Perasaan miris itu menyelinap pada saat saya membaca "Remaja yang tidak Jantan" (TEMPO, 21 September 1991, Perilaku). Remaja memang selalu menarik dijadikan topik perbincangan. Masalah yang menyertainya multidimensional, sehingga terapinya juga harus impartiality. Sebagai "pensiunan remaja", kita bisa mengerti gejolak yang meledak-ledak dalam jiwa seorang remaja. Ini yang mesti kita pahami. Masa remaja (adolescence) merupakan suatu fase transisi antara masa anak-anak dan masa dewasa. Masyarakat tidak lagi melihat remaja sebagai seorang anak, bukan pula sebagai seorang dewasa yang diakui segala hak dan kewajibannya. Di sinilah tempat terjadinya pembentukan identitas diri: identitas biologis dan psikologisnya yang harus sesuai dengan pekerjaan, keluarga, dan peranan sosial. Pada masa remaja inilah, benturan-benturan antara nilai dan kepentingan biasanya terjadi. Orangtua acap bertindak kurang arif dalam mendidik anaknya. Sering menafsirkan kebutuhan anak hanya pada kebutuhan materi. Tak pelak lagi, ketimpanganketimpangan interpersonal menjadi pemantik timbulnya deviasi pada perilaku anak. Seorang remaja biasanya tak mudah berkomunikasi: sangat peka dan mudah tersinggung. Ini berkaitan dengan perubahan fisiologis, perhatian yang besar atas tubuh mereka, perubahan pandangan mengenai seks, dan kebutuhan mereka akan aktivitas yang menghasilkan penghargaan dan kepuasan. Sudah sepatutnya orangtua menciptakan baginya suasana yang kondusif untuk perkembangan kepribadiannya. Misalnya, melibatkan mereka sebagai mitra dialog, mendiskusikan masalah-masalah kecil di seputar dunia mereka, atau memberikan stimulus yang tepat untuk membangkitkan kreativitas anak (remaja). Dengan demikian, akan timbul dalam diri mereka kepercayaan diri serta penghargaan atas jerih payah mereka. Itu akan lebih sempurna bila disertai contoh dan teladan yang baik dari orangtua. Rasulullah menyerukan kepada umatnya (orangtua) agar menghargai anak-anaknya dengan cara memberikan penghargaan atau sekadar pujian. "Saling memberi hadiahlah kalian, niscaya kalian saling berkasih-sayang," kata Rasulullah. Barangkali akan lebih arif bila kita tidak terlalu tergesa-gesa memvonis para remaja sebagai kambing hitam kenakalan dan kebrutalan. Karena ada prakondisi yang melingkupinya (faktor lingkungan, keluarga, dan institusi mental remaja) yang saling mengait dan dapat menjadi pencetus terjadinya kelainan tingkah laku. Di sini ada baiknya kita resapi sebait kata Imam Al Ghazali: "Anak-anak adalah amanah bagi kedua orangtuanya, dan hati yang suci adalah permata yang sangat mahal harganya. Karena dibiasakan pada kebaikan, ia akan tumbuh pada kebaikan tersebut. Maka, berbahagialah dunia dan akhirat". NUKE H. SETIA Mahasiswa Fakultas Kedokteran UGM Yogyakarta 55281
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini