Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Banjir Puncak Diduga Akibat Kerusakan Ekologi

Pemerintah pusat berkukuh penyebabnya adalah curah hujan tinggi dari badai La Nina.

21 Januari 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Rumah karyawan pemetik teh PTPN VIII paska longsor dan banjir bandang sungai Cisampai di Tugu Selatan, Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 20 Januari 2021. TEMPO/M.A MURTADHO

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Pemerintah dan Legislatif Kabupaten Bogor curigai terjadinya penebangan liar di Gunung Mas

  • Warga Desa Gunung Mas sempat lihat terjadinya penebangan dan pembangunan vila

  • PT PN VIII laporkan kondisi hutan di Gunung Mas dalam keadaan baik

BOGOR -- Pemerintah kabupaten dan warga kawasan Gunung Mas curiga telah terjadi kerusakan ekologi pada hutan di wilayah Puncak, Bogor. Dekadensi alam tersebut diduga menjadi penyebab banjir bandang dan tanah longsor yang memaksa 714 warga Gunung Mas mengungsi pada Selasa lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Wakil Bupati Bogor Iwan Setiawan, curah hujan tinggi seharusnya tak menimbulkan luapan air pada Sungai Cisampay karena dikelilingi hutan yang lebat. “Saya menduga ada pembalakan liar, sehingga terjadi erosi,” kata dia di lokasi bencana, kemarin. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dewan Perwakilan Rakyat memiliki kecurigaan serupa. Anggota Komisi V yang membidangi infrastruktur, Eddy Santana Putra, mengatakan legislatif memiliki data dugaan pembukaan lahan hingga 1.200 hektare di atas kawasan hutan lindung Puncak. Selain pembalakan liar, perusakan ekologi ini berupa pembangunan sejumlah rumah dan vila secara liar. 

DPR akan mendorong Pemerintah Kabupaten Bogor menertibkan bangunan ilegal yang berada di kawasan hutan lindung. “Kami akan mengajak semua pemangku kebijakan untuk mengeluarkan kebijakan guna menindak para oknum yang semena-mena mendirikan bangunan dengan merusak lingkungan,” ujar Eddy. 

Kawasan Puncak merupakan hulu aliran sungai yang mengalir ke wilayah DKI Jakarta. Kerusakan alam di kawasan tersebut akan memperbesar ancaman banjir besar ke pusat pemerintahan dan sentra perekonomian negara. "Ini isu lingkungan yang serius. Dampaknya juga luas. Harus ada kebijakan untuk menghentikan ini." kata Eddy.

 

Perkampungan pemetik teh PTPN VIII pasca-tanah longsor dan banjir bandang Sungai Cisampay di Tugu Selatan, Cisarua, Kabupaten Bogor, 20 Januari 2021. TEMPO/M.A. MURTADHO

Kepala Desa Tugu Selatan, Eko Windiana, mengatakan warga setempat sempat melihat aktivitas penebangan pohon di kawasan hutan yang berada di seberang desa mereka. Beberapa saat kemudian, menurut dia, tiba-tiba berdiri sejumlah bangunan mirip tempat penginapan atau vila mewah di lahan gundul tersebut. Meski demikian, dia mengklaim tak bisa menuding pembangunan yang berada di wilayah Kabupaten Ciamis tersebut ilegal dan menjadi penyebab banjir bandang. “Kalau di wilayah kami, semua aktivitas tercatat. Tak ada penebangan liar,” kata Eko. 

Laporan Tempo mendapati dugaan pembangunan sejumlah vila bermasalah di atas lahan konservasi, salah satunya kawasan resor pemangkuan hutan (RPH) Cipayung-Megamendung dan Babakan Madang. Padahal, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 144 Tahun 1999 tentang Penataan Ruang Kawasan Bogor, Puncak, dan Cianjur, dua RPH tersebut tercatat sebagai kawasan konservasi air serta tanah. 

Dalam laporan yang sama, Tempo menemukan sejumlah nama orang berpengaruh sebagai pemilik vila mewah tersebut. Di antaranya beberapa jenderal, pengusaha, dan pengacara ternama. Kasus bangunan bermasalah ini pun seperti isu musiman yang mencuat ketika musim hujan tiba, tapi minim tindak lanjut. 

Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Bogor, Dede Armansyah, memaparkan, sesuai dengan laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), banjir bandang dan tanah longsor terjadi setelah curah hujan sebesar 107,5 milimeter per hari tumpah selama lebih dari enam jam, pada Senin dan Selasa lalu. Hal itu membuat badan Sungai Cisampay tak mampu menahan debit air. 

Menurut dia, tanah longsor terjadi ketika luapan dan aliran air menerjang tanggul alam yang terletak di dekat Gunung Kecil. Seusai tanggul jebol, aliran air yang sangat deras menjadi banjir bandang menuju sejumlah permukiman di bagian bawah, seperti di emplasemen, Rawadulang, dan Agrowisata Camping Ground. “Longsor di Gunung Mas sudah terjadi berulang kali, tapi baru kali ini terjadi banjir bandang,” ujar Dede. 

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan RI, Muhadjir Effendy, pun menilai bencana tersebut sebagai imbas kondisi iklim abnormal dari badai La Nina. Anomali ini menyebabkan tingginya curah hujan di sejumlah wilayah. 

Dia membantah bencana di Gunung Mas tersebut akibat kerusakan ekologi, seperti adanya pembalakan liar di kawasan hutan lindung. Pernyataannya itu didasari laporan badan usaha milik negara di Gunung Mas, PT Perkebunan Nasional (PTPN) VIII. "Kondisi lingkungan dikatakan aman. Dari segi lingkungan, saya amati juga cukup terawat. Hanya, saya minta ditanami pohon keras untuk keamanan lingkungan," kata Muhadjir. 

FRANSISCO ROSARIANS l M.A. MURTADHO (BOGOR)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus