BANDUNG dimarahi. Tak kurang Gubernur Ja-Bar, Aang Kunaefi,
terdesak melontarkan kata-kata keras: "Bandung sudah terlalu
semrawut." Karena itu, seperti dikatakannya kepada pers bulan
lalu, dia memutuskan membentuk sebuah tim khusus seraya menunjuk
Sutadja, Kepala Biro Pembangunan, sebagai ketuanya. Hal yang
ditonjolkan Aang sebagai kesemrawutan ternyata bukan soal baru:
pedagang kaki lima dan penggusuran kios di Jalan Suci.
Tak heran jika ada yang menduga bahwa pernyataan Gubernur itu
merupakan kritik terbuka pada Walikota Bandung, Husen
Wangsaatmadja, yang kini sedang giat melancarkan penertiban
kota. Tapi, Aang menegaskan, "yang ingin saya katakan, tindakan
terhadap pedagang kaki lima dan penggusuran rumah liar harus
satu paket." Sebab, katanya lagi, "kalau tidak boleh berdagang
atau berumah di sini, harus di mana atuuh?"
Salahkah tindakan Walikota? Buru-buru Gubernur menyatakan,
pedagang kaki lima memang selalu menimbulkan kesan tidak tertib.
Tapi mengatasi mereka katanya, tidak cukup dengan
mengejar-ngejar seperti dilakukan petugas kita selama ini. Yang
penting menurut Aang, apa yang menyusul sesudah pengearan dan
penggusuran.
Pengejaran dan penggusuran pedagang kaki lima memang sejak lama
merupakan langgam penertiban di Bandung. Namun tiap kali dapat
dilihat, pedagang kaki lima tidak pernah jera. Menjelang Puasa
dan Lebaran biasanya mereka makin bersemangat menyerbu sekitar
alun-alun, Jalan Ahmad Yani, Dewi Sartika dan Dalam Kaum.
Ada sekitar 10.000 pedagang di Bandung yang oleh Walikota sejak
dulu dipersilakan berdagang di tempat khusus di Cikapundung.
Tapi mereka nekat mencegat pembeli di trotoar di samping
jalan-jalan protokol.
Trotoar yang sempit semakin sempit dan pembeli yang berkerumun
akhirnya mengganggu kelancaran lalu-lintas. Petugas Tibum
(Ketertiban Umum) yang dianggap ganas itu toh tidak membuat
mereka takut. Bahkan belakangan ini pedagang kaki lima semakin
tidak peduli. Mereka menyediakan mobil untuk melarikan diri jika
Tibum beraksi.
Ketua tim khusus yang ditunjuk Gubernur, Sutardja, tidak
bersedia mengungkapkan apa yang akan dilakukan dalam menghadapi
kebandelan pedagang kaki lima yang dianggap biang kesemrawutan
kota. Sementara itu, Walikota Husen bertekad untuk "tidak
sedikit pun mundur dan akan terus mengadakan penertiban." la
tidak menjawab ketika ditanya bagaimana bila penertiban yang
dilakukannya bentrok dengan tim khusus yang dibentuk Gubernur.
Sebaliknya, Husen mengemukakan rasa "terimakasihnya", akan
langkah yang diambil Aang. "Tanpa tim pun segala perkembangan
kota akan terus dilaporkan kepada Gubernur dan kebijaksanaan
saya sudah mendapat restu beliau," lanjutnya. Apa yang dilakukan
Pemda Bandung selama ini, menurut Husen, bukanlah untuk
mematikan usaha pedagang. Tapi semata-mata mengajak mereka hidup
tertib -- berdagang pada tempatnya.
"Jalan Keras"
Cuma, upaya Walikota Husen tersebut harus berhadapan dengan
keadaan yang sulit: kepadatan penduduk. Menurut sensus terakhir,
setiap hektar tanah di Bandung dihuni 182 jiwa. Sedangkan
kepadatan normal, menurut standar Bappenas di bawah 100 jiwa
(Bandung berpenduduk ñ 1 « juta). Itulah yang menyebabkan
meningkatnya kebandelan penduduk dalam menempatkan dagangan dan
membangun rumah-rumah liar. Sempadan-sempadan sungai, jalur
hijau bahkan tanah-tanah milik pemerintah, semua mereka sikat.
Diperkirakan ada sekitar 40.000 rumah liar yang harus dibongkar.
Termasuk 54 kios merangkap rumah di Jalan Suci.
Khusus terhadap para penghuni Jalan Suci, Walikota merasa sudah
banyak berbuat. Masalahnya bermula, hampir 15 tahun lalu,
tatkala Pemda Kodya menertibkan pedagang kaki lima yang
bertebaran di beberapa jalan sekitar Gedung Sate. Mereka
diizinkan membangun kios di Jalan Suci, dengan syarat kalau
Pemda membutuhkan tanah itu, mereka sanggup pindah tanpa ganti
rugi.
Peringatan pertama untuk pindah disampaikan 10 tahun lalu. Tapi
para penghuni malah meningkatkan fungsi kios menjadi rumah
tinggal. Peringatan kedua, beberapa tahun lalu, disertai anjuran
untuk pindah ke rumah Perumnas atau ke Pasar Inpres yang
terletak hanya 400 m dari kios mereka. Tak ada yang menuruti.
Walikota Husen kemudian menempuh "jalan keras". "Kalau
ditolerir, mereka akan menjadi contoh jelek pada yang lain,"
katanya khawatir. Kios-kios di sana diratakan dengan tanah Juni
ini. Namun para penghuni kembali mendirikan gubuk-gubuk baru.
Bukan itu saja. Di atas puing yang masih berdiri, dengan cat
merah mereka menggoreskan kata-kata "relakah kami menjadi
gelandangan?"
Penggusuran di Jalan Suci merupakan batu ujian bagi penertiban
gaya Husen yang selama ini berjalan lancar. Sampai sekarang
tidak kurang dari 10.000 rumah yang sudah dibongkar. Sisanya,
30.000 Iagi, menunggu "pengertian dan kesadaran warga-kota
Bandung," begitu kata Walikota. Untuk sementara ini katanya, ia
tidak merasa keberatan jika Bandung dibilang semrawut. "Itu
memang benar, karena Bandung lagi kuriak, " ujarnya.
Kuriak menggambarkan proses membangun rumah -- segala sesuatu di
dalamnya serba berantakan. Tahun 2000 nanti, kata Husen, barulah
hasilnya akan terasa. Tanpa perlu diseminarkan lagi ujar
Walikota datar, "konsep penelitian saja menghabiskan biaya Rp 1
milyar."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini