdi Kerajaan Bangli."

Setelah lama bermukim, lambat-laun desa ini berubah nama menjadi Penglipuran. Supat menjelaskan, ada dua pengertian dari kata Penglipuran. Pertama, dari asal kata "penglipur", yang artinya "penghibur". Kaitan makna kata ini juga ada beberapa versi. "Orang Penglipuran menyenangkan bagi Raja Bangli karena sering membantu," ujarnya. Sedangkan arti lain, konon, pada zaman dahulu wilayah ini tempat melila cita (rekreasi) Raja Bangli.

Pengertian kedua, tutur Supat, Penglipuran berasal dari kata "pangeling" dan "pura". "Pangeling" berarti ingat, dan "pura" dalam bahasa Sanskerta maksudnya pur (benteng) atau jika diperluas pengertiannya berarti tempat tanah leluhur. "Kami membangun desa adat secara fisik dan nonfisik berdasarkan budaya di Desa Bayung Gede sebagai keberadaan tanah leluhur," katanya.

Di Desa Penglipuran, struktur kepengurusannya menganut sistem ulu apad, membedakan antara prajuru adat dan prajuru ulu apad. Sistem ulu apad juga digunakan oleh warga Desa Bayung Gede. Bukan hanya itu, kesamaan lain antara Penglipuran dan Bayung Gede adalah larangan memadu luh (poligami). Sanksi bagi penduduk yang berpoligami adalah dikucilkan di sebuah lahan kosong serta dicabut kewajibannya sebagai krama (warga) desa adat. Di Penglipuran lahan itu bernama Karang Memadu, yang luasnya 2,5 are dan terletak di ujung selatan desa.

Antropolog Thomas A. Reuters dalam bukunya, Custodians of The Sacred Mountains: Budaya dan Masyarakat di Pegunungan Bali, menjelaskan bahwa Desa Bayung Gede adalah induk dari sejumlah desa kuno Bali Aga di kawasan Bangli. Selain Penglipuran, desa lain adalah Sekardadi dan Bonyoh. Reuters menyajikan etnografi komprehensif tentang Bali Aga, kelompok etnis yang mendiami pegunungan di Pulau Bali.

Reuters menjelaskan bahwa Bali Aga dianggap sebagai leluhur orang Bali. Orang Bali Aga pada umumnya dianggap oleh orang lain atau menganggap diri mereka sendiri sebagai penduduk asli Bali. Keturunan dari nenek moyang pertama Bali Aga yang telah membersihkan hutan belukar yang roh-rohnya masih tetap menjaga pulau. Masyarakat Bali Aga ditentukan stratifikasinya berdasarkan pembagian di antara anggota desa lewat sistem ulu apad.

Selain memiliki kebiasaan menjaga kebersihan lingkungan secara turun-temurun dari para leluhur, warga Penglipuran hidup rukun bergandengan. Itu bisa dilihat dari salah satu warisan leluhur tentang permukiman warga Penglipuran, yakni pintu peletasan, menembus rumah tetangga. "Umumnya, di rumah-rumah biasa, kalau mau berkunjung ke tetangga harus keluar pekarangan. Di sini tidak perlu," kata Supat. Pintu peletasan, Supat menambahkan, menghubungkan jejeran rumah warga dari sisi utara sampai selatan. Pintu peletasan adalah ciri komunikasi warga Penglipuran. "Ini mencerminkan sebuah filosofi masing-masing penghuni rumah saling bergandengan."

Guru besar Universitas Udayana, Putu Rumawan Salain, menjelaskan, selain sebagai akses komunikasi, pintu peletasan rumah orang Penglipuran ada hubungannya dengan sistem keamanan. "Kalau diserbu dari jalan, mereka bisa bergerak bersama-sama dari belakang," ujarnya. "Jika ditinjau dari aspek sejarah, tafsiran tersebut berkaitan dengan masa kerajaan pada zaman dahulu," kata Rumawan, yang pada 1997-1998 melakukan riset antropologi arsitektur di Desa Penglipuran untuk tesisnya di Program Studi Kajian Budaya Universitas Udayana.

Menurut Rumawan, tata ruang di Desa Penglipuran membentuk sebuah konsep nabuan atau lebah. Konsep inilah yang mempertahankan pola tata ruang rumah warga Penglipuran tidak kebablasan. "Lebah kalau membuat rumah sudah cukup besar kemudian berhenti," ujarnya.

Itu sebabnya warga Penglipuran tidak menambah aksesibilitas dan rumah. Konsep tersebut menjadi cerminan identitas lokal yang bertolak belakang dengan sistem tata ruang pada umumnya. Misalnya, kata Rumawan, pola papan catur-berlipat atau konsentrik-memusat. "Ini contoh kedaulatan warga Penglipuran, pola linier tumbuh berkembang di sepanjang jalan," ujarnya.

Bram Setiawan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus