Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bandung Kuriak Atuh

Untuk pertama kalinya secara terbuka gubernur aang kunaefi mengecam kota bandung. ia membentuk tim khusus. penertiban wali kota di kritik. bandung sudah terlalu semrawut. (kt)

27 Juni 1981 | 00.00 WIB

Bandung Kuriak Atuh
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
BANDUNG dimarahi. Tak kurang Gubernur Ja-Bar, Aang Kunaefi, terdesak melontarkan kata-kata keras: "Bandung sudah terlalu semrawut." Karena itu, seperti dikatakannya kepada pers bulan lalu, dia memutuskan membentuk sebuah tim khusus seraya menunjuk Sutadja, Kepala Biro Pembangunan, sebagai ketuanya. Hal yang ditonjolkan Aang sebagai kesemrawutan ternyata bukan soal baru: pedagang kaki lima dan penggusuran kios di Jalan Suci. Tak heran jika ada yang menduga bahwa pernyataan Gubernur itu merupakan kritik terbuka pada Walikota Bandung, Husen Wangsaatmadja, yang kini sedang giat melancarkan penertiban kota. Tapi, Aang menegaskan, "yang ingin saya katakan, tindakan terhadap pedagang kaki lima dan penggusuran rumah liar harus satu paket." Sebab, katanya lagi, "kalau tidak boleh berdagang atau berumah di sini, harus di mana atuuh?" Salahkah tindakan Walikota? Buru-buru Gubernur menyatakan, pedagang kaki lima memang selalu menimbulkan kesan tidak tertib. Tapi mengatasi mereka katanya, tidak cukup dengan mengejar-ngejar seperti dilakukan petugas kita selama ini. Yang penting menurut Aang, apa yang menyusul sesudah pengearan dan penggusuran. Pengejaran dan penggusuran pedagang kaki lima memang sejak lama merupakan langgam penertiban di Bandung. Namun tiap kali dapat dilihat, pedagang kaki lima tidak pernah jera. Menjelang Puasa dan Lebaran biasanya mereka makin bersemangat menyerbu sekitar alun-alun, Jalan Ahmad Yani, Dewi Sartika dan Dalam Kaum. Ada sekitar 10.000 pedagang di Bandung yang oleh Walikota sejak dulu dipersilakan berdagang di tempat khusus di Cikapundung. Tapi mereka nekat mencegat pembeli di trotoar di samping jalan-jalan protokol. Trotoar yang sempit semakin sempit dan pembeli yang berkerumun akhirnya mengganggu kelancaran lalu-lintas. Petugas Tibum (Ketertiban Umum) yang dianggap ganas itu toh tidak membuat mereka takut. Bahkan belakangan ini pedagang kaki lima semakin tidak peduli. Mereka menyediakan mobil untuk melarikan diri jika Tibum beraksi. Ketua tim khusus yang ditunjuk Gubernur, Sutardja, tidak bersedia mengungkapkan apa yang akan dilakukan dalam menghadapi kebandelan pedagang kaki lima yang dianggap biang kesemrawutan kota. Sementara itu, Walikota Husen bertekad untuk "tidak sedikit pun mundur dan akan terus mengadakan penertiban." la tidak menjawab ketika ditanya bagaimana bila penertiban yang dilakukannya bentrok dengan tim khusus yang dibentuk Gubernur. Sebaliknya, Husen mengemukakan rasa "terimakasihnya", akan langkah yang diambil Aang. "Tanpa tim pun segala perkembangan kota akan terus dilaporkan kepada Gubernur dan kebijaksanaan saya sudah mendapat restu beliau," lanjutnya. Apa yang dilakukan Pemda Bandung selama ini, menurut Husen, bukanlah untuk mematikan usaha pedagang. Tapi semata-mata mengajak mereka hidup tertib -- berdagang pada tempatnya. "Jalan Keras" Cuma, upaya Walikota Husen tersebut harus berhadapan dengan keadaan yang sulit: kepadatan penduduk. Menurut sensus terakhir, setiap hektar tanah di Bandung dihuni 182 jiwa. Sedangkan kepadatan normal, menurut standar Bappenas di bawah 100 jiwa (Bandung berpenduduk ñ 1 « juta). Itulah yang menyebabkan meningkatnya kebandelan penduduk dalam menempatkan dagangan dan membangun rumah-rumah liar. Sempadan-sempadan sungai, jalur hijau bahkan tanah-tanah milik pemerintah, semua mereka sikat. Diperkirakan ada sekitar 40.000 rumah liar yang harus dibongkar. Termasuk 54 kios merangkap rumah di Jalan Suci. Khusus terhadap para penghuni Jalan Suci, Walikota merasa sudah banyak berbuat. Masalahnya bermula, hampir 15 tahun lalu, tatkala Pemda Kodya menertibkan pedagang kaki lima yang bertebaran di beberapa jalan sekitar Gedung Sate. Mereka diizinkan membangun kios di Jalan Suci, dengan syarat kalau Pemda membutuhkan tanah itu, mereka sanggup pindah tanpa ganti rugi. Peringatan pertama untuk pindah disampaikan 10 tahun lalu. Tapi para penghuni malah meningkatkan fungsi kios menjadi rumah tinggal. Peringatan kedua, beberapa tahun lalu, disertai anjuran untuk pindah ke rumah Perumnas atau ke Pasar Inpres yang terletak hanya 400 m dari kios mereka. Tak ada yang menuruti. Walikota Husen kemudian menempuh "jalan keras". "Kalau ditolerir, mereka akan menjadi contoh jelek pada yang lain," katanya khawatir. Kios-kios di sana diratakan dengan tanah Juni ini. Namun para penghuni kembali mendirikan gubuk-gubuk baru. Bukan itu saja. Di atas puing yang masih berdiri, dengan cat merah mereka menggoreskan kata-kata "relakah kami menjadi gelandangan?" Penggusuran di Jalan Suci merupakan batu ujian bagi penertiban gaya Husen yang selama ini berjalan lancar. Sampai sekarang tidak kurang dari 10.000 rumah yang sudah dibongkar. Sisanya, 30.000 Iagi, menunggu "pengertian dan kesadaran warga-kota Bandung," begitu kata Walikota. Untuk sementara ini katanya, ia tidak merasa keberatan jika Bandung dibilang semrawut. "Itu memang benar, karena Bandung lagi kuriak, " ujarnya. Kuriak menggambarkan proses membangun rumah -- segala sesuatu di dalamnya serba berantakan. Tahun 2000 nanti, kata Husen, barulah hasilnya akan terasa. Tanpa perlu diseminarkan lagi ujar Walikota datar, "konsep penelitian saja menghabiskan biaya Rp 1 milyar."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus