Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

15 Pelukis Jakarta

Lukisan karya 15 pelukis jakarta, dipamerkan di tim putu wijaya menilai pemilihan lukisan yang dipamerkan itu cukup ketat dan berhasil memberikan semacam nafas yang kompak. (sr)

16 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUANG pameran TIM berisi sekitar 59 buah lukisan karya 15 pelukis Jakarta. Pameran yang berlangsung tanggal 1 s/d 7 Oktober ini meskipun tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa di Jakarta hanya ada 15 orang pelukis, toh sudah berhasil juga mengumpulkan nama-nama yang tidak asing lagi. Kecuali Kusnadi yang hanya diwakili oleh sebuah karyanya, rata-rata nama yang lain (Sudjojono, Zaini, Suparto, Sukamto, Sudarso, Sriyani, OE, Nashar, Mustika, Mardian, Irsam, Ipe Ma'ruf, Baharuddin MS, Abas Alibasyah) diwakili dengan dua sampai 6 buah lukisan. Di antaranya ada juga yang barusan selesai dibuat, khusus untuk pameran (misalnya Baharuddin dan Nashar) juga ada yang dari simpanan lama, seperti halnya Mustika yang menyuguhkan Tikus-Tikusnya. Sudjojono yang dipajang dekat pintu masuk dengan lima buah karyanya yang terakhir tampak bungah dan segar. Lima buah karyanya yang dibuat pada tahun ini masih memperlihatkan pamor dan keinginan bekerja yang deras. Sapuan-sapuannya yang ahli dan kejutan cahaya dalam seluruh permukaan kanvas yang samar-samar mengungkap bentuk-bentuk objeknya kembali menemukan kemantapan. Berbeda dengan pamerannya belum lama berselang di Balai Budaya yang mengarah pada senilukis abstrak, kali ini pelukis kawakan itu memunculkan kembali kekuatannya yang lama. Sosok-sosok manusia, persoalan hidup dan rasa kemanusiaan sebagai persoalan pokok. Dalam Potret Maya ditulisnya juga sebuah sajak yang berkata: "Tak ada keagungan bisa kita dapat dari ngemis". Trik Baharuddin muncul dengan 3 buah lukisan. Dua di antaranya adalah ayam jago yang dilukis dengan teknik yang berbeda sekali. Yang satu seakan-akan simbol dari suatu keadaan yang merontok (Ayam II) di mana ayam yang lebih menyerupai burung garuda itu kelihatan mulai kehabisan bulu. Sedang ayam yang lain dilukis dengan garis-garis spontan dan warna-warna yang berbeda dengan warna-warna muram Baharuddin biasanya. Pelukis ini seakan-akan sedang memasuki semacam jalan baru dalam hidupnya. Kendatipun dalam Kemarau kita berhadapan kembali dengan bukit, padang, langit yang muram dan kering sebagaimana tercermin dalam kanvas-kanvas sebelumnya. Di luar segala hasilnyaitu ada terasa haru pada kita, seakan-akan sedang menghadapi pergulatan seorang tua dengan kemampuan tubuhnya yang terus berkurang. Kemudian kita lihat juga Oesman Effendi dengan lukisan batik yang berbeda sekali dengan lukisan batik dari Amri Yahya misalnya. Karyanya ini jernih dan sederhana. Tidak banyak mempergunakan "trik", tidak berusaha mendramatisir denan cara-cara berlebihan, sehingga kita tidak lagi merasa hanya berhadapan dengan proses teknik, tetapi ekspresi yang tidak kurang dari ekspresi cat yang langsung di atas kanvas. Ada terasa kesan yang puitis dan gerak yang ritmis sehingga batik-batik itu kemudian terasa meruang. Gerak dan kesederhanaan semacam itu terasa pula dari 6 buah sket dari pelukis Nashar. Hanya saja ada kecendrungan dramatik yang membuat sket Nashar tidak hanya memberikan kesan puitik akan tetapi menyodorkan problem-problem yang minta diselesaikan oleh yang melihatnya: Buka Kerja Kolektif Walaupun pameran ini nampaknya dipersiapkan dengan agak tergesa-gesa tapi pemilihan lukisan terutama dari pelukis-pelukisnya sendiri menunjukkan adanya semangat untuk berkarya. Ada terasa semacam kegairahan. Misalnya pada lukisan Suparto yang bernama Ikan. Dari bentuk dekoratif yang melantunkan keluguan serta juga rasa damai sebagaimana yang selalu mencuat dari Suparto -- kita menangkap kali ini sesuatu yang manis dan gembira. Kesan ini terasa pula pada Alam I, Alam II, Alam III dari tangan Zaini dengan garis-garisnya yang lihai di atas bidang menerawang yang dengan jernih menangkap objeknya. Diteruskan oleh Ipe Ma'ruf dengan Pemandangan dan Improvisasi yang tidak lagi asyik dengan ornamen, tapi bidang-bidang yang kaya akan warna. Kemudian selain Irsam dan Mardian, yang pantas disebutkan lagi adalah Sukamto. Dengan Pemandangan yang memaparkan bidang kuning dengan segiempat kecil di tengahnya yang menampakkan bentuk yang kekanak-kanakan, Kamto memberikan harapan sebagai salah seorang pelukis muda Jakarta yang masih akan memberikan kejutan di masa yang akan datang. Pemilihan terhadap lukisan-lukisan yang dipajang kali ini boleh dikatakan cukup ketat dan berhasil melemparkan semacam nafas yang kompak. Selain itu pencantuman angka "15" menolong juga untuk mengatakan bahwa yang penting bukan Jakarta-nya tapi ke-15 pelukis itu sendiri. Hal mana dalam pameran-pameran yang lain sering dibaikan, sehingga yang lebih penting adalah "kelompok" bukannya "individu" -- padahal lukisan bukanlah kerja kolektif seperti drama misalnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus