Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Sadjiroen si pengukir uang itu

M sadjiroen, pelukis uang ri, memulai karirnya sebagai pelukis dengan rancangan lukisan perangko seri kancil. memperdalam pengetahuannya di belanda & australia. pelukis uang tidak sebebas pelukis biasa. (ils)

16 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

M. Sadjiroen Del dan Djurnalis Del agaknya adalah dua pelukis yang paling banyak dicantumkan namanya meskipun mereka kurang terkenal. Bayangkanlah, dihampir setiap pojok uang yang kita kantongi nama mereka tercetak dengan rapinya. Termasuk pada mata uang rp 10.000-an yang baru dikeluarkan pemerintah untuk menggantikan yang lama. Sama-sama menggunakan Del di ujung nama masing-masing, namun mereka bukan abang-adik. Del ini hanya sekedar singkatan dari Deliavit yang berarti pengukir. Selain kedua pelukis ini ada empat pelukis lagi yang hasil corat-coret tangannya pernah digunakan sebagai gambar untuk mata uang kita. Termasuk di antaranya pelukis Oesman Effendi dan Abdul Salam. Kedua pelukis terkenal ini pada tahun 1952 pernah pula bekerjasama dengan pelukis Belanda Mechelse dalam merancang gambar uang. Karena seri uang pada tahun 1952 itu masih dicetak di Belanda, maka kedua pelukis Indonesia tadi dapat kesempatan berangkat ke negeri itu, sembari mempelajari seluk-beluk mencetak uang. Sesungguhnya dalam hal menggambari uang ini sedapat mungkin dilakukan oleh pelukis-pelukis Indonesia, dengan arggapan mereka lebih kenal dengan tokoh, alam dan kebudayaannya -- meskipun tak luput dari kekurang-tepatan. Misalnya gambar Pak Dirman yang bibirnya kelihatan terlalu tebal. Terkadang kita menjumpai uang yang tidak mencantumkan nama pelukisnya. Ini tidak berarti bahwa dia tidak dikerjakan oleh pelukis. "Uang kertas yang samasekali tidak mencantumkan nama pelukisnya, berarti gambarnya didisain secara bersama-sama oleh beberapa pelukis", ujar Sadjiroen. Dalam keadaan seperti ini kebiasaan yang kita warisi dari Belanda ini terpaksa ditinggalkan, karena kalau semua pelukis dicantumkan namanya, pinggiran uang akan kelihatan penuh sesak. Mengapa pencantuman nama seperti ini begitu penting kelihatannya, tak seorang pun bisa menjawab dengan gamblang. "Ini hanya mengikuti tradisi Negeri Belanda", jawab Sadjiroen pendek. Seri Kancil Untuk memperoleh popularitas nama dengan menjadi pelukis uang, nampaknya tidaklah segampang melukis karton seperti di koran-koran. Tak sembarangan yang bisa melamar ke PN Percetakan Uang RI yang terletak di Kebayoran Baru Jakarta itu. Sadjiroen maupun almarhum Djurnalis (yang meninggal dunia 10 September baru lalu) adalah pegawai perusahaan negara Peruri yang bergerak di bidang-cetak-mencetak uang. Sadjiroen yang dilahirkan tahun 1931 di Kaliwungu, Jawa Tengah, memulai karirnya sebagai pelukis uang dengan terlebih dulu bekerja keras untuk mendapatkan tawaran merancang lukisan perangko seri kancil. Ketika itu dia baru saja menghentikan pelajarannya sampai tingkat BI di ASRI Yogya. Dia kesukaran uang. Dengan pengalaman pertama sebagai perancang perangko, Sadjiroen mulai tertarik dengan dunia cetak-mencetak. Untuk berdiri sendiri sebagai pelukis lepas, dia rupanya tidak punya cukup semangat. Akhirnya dia menyampaikan lamaran ke percetakan uang. Karena di ASRI dulu dia mengambil jurusan menggambar maka tidak terlalu sulit baginya untuk diterima sebagai pegawai Peruri pada tahun 1955. Di sini predikatnya bukan lagi pelukis. Sebab istilah semacam ini tidak dikenal dalam dunia kepegawaian. Perusahaan menjuruskan kemampuannya untuk menjadi Deliavit -- pengukir. Dua tahun setelah nongkrong sebagai pegawai, nama Sadjiroen mulai terpampang dalam mata uang rupiah. Uang itu beredar tahun 1958 seri pekerjaan tangan. Tak tergambarkan betapa bangganya dia memperoleh nama dengan cara begitu. Kemudian dia memperdalam pengetahuan di Belanda. Cuma setahun dia berada di negara itu, berhubung ketegangan yang muncul antara Indonesia dengan Belanda karena soal Irian Barat. Dia menyeberang ke Australia dan menghabiskan 4 tahun untuk belajar di negara itu. Gadis Bangka Selama berada di luarnegeri dia mengumpulkan berbagai jenis mata uang asing dari pecahan murahan. Dia timbun pula rupa-rupa perangko. Harta kekayaan ini sering dia nikmati di rumah, maupun di kantor. Kalau dijual kumpulan uang dan perangko itu agaknya akan menghasilkan setumpuk uang. Tapi tokh belum dia lakukan. "Kalau dikomersiilkan, dia akan menyalahi motto kerja para karyawan Peruri", katanya kepada wartawan TEMPO Said Muchsin yang melalui prosedur dan waktu yang berlarut-larut berhasil juga menemuinya di tempat kediamannya, dekat percetakan uang Kebayoran. Bagaimana pun katanya koleksi tadi dia peroleh dalam kedudukan sebagai pegawai Peruri. Menjadi pelukis uang nampaknya tidaklah sebebas pelukis biasa. Dia lebih banyak terikat pada pesanan si pemesan. Dalam hal ini Bank Indonesia. Dan dia dalam banyak hal harus memperhitungkan rancangannya dengan bahan-bahan yang sudah tersedia. Misalnya dia harus memperhitungkan disainnya dengan gambar Garuda Pancasila yang sudah tercetak dalam bentuk bayangan dalam salah satu seri mata rupiah. Disiplin kerja di Peruri yang nampaknya lebih ketat dapat diterima oleh Sadjiroen. Hidup hampir-hampir monoton. Berangkat dari rumah dengan jalan kaki menuju kantor yang letaknya tak sampai satu kilometer. Berapa jumlah uang yang dicetak dia sendiri tak tahu, meskipun namanya ada di sana. Kapan uang baru harus dicetak dia juga tak pernah tahu. Tetapi Sadjiroen nampaknya sudah menemukan dunia yang dia cita-citakan. Lelucon-lelucon dalam hidup yang serba rapi dan tak sembarangan orang boleh dekat, seperti di Peruri itu, terkadang menyelip juga. Suatu ketika di tahun 1963 adalah seorang gadis dari Pulau Bangka yang telah menemukan namanya dalam lembaran uang yang sedang dia amat-amati. Entah apa yang difikirkan gadis itu, tiba-tiba dia tergerak untuk berkenalan dengan Sadjiroen. "Saya balas suratnya dengan mengaku sebagai bujangan", katanya tertawa. Menyadari permainannya, akhirnya dia putuskan surat-menyurat tersebut. Kalau berkepanjangan bisa berabe juga. Sebab waktu itu dia sudah berkeluarga dan sekarang punya 2 orang putera.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus