Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BALUARTI itu menjulang di dataran tinggi Banda Naira. Belanda menegakkannya empat abad silam setelah merebut Naira dari Portugis. Dan mereka menamainya Fort Belgica.
Letaknya sekitar 300 meter dari Pelabuhan Naira. Benteng ini hanya memiliki satu gerbang masuk. Pertahanan terluar benteng ini adalah tembok batu yang berbentuk pentagon. Lima sisinya memiliki teras pemantau yang juga berbentuk pentagon.
Tinggi bangunan utama sekitar 10 meter. Di dalam benteng seluas 2.707 meter persegi ini terdapat sejumlah ruangan. Hamim Wiro, penjaga Belgica sejak 1991, mengatakan ruangan di dalam terbagi atas ruang penyimpanan senjata, ruang rapat, kamar perwira, dan penjara untuk perempuan yang dipisahkan dari penjara laki-laki.
Hampir di semua ruangan tercium bau apak. Langit-langit dan temboknya diwarnai lumut. Penjara laki-laki menjadi tempat lelap ratusan kelelawar yang siap menyambar jika disenteri.
Di tengah benteng yang terbuka terdapat dua lubang seperti sumur kotak berimpitan dengan kedalaman sekitar tujuh meter. Satu lubang menembus ke pelabuhan, lainnya menembus ke Benteng Nassau, yang terletak sekitar 100 meter dari Belgica. ”Tapi sekarang sudah longsor, jadi tidak bisa tembus lagi,” kata Hamim.
Bagian atas benteng menjadi stelling tempat meriam. Tapi tak semua sisinya kini dilengkapi meriam. Lima sudutnya berbentuk silinder yang bisa dinaiki dengan tangga besi. Dari sini bisa terlihat jelas Pulau Banda Besar, Pulau Gunung Api, dan perairan Banda. Belgica direbut Inggris pada 1796. Penguasaan atas benteng ini membuat Inggris mampu menguasai Banda.
Tokoh Banda, Des Alwi, menceritakan suatu malam pernah mencoba satu meriam bersama Panglima ABRI waktu itu, Leonardus Benyamin ”Benny” Moerdani. Karena tak ada sumbu, Benny meminta anak buahnya membuka kaus untuk dijadikan penghubung dengan api. Setelah diukur supaya melewati Pulau Gunung Api, kaus sumbu dibakar. Bola api pun keluar dari meriam. ”Besoknya ada satu petani pala datang minta ganti rugi,” kata Des terkekeh.
Sayang, kini, kata Hamim, terkadang benteng itu dijadikan lokasi berme s raan atau mabuk-mabukan. ”Pernah beta pukul orang mabuk di sini. Sekarang beta kunci supaya seng lagi ada yang masuk kalau malam,” katanya.
Nassau mungkin tak bisa lagi disebut benteng. Hanya bagian samping dan depan yang tersisa dari bangunan buatan 1609 ini. Dulu, bangunan se luas 3.000 meter persegi ini dikeli lingi kanal yang isinya air laut. Tapi jejak kanalnya saat ini susah dicari.
Di dekat Nassau inilah terjadi pembantaian terhadap 40 orang kaya (jabatan pemimpin adat) Banda pada 1621. Gubernur Jenderal Hindia Belanda waktu itu, Jan Pieterszoon Coen, memerintahkan pembunuhan tersebut karena mereka menolak sistem mono poli pala di Banda. Sejumlah orang Jepang dibayar untuk memenggal kepala para orang kaya. Lukisan kejadian yang mengakibatkan pengungsian rakyat Banda waktu itu kini disimpan di Museum Rumah Budaya Banda Naira.
Pintu masuknya berupa lorong berbentuk separuh elips dengan panjang sekitar tujuh meter. Tapi tak ada yang bisa dilihat lagi setelah memasukinya. Sebuah pohon beringin dan semak-semak memenuhi halaman dalam Nassau. Sebagian lantai masih terbuat dari batu juga tertutup rerumputan. Di salah satu pojoknya terdapat bangunan berlubang yang entah untuk apa dan kini dipenuhi sampah.
Ketika Tempo naik ke tembok kiri atas, sepasang anak muda sedang asyik duduk berpagutan. Posisi mereka terhalang tembok lorong masuk sebelah kiri. Sempat kaget, tapi muda-mudi itu kembali melanjutkan ”rekreasi”. ”Foto katong (kami), dong,” kata si pemuda tertawa-tawa. Alamak.
Benteng Concordia bernasib sama. Benteng Belanda yang dibangun pada 1621 yang terletak di atas karang pinggir pantai itu sekilas terlihat kukuh dari dermaga Kampung Wair, Banda Besar. Tapi, begitu memutarinya, dari belakang benteng temboknya dipenuhi lumut. Di sisi kiri gerbang berdiri dapur bambu milik warga. ”Untuk masak-masaklah,” kata Gafur Sari, yang tinggal di dekat benteng.
Gerbang Concordia berbentuk setengah lingkaran dan di atasnya sebuah batu agaknya menunjukkan nama benteng. Tapi hanya tiga huruf yang terbaca: ”… dia”.
Di bagian atas tembok benteng yang menghadap Pulau Hatta, sebuah meriam berkarat teronggok begitu saja di tengah rumput. Menurut Gafur, yang tinggal di dekat Concordia selama 46 tahun, kondisi benteng hampir tak pernah berubah. Tak ada renovasi sedikit pun.
Kondisi benteng-benteng di luar Banda Naira lebih memprihatinkan. Menurut Rizal Bahlawan, yang sejak 1994 menjadi pemandu wisata setempat, Benteng Holandia di Desa Lonthor, Banda Besar, dan Benteng Revengie di Pulau Ay juga dalam kondisi rusak. Pemilik kapal penumpang bermesin dua, Marhaban Puasa, mengaku beberapa kali mengantar turis meninjau benteng di luar Naira. Hasilnya: turis kecewa.
Tak ada kasur dan kelambu. Karat menzalimi ranjang besi berukuran 1 x 2 meter itu. Sebagian besinya sudah meleot. Sebuah lemari kayu mungil berkaca tempat menaruh stetoskop diletakkan di atas meja marmer. Inilah ruang tidur sekaligus ruang praktek dokter Tjipto Mangunkusumo pada saat pembuangan sekitar 13 tahun di Banda Naira, sejak 1927.
Rumah Mangunkusumo sangat besar, sekitar 30 x 40 meter. Enam pilar besar menopang teras depan. Halaman belakangnya luas, dengan tembok se tinggi empat meter. Ruang te ngahnya berukuran 8 x 8 meter. Sebuah kursi go yang ada di salah satu sisinya. Di tengah, empat kursi tua dengan meja marmer segi delapan memenuhinya. Deretan foto Pak Tjip dan keluarga menghiasi dinding. ”Dulu pernah ada seorang ibu bilang, di kursi goyang ada satu sosok mirip foto Pak Tjip,” kata Raga Iya Awal, 53 tahun, penjaga rumah pengungsian Mangunkusumo.
Raga Iya adalah pengungsi Ambon yang kembali ke Banda. Bersama suaminya, Saleh Ramelan, 67 tahun, mereka menempati rumah itu. Kamar mereka terletak di sayap kiri ruang tengah, berseberangan dengan kamar praktek Tjip. ”Om Des (Alwi) suruh kami tinggal di sini,” kata Saleh.
Bangunan yang dipugar pada 1980 ini tak terlalu terawat. Menurut Ramelan, cat rumah masih terlihat baru karena baru saja dioleskan menjelang Sail Banda. Sebelumnya, tak ada perawatan berkala. Jika lampu rumah mati, Ramelan memberi tahu Yayasan Warisan Budaya Banda Naira untuk menggantinya. Yayasan milik Des Alwi ini memang mengurusi sejumlah peninggalan bersejarah di Banda.
Rumah Sutan Sjahrir masih cukup baik. Aslinya, rumah ini milik keluarga Baadilla, kakek Des Alwi. Sebagian tegelnya masih asli. Begitu juga dengan bangku dan meja bundar di ruang tengah. Sebuah gramofon menghiasi ruang itu. Piringan hitamnya berlabel Daphnis and Chloe Suite Symphonique, keluaran Columbia. Foto-foto kegiatan Sjahrir memenuhi tembok.
Di sayap kiri, ruang kerja Sjahrir yang dilengkapi mesin ketik merek Underwood dengan tombol masih bulat. Mesin ketik ini tak bisa digunakan lagi, sudah berkarat, dan tombolnya tak kembali ke posisi awal jika ditekan. Di tembok terdapat sebuah jam dinding merek Har der yang sudah tak bernyawa.
Sama seperti rumah Tjip, rumah pengungsian Sutan Sjahrir pun digunakan untuk tempat tinggal. Maryani, juga pengungsi dari Ambon, tinggal di bagian belakang rumah ini.
Rumah pengungsian Hatta yang telah dipugar juga cukup baik. Di sini Sjahrir sempat tinggal bersama Hatta sejak menjadi tahanan pulau selama tujuh tahun, mulai 1935. Rumah ini memiliki tiga pintu, dua ke ruang tamu dan satu ke ruang kerja Hatta. Sebuah mesin ketik antik juga ada di ruang kerja di sisi kanan. Di bagian kiri belakang bangunan utama terdapat ruang tidur Hatta yang kondisinya lebih baik ketimbang milik Mangunkusumo.
Bangunan di belakang rumah utama memiliki beberapa ruangan kecil. Di teras belakang tujuh bangku model jadul yang tersambung dengan meja menghadap ke papan tulis berukuran 1,5 x 1 meter dengan tiga penyangga kayu. Di sinilah tempat Sjahrir dan Hatta mengajar anak-anak Banda, termasuk Des Alwi. Bangku dan meja ini terlihat ditoreh tangan-tangan jail.
Para penjaga rumah pengungsian mengaku hampir tak ada pengunjung yang datang di bekas kediaman Sjahrir, Hatta, dan Tjipto ini. Pada saat Sail Banda pun, hanya beberapa orang yang mengunjunginya. ”Orang Banda juga tak pernah ke sini,” kata Saleh Ramelan.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo