Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ekspresi wajah Subu Rabigding, 70 tahun, berubah. Tokoh adat Namasawa, Kampung Nusantara, Banda Naira, itu seolah bertafakur sejenak ketika mengingat satu kejadian kelam sebelas tahun silam. Malam itu suasana begitu tegang. Banyak warga berjaga-jaga di dekat Pelabuhan Naira. Terdengar kabar seorang warga muslim terbunuh di Pulau Hatta. Pulau itu satu jam perjalanan dengan kapal cepat dari Naira. Pengungsi muslim Ambon diketahui telah masuk ke Naira.
”Katong seng (kami tak) mau dorang (mereka) merusak, apalagi bunuh orang Kristen di sini,” katanya. Menurut Subu, masyarakat Banda sebenarnya tak terpengaruh konflik antar agama di Ambon. Moto ”katong basodara” tak pernah lesap di Naira, muslim dan kristiani saling menyayangi. Perkawinan antaragama sering terjadi di sini. ”Kami sehidup-semati,” katanya.
Tapi kemarahan pengungsi Ambon tak bisa ditahan warga Naira. Satu-satunya gereja Katolik dibakar. Sebagian besar permukiman orang Kristen di Kampung Ratu, yang merupakan peninggalan kolonial Belanda, hangus. Gereja Kristen sempat akan dibakar, tapi warga berhasil mencegahnya.
Sekitar 400 penduduk Kristen di sembunyikan di Hotel Maulana milik tokoh Banda, Des Alwi. Tak lama, warga Kristen Banda diungsikan ke Ambon dengan kapal milik TNI Angkatan Laut. Semua warga bersedih. Subu mengenang, air mata warga muslim me nyertai saudara mereka yang meninggalkan tanah Banda.
Tangisan itu seakan juga menjadi pembuka duka pariwisata Banda. Sejak hari itu, penduduk Banda seolah melihat takdir bahwa pulau mereka bakal terasing dari wisatawan. Jalanan Banda yang bersih dan rindang pun jarang dilintasi turis.
Rizal Bahlawan, yang sejak 1994 menjadi pemandu wisata di Banda, mengatakan konflik Ambon seakan membunuh pariwisata Banda, yang tiap tahun dikunjungi sekitar 1.500 wisatawan. Pendapatan Rizal dari mengantar turis menjadi kosong melompong. Padahal sebelumnya ia bisa mendapat lima turis asing tiap pekan saat musim liburan. Pendapatan dari para bule itu membuat Rizal mampu membiayai sendiri kuliahnya di Ambon.
Rizal akhirnya berganti profesi menjadi penjual mutiara di Ambon. Banyak pengusaha pariwisata seperti pemilik penginapan dan penjual suvenir gulung tikar. ”Kebanyakan beralih jadi penjual sembako,” kata Rizal.
Di Pulau Ay, sekitar satu jam perjalanan dengan kapal cepat dari Naira, kondisinya sama saja. Salah satu situs bersejarah yang sering dikunjungi turis, Gereja Betlehem, yang dibangun pada 1617, dibakar saat konflik Ambon. Siyana, 60 tahun, penduduk di sekitar gereja, mengatakan tak satu pun pembakar dikenalnya. Yang diketa hui Si yana, turis jarang mampir ke Ay sejak itu.
Tidak menentunya waktu buang sauh tiga kapal penumpang Bukit Siguntang, Rinjani, dan Ciremai yang biasa ke Banda, memperparah kondisi ini. Biasanya, satu kapal masuk tiap pekan ke Banda. Belakangan PT Pelni mengalihkan rute Bukit Siguntang dan Rinjani karena kapal makin sepi pe numpang.
Landasan bandara pun tak lagi dijejaki pesawat Merpati, yang biasanya tiga kali sepekan mengantar turis. ”Belum tentu sekali sepekan ada pesawat mendarat. Turis benar-benar habis,” kata Kepala Bandara Banda Naira, Yakub, melukiskan imbas kerusuhan Ambon.
Tengoklah Hotel Maulana, Banda Naira. Saat berlangsung Sail Banda pada 28 Juli lalu pesta yang dibikin untuk menggairahkan kembali pariwisata Banda hotel ini semarak. Bule peserta Sail Banda banyak berkumpul di Hotel Maulana. Namun sekejap kemudian, setelah perhelatan itu selesai, kembali sepi. Hampir tak ada turis. ”Sama saja seperti hari-hari biasa. Sepi,” kata pemilik warung makan di dekat pelabuhan, Muzna Baadillah.
Pesta itu sendiri berlangsung dua hari dua malam. Upacara buka kampung dengan tarian cakalele digelar di sam ping Hotel Maulana menyambut tamu. Tari kontemporer dengan busana cerah serta nyanyian grup band di atas panggung semakin memeriahkan acara yang dihadiri sekitar 500 orang itu.
Kemudian tampaklah belasan kora-kora berwarna-warni di laut. Kora-kora itu mengiringi tiga puluhan kapal layar berbagai ukuran yang hendak melabuh. Kapal-kapal layar itu adalah peserta Sail Banda, yang telah berlayar sekitar 40 jam dari Darwin, Australia. Para awak kapal itu pun turun ke darat. Mereka dipestakan di Hotel Maulana. Mereka bergabung dengan Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu, Bupati Maluku Tengah Abdullah Tuasikal, serta sejumlah pejabat lokal. Malamnya, pesta berlanjut di Benteng Belgica peninggalan Belanda. Kembang api membakar langit Banda Naira di akhir acara.
Sehari kemudian pesta diadakan lagi di Hotel Maulana. Kali ini menyambut sekitar 400 peserta Pelayaran Lintas Nusantara Remaja dan Pemuda Bahari, yang bertolak dari Jakarta dengan KRI Makassar. Malamnya, panggung musik digelar kembali. Setelah para peserta Sail Banda ini balik ke Ambon, Hotel Maulana kembali sepi.
Hotel lain, Hotel Bintang Laut, juga demikian. Hanya beberapa gelintir turis yang menginap. Seorang perempuan muda berambut pirang, Courtney Brown, salah satunya. Ia tampak asyik menikmati pemandangan di belakang Hotel Bintang Laut Panorama Gunung Api yang kakinya menembus ke dasar laut. Jaraknya hanya sekitar 200 meter dari tempatnya berdiri. Rambutnya sedikit basah.
Ia datang untuk menikmati pemandangan bawah laut Banda. Ia menjelajahi keindahan laut di Pulau Ay.”Jernih dan indah,” kata turis asal California, Amerika Serikat, ini. Di sana ia bisa menyaksikan terumbu karang yang masih terpelihara baik. Sekitar 64 persen dari 700 jenis terumbu karang di dunia dimiliki Banda. Pemandangan indah ini ada di hampir seluruh Kepulauan Banda, mulai Pulau Banda Besar, Ay, Banda Naira, Hatta, Pisang, dan Karaka.
Courtney, yang pernah berkunjung ke Bali, bahkan menilai Banda lebih indah ketimbang Pulau Dewata. Bali baginya terlalu kebarat-baratan. Pantai-pantai di Banda juga lebih bersih ketimbang Kuta, yang dipenuhi banyak turis. ”Bali terlalu komersial, sedangkan Banda begitu natural,” ujar turis asal Singapura, Joenne Har. Courtney bahkan menilai Banda lebih indah dibanding Hawaii. ”Sayang sekali, pulau dengan keindahan dan keramahan sebaik ini tak bisa dinikmati banyak orang,” kata Courtney.
Semua warga Banda yang ditemui Tempo mengaku kecewa. Warga sebenarnya berharap Sail Banda mampu memulihkan pariwisata seperti sebelum kerusuhan Ambon. Meski ada perbaikan, pertumbuhan pariwisata di Banda berjalan lambat setelah konflik Ambon selesai pada 2005. Seorang pemilik warung makan, Fauziah, menilai pendapatannya sebelum konflik lebih baik ketimbang sekarang. ”Dulu saya bisa bikin rumah, sekarang pas-pasan,” katanya.
Salah satu pemandu wisata, Iqbal Baadillah, mengatakan wisatawan ramai datang hanya bulan tertentu, terutama September hingga Desember, saat cuaca cerah. Kebanyakan menggunakan perahu layar. Di luar masa itu, Banda kembali sepi. Iqbal menduga kelambanan pertumbuhan pariwisata terjadi karena masalah transportasi. Ambon masih menjadi pintu utama menuju Banda. Seharusnya dibuat rute lain yang memungkinkan turis datang tanpa melewati Ambon. ”Kalau Ambon bermasalah lagi, pariwisata Banda hancur lagi,” katanya.
Kendala transportasi ini dikeluhkan Richard Gardner, turis asal London, Inggris. Menurut dia, akses menuju Banda terlalu merepotkan. Karena tak ada lagi transportasi dari Ambon ke Banda, Richard dan tiga temannya terpaksa terbang dulu ke Pulau Kei. Dari situ mereka melanjutkan perjalanan dengan kapal penumpang milik Pelni.
Persoalan transportasi ini diakui Kepala Kantor Administrator Pela buhan Banda Naira, Ihsan Tidore. Saat ini ada tiga kapal yang singgah di Banda. Dua kapal dari Ambon, yaitu Ciremai, tiap dua pekan sekali; Kalimutu tiap bulan; dan Tatamailau dari Bau-Bau, Sulawesi Tenggara, tiap tiga pekan. Menurut Ihsan, Pelni mengurangi frekuensi perjalanan ke Banda karena volume penumpang tak terlalu banyak. ”Tak mungkin Pelni mau mengoperasikan banyak kapal di pos yang merugi,” katanya.
Pemerintah Provinsi Maluku sebenarnya telah memilih Nusantara Buana Airlines (NBA) sebagai penerbangan perintis. Pesawat Cassa 212 dari Ambon hadir tiap Rabu dan Sabtu. Tapi, dengan daya angkut hanya 22 orang, dan harga lebih murah ketimbang ti ket kelas tiga kapal Ciremai, orang harus berebut membeli tiket. Kepala Bandara Banda Naira, Yakub, mengatakan NBA baru beroperasi pertengahan Juni. ”Sejak konflik Ambon selesai, pesawat yang masuk Naira tetap tak terlalu banyak,” katanya.
Kendala lain, sarana penunjang akomodasi turis juga minim. Paul Gordon asal Skotlandia mengaku harus menyiapkan banyak uang selama di Banda. Musababnya, tak ada anjungan tunai mandiri (ATM) dan money changer yang mendukung. Ia mencontohkan, US$ 1 hanya dihargai Rp 7.000. Setelah tawar-menawar, disepakati Rp 8.000, selisih sekitar seribu rupiah dari kurs saat itu.
Cukup memprihatinkan untuk pulau yang disebut lebih bagus ketimbang Bali. Bisa dikatakan, turis harus ekstrarepot selama menuju, menetap, dan meninggalkan Banda. Benar yang dikatakan perempuan muda asal California itu. ”Sayang sekali, pulau dengan keindahan dan keramahan sebaik ini tak bisa dinikmati banyak orang.”
Deretan foto dan lukisan tergantung di lobi Hotel Maulana. Wajah dua anggota Kerajaan Inggris, Putri Diana dan Sarah Ferguson, serta vokalis grup Rol ling Stones, Mick Jagger, menjadi beberapa pengisi pigura. Mereka pernah menginap di hotel ini pada 1990-an.
Sipemilik hotel, Des Alwi, 73 tahun, mengenang masa jaya pariwisata Banda saat itu. Ia masih teringat komentar Menteri Pariwisata era Soeharto, Joop Ave. ”Dia bilang, ’Pemerintah susah payah coba datangkan tokoh dunia ke Indonesia. Eh, ternyata, sudah ada di hotel Des’,” kata laki-laki 83 tahun ini terkekeh.
Des menilai pariwisata di Banda sering dilupakan. Toh, Banda tetap bergeliat, berusaha bangkit setelah pariwisatanya hancur saat kerusuhan Ambon. Anak angkat Mohammad Hatta dan Sjahrir ini tetap optimistis, Banda akan kembali ke pentas pariwisata dunia, seperti yang dibangunnya dulu, dan mendatangkan tokoh internasional. ”Karena Banda adalah mutiara Maluku, salah satu pulau terbaik di dunia,” katanya mantap.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo