Bank Islam muncul di sini. Inilah bank yang mengharamkan riba, menghalalkan jual-beli, menurut syariat Islam. "SAYA perlu mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis. Karena ini suatu konsep baru dan rumit, jadi perlu hati-hati." Pernyataan itu datang dari Mensesneg Moerdiono ketika menerima pengurus Bank Muamalat Indonesia (BMI), April lalu. Dalam proses kelahiran BMI, Moerdiono -serta sejumlah menteri lainnya -- adalah pendukung penting di balik layar. Namun, ia merasa perlu melempar beberapa pertanyaan menggelitik atas peran dan kemungkinan eksistensi bank itu, misalnya: "Bagaimana mungkin bank tanpa bunga ini membantu pengusaha kecil dan menengah, padahal jumlah mereka banyak sekali?" Konon, seperti diungkapkan salah seorang pengurus BMI yang turut dalam acara, Adi Sasono, yang dikenal sebagai tokoh LSM itu, berhasil memberikan jawaban yang memuaskan Pak Moer. Memang banyak orang bertanya-tanya, bagaimana mungkin bank, yang selama ini dikenal sebagai lembaga keuangan yang hidup dari rente, tiba-tiba kini beroperasi dengan mengharamkan bunga. Bagaimana mungkin bank menyalurkan kredit pada nasabah tanpa agunan (kolateral)? Namun, kalau dilihat perkembangan bank Islam di berbagai negara berpenduduk muslim di sekitar Timur Tengah dan Afrika -malah sudah merambah ke Filipina, Inggris, Denmark, Afrika Selatan, dan sejumlah negara nonmuslim -berbagai pertanyaan tadi sebenarnya tak perlu. Al Baraka, yang berpusat di Jeddah, Arab Saudi, misalnya, kini menjelma menjadi salah satu lembaga keuangan yang kuat di dunia, yang mempunyai cabang di Eropa dan Amerika. Bank Islam Malaysia, yang berdiri enam tahun lalu, kini merupakan salah satu bank terbesar di negerinya. Mengapa bisa? "Bank Islam itu lebih bersifat sebagai investor ketimbang pemberi pinjaman," kata Dawam Rahardjo, ekonom yang pengurus ICMI itu. Karena itu, dalam menginvestasikan modalnya, bank itu amat selektif dengan amat memperhatikan prospektif tidaknya sebuah proyek. "Kalau proyek yang minta pinjaman kira-kira diduga akan bangkrut, bank tak akan memberi kredit," kata Dawam. Bila dibaca berbagai makalah yang dibuat oleh Karnaen A. Perwataatmadja, bekas Direktur Eksekutif Bank Pembangunan Islam, perbedaan yang amat prinsipiil antara bank Islam dan bank konvensional terletak pada rente. Ketika akad kredit antara bank dan nasabah terjadi, jumlah bunga sudah ditetapkan. Nasabah wajib membayar utang pokok plus bunga tadi. Celakanya, dan itu sering terjadi, ketika bisnis sang nasabah mundur, dan ia tak mampu mencicil, jumlah kreditnya akan membengkak terus -karena mekanisme bunga-berbunga -sampai nasabah itu pailit. Belum cukup, harta agunan itu pun disita. Selain itu, karena agunan, dalam prakteknya bank kebanyakan hanya membantu orang yang sudah kuat untuk lebih kuat. "Kan orang kaya yang punya harta yang bisa diagunkan ke bank," kata Dawam Rahardjo. Kalau tidak ada agunan, bank mengenal bonafiditas. Seperti dikatakan Dawam, "Bank akan mudah memberi kredit pada Prajogo Pangestu karena namanya sudah dikenal." Namun, kalau ada seorang sarjana baru IPB ingin menjadi pengusaha, ia punya proposal yang bagus tentang tambak lele, mana ada bank yang mau meminjaminya modal, kecuali ia punya harta warisan yang bisa jadi agunan. Calon pengusaha seperti ini tampaknya akan jadi lahan garapan BMI. Misalnya melalui produk bank itu yang disebut mudharabah atau bagi hasil. Dalam sistem ini bank akan memberikan seluruh modal yang dibutuhkan, tanpa terlibat dalam manajemen perusahaan itu. Bank hanya mengawasi dari luar. Hanya ada perjanjian antara bank dan nasabah bahwa sebagian keuntungan perusahaan akan dibagikan pada bank, sesuai dengan kesepakatan. Model ini memang rawan "permainan". Petugas bank yang memeriksa proposal atau mengawasi perusahaan bisa "bermain mata" dengan nasabah. Karena itu, dalam makalahnya Karnaen menyebutkan perlunya kejujuran nasabah, dan untuk menjaga kemungkinan terjelek, ia menyebutkan perlunya digunakan pengawasan akuntan publik. Untuk proyek yang kecil-kecil yang tak mungkin menggunakan akuntan publik, ia mensyaratkan adanya jaminan ulama atau tokoh masyarakat atas calon nasabah itu. Ada lagi jenis pinjaman lain yang disebut qardul hasan, yang syaratnya lebih lunak daripada mudharabah. Misalnya, nasabah tak perlu membagi keuntungannya pada bank, tetapi cukup membayar biaya administratif. Qardul hasan memang diperuntukkan pada pengusaha yang betul-betul lemah, semacam kredit candakkulak, atau untuk petani yang sedang terserang kemarau dan sawahnya puso. Bila pinjaman ini jadi kredit macet, bank akan menutup kerugiannya dengan dana zakat, infak, dan sedekah dari umat Islam yang dihimpun bank itu. Produk lainnya adalah kredit murabaha yang tampaknya relatif lebih aman. Di sini, bank akan membelikan semua barang modal yang dibutuhkan lalu menyerahkannya pada nasabah dalam bentuk akad jual-beli. Harga yang harus dibayar nasabah ialah harga beli barang-barang itu ditambah sejumlah keuntungan untuk bank sebagai penjual yang besarnya bergantung pada hasil negosiasi kedua pihak. Bank akan menahan surat-menyurat kepemilikan barang-barang itu sebelum nasabah melunasi kredit itu dalam jangka waktu yang disepakati. Bila sampai waktunya kredit belum lunas karena alasan yang bisa diterima bank, akan dibikin perjanjian kredit yang baru. Artinya, waktu pencicilan dimulurkan. Kalau nasabah itu tak beres bisa saja bank menyita barang-barang itu. Kredit jenis ini tampaknya bisa digunakan dalam pembelian mobil angkutan umum, atau barang modal lainnya, atau untuk rumah cicilan di real estate yang selama ini menggunakan jasa bank biasa. Bank ini juga melayani pembukaan L/C, surat jaminan, dan berbagai jasa bank yang sudah dikenal, misalnya kartu kredit, dengan menggunakan berbagai cara yang pokoknya bukan rente. Dari mana bank ini memperoleh dana? Ternyata ia mengenal giro, berjenis tabungan, dan deposito. Bedanya, tidak seperti bank konvensional, yang menentukan bunga sesuai dengan tingkat inflasi dan persaingan antarbank yang berlomba memasang suku bunga menarik, bank Islam hanya menjanjikan pembagian keuntungan dari operasinya. Besar pembagian itu bergantung pada jenis, besar, dan jangka waktu uang yang disimpan di sana. Untuk simpanan giro, misalnya, bank Islam akan memberikan porsi bagi hasil keuntungan: 25% untuk penyimpan dana dan 75% untuk bank. Sedangkan untuk tabungan, keuntungan dibagi dua sama besar. Dan deposito berjangka, 80% bagi penyimpan dana, 20% bagi bank. Pembagian ini memang rumit dan punya rumus sendiri. Namun, dengan komputer, porsi keuntungan itu cepat diketahui. "Yang jelas, porsi pembagian keuntungan untuk deposan akan lebih besar daripada yang diperoleh bank," kata Karnaen Perwataatmadja, Sekretaris Ditjen Moneter Departemen Keuangan. Pembagian keuntungan dari operasi bank itu tak selamanya kecil. Bila operasi bank itu menghasilkan keuntungan besar, pembagian yang diterima deposan akan besar pula, malah bisa lebih tinggi daripada bunga bank. Lalu dengan melihat besarnya pembagian keuntungan yang diumumkan setiap bulan/hari, deposan senantiasa mengetahui sehat tidaknya bank itu. Artinya, bank ini lebih transparan, berbeda dengan bank biasa, yang meskipun sudah mau ambruk tak diketahui deposannya karena masih berani mematok suku bunga tinggi. Tak berarti bahwa semua beres. Tampaknya, bank Islam bisa menghadapi masalah kelebihan likuiditas. Misalnya, umat Islam berbondong-bondong memasok uangnya ke BMI -coba, untuk modal awal saja BMI sudah punya lebih dari Rp 110 milyar -sementara karena kehati-hatiannya memilih nasabah, bank ini belum punya banyak proyek atau transaksi. Dirut BMI Zainulbahar Noor tak menolak kemungkinan tersebut. Untuk itu, katanya, kalau diperbolehkan, ia akan menyalurkan dananya dengan membeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Namun, BMI minta dana titipan BMI itu digunakan untuk kegiatan yang sesuai dengan syariat Islam. Atau dana itu bisa juga ditempatkan ke bank lain. Persoalannya, bank itu akan memutar uang BMI dengan bunga, dan ini mengundang kontroversi. "Nantilah akan kami rembuk kemudian," kata Zainulbahar, eks direktur Bank Pasifik yang kini jadi bendahara PB Mathla'ul Anwar. Apa pun problemnya, sekarang sudah zamannya bank Islam menerobos ke sini. Setelah BMI, Bimantara, kini bersiap menggelar bank Islam bekerja sama dengan konglomerat dunia, AlBaraka. Seperti dikatakan Bob Hippy, Deputy Director Bimantara, kepada TEMPO, bank itu akan beroperasi 1993. Agus Basri, Wahyu Muryadi, Priyono B.S., Iwan Q. Himawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini