Beberapa BPR tanpa bunga di Indonesia mulai punya nasabah. Malaysia akan menjadi contoh manajemen Bank Islam di sini. INILAH kabar gembira bagi mereka yang mengharamkan bunga bank. Insya Allah, sekitar tiga bulan lagi, di lantai dasar Gedung Arthaloka Jakarta, akan beroperasi secara penuh sebuah bank tanpa bunga. Itulah Bank Muamalat Indonesia yang baru diresmikan Jumat pekan lalu. Nah, di lembaga keuangan itulah, nantinya, mereka yang tadinya menyimpan uang di bawah bantal akan dilayani bila ingin menyimpan uangnya tanpa mengharapkan bunga. Hadirnya bank tanpa bunga ini bukanlah hal baru di Indonesia. Setidaknya, dari segi ide, sudah pernah dilontarkan oleh K.H. Mas Mansur, seorang tokoh nasional dari Muhammadiyah, sekitar 54 tahun lalu. Ketika itu, K.H. Mas Mansur lewat majalah Majelis Tablig Siaran menjelaskan bahwa umat Islam menggunakan jasa bank konvensional itu karena terpaksa. Kebetulan belum ada bank yang bebas riba. Dengan kata lain, untuk sementara waktu boleh saja menggunakan jasa bank konvensional yang menerapkan sistem bunga. Tulisan ulama besar itu, oleh Karnaen A. Perwataatmadja, bekas Direktur Eksekutif Bank Pembangunan Islam di Jeddah, ditafsirkan sebagai tanda keinginan umat Islam akan adanya bank tanpa bunga. Namun, keinginan itu tak dapat diwujudkan karena sejak masa penjajahan Belanda sampai tahun 1982 ketentuan bank di Indonesia belum memungkinkan berdirinya bank tanpa bunga. Barulah pada 1 Juni 1983, Pemerintah membebaskan bank-bank menetapkan sendiri tingkat bunganya. Dengan kata lain, bank dengan bunga nol persen pun boleh. "Nah, pada waktu itu, sebenarnya umat Islam sudah bisa membuat bank Islam," kata Karnaen, tokoh yang selama ini banyak berbicara tentang bank tanpa bunga. Bila pada waktu itu tak ada bank tanpa bunga berdiri, harap dimaklumi karena ketika itu izin prinsip untuk mendirikan bank baru belum dibuka. Barulah setelah Paket Oktober 1988 keluar, Pemerintah mengizinkan pembukaan bank baru. Kesempatan itu memang tak disia-siakan oleh Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Muhammadiyah, misalnya, merencanakan mendirikan BPR. Namun, proyeknya tak sekolosal Nahdlatul Ulama dengan ribuan BPR Nusumanya, yang masih memakai jalur bank konvensional. Muhammadiyah hanya menargetkan seratus BPR. Sampai saat ini baru berjalan satu BPR, yakni Bank Perkreditan Rakyat Matahari Artadaya di Ciputat, Jakarta. Bank ini menganut dua sistem, yakni bunga dan tanpa bunga. Dalam perjalanannya, ternyata bagi nasabah sistem konvensional (pakai bunga) lebih menarik daripada yang tanpa bunga. Buktinya, sejak berdiri September 1990 lalu, untuk simpanan berbunga sudah ada 521 nasabah dengan tabungan Rp 600 juta. Yang memakai sistem tanpa bunga baru memiliki 15 nasabah dengan simpanan Rp 154 juta. Dari jumlah itu pula, hanya Rp 19 juta yang benar-benar berasal dari tabungan orang luar. Bank ini juga memiliki dua sistem dalam menyalurkan kredit. Yang pertama, dengan cara biasa, memakai agunan. Yang kedua, dengan sistem bagi hasil keuntungan. Khusus untuk sistem kedua itu, sampai saat ini, baru ada dua kreditur yang berminat. Dalam hal sistem bagi hasil ini, "kami memang sangat berhatihati," kata Iwan Setiawan, Direktur BPR Matahari Artadaya Ciputat. Yang boleh meminjam adalah kontraktor atau penyuplai yang sudah punya "perintah kerja" dari pemilik proyek. Barangkali inilah yang menyebabkan BPR Matahari Artadaya tak diminati calon krediturnya. Namun, menurut penilaian Karnaen, salah seorang ahli dalam sistem bank Islam, ketidakberhasilan BPR Artadaya disebabkan bercampurnya yang halal dan tak halal (riba) dalam satu kuali. Sebagai akibatnya, masyarakat meragukan bank itu. Lain pula ceritanya dengan BPR Berkah Amal Sejahtera, yang berdiri di Bandung pada 19 Agustus 1991. Ternyata, pada hari pertama beroperasi, bank ini telah menarik 50 nasabah dengan jumlah tabungan seluruhnya Rp 1 juta lebih. Masih ada lagi lima nasabah deposito dengan total simpanan Rp 3 juta. Sampai saat ini, penabung di BPR yang menerapkan syariah Islam itu sudah mencapai 882 orang dengan dana sekitar Rp 50 juta. "Ini benarbenar dana murni dari masyarakat dalam waktu dua bulan," kata Hasbi Mauriza Hasyim, Direktur Utama BPR Islam Berkah Amal Sejahtera. Selama ini, menurut pengamatan Karnaen, belum ada bank tanpa bunga gagal total. Syaratnya, tentu saja bank itu harus dikelola dengan baik. Bahkan, katanya, di negara minoritas muslim seperti Filipina, bank tanpa bunga bisa hidup. Itulah yang dialami oleh Bank Amanah Filipina, sebuah bank tanpa bunga yang berdiri pada 1973 di Manila. Memang kemajuan Bank Amanah Filipina itu tak terlihat seperti halnya Bank Sosial Nasser di Kairo. Bank Islam di Mesir itu didirikan tahun 1972 dengan modal Rp 36 milyar. Dalam jangka waktu tujuh tahun, bank milik pemerintah itu sudah berhasil mendirikan 25 cabang di seluruh Mesir dengan jumlah tabungan Rp 690 milyar. Keberhasilan Bank Sosial Nasser itu ternyata menarik perhatian berbagai kalangan di wilayah Teluk dan Arab Saudi untuk mendirikan lembaga keuangan serupa di tengah masyarakat Islam. Seperti yang ditulis Rodney Wilson dalam bukunya Bisnis Menurut Islam, dorongan itu diperkuat oleh Organisasi Konperensi Islam (OKI) pada 1970. Ketika itu OKI membentuk suatu panitia yang bertugas memikirkan sistem perekonomian Islam. Hasilnya dapat dilihat, yakni sampai saat ini sudah berdiri sekitar 100 bank dan lembaga keuangan Islam yang beroperasi di dunia. Berbeda dengan Bank Sosial Nasser, yang dimiliki oleh negara Mesir, empat perlima bagian dari Bank Islam Dubai adalah milik swasta. Pemiliknya kebanyakan kalangan saudagar Dubai. Bank Islam Dubai, dalam pemutaran dananya, lebih mengutamakan investasi langsung alih-alih memberikan kredit. Uang ditanamkan pada proyek perindustrian besar seperti pabrik peleburan aluminium. Cara investasi langsung ini juga digunakan oleh Bank Islam Malaysia Berhad, yang mulai beroperasi pada 1983. Bank ini, menurut Dr. Abdul Halim, Direktur Pelaksana Bank Islam Malaysia Berhad, mendapat sambutan hangat dari umat Islam setempat. Dalam tempo delapan tahun, Bank Islam Malaysia telah memiliki 250 ribu nasabah dengan jumlah tabungan sekitar Rp 8,4 trilyun. Satu jumlah yang tak kecil. Agaknya, keberhasilan itu mendorong para pendiri Bank Muamalat Indonesia untuk mengarahkan kiblatnya ke negeri Semenanjung Melayu itu. Banyak tenaga yang akan menangani manajemen Bank Muamalat Indonesia dikirim ke sana. Bagaimana mengelola bank yang sesuai dengan syariat Islam, mungkin paling cocok belajar ke Malaysia. Soalnya, keadaan Indonesia dan Malaysia hampir serupa. Julizar Kasiri, Wahyu Muryadi, dan Iwan Qadar (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini