Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lahan Pengucilan Pelaku Poligami

Di Penglipuran terdapat kawasan untuk mengucilkan pelaku poligami.

1 Agustus 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERESA terkejut ketika tiba di Desa Penglipuran, Kabupaten Bangli, Bali. Wisatawan asal Spanyol itu tak menyangka di Penglipuran terdapat lahan kosong bernama Karang Memadu untuk mengucilkan penduduk yang melakukan poligami. Awalnya ia tertarik melihat tata ruang pola permukiman warga Desa Penglipuran sambil menikmati udara sejuk perdesaan yang berada 700 meter di atas permukaan laut itu. Bukan hanya itu, kawasan hutan bambu seluas 45 hektare juga menjadi daya tarik hingga langkahnya sampai ke Penglipuran.

Karang Memadu adalah hamparan lahan kosong seluas 2,5 are di ujung selatan desa. Lahan itu dikelilingi pohon pisang, kakao, kopi, dan bambu. Karang Memadu juga memberi kesan mendalam bagi wisatawan Jerman, Andreas dan Claudia. "Bagus kalau ada tempat seperti itu," ujarnya. Menurut Andreas, Karang Memadu mencerminkan hubungan harmonis warga Desa Penglipuran. "Satu suami, ya satu istri. Di Jerman tidak boleh berpoligami, bahkan umumnya di negara-negara Eropa juga seperti itu," tuturnya.

Bendesa Adat Penglipuran, I Wayan Supat, menuturkan, konsep monogami sangat dipegang teguh oleh warga Penglipuran sejak zaman dulu. Konsep ini diwarisi para leluhur mereka yang berasal dari Desa Bayung Gede, Kecamatan Kintamani. "Ini mengacu pada pangeling (pengingat) tanah leluhur," katanya. Poligami, Supat menambahkan, dinilai mengotori konteks dalam awig-awig (undang-undang desa adat). Dalam Pawos Pawiwahan, bab perkawinan awig-awig, disebutkan, "Krama Desa Adat Penglipuran ten kadadosang medue istri utawi suami langkungan ring asiki." (Warga Desa Adat Penglipuran tidak diperbolehkan memiliki istri atau suami lebih dari satu.)

Bukti kepatuhan warga Penglipuran terhadap aturan itu terlihat dengan tidak adanya bangunan yang berdiri di atas lahan Karang Memadu. Menurut Supat, jika ada penduduk yang melakukan poligami, akan dibuatkan tempat tinggal di atas lahan itu untuk menempatkan pasangan yang terkena sanksi adat. Pasangan yang akan ditempatkan di Karang Memadu adalah suami dan istri muda. Sedangkan istri pertama tetap tinggal di rumah karena tidak melanggar aturan adat. "Justru malah tersakiti oleh suami ataupun oleh istri muda," ujarnya.

Sanksi yang dikenakan bagi penduduk yang berani melanggar adalah kasepekang (dikucilkan) dari desa. Semua kewajiban sebagai krama (warga) akan dicabut. Apabila ngotot mempertahankan istri muda, ia tidak boleh melakukan upacara perkawinan di Desa Penglipuran. Dan, jika pasangan itu akhirnya nekat memutuskan menikah di luar desa kemudian ingin kembali lagi ke Desa Penglipuran, Karang Memadu menjadi tempat tinggal mereka. "Sesuai dengan namanya, karang artinya pekarangan dan memadu berarti memiliki pasangan lagi," katanya.

Supat menuturkan, berdasarkan keterangan para tetua desa, sebelum 1960-an pernah ada penduduk pria yang nyaris menghuni Karang Memadu. Pria itu warga Desa Cekeng, desa tetangga sebelah barat Penglipuran. Dia menikah dengan warga Penglipuran. Saat itu dia nekat memadu luh (poligami) karena istri pertama tidak bisa memberikan keturunan. "Dia berselingkuh dengan adik istrinya sampai hamil," tuturnya.

Supat menjelaskan, karena sudah punya istri, pria itu nekat melakukan poligami untuk bertanggung jawab atas kehamilan adik istrinya. Setelah hal itu diketahui pihak desa, krama desa bersiap membuat rumah untuk pria yang berpoligami itu di Karang Memadu. Pohon-pohon kopi dan semak-semak sudah dibabat. Namun sanksi adat itu membuat pria ini ketakutan. Dia segera menceraikan istri pertamanya dan kembali ke Desa Cekeng memboyong istri muda. "Sebagai orang Penglipuran, dia sudah digusur."

Bram Setiawan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus