Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Merayakan Kadek Murni

Belasan perupa dalam dan luar negeri menampilkan tafsir atas karya-karya pelukis kontroversial Bali, Kadek Murniasih, yang meninggal 10 tahun lalu.

1 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBANYAK 39 karya yang gampang diasosiasikan sebagai bentuk alat vital laki-laki dan perempuan dikumpulkan dalam satu pigura. Bagian atas lukisan cat akrilik tersebut dipenuhi rambut manusia. Itulah lukisan karya seniman asal Thailand, Imhathai Sywatthansilp, untuk memperingati perupa perempuan kontroversial dari Bali, I Gusti Ayu Kadek Murniasih, di Sudakara Art Space, Sanur, Bali.

Jumlah karya yang mencapai 39 bentuk menandai usia Kadek Murniasih. Rambut yang digunakan juga adalah rambut sang perupa yang tersimpan dan ditemukan di rumah pribadinya. "Menggunakan rambut-rambut itu, saya merasa ada yang menuntun," kata Imhathai Sywatthansilp.

Hingga September mendatang, Sudakara Art Space menyuguhkan pameran untuk mengenang Kadek Murni setelah 10 tahun kematian pelukis kontroversial itu. Murni meninggal pada usia relatif muda, 39 tahun. Ia lahir pada 4 Juli 1966 dan meninggal pada 11 Januari 2006. Karya Murni secara eksplisit menampilkan ketelanjangan dan mengeksploitasi seksualitas.

Kisah hidup Murni keras. Sebagai anak petani miskin di Jembrana, Bali, Murni harus mengikuti keluarganya bertransmigrasi ke Sulawesi. Nasib kemudian mengantarkannya menjadi seorang pembantu rumah tangga di Makassar. Sambil bekerja, Murni masih bisa bersekolah hingga sekolah menengah pertama, yang sayangnya tidak sampai tamat. Baru pada 1987 ia bisa pulang ke Bali kemudian menjadi buruh perajin perak di Celuk Gianyar

Perkenalannya dengan Edmondo Zanolini, pria Italia yang akrab dipanggil Mondo, membuat jalan hidup Murni berkelok. Mondo belajar melukis pada Dewa Putu Mokoh, maestro perupa dari Desa Pengosekan, Ubud. Murni kemudian menghasilkan suatu dunia lukisan yang khas, yang jarang dilakukan pelukis perempuan. Ia menampilkan dunia genitalia, zakar, dan payudara dengan warna-warna pop yang lembut. Erotisme yang kekanakan dan polos.

Kekuatan tematik Murni berasal dari pengalaman pribadinya sebagai korban kekerasan seksual ayahnya yang kemudian berkembang sebagai sebuah sudut pandang untuk melihat kondisi sosial yang patriarkis dan penuh penindasan pada perempuan. Betapapun demikian, karya-karya Murni tetap mampu menghadirkan kejenakaan dan kebahagiaan. Warna-warna pastel yang dipilihnya seakan-akan menampilkan keluguan untuk melihat obyek tanpa pretensi dan kepentingan apa pun. Dunia Murni seolah-olah membongkar tabu, bukan dengan nada provokatif penuh kemarahan, melainkan personal. Seperti anak-anak tanpa dosa yang menggambar dunia kelamin.

Dalam pameran ini, 13 seniman berusaha melakukan interpretasi ulang terhadap dunia Murni bukan hanya dalam karya rupa, tapi juga melalui pembuatan film dan seni instalasi. "Kami juga memajang video wawancara Murni yang bisa disimak untuk memahami konsep karyanya," kata Savitri Sastrawan, yang menjadi kurator dalam pameran ini. Perupa muda Bali, Citra Sasmita, misalnya, membuat sebuah instalasi yang menggambarkan "harga perempuan" yang terus-menerus ditimbang dan diukur sepanjang zaman. Ada yang beruntung bisa berada di kelas atas, tapi lebih banyak yang terpuruk di dasar kehidupan.

Sedangkan pelukis Made Bayak mengajak istrinya, Kartika Dewi, dan anaknya, Damar Langit Timur, membuat lukisan kolaboratif dengan menampilkan rangda. Rangda, yang di Bali dipercaya sebagai perwujudan Janda dari Dirah dalam kisah Calon Arang, disebut Bayak sebagai tokoh yang mengalami marginalisasi. Tapi di sisi lain ia juga merupakan figur yang menepis batas-batas kelamin sebagai alat untuk mendiskriminasi kemanusiaan.

Adapun semangat pemberontakan yang melampaui zaman ditangkap oleh Punia Atmadja. Ia, yang seperti Murni, berasal dari Jembrana di ujung barat Bali, membuat karya-karya imajinatif yang diyakininya sebagai perwujudan makhluk-makhluk dari tata surya yang berbeda. Saat membuatnya, ia mengaku seperti mengalami trance, ketika bahan kertas yang dicampur dengan lem kemudian dibentuk menjadi benda-benda aneh.

Dia juga membuat sebuah lukisan yang menggambarkan fungsi pura di Bali sebagai pemancar getaran spiritual untuk berhubungan dengan makhluk-makhluk dari masa lalu dan masa depan. "Dari Murni saya belajar keberanian untuk membuat karya berdasarkan keyakinan saya sendiri," ujar perupa yang sempat belajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu.

Sebuah film dokumenter bertahun 2006 yang menyajikan "hari-hari terakhir" Murni ditayangkan. Edmondo Zanolini tampak mendekap erat abu I Gusti Ayu Kadek Murniasih, yang tersimpan dalam kain putih. Di Pantai Matahari Terbit, Sanur, pria Italia itu kemudian membawa abu tersebut untuk ditaburkan.

Rofiqi Hasan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus