M. Sadjiroen Del dan Djurnalis Del agaknya adalah dua pelukis
yang paling banyak dicantumkan namanya meskipun mereka kurang
terkenal. Bayangkanlah, dihampir setiap pojok uang yang kita
kantongi nama mereka tercetak dengan rapinya. Termasuk pada mata
uang rp 10.000-an yang baru dikeluarkan pemerintah untuk
menggantikan yang lama. Sama-sama menggunakan Del di ujung nama
masing-masing, namun mereka bukan abang-adik. Del ini hanya
sekedar singkatan dari Deliavit yang berarti pengukir.
Selain kedua pelukis ini ada empat pelukis lagi yang hasil
corat-coret tangannya pernah digunakan sebagai gambar untuk mata
uang kita. Termasuk di antaranya pelukis Oesman Effendi dan
Abdul Salam. Kedua pelukis terkenal ini pada tahun 1952 pernah
pula bekerjasama dengan pelukis Belanda Mechelse dalam merancang
gambar uang. Karena seri uang pada tahun 1952 itu masih dicetak
di Belanda, maka kedua pelukis Indonesia tadi dapat kesempatan
berangkat ke negeri itu, sembari mempelajari seluk-beluk
mencetak uang. Sesungguhnya dalam hal menggambari uang ini
sedapat mungkin dilakukan oleh pelukis-pelukis Indonesia, dengan
arggapan mereka lebih kenal dengan tokoh, alam dan
kebudayaannya -- meskipun tak luput dari kekurang-tepatan.
Misalnya gambar Pak Dirman yang bibirnya kelihatan terlalu
tebal.
Terkadang kita menjumpai uang yang tidak mencantumkan nama
pelukisnya. Ini tidak berarti bahwa dia tidak dikerjakan oleh
pelukis. "Uang kertas yang samasekali tidak mencantumkan nama
pelukisnya, berarti gambarnya didisain secara bersama-sama oleh
beberapa pelukis", ujar Sadjiroen. Dalam keadaan seperti ini
kebiasaan yang kita warisi dari Belanda ini terpaksa
ditinggalkan, karena kalau semua pelukis dicantumkan namanya,
pinggiran uang akan kelihatan penuh sesak. Mengapa pencantuman
nama seperti ini begitu penting kelihatannya, tak seorang pun
bisa menjawab dengan gamblang. "Ini hanya mengikuti tradisi
Negeri Belanda", jawab Sadjiroen pendek.
Seri Kancil
Untuk memperoleh popularitas nama dengan menjadi pelukis uang,
nampaknya tidaklah segampang melukis karton seperti di
koran-koran. Tak sembarangan yang bisa melamar ke PN Percetakan
Uang RI yang terletak di Kebayoran Baru Jakarta itu. Sadjiroen
maupun almarhum Djurnalis (yang meninggal dunia 10 September
baru lalu) adalah pegawai perusahaan negara Peruri yang bergerak
di bidang-cetak-mencetak uang. Sadjiroen yang dilahirkan tahun
1931 di Kaliwungu, Jawa Tengah, memulai karirnya sebagai pelukis
uang dengan terlebih dulu bekerja keras untuk mendapatkan
tawaran merancang lukisan perangko seri kancil. Ketika itu dia
baru saja menghentikan pelajarannya sampai tingkat BI di ASRI
Yogya. Dia kesukaran uang. Dengan pengalaman pertama sebagai
perancang perangko, Sadjiroen mulai tertarik dengan dunia
cetak-mencetak. Untuk berdiri sendiri sebagai pelukis lepas, dia
rupanya tidak punya cukup semangat. Akhirnya dia menyampaikan
lamaran ke percetakan uang. Karena di ASRI dulu dia mengambil
jurusan menggambar maka tidak terlalu sulit baginya untuk
diterima sebagai pegawai Peruri pada tahun 1955. Di sini
predikatnya bukan lagi pelukis. Sebab istilah semacam ini tidak
dikenal dalam dunia kepegawaian. Perusahaan menjuruskan
kemampuannya untuk menjadi Deliavit -- pengukir.
Dua tahun setelah nongkrong sebagai pegawai, nama Sadjiroen
mulai terpampang dalam mata uang rupiah. Uang itu beredar tahun
1958 seri pekerjaan tangan. Tak tergambarkan betapa bangganya
dia memperoleh nama dengan cara begitu. Kemudian dia memperdalam
pengetahuan di Belanda. Cuma setahun dia berada di negara itu,
berhubung ketegangan yang muncul antara Indonesia dengan Belanda
karena soal Irian Barat. Dia menyeberang ke Australia dan
menghabiskan 4 tahun untuk belajar di negara itu.
Gadis Bangka
Selama berada di luarnegeri dia mengumpulkan berbagai jenis mata
uang asing dari pecahan murahan. Dia timbun pula rupa-rupa
perangko. Harta kekayaan ini sering dia nikmati di rumah, maupun
di kantor. Kalau dijual kumpulan uang dan perangko itu agaknya
akan menghasilkan setumpuk uang. Tapi tokh belum dia lakukan.
"Kalau dikomersiilkan, dia akan menyalahi motto kerja para
karyawan Peruri", katanya kepada wartawan TEMPO Said Muchsin
yang melalui prosedur dan waktu yang berlarut-larut berhasil
juga menemuinya di tempat kediamannya, dekat percetakan uang
Kebayoran. Bagaimana pun katanya koleksi tadi dia peroleh dalam
kedudukan sebagai pegawai Peruri.
Menjadi pelukis uang nampaknya tidaklah sebebas pelukis biasa.
Dia lebih banyak terikat pada pesanan si pemesan. Dalam hal ini
Bank Indonesia. Dan dia dalam banyak hal harus memperhitungkan
rancangannya dengan bahan-bahan yang sudah tersedia. Misalnya
dia harus memperhitungkan disainnya dengan gambar Garuda
Pancasila yang sudah tercetak dalam bentuk bayangan dalam salah
satu seri mata rupiah.
Disiplin kerja di Peruri yang nampaknya lebih ketat dapat
diterima oleh Sadjiroen. Hidup hampir-hampir monoton. Berangkat
dari rumah dengan jalan kaki menuju kantor yang letaknya tak
sampai satu kilometer. Berapa jumlah uang yang dicetak dia
sendiri tak tahu, meskipun namanya ada di sana. Kapan uang baru
harus dicetak dia juga tak pernah tahu. Tetapi Sadjiroen
nampaknya sudah menemukan dunia yang dia cita-citakan.
Lelucon-lelucon dalam hidup yang serba rapi dan tak sembarangan
orang boleh dekat, seperti di Peruri itu, terkadang menyelip
juga. Suatu ketika di tahun 1963 adalah seorang gadis dari Pulau
Bangka yang telah menemukan namanya dalam lembaran uang yang
sedang dia amat-amati. Entah apa yang difikirkan gadis itu,
tiba-tiba dia tergerak untuk berkenalan dengan Sadjiroen. "Saya
balas suratnya dengan mengaku sebagai bujangan", katanya
tertawa. Menyadari permainannya, akhirnya dia putuskan
surat-menyurat tersebut. Kalau berkepanjangan bisa berabe juga.
Sebab waktu itu dia sudah berkeluarga dan sekarang punya 2 orang
putera.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini