Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JEMPOL kaki kirinya diperban tebal. Sebagian daging bengkak dan kukunya terlihat mencong ke kiri. Luka akibat tertusuk akar pohon itu diterimanya pada pertengahan Juli lalu. Jadilah Robbert Latuhihin, 70 tahun, berjalan dengan dibantu tongkat kayu.
Kini Bob, panggilan maestro cakalele itu, sulit menari lagi. Tapi, di tengah kesusahannya, Bob bersyukur telah mampu menurunkan tarian perang itu kepada masyarakat Kampung Ratu, Banda Naira. ”Saya tak perlu khawatir lagi,” kata Bob, yang ditemui Tempo di rumahnya di kawasan Banda Suli, Ambon, awal Agustus silam.
Teman Bob, Andreas Manuhutu, 54 tahun, menceritakan ia dan Bob diungsikan sejak Banda didatangi para pengungsi muslim dari Ambon. Sebelum pengungsian, rumah warga Kampung Ratu yang hampir semuanya ber agama Kristen dibakar. Sebagian warga muslim Ambon kemudian me nempatinya. Meski konflik Ambon telah berakhir, ”Kami tak bisa pulang ke sana,” kata Andi, panggilannya.
Pengungsian itu memiliki akibat tak sedikit pada adat Kampung Ratu. Tak ada lagi penduduk yang mampu mena rikan cakalele. Tarian perang dan penyambutan tamu itu hanya bisa diadakan setelah ada upacara buka kampung yang disetujui para pemuka kampung, bapa lima dan mama lima. Saat konflik, izin buka kampung tak bisa dipenuhi karena para pemuka Kampung Ratu telah mengungsi. ”Cakalele tak bisa sembarangan ditarikan,” kata Bob, yang menjadi salah satu bapa lima.
Tarian dari Kampung Ratu adalah cakalele paling feminin di seluruh Ban da. Gerakannya lembut dan lentur. Lima penari laki-laki menggunakan lenso semacam gelang tangan dan rantai emas sebagai simbol perempuan. Setelah tarian perang, lima laki-laki yang membawa tombak, parang, dan salawakung atau perisai, masuk ke kamar adat menjemput lima perempuan. Setelah itu, para lelaki memberi hormat kepada para ratu (perempuan). Tari lusi digerakkan para lelaki. Lalu, gantian tari mai-mai dari para perempuan.
Belakangan, Tamalia Alisjahbana, cucu Sutan Takdir Alisjahbana, dan Des Alwi meminta para pengungsi kembali ke Banda. Menurut Tamalia, bukan hanya tarian dari Kampung Ratu yang terancam hilang, melainkan seluruh adatnya seperti buka kampung dan pembuatan perahu kora-kora. ”Tradisi ini harus dijaga,” katanya.
Apalagi, dia melanjutkan, berbeda dengan cakalele di daerah lain, tarian di Banda itu juga berhubungan dengan sejarah masa lalu, yaitu ketika 40 orang kaya di Banda dibunuh Belanda. Karena itu, upacara buka kampung juga diadakan untuk menghormati para pendahulu. Bunga kelapa digunakan dalam upacara ini sebagai lambang kehidupan. ”Trauma besar itu dipulihkan melalui cakalele,” kata Tamalia, yang mendapat gelar mama lima luar untuk orang non-Banda.
Jadilah Bob, Andi, dan kakak Bob, Adriyanje Latuhihin, 77 tahun, kembali ke negeri asal mereka, menjelang akhir tahun lalu. Tapi niat mereka me latih tak mulus. Sejumlah warga Kampung Ratu menolak mempelajari tarian itu karena dianggap tarian Kristen. ”Yang belajar cuma belasan orang,” ka ta Bob. Padahal dulu hampir semua warga Kampung Ratu berlatih bersama.
Tapi ketiganya tetap melatih belasan orang, yang sebagian besar anak-anak. Selama hampir tiga bulan, kata Andi, murid-murid digembleng dengan gerakan dasar dan gerakan lanjutan seperti gerakan kepakan burung lusi dan banting kaki. Saat mulai berlatih, gerakan para murid kasar sekali, tapi belakangan mulai melembut sesuai dengan tradisinya yang sejati. Setelah selesai mengajar, para guru ini kembali lagi ke Ambon.
Seorang murid, Farid Hursupeni, 30 tahun, sangat bersyukur memperoleh pendidikan langsung dari para maes tro Kampung Ratu. Sejak dulu ia sudah tertarik menarikan cakalele yang terkesan lembut itu. Sementara dulu mereka hanya berlatih, sekarang pakaian adat sudah bisa dikenakan untuk pentas. Farid pun kini beralih menjadi guru cakalele. Muridnya 11 orang. Ia juga bisa membantu dalam upacara buka kampung. ”Adat Kampung Ratu sudah selamat,” katanya.
Pramono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo