PERCOBAAN demokrasi di Muangthai berakhir menjelang usia tiga
tahun pekan silam. Lewat Radio Muangthai, Laksamana Sangad,
bekas panglima tentara kerajaan, dan menteri pertahanan yang
baru dua hari memangku jabatannya, mengumumkan berlakunya
keadaan darurat perang, pembubaran parlemen, pembatalan
konstitusi, pembreidelan semua koran dan majalah serta
berlakunya jam malam.
Seperti biasanyalah kalau ada kudeta. Atas nama Komite Perbaikan
Administrasi, jarn 6 magrib waktu Bangkok 6 Oktober pekan silam
suara Sangad terdengar lewat radio: "Keadaan sudah tidak
memungkinkan pemerintah melaksanakan tugasnya sebagai yang
digariskan oleh undang-undang dasar. Kalau dipaksakan juga,
bangsa dan tanah air hanya akan makin mengalami krisis yang
makin tak terpecahkan. Karena itulah maka Komite Perbaikan
Administrasi merasa perlu mengambil tindakan untuk secara
efektif memperbaiki keadaan demi keselamatan negara, agar
Muangthai tidak jatuh ke tangan Komunis".
Beberapa menit sebelum pengumuman pengambil-alihan kekuasaan itu
tersiar, Perdana Menteri Seni Pramoj masih sempat menyatakan ia
tak tahu mengenai penyerbuan polisi ke dalam kampus Universitas
Thammasak yang hari itu. "Perintah itu tidak dari saya,
melainkan dari kepala polisi", katanya. Dengan nada hampir
menangis, politikus tua itu berkata: "Sungguh saya tidak pernah
menyangka bahwa kekerasan seperti ini akan terjadi dalam masa
hidup saya".
Sudah itu Seni menghilang, dan keterangan resmi menyebutkan
bahwa " di undang" oleh laksamana Sangad untuk berlindung di
markas komando Komite Perbaikan Administrasi.
Kejadian itu berlangsung begitu cepat, keras dan mengerikan.
Tapi nampaknya tidak terlalu mengejutkan. Korhan yang jatuh
memang tidak sebanyak yang tewas dan luka-luka pada revolusi
mahasiswa yang menggulingkan Thanom tiga tahun silam. Betapapun,
kematian sekitar 30 orang pekan silam berlangsung dalam suasana
dan cara yang amat mengerikan. Polisi yang sejak lama jadi musuh
mahasiswa -- adalah polisi yang dipakai oleh Thanom untuk
menekan mahasiswa tiga tahun silam -- pekan silam menggunakan
pasukan elitnya untuk menyerang mahasiswa yang hampir tidak
bersenjata.
Bersama dengan polisi itu. ikut pula menyerbu kelompok kanan
yang bertentangan keras dengan mahasiswa yang berhaluan kiri
yang bermarkas dalam kampus yang Thammasak yang mereka serbu
itu. Pembunuhan di halaman kampus, pembakaran manusia,
penggantungan dan penganiayaan hampir seluruhnya dilakukan oleh
golongan kanan ini. "Dan polisi hampir tidak berusaha
menghalangi mereka", tulis seorang koresponden kantor berita
Amerika yang menyaksikan kejadian tersebut.
Pembantaian brutal yang terjadi di kampus Thammasak itu
sebenarnya hanya salah satu mata rantai dari sejumlah krisis
yang melanda Muangthai akhir-akhir ini. Kabinet koalisi Seni
Pramoj yang lemah itulah yang sebenarnya menjadi penyebab krisis
tersebut. Kembalinya bekas diktator Thanom, dari "pengasingan"
di luar negeri, telah menimbulkan protes keras para mahasiswa.
Pemerintah Seni Pramoj sama sekali tidak berdaya mengusir
Thanom. Maka sejak mendaratnya Thanom di Don Muang dari
Singapura tanggal 19 September yang silam, huru-hara senantiasa
membayangi Bangkok. Sebulan sebelumnya, bekas Marsekal Prapass
-- tokoh militer yang terbuang dan orangnya Thanom juga kembali
ke Bangkok Meskipun denean korban dua jiwa serta sejumlah
mahasiswa luka-luka ketika berdemonstrasi, namun Prapass
berhasil juga diusir ke pengasingannya di Taipei.
Tapi Thanom kembali sebagai biksu dan menyatakan mau mengunjungi
ayahnya yang tua. Serangan terhadap seorang "biksu" biarpun dia
bekas diktator pun dikategorikan sebagai "anti-agama". Golongan
kanan yang ekstrim, Nawapol maupun Gaun Merah serta kelompok
mahasiswa kejuruan yang dikenal berhaluan kanan, akhirnya
menjadikan agama sebagai alasannya untuk menyerang para anggota
NSCT yang terus mendesak Seni agar mengusir Thanom.
Sementara itu, permusuhan lama polisi dengan mahasiswa terus
juga berlangsung dalam berbagai bentuk pada setiap kesempatan.
Dua orang mahasiswa yang kedapatan memasang poster anti Thanom
di pinggiran gangkok 24 September yang lalu, dibunuh dan
mayatnya digantung di pinggir jalan. Mulanya disangkal, tapi
akhirnya diakui oleh kepala kepolisian bahwa anak buahnya
terlibat dalam pembunuhan kejam itu.
Para mahasiswa pun sekaligus menghadapi soal pengusiran Thanom,
penganiayaan polisi, serangan golongan kanan, serta tuduhan anti
kerajaan. Yang terakhir ini nampaknya diatur rapi oleh golongan
kanan. Lewat pamplet dan radio gelap mereka menuduh NSCT memakai
orang yang wajahnya mirip dengan putera mahkota dalam adegan
penggantungan yang dipertunjukkan oleh mahasiswa jurusan Teater
tanggal 4 yang lalu.
4 Oktober malam, Radio gelap milik Kelompok Rakyat Patriot yang
ekstrim kanan, menyerukan agar "orang orang yang menghina
keluarga kerajaan itu dibunuh saja. Bunuh mereka". Perdana
Menteri Seni Pramoj diberi ultimatum untuk menyelesaikan soal
itu hingga jam 2 siang pada tanggal 5 Oktober. Penyelidikan
memang dilakkan, tapi NSCT menyangkal bahwa pemilihan aktor
yang mirip Putera Makota Vajira langkorn itu dimaksudkan untuk
menghina keluarga raja.
Toh golongan kanan sore itu juga mereka mendatangi Seni Pramoj.
Selain mempersoalkan apa yang mereka sebut sebagai "penghinaan
terhadap keluarga raja", golongan kanan itu juga mendesak Seni
untuk memecat tiga menteri yang berhaluan kiri untuk digantikan
oleh mereka yang kanan. Seni cuma berjanji: "Setelah kabinet
diterima oleh parlemen, saya akan melakukan pembersihan dalam
partai demokrat".
Suara kalangan militer sudah mulai terdengar 5 Oktober itu.
Atas pertanyaan wartawan, Marsekal Udara Kamol Dechatungka,
panglima tentara yang baru saja menggantikan Laksamana Sangad,
menjelaskan: "Militer baru akan turun tangan jika dikehendaki
oleh rakyat". Bagaimana mengetahui maksud rakyat itu? "Yah, jika
keadaan sudah khaos, pemerintah tidak bisa mengatasinya, militer
terpaksa turun tangan menyelamatkan negara". Tapi Kamol
membantah berita bahwa pasukan-pasukan disiap-siagakan. Ia cuma
berkata bahwa setelah diselidiki, ternyata baik Thanom maupun
Prapass, sama sekali tidak bisa diajukan ke pengadilan untuk
mempertanggungjawabkan jatuhnya korban 71 jiwa pada kekacauan
Oktober 1973 yang menyebabkan tergulingnya mereka.
GOLONGAN kanan yang mempunyai hubungan akrab dengan kalangan
militer, ternyata bersungguh-sungguh dengan ultimatum mereka.
Jam 2 pagi 6 Oktober yang lalu mereka memulai serangan terhadap
kampus Thammasak yang menjadi benteng pertahanan
mahasiswa-mahasiswa yang tergabung dalam NSCT. Terjadi
perlawanan yang membawa korban luka-luka pada kedua belah fihak.
Keadaan baru berubah ketika pagi harinya, pasukan elit
polisi-yang biasanya bertugas di perbatasan datang dengan
perlengkapan tempur, baju anti peluru serta senapan dan
meriam-meriam kecil. Senjata itu mereka tembakkan sembari
berusaha terus maju ke dalam kampus.
Sebuah sumber menyebut adanya balasan tembakan dari dalam
kampus. Tapi pasukan polisi yang terlatih khusus itu dengan
cepat menguasai keadaan. Seluruh kelas dan kamar-kamar
digeledah, para mahasiswa yang ribuan jumlahnya, yang berjaga di
kampus mereka sejak beberapa hari sebelumnya, dikumpulkan di
halaman. Laki maupun perempuan dipaksa buka baju dan tiarap.
Dalam penggeledahan dan penggiringan itulah terjadinya sejumlah
besar penganiayaan oleh polisi. Mahasiswa yang berusaha lari,
dicegat di pintu kam pus oleh kelompok kanan yang tadinya
memulai serangan. Mereka yang menghindari cegatan golongan kanan
itu mencoba lari lewat sungai Chao Phraya yang mengalir tidak
jauh dari pagar kampus. Beberapa selamat, tapi ada beberapa yang
mati terbenam.
Sebelum Sangad mengumumkan terjadinya kudeta, bahkan sekitar
2000 mahasiswa ditahan. Mereka diangkut dengan bis-bis dari
dalam kampus untuk "menghindarkan penganiayaan golongan kanan"
yang terus melakukan aksinya di kota Bangkok hingga Rabu malam
pekan silam. Sejumlah politikus kiri juga ditahan. Rektor
Universitas Thammasak, Puey Ung Pakkorn, sempat melarikan diri
malam itu ke luar negeri.
Keadaan Bangkok dengan segera dikuasai oleh tentara. Beberapa
jam setelah pengumuman kudeta, pasukan melakukan penertiban.
Perintah menyerahkan senjata api dikeluarkan. Tank-tank
diletakkan di tempat-tempat penting dalam kota. Kamis esoknya,
keadaan Bangkok kembali normal. Seakan-akan tidak terjadi
sesuatu yang amat penting -- kecuali bahwa koran-koran tidak
kelihatan di pasaran. Hanya lewat radio dan televisi saja Sangad
terdengar menjelaskan kebijaksanaan pemerintahan militer yang
dipimpinnya.
Sangad menuduh mahasiswa dan pemerintah pimpinan Seni sudah amat
"disusupi oleh Komunis". Undang-Undang anti Komunis yang dibuat
tahun 1952 dan dicabut dua tahun silam, kini dinyatakan berlaku
lagi. Hubungan luar negeri dinyatakan tidak mengalami perubahan,
tapi sikap anti-komunis yang keras dari pemerintahan baru
Muangthai itu denan segera menimbulkan reaksi di negara-negara
Indocina yang merah itu.
Hubungan Muangthai dengan negara-negara tetangganya yang
memburuk sejak jatuhnya Indocina ke tangan Komunis, sudah bisa
dibayangkan bakal lebih buruk lagi di hari-hari mendatang. Yang
nampaknya bakal ikut menikmati perubahan di Bangkok itu adalah
Malaysia. Fihak militer yang sangat anti-komunis itu dengan
mudah bisa bekerja sama dengan Kuala Lumpur dalam hal
memberantas gerombolan Komunis yang bercokol di perbatasan kedua
negara.
Di tengah-tengah kecaman Hanoi yang menuduh kudeta di Bangkok
didalangi oleh Washington, yunta militer Muangthai menunjuk
Thanin Kraivixien sebagai perdana menteri baru. Thanin 49 tahun,
adalah mahaguru hukum yang sangat dihormati di Muangthai, tapi
juga terkenal sebagai seorang yang sangat anti Komunis.
Pengangkatannya direstui oleh raja Bhumibol Adulyadej yang
sebelumnya telah pula memberikan restunya pada kudeta militer
tersebut. Restu raja pada penggulingan pemerintahan pimpinan
Seni Pramoj itu sudah dari semula diharapkan oleh orang banyak,
mengingat kehadiran putera mahkota -- berpakaian kapten Angkatan
Darat -- di tengah-tengah demonstran kanan awal pekan silam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini