RUANG pameran TIM berisi sekitar 59 buah lukisan karya 15
pelukis Jakarta. Pameran yang berlangsung tanggal 1 s/d 7
Oktober ini meskipun tidak bermaksud untuk mengatakan bahwa di
Jakarta hanya ada 15 orang pelukis, toh sudah berhasil juga
mengumpulkan nama-nama yang tidak asing lagi. Kecuali Kusnadi
yang hanya diwakili oleh sebuah karyanya, rata-rata nama yang
lain (Sudjojono, Zaini, Suparto, Sukamto, Sudarso, Sriyani, OE,
Nashar, Mustika, Mardian, Irsam, Ipe Ma'ruf, Baharuddin MS, Abas
Alibasyah) diwakili dengan dua sampai 6 buah lukisan. Di
antaranya ada juga yang barusan selesai dibuat, khusus untuk
pameran (misalnya Baharuddin dan Nashar) juga ada yang dari
simpanan lama, seperti halnya Mustika yang menyuguhkan
Tikus-Tikusnya.
Sudjojono yang dipajang dekat pintu masuk dengan lima buah
karyanya yang terakhir tampak bungah dan segar. Lima buah
karyanya yang dibuat pada tahun ini masih memperlihatkan pamor
dan keinginan bekerja yang deras. Sapuan-sapuannya yang ahli dan
kejutan cahaya dalam seluruh permukaan kanvas yang samar-samar
mengungkap bentuk-bentuk objeknya kembali menemukan kemantapan.
Berbeda dengan pamerannya belum lama berselang di Balai Budaya
yang mengarah pada senilukis abstrak, kali ini pelukis kawakan
itu memunculkan kembali kekuatannya yang lama. Sosok-sosok
manusia, persoalan hidup dan rasa kemanusiaan sebagai persoalan
pokok. Dalam Potret Maya ditulisnya juga sebuah sajak yang
berkata: "Tak ada keagungan bisa kita dapat dari ngemis".
Trik
Baharuddin muncul dengan 3 buah lukisan. Dua di antaranya adalah
ayam jago yang dilukis dengan teknik yang berbeda sekali. Yang
satu seakan-akan simbol dari suatu keadaan yang merontok (Ayam
II) di mana ayam yang lebih menyerupai burung garuda itu
kelihatan mulai kehabisan bulu. Sedang ayam yang lain dilukis
dengan garis-garis spontan dan warna-warna yang berbeda dengan
warna-warna muram Baharuddin biasanya. Pelukis ini seakan-akan
sedang memasuki semacam jalan baru dalam hidupnya. Kendatipun
dalam Kemarau kita berhadapan kembali dengan bukit, padang,
langit yang muram dan kering sebagaimana tercermin dalam
kanvas-kanvas sebelumnya. Di luar segala hasilnyaitu ada terasa
haru pada kita, seakan-akan sedang menghadapi pergulatan seorang
tua dengan kemampuan tubuhnya yang terus berkurang.
Kemudian kita lihat juga Oesman Effendi dengan lukisan batik
yang berbeda sekali dengan lukisan batik dari Amri Yahya
misalnya. Karyanya ini jernih dan sederhana. Tidak banyak
mempergunakan "trik", tidak berusaha mendramatisir denan
cara-cara berlebihan, sehingga kita tidak lagi merasa hanya
berhadapan dengan proses teknik, tetapi ekspresi yang tidak
kurang dari ekspresi cat yang langsung di atas kanvas. Ada
terasa kesan yang puitis dan gerak yang ritmis sehingga
batik-batik itu kemudian terasa meruang. Gerak dan kesederhanaan
semacam itu terasa pula dari 6 buah sket dari pelukis Nashar.
Hanya saja ada kecendrungan dramatik yang membuat sket Nashar
tidak hanya memberikan kesan puitik akan tetapi menyodorkan
problem-problem yang minta diselesaikan oleh yang melihatnya:
Buka Kerja Kolektif
Walaupun pameran ini nampaknya dipersiapkan dengan agak
tergesa-gesa tapi pemilihan lukisan terutama dari
pelukis-pelukisnya sendiri menunjukkan adanya semangat untuk
berkarya. Ada terasa semacam kegairahan. Misalnya pada lukisan
Suparto yang bernama Ikan. Dari bentuk dekoratif yang
melantunkan keluguan serta juga rasa damai sebagaimana yang
selalu mencuat dari Suparto -- kita menangkap kali ini sesuatu
yang manis dan gembira. Kesan ini terasa pula pada Alam I, Alam
II, Alam III dari tangan Zaini dengan garis-garisnya yang lihai
di atas bidang menerawang yang dengan jernih menangkap objeknya.
Diteruskan oleh Ipe Ma'ruf dengan Pemandangan dan Improvisasi
yang tidak lagi asyik dengan ornamen, tapi bidang-bidang yang
kaya akan warna.
Kemudian selain Irsam dan Mardian, yang pantas disebutkan lagi
adalah Sukamto. Dengan Pemandangan yang memaparkan bidang kuning
dengan segiempat kecil di tengahnya yang menampakkan bentuk yang
kekanak-kanakan, Kamto memberikan harapan sebagai salah seorang
pelukis muda Jakarta yang masih akan memberikan kejutan di masa
yang akan datang.
Pemilihan terhadap lukisan-lukisan yang dipajang kali ini boleh
dikatakan cukup ketat dan berhasil melemparkan semacam nafas
yang kompak. Selain itu pencantuman angka "15" menolong juga
untuk mengatakan bahwa yang penting bukan Jakarta-nya tapi ke-15
pelukis itu sendiri. Hal mana dalam pameran-pameran yang lain
sering dibaikan, sehingga yang lebih penting adalah "kelompok"
bukannya "individu" -- padahal lukisan bukanlah kerja kolektif
seperti drama misalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini