Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Anita Roddick: Berterimakasihlah pada IMF

10 April 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEREMPUAN 63 tahun itu bersijingkat meniti anak tangga di sebuah barak pengungsi di Neuheun, Aceh Besar, Sabtu dua pekan lalu. Kerepotan dengan scarf yang digunakan sebagai kerudung, kakinya bergerak gesit sampai di muka pintu kamar 1-9 yang terbuka. Di barak itu Wahidin dan Surya-darmawati, suami-istri korban tsunami, menunggu dengan wajah tanpa ekspresi.

Sang tamu memeluk Suryadarmawat-i, 25 tahun, yang sedang hamil tua. Ia me-muji lipstik merah menyala yang ter-pulas- di bibir Wati. "Kamu cantik de-ngan lipstik ini. Apa mereknya?" kata-nya melalui seorang penerjemah. Wati tersenyum tanpa kata-kata. Tak terbayang-kan di benaknya bahwa perempuan di depannya itu adalah salah seorang maharani- industri kosmetik dunia yang juga aktivis- lingkungan dengan nyali setebal baja: Anita Roddick.

Hampir lima tahun silam, Anita membetot perhatian dunia ketika dengan lan-tang menggalang kampanye internasional melawan ExxonMobil, perusahaan minyak dan gas terbesar dunia yang di-sebutnya sebagai "penjahat pemanasan global nomor 1". Sebelum itu, November 1999, Anita juga secara terbuka menentang peran World Trade Organization (WTO) yang dilihatnya tak adil kepada- negara-negara miskin. Pada awal 1990, melalui pertempuran empat tahun yang seru, Anita membuat perusahaan mi-nyak Shell bertekuk lutut di Nigeria dengan lebih memikirkan dampak eksplorasi dan produksi minyak yang mereka lakukan.

Anita bukan sekadar industriwan. Ketika mendirikan The Body Shop di kampung halamannya, Littlehampton, Sussex, Inggris, pada 1976, perusahaannya praktis menjadi industri kosmetik pertama yang tidak melakukan uji coba produk terhadap hewan-sesuatu yang lazim dilakukan perusahaan kosmetik lain sampai sekarang.

Tapi, di Neuheun, Anita tak mengibar-kan bendera perang dengan satu pun per-usahaan minyak yang beroperasi di Indonesia. Ia malah menebar senyum tanpa jeda. Selesai menginspeksi satu dari 11 hunian sementara yang dihuni Wahidin-Wati itu, ia meluncur ke sebuah fasilitas anak dan masyarakat yang berjarak sekitar satu kilometer dari barak. Terdiri dari lima bangunan di area 25 x 75 meter, kompleks itu dikerjakan oleh Children On The Edge (COTE), sebuah organisasi filantropik yang mengayomi- anak-anak korban perang dan bencana alam. Anita adalah pendiri lembaga swadaya masyarakat itu sebagai hasil kunjungannya ke Rumania pada 1990. Lewat The Body Shop, Anita mengguyur-kan duit Rp 1,2 miliar kepada COTE untuk membangun kompleks itu.

Sikap Anita jauh dari aturan pro-to-ko-ler-. Di Neuheun, di sebuah "pementas-an" tari anak-anak TK, sang nenek tak sungkan ikut berjoget bersama "para cucu" yang baru dikenalnya. "Spirit- ma-syarakat di sini luar biasa sekali. Ke-kuatan ini bahkan tak terlihat pada masyarakat yang terkena badai Katrina di Amerika," katanya.

Di Hotel Shangri-La, Jakarta, Ahad pekan lalu Anita menemui wartawan Tempo Akmal Nasery Basral-yang sebelumnya terbang ke Aceh meliput kunjungan Roddick-untuk sebuah wawancara khusus. Berikut petikannya.

Setelah mengunjungi Aceh, hal apa yang paling berkesan bagi Anda?

Masyarakat. Saya lebih terkesan pada ma-syarakat ketimbang pemerin-tah. Da-lam banyak perjalanan saya sebelumnya-, saya saksikan masyarakat sudah menghilang karena dominasi televisi, kehidup-an modern, atau jam kerja yang lebih la-ma. Akibatnya, karakter orang untuk bekerja sama atau saling membantu secara sosial lenyap. Tapi, dari apa yang sa-ya saksikan kemarin, masyarakat ma-sih bisa bekerja sama, datang bersama, membuat bangunan, memasang batu bata. Begitu juga masyarakat dunia yang berdatangan dari segala penjuru dan bertanya, "Apa yang bisa kami bantu?" Bagi saya, bagaimanapun hebat-nya perseorangan, lembaga, atau pemerintah, tapi komunitas masyarakat menunjukkan bahwa mereka lebih diperlukan. Para politisi harus mempela-jari ini: bagaimana se-buah masyarakat yang hancur bisa kem-bali bangkit de-ngan- cepat. Ini tak saya lihat pada kor-ban badai Katrina di Amerika Serikat tahun lalu.

Tapi Indonesia mengalami krisis keuangan yang parah sejak 1998.

(Memotong dengan sindiran halus) Berterimakasihlah pada IMF (Dana Moneter Internasional). Itu berkat me-reka (tersenyum).

Apa saran Anda agar Indonesia bisa bangkit? Mungkinkah lewat pemberda-yaan industri kosmetik dan kecantik-an lokal?

Industri kosmetik tak akan membantu. Yang dibutuhkan adalah pertumbuh-an ekonomi akar rumput berupa distribusi barang, menumbuhkan para pelaku ekonomi kecil dari generasi muda, dan menyemarakkan aktivitas ekonomi kecil. Pemerintah harus mengucurkan le-bih banyak dana, meluangkan lebih ba-nyak waktu, menyediakan lebih ba-nyak paket pendidikan kewirausahaan. Semua ini harus dikombinasikan menjadi sebuah program yang menekankan pada mutu.

Caranya?

Selama ini, bagi orang luar, Indonesia sering diartikan hanya Jawa dan Bali. Pemerintah harus lebih aktif dalam stra-tegi kehumasan. Harus ada kesamaan sikap dari seluruh hierarki birokrasi pemerintahan untuk menjual Indonesia bukan hanya sebagai tempat tujuan wisata, tapi sebagai salah satu negara yang memang pantas dikunjungi dan diperhitungkan. Dengan bertumpu pada kewirausahaan dan strategi kehumasan yang tepat, saya kira hal itu bisa mempercepat pemulihan ekonomi.

Dalam Business as Unusual, Anda me-nu-lis bahwa para aktivis LSM Indonesia mempercepat kejatuhan Presiden Soeharto. Bagaimana bisa Anda yang pengusaha juga berpikir sebagai aktivis?

Perusahaan saya tak akan menjadi seperti sekarang tanpa saran atau kepemimpinan dari LSM. Kami mendapat banyak informasi sahih tentang informasi bisnis, hak asasi manusia, atau ling-kungan dari LSM. Saat ini, di dalam dunia bisnis, Anda tak diukur berdasarkan tujuan-tujuan sosial atau kontribusi- Anda kepada masyarakat. Sekarang Anda dinilai berdasarkan berapa banyak- penghasilan Anda atau berapa banyak yang bisa Anda jual. LSM mengimbangi itu. Dari LSM, The Body Shop mendapat informasi tentang pelanggaran hak asasi di sejumlah tempat, atau kehancuran lingkungan di tempat lainnya lagi seper-ti- kasus Ogoni melawan Shell di Nigeria. Semua informasi ini berguna dalam pengembangan bisnis yang benar dan memperhatikan lingkungan.

Apakah peran LSM seperti itu masih bisa dioptimalkan lagi?

Pertama-tama mereka harus lebih transparan dan bijak dalam mengelola dana masyarakat, serta lebih berdisiplin dalam menjalankan organisasi. Kalau ini dilakukan, saya kira masih bisa.

Bagaimana Anda melihat peran pe-merintah Indonesia menangani persoal-an perempuan dan anak-anak?

Saya tidak tahu. Kawan-kawan The Body Shop di sini tentu memahami lebih- baik. Tetapi, di setiap negara, isu tentang perempuan dan anak-anak saya kira bisa digunakan untuk meminta agar pemerintah bertindak lebih serius, bahkan di negara makmur seperti Kanada. The Body Shop sudah lama mengimbau hal seperti ini lewat serangkaian kampanye sehingga semakin tinggi kesadar-an publik untuk mengubah hal-hal yang merugikan wanita. Kampanye bisa me-lahirkan bahasa universal yang dimengerti banyak orang.

Jika pemerintah Indonesia harus memilih untuk memprioritaskan satu dari tiga isu-perlindungan perempuan, anak-anak, atau lingkungan-menurut Anda mana yang harus diutamakan?

Nomor satu, setiap pemerintah harus- memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk berkiprah dalam kegiatan ekonomi, apa pun bentuknya. Dalam menjalankan aktivitasnya itu, pe-merintah harus bisa menjamin keselamatan fisik mereka, dan alokasi waktu yang lebih lama dengan anak-anak me-reka. Dalam banyak ajaran agama, posisi perempuan biasanya ditekan, terutama oleh kalangan fundamentalis, termasuk oleh Undang-Undang Pornografi yang bertendensi mengontrol perempuan. Dalam citra ketuhanan yang maskulin seperti ditemukan dalam Islam, Kristen, atau Yahudi funda-mentalis-semoga- Tuhan melindungi perempuan-hal ini menjadi dilema yang semakin besar dari waktu ke waktu. Ini terjadi bahkan juga di Barat.

Itukah yang menyebabkan dalam otobiografi Anda menulis "jika diberi per-alatan, perempuan bisa membangun ma-syarakat"?

Tentu saja. Perempuan memahami denyut masyarakat, mempunyai jaringan, mengerti bagaimana caranya mengelola- potensi, mampu melihat peluang, dan bi-sa bekerja sama. Mereka tidak serta-merta takluk oleh kontrol hierarki. Saya ambil contoh gerakan lingkungan terbesar di India. Gerakan ini dilakukan oleh para perempuan yang tak pernah mendengar dan tak tahu apa itu Greenpeace. Tapi kiprah mereka didengar.

Siapakah yang seharusnya "memberikan peralatan" itu kepada perempuan: pe-merintah, swasta, atau masyarakat?

Pendidikan. Itulah "peralatan" yang paling ampuh bagi pemberdayaan pe-rempuan. Bukan dalam pengertian pendidikan sekolah bisnis, namun pendidikan untuk memahami hal-hal seperti energi alternatif, angin dan matahari. The Body Shop selalu menjalin hubung-an dengan kelompok-kelompok perempuan seperti ini secara langsung, membeli produk mereka, dan bahan-bahan yang akan menjadi isi dari produk itu. Misalnya di Brasil, sekelompok perempuan mengumpulkan kacang babassu yang menghasilkan minyak yang dipa-kai oleh lebih dari 30 produk The Body Shop untuk melembapkan kulit.

Apa saran Anda bagi perempuan yang ingin menggeluti wirausaha, khususnya untuk bisa mengetahui kekuatan mereka?

Pertama, sebaiknya mereka punya orang tua yang mengerti dan bisa menga-takan bahwa mereka, para perempuan itu, punya kemampuan yang bagus.

Seperti orang tua Anda?

Ya, dan orang tua seperti itu saya kira sungguh jarang ada. Kemudian para gadis kecil itu harus bersekolah karena mereka adalah sasaran empuk media massa. Media, termasuk film dan DVD, akan mendefinisikan apa itu kecantikan. Di sini industri kecantikan dan industri fashion sangat kuat dalam menyetir pikiran tentang bagaimana seharusnya Anda tampil, lalu mereka akan mengontrol tubuh Anda, pikiran Anda, sebelum akhirnya menguasai uang Anda. Kemudian hal ini diulang berkali-kali dalam tayangan iklan: apa yang seharusnya Anda beli, apa yang seharusnya Anda konsumsi. Pendidikan terhadap para wanita muda bisa mengurangi dominasi media terhadap kehidupan mereka.

Lalu?

Perempuan harus bisa menentukan sejarahnya sendiri, karena bahkan di Eropa sekalipun sejarah hampir tak pernah bertaut dengan perempuan. Anda hampir tak bisa menemukan ada perayaan besar yang berkaitan dengan wanita, kecuali jika perempuan itu pahlawan pe-rang seperti Joan of Arc. Cara selanjut-nya agar bisa mengetahui kekuatan sen-diri adalah banyak melancong. Para wa-nita muda seharusnya banyak melan-cong ke tempat-tempat yang berbeda budaya supaya bisa mengubah cara berpikir.

Mutlakkah proses kewirausahaan di-alami sejak dini seperti Anda yang bekerja di restoran keluarga sejak kecil?

Tidak harus. Menurut saya, yang terpenting adalah banyak bepergian. Wisata itu salah satu bentuk universitas kehidupan yang paling unik. Menurut saya, para perempuan yang saya temui di sini jauh lebih ekspresif dibandingkan dengan para perempuan di Seoul, Korea Selatan, yang pemalu. Saya merasak-an lebih banyak energi di sini. Soal apakah- seharusnya para wanita muda itu meng-alami sedini mungkin pengalaman bisnis, saya kira yang lebih dulu dialami harusnya pengalaman bermasyarakat. Jika saya bisa kembali ke umur 20 tahun, maka saya masuk dunia bisnis pada umur 35, karena saya lebih suka meng-alami dulu dunia LSM.

Seandainya mereka tak punya pilihan lain selain harus memulai usaha sendiri sejak awal, apa yang seharusnya dilakukan?

Sederhana saja. Apa pun yang ingin dilakoni, semua harus dimulai dengan passion, gairah terhadap apa yang sedang Anda lakukan. Anda tak bisa bilang ingin menjadi pengusaha tanpa disertai gairah untuk itu. Biasanya para pengusaha bagus berasal dari keluarga imigran, outsi-der"-kalangan yang berbeda de-ngan lingkungan sekitarnya. Saya percaya sekali dengan hal ini. Faktor ketiga, jika Anda kehilangan masa kanak-kanak yang normal karena tekanan hidup, atau orang tua yang wafat ketika Anda masih kecil sehingga tanggung jawab berpindah ke pundak Anda. Praktis tak ada orang lain yang mengontrol Anda, dan Anda harus bertanggung jawab sendiri atas semua yang Anda lakukan meskipun usia Anda masih muda.

Kemudian?

Seorang wirausahawan itu belum tentu seorang manajer yang bagus atau mampu mengorganisasikan dengan baik. Namun seorang wirausahawan itu punya keahlian dengan ide-ide dan membuat sistem berjalan dengan ide-ide tersebut. Saya tak tahu bagaimana di Indonesia, tetapi di Inggris sedang muncul kegandrungan untuk menggeluti- sebuah usaha sosial yang benar-benar bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan. Yang lebih menarik mengenai hal ini sebenarnya adalah Anda tak membutuhkan banyak tenaga. Sementara di Indonesia bisa ditemukan sebuah toko dengan 10 pegawai, mungkin di Inggris toko yang sama hanya dijaga 2-3 orang. Tenaga kerja bukan lagi dianggap sebagai benefit. Yang penting sebenarnya bukanlah menciptakan lapangan kerja, melainkan menciptakan kemakmuran bagi sejumlah kecil orang yang terlibat di dalamnya.

Tentang tema kampanye The Body Shop tahun ini, "Stop Violence in the Home", apa latar belakangnya?

Jauh sebelum ini biasanya kami melansir 2-3 tema kampanye dalam setahun yang berkaitan dengan hak asasi atau isu lingkungan. Stop kekerasan dalam rumah tangga sebetulnya bagian dari upaya melindungi perempuan. Dalam peperangan, pemerkosaan menjadi salah satu strategi untuk menghancurkan pe.rempuan. Di sisi lain, tenaga- kerja perempuan yang sangat murah seperti di Cina atau Bangladesh membuat perempuan terlihat seperti budak dalam sebuah sistem ekonomi. Contoh lain lagi berkaitan dengan aspek kultural-, se-perti bahasa dalam musik rap yang menempat-kan wanita sebagai komoditas seksual-. Atau, meningkatnya konsumsi alkohol- di masyarakat yang sering membuat perempuan menjadi kor-ban.

Bagi keluarga imigran yang berdarah- Italia seperti saya, sejak kecil saya sering diingatkan ibu saya untuk "tetap tenang" dan menyembunyikan semua masalah atau ketidakpuasan di bawah meja. Bahkan saya kira tak ada satu negara pun di dunia ini yang tak menerapkan norma seperti itu.

Salah satu dari lima nilai dasar The Body Shop adalah "Support Community Trade". Proyek apa saja yang sudah dilakukan di Indonesia dalam konteks ini?

Terus terang saya tidak tahu apakah ada proyek The Body Shop seperti ini di Indonesia sekarang. Tapi saya kira yang kita perlukan adalah untuk melihat ke depan apa yang bisa dilakukan. Mungkinkah dengan mengoptimalkan mi-nyak kelapa, seperti halnya lidah buaya organik dari Guatemala? Ini perlu kita pelajari lagi.

Setelah 30 tahun The Body Shop berjalan, Anda masih akan terus juga se-bagai aktivis?

Menjadi aktivis itu seksi sekali, lho. Banyak orang merasa hidup dengan menjadi aktivis.

Dame Anita Lucia Roddick (terlahir Anita Perella)

Lahir: 23 Oktober 1942 di Littlehampton, Sussex, Inggris.

  • 1976: Mendirikan toko The Body Shop pertama di Littlehampton.
  • 2003: Dianugerahi gelar kerajaan oleh Ratu Elizabeth II menjadi Dame Anita Roddick.
  • 2004: The Body Shop menjadi merek no. 2 paling dipercaya di Inggris.
  • 2006: Toko The Body Shop di seluruh dunia berjumlah 2070, melayani 77 juta pelanggan, diakuisisi oleh perusahaan kosmetik raksasa dari Prancis, L'Oreal. The Body Shop tetap beroperasi sebagai perusahaan mandiri.

Buku

  • 2003: Brave Hearts, Rebel Spirits: A Spiritual Activists Handbook - A Revolution in Kindness.
  • 2004: Troubled Water: Saints, Sinners, Truth & Lies about the Global Water Crisis and Numbers.
  • 2005: Business as Unusual (otobiografi, sunting ulang dari buku berjudul sama yang terbit tahun 2000).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus