Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Bank dengan agunan amanah

Pemerintah menyetujui berdirinya bank muamalat indonesia (bmi). modal awalnya rp 110 milyar, berasal dari presiden, sejumlah menteri, dan konglomerat. nasabah bmi golongan menengah ke bawah.

9 November 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam sekejap modalnya menembus Rp 100 milyar, yang berasal dari dukungan Presiden, sejumlah menteri kabinet, dan konglomerat. Gerakan politik? Ketua MUI membantahnya. INILAH lembaga keuangan yang saham pendirinya diperuntukkan bagi umat Islam: Bank Muamalat Indonesia (BMI). Atas restu dan izin Presiden Soeharto, bank pertama tanpa bunga di Indonesia ini akhirnya bisa berdiri. Modal pertama diberikan oleh Pak Harto berupa dana pinjaman Rp 3 milyar dari kas Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila tanpa bunga dan batas waktu pinjaman. Yayasan Dakab, Supersemar, Dharmais, dan Purna Bhakti Pertiwi, yang pimpinannya Pak Harto dan keluarga, membeli saham masingmasing Rp 1 milyar. Secara pribadi, Kepala Negara juga membeli saham BMI senilai Rp 50 juta -nilai nominal selembar saham adalah Rp 1.000. Presiden lalu menjadi sponsor pengumpulan dana. Mobilisasi dana berlangsung dalam suasana silaturahmi dengan tuan rumah Pak Harto dan Ibu Tien di Istana Bogor, Minggu lalu, "Kalau disebutkan saya sebagai pemrakarsa utama, tapi sebenarnya saya berfungsi sebagai gongnya," kata Pak Harto dalam sambutan tanpa teks. Hadirin tertawa dan bertepuk tangan. Pak Harto menaksir, kalau 88% umat membeli selembar saja saham senilai Rp 1.000, akan terkumpul Rp 159 milyar. Sekitar 4.600 undangan, mulai dari suami-istri penjual martabak manis di Pasar Bogor -yang ingin membeli dua lembar saham -sampai Bob Hasan yang punya Rp 25 milyar, hadir di Istana Bogor. Gubernur BI Adrianus Mooy dan Menteri Keuangan Sumarlin juga tampak hadir. Loket saham berupa 26 unit mobil Kijang diserbu pengunjung bak membeli kacang goreng. Berbagai yayasan juga berpartisipasi, termasuk YDBKS, pengelola SDSB, yang membeli saham senilai Rp 2 milyar. Dari bumi parahyangan saja terkumpul sekitar Rp 26 milyar. Selepas acara di Bogor, BMI boleh dikatakan sudah kaya: modal awalnya melewati Rp 110 milyar. Menurut jadwal pengurus BMI, acara serupa akan diselenggarakan di beberapa daerah. Bisa dipastikan bahwa di tengah beleid "uang ketat" saat ini, modal BMI akan terus menggelembung. Ketika Pak Harto memberi lampu hijau untuk berdirinya BMI, Agustus lalu, modalnya baru Rp 3 milyar dari Pak Harto. Tidak sampai tiga bulan kemudian, ketika akta pendirian BMI ditandatangani 175 pendiri di Hotel Sahid Jaya, Jakarta, Jumat pekan lalu, angka modal itu sudah sekitar Rp 85 milyar. Lalu menembus Rp 110 milyar. Karena melihat parade angka ini, target awal pun diulur, dari Rp 10 milyar -syarat minimal pendirian bank -menjadi Rp 100 milyar. "Ini tak lepas dari dukungan besar warga negara muslim bernama Soeharto," kata bekas Menteri Perdagangan (1983-1988) Rachmat Saleh, Komisaris Utama BMI. BMI jelas sebuah bank istimewa. Pemegang sahamnya, selain Presiden dan Wapres, tercatat sepuluh menteri Kabinet Pembangunan V, sejumlah pengusaha kelas kakap seperti Aburizal Bakrie, Ponco Sutowo, Fahmi Idris, dan Fadel Muhammad. Nama beken lain adalah bekas Dirut Bank Bumi Daya Omar Abdalla, kini salah satu komisaris BMI. Dari kalangan cendekiawan dan ulama Islam ada Ketua MUI K.H. Hasan Basri, Ketua PB Muhammadiyah Achmad Azhar Basyir, dan tokoh NU K.H. Ali Yafie. Yang akan menjalankan roda BMI adalah bekas Direktur Bank Pacific Zainulbahar Noor. Dirut BMI ini akan mengoperasikan banknya dari Gedung Arthaloka, di Jalan Jenderal Sudirman, pusat bisnis di segi tiga emas, Jakarta. Bagaimana soal izin? "Izin prinsip dan operasional akan keluar secepatnya," ujar sumber TEMPO di Departemen Keuangan. Berdasarkan UU Pokok Perbankan No. 14 tahun 1967, cara kerja BMI yang tanpa bunga sebenarnya tak lazim. Maka, dalam RUU Perbankan 1991 yang tengah digodok DPR, kabarnya, terselip pasal yang memungkinkan sistem bagi-hasil seperti yang akan dijalankan BMI. Rintangan dari segi UU Perbankan dapat dilewati dengan ketetapan bahwa BMI beroperasi dengan bunga 0% (zero interest). Begitulah, ibarat mobil, kini BMI sudah on the road, siap dipacu. Maka, Fahmi Idris dari Grup Kodel merasa tak perlu lagi melanjutkan bank serupa BMI yang dirintis sejak tiga bulan lalu bersama Kuwait Finance House. Proyek itu rencananya akan dijalankan Bank Susila Bhakti milik Kodel. "Kini proyek itu tak layak lagi dari segi bisnis ataupun nonbisnis. Lebih baik konsentrasi sebagai pemegang saham BMI. Apalagi, Pak Harto sudah memberi dukungan penuh, ya, kami mendukung," kata Fahmi. Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa BMI yang disambut bersemangat ini baru bisa diluncurkan sekarang. Bukankah ide bank Islam sudah merebak di sini sejak 1973? Ada saja yang mengaitkan berdirinya BMI ini dengan upaya Pak Harto mendekati umat Islam. Apalagi, pemilu akan berlangsung tahun depan dan kemudian disusul pemilihan presiden. Namun, isu seperti ini segera dibantah Ketua MUI K.H. Hasan Basri. "Ah, tidak benar. Saya tahu persis urutan sejarahnya. Ini murni ide kami yang diterima beliau," kata Hasan Basri. Presiden sesungguhnya sudah lama "dekat" dengan umat Islam. Sejumlah beleid Pemerintah dinilai menguntungkan golongan Islam. Misalnya, pengesahan UU Pendidikan Nasional, UU Peradilan Agama, SKB Zakat, dan diperbolehkannya jilbab untuk seragam sekolah. Tahun lalu di Malang, Pak Harto membuka simposium Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia, sebuah peristiwa besar yang dianggap tonggak baru hubungan pemerintah dan Islam. Puncaknya, Pak Harto menunaikan ibadah haji tahun ini dan mendapat nama Haji Muhammad Soeharto. Maka, wajar kalau Pak Harto selalu menaruh perhatian pada kepentingan umat. Termasuk dalam soal bank. Sejak Paket Oktober 1988 diluncurkan, bertumbuhlah bank-bank swasta. Menurut Dr.Ir. Amin Aziz, Ketua Tim Perbankan MUI, ada kecenderungan pemilikan dana dikuasai satu golongan masyarakat. Malangnya, bank-bank pribumi, terutama pribumi muslim, hanya bisa dihitung dengan jari. "Akhirnya, dana umat muslim sebagian besar ditampung pihak nonpri yang umumnya nonmuslim," kata Amin, Asisten VI Ketua Umum ICMI. Tumbuhlah ide mendirikan bank Islam. Sebenarnya, ide ini sudah beredar sejak 1973, tetapi karena sulitnya modal, ide itu tinggal ide. Tonggak penting perjalanan menuju BMI barangkali adalah Lokakarya MUI, pada Agustus 1990, di Cisarua, Jawa Barat. Peserta lokakarya sepakat: menugasi Komite Pengembangan Ekonomi Umat untuk membentuk bank tanpa bunga. Keputusan ini dikukuhkan dalam Munas MUI, akhir Agustus 1990, di Hotel Sahid Jaya, Jakarta. Amin Aziz ditunjuk sebagai ketua tim dengan anggota, antara lain, Karnaen A. Perwataatmadja, Sesditjen Moneter Departemen Keuangan. Ide MUI ini ternyata disambut hangat, antara lain oleh Dirjen Moneter Oskar Surjaatmadja dan Menteri Muda Keuangan Nasruddin Sumintapura. Hanya saja, Menteri Agama Munawir ketika dilapori tim MUI itu belum sreg benar. "Mulanya saya memang pesimistis. Ini kan masih eksperimen, membuat bank tanpa bunga. Karena mengumpulkan dana Rp 30 milyar kan tidak gampang," Munawir mengungkapkan keraguannya. Namun, Menteri Agama sangat bergembira karena pengumpulan dana ternyata melebihi target semula. Munawir sendiri ikut membeli saham BMI senilai Rp 10 juta. "Saya ada sedikit royalti dari buku-buku saya, itu yang saya bayarkan," katanya. Setelah Munawir oke, sejumlah menteri dihubungi, di antaranya Hartarto, Ginandjar Kartasasmita, Azwar Anas, dan B.J. Habibie. Nama yang tepat untuk bank Islam ini segera dicari. Ada Bank Islam Indonesia, ada Bank Karya Islam, atau Bank Amal Indonesia. Ada juga usul Bank Syariah Islam Indonesia, tetapi ditolak karena dianggap "berbau" Piagam Jakarta -rancangan pembukaan UUD 1945 yang berbunyi: kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Sementara itu, Amin Aziz melontarkan nama Bank Muamalat Islam Indonesia. Kata "muamalat" berarti bagian hukum Islam yang mengatur tata cara hidup sesama umat, misalnya pinjam-meminjam. Belum lagi urusan nama selesai, lewat Mensesneg Moerdiono diperoleh kabar gembira bahwa Presiden berkenan menerima tim MUI pada 27 Agustus 1991 lalu. Ternyata, sebelumnya, dalam berbagai kesempatan, para menteri yang mendukung bank Islam ini secara terpisah melaporkan urusan bank Islam ini kepada Presiden. Maka, pembicaraan dengan Presiden pun lancar. Rachmat Saleh, sebagai komisaris utama, minta izin memasukkan nama Pak Harto sebagai pemrakarsa. Menurut Amin Aziz, yang ikut hadir, Pak Harto sambil tersenyum menjawab, "Oh, itu boleh." Kepala Negara hanya mengoreksi soal nama bank. Kata "muamalat" sudah menggambarkan ajaran Islam, jadi, "Namanya cukup dengan Bank Muamalat Indonesia," ujar Amin mengutip Pak Harto. Bagai gayung bersambut, Menteri Ginandjar segera mengumpulkan konco-konconya -di antaranya Fadel Muhammad, Aburizal Bakrie, dan Ponco Sutowo -dan terkumpul Rp 20 milyar. "Sebagai muslim, saya berusaha menjalankan ajaran agama sebaik mungkin," ujar Ginandjar. Menteri Habibie tak kalah sigap. Ketua ICMI yang lagi bersemangat mendukung BMI ini mengerahkan dana pensiun Rp 5 milyar dari tiga industri strategis yang dibawahkannya, di antaranya PT PAL dan PT Pindad. Didukung dana demikian besar dan restu Pak Harto, dapat dibayangkan akan berbondong-bondonglah masyarakat membeli saham BMI. Inilah sebuah kekuatan raksasa. Sasaran nasabah BMI adalah golongan menengah ke bawah. Di pedesaan, sebagai contoh, agaknya BMI akan berpacu dengan Simpedes atau Kupedes milik BRI. Kupedes, contohnya, sudah mengakar benar. Sampai Juni 1991, Kupedes telah menyalurkan kredit Rp 1,5 trilyun. Dirut BRI Kamardy Arief melihat bidang garapan di tingkat menengah ke bawah masih luas. "Memang akan ada persaingan, tetapi kami belum melihat BMI sebagai ancaman. Apalagi, ada perasaan aman pada nasabah kami karena BRI adalah bank pemerintah," kata Kamardy. "Hampir di setiap pelosok desa bisa dijumpai kantor atau loket BRI." Agaknya, jaringan pemasaran ini yang sulit ditandingi BMI yang baru punya sekitar 60 karyawan. Menurut Dawam Rahardjo, salah satu pemrakarsa bank Islam, pengelola BMI harus benar-benar profesional. Misalnya, dalam hal mengawasi pinjaman dengan agunan kepercayaan alias amanah ini. Masalah lain, seperti kata Omar Abdalla, bagaimana mengatasi kelebihan likuiditas. "Apakah akan dibelikan SBI, atau dilempar ke bank Islam di luar negeri, ini masih akan kami bahas," ujarnya. Bagaimanapun, BMI adalah langkah awal yang, insya Allah, bisa menampung kepentingan ekonomi umat yang masih beranggapan bahwa bunga bank itu sebagai riba. Bismillah. Toriq Hadad, Linda Jalil, Wahyu Muryadi, dan Riza Sofyat . TABEL ----------------------------------------------------------9 PEMEGANG SAHAM TERBANYAK PT BANK MUAMALAT INDONESIA ----------------------------------------------------------- 1. Bob Hasan (Masyarakat Perhutanan Indonesia) Rp.25 milyar 2. Yayasan BUMN Pupuk, semen & Aneka Gas Rp.4,5 milyar 3. YDP Karyawan PT Krakatau Steel Rp.3,5 milyar 4. H. Hutomo Mandala Putera Rp.3,3 milyar 5. Yayasan Pensiun Nusantara Rp.3 milyar 6. YDP Pertamina Rp.2 milyar 7. Aburizal Bakrie Rp.2 milyar 8. H. Ibrahim Risyad Rp.2 milyar 9. YDBKS (Pengelola SDSB) Rp.2 milyar ------------------------------------------------------------

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus