KETIKA Nadri berangkat ke Batam tiga tahun silam, sama sekali tak diduganya bahwa nasibnya bakal terpuruk di pulau yang menjanjikan impian bagi para pencari kerja itu. Mula-mula, de- ngan bekal gelar sarjana ekonomi di tangan, pemuda Riau ini berharap bisa bekerja di perusahaan swasta dengan gaji jutaan, seperti diceritakan teman-temannya yang lebih dulu hengkang ke sana. Tapi, setelah berbulan-bulan keluar-masuk kantor tanpa mendapatkan lowongan kerja, harapan Nadri berangsur pudar, dan kemudian padam setelah rupiah terakhir di kantongnya dibelan- jakannya. Dalam keadaan putus asa itu, Nadri ditawari seorang temannya untuk menjadi tukang ojek. ''Mula-mula kamu merasa malu. Tapi sesudah beberapa waktu kamu akan terbiasa,'' kata temannya itu. Daripada menganggur dengan perut keroncongan, Nadri menerima tawaran itu, lalu jadilah ekonom tersebut sebagai tukang ojek. Dua teman Nadri, yang juga mengantongi ijazah sarjana, menjadi loper koran dan pedagang ikan basah di Pasar Jodoh, Batam. Nadri dan dua temannya adalah segelintir orang yang kurang ber- untung mengadu nasib di Batam. Kini jumlah mereka yang bernasib seperti Nadri di pulau seluas 415 km persegi itu sudah ribuan orang, dan tiap tahun angkanya bertambah terus. Pertumbuhan penduduk Batam, menurut Wali Kota R. Azis, dalam dua tahun terakhir di atas 10% setahun hampir lima kali rata-rata per- tumbuhan penduduk nasional. Salahkah bila orang tergiur mengadu nasib ke Batam? Tentu tidak. Sejak dikembangkan menjadi daerah industri pada 1973, Batam memang menjanjikan segudang harapan. Pertumbuhan ekonomi di pulau ini pernah mencapai 50% lebih setahun. Tahun 1992, kendati keadaan perekonomian dunia agak lesu, Batam masih bisa mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi di atas 17%, hampir tiga kali angka rata-rata pertumbuhan ekonomi nasional yang cuma 6% setahun. Laju pertumbuhan yang masih cukup tinggi itu adalah berkat sumbangan sektor industri. Tahun lalu, Batam menyumbang seperlima (Rp 8 miliar) produk domestik bruto Provinsi Riau, dan itu berasal dari sektor industri. Jika dibagi dengan jumlah penduduk, pendapatan per kepala di daerah Riau sudah di atas pendapatan daerah lainnya. Wali Kota Batam, Azis, memperkirakan pendapatan per kepala penduduk Riau termasuk penduduk Pulau Batam dan Pulau Bintan lebih dari US$ 1.000 per tahun. Pendapatan per kepala secara nasional sekitar US$ 600. Gambaran persis sumbangan sektor industri bagi pertumbuhan Batam susah dihitung. Soalnya, seperti diungkapkan bekas Kabalak Otorita Batam, Mayjen (Purn) Soedarsono, banyak sektor yang terkerek naik ketika booming industri. Di antara yang ikut tergerek naik antara lain sektor parawisata, yang di dalamnya termasuk perhotelan dan transportasi. ''Bahkan sekarang ini pertumbuhan sektor parawisata lebih cepat dari industri,'' kata Soedarsono. Bagaimana sesungguhnya perekonomian di Pulau Batam digerakkan? Ketika Batam ditetapkan untuk dikembangkan menjadi daerah industri pada 1973, kampanye untuk memancing modal asing (PMA) maupun lokal (PMDN) gencar dilakukan Pemerintah. Menurut data per September 1992, tercatat 525 perusahaan beroperasi di Batam, dengan total investasi US$ 1,1 miliar lebih. Sekalipun dari jumlah itu cuma 42 investor asing, uang yang mereka tanam mencakup 40% dari total investasi. Melihat cukup banyaknya perusahaan yang menanamkan modal di Batam, Pemerintah telah memutuskan Pulau Rempang, Pulau Galang, serta 37 pulau kecil lainnya di sekitar daerah itu sebagai bagian kawasan industri dan berikat Otorita Batam. Gagasan mengembangkan Batam ke Pulau Rempang dan Pulau Galang (Barelang) muncul sejak tiga tahun lalu. Untuk menghubungkan pulau-pulau tersebut, tahun ini dimulai pembangunan enam jembatan. Sudah bisa ditebak, jika kelak pulau-pulau itu bersatu, Batam nanti akan menjadi pusat industri yang sangat ramai. Kesibukan Batam juga akan tambah semarak dengan selesainya pembangunan Bandara Hang Nadim tahap III. Rencananya, nanti semua penerbangan nasional dari dan ke luar negeri tidak transit lagi di Singapura, namun di Bandara Hang Nadim. Dari pelabuhan ini pula peti kemas akan diangkut dengan pesawat Boeing 747 ke berbagai negara. Pendek kata, Batam memang menjanjikan harapan. Kini, harapan itu mungkin agak berlebihan. Soalnya, usaha memancing modal asing selama 20 tahun terakhir boleh dibilang kurang berhasil, karena prasarana pokok, seperti listrik, air, telepon, dan transportasi, masih belum memadai. Listrik di Batam, misalnya, masih byar-pet sekali nyala sekali padam. Be- lum lagi soal perizinan. ''Di Singapura, izin seminggu sudah keluar. Di sini, kami harus menunggu sampai enam bulan, bahkan dua tahun,'' kata seorang pegawai Singatronik. Melihat kenyataan itu, bagaimana mungkin Batam menyaingi Malaysia dan Singapura dalam menarik investor asing? Agaknya angan-angan untuk menyaingi kedua negara tetangga itu telah di- tinggalkan. Batam kelihatan akan dimanfaatkan untuk menampung luberan industri Singapura. Dari 114 PMA baik yang sudah beroperasi, sedang membangun, maupun tahap aplikasi 48% di antaranya berasal dari Singapura. ''Batam memang tidak dibangun untuk menyaingi Singapura, melainkan berdasarkan prinsip saling menguntungkan,'' kata Ketua Otorita Batam, B.J Habibie. ''Jika Indonesia ingin berhasil, efiensi perlu dibenahi dengan serius,'' kata Profesor Bert J. Lim, staf ahli menteri keuangan Taiwan, kepada TEMPO beberapa waktu lalu. Sekalipun Lim tidak tunjuk hidung, sudah menjadi rahasia umum bahwa berusaha di Batam tidak mudah. Buktinya, kata sejumlah pengusaha asing, begitu masuk Batam saja mereka sudah kena ''pajak'' oknum Imigrasi. Belum lagi bila harus mengurus dan memperpanjang kartu izin menetap sementara (KIMS). Untuk mengurus KIMS, menurut seorang karyawan asal Korea Selatan, dikenakan tarif Rp 70.000, sementara tarif resminya cuma Rp 30.000. ''Setiap mau memperpanjang KIMS kami harus nyogok atau semacamnya,'' katanya ketus. Selain itu, harga barang-barang di Batam juga sering membuat banyak orang asing kecewa. Mereka umumnya mengira harga kebutuhan sehari-hari di Batam bisa lebih murah ketimbang Singapura. Kenyataannya sama saja dengan di Singapura. Ba- gaimana mungkin bisa dijual murah bila hampir sebagian besar kebutuhan barang konsumsi di Batam masih didatangkan dari Singapura. Yang tak kalah mencengangkan para investor adalah harga tanah. Tanah di kawasan industri Mukakuning, misalnya, saat ini sudah membumbung sampai US$ 150 (sekitar Rp 300.000) per meter persegi. Padahal, tarif resminya cuma US$ 3,4 per meter persegi. Bahkan di kawasan pertokoan seperti Nagoya, harga tanah hampir mencapai Rp 500.000. ''Karena ulah spekulan, harga tanah jadi tidak wajar,'' kata Soedarsono. Sejak Batam ditetapkan sebagai kawasan industri, orang pun berburu tanah di sana, termasuk pejabat-pejabat dari Jakarta. Tidak heran bila di Batam banyak dijumpai tanah kosong, sedangkan pengusaha sulit mendapatkan tanah. Kalaupun ada, harganya selangit. ''Batam bukan tempat yang murah untuk investasi,'' kata seorang pengusaha. Diduga, lantaran itulah investor asing di Singapura lebih suka melebarkan sayap ke Johor Baru, Selangor, dan Penang (ketiganya kawasan industri di Malaysia) ketimbang masuk ke Batam. Apalagi fasilitas maupun prasarana di Malaysia jauh lebih baik daripada di Batam. Selain itu, modal asing dibiarkan dikuasai 100%, mereka juga masih diberi beberapa perangsang, seperti bebas bea masuk dan bebas dari segala pajak selama lima tahun. Kalau para pemodal asing lebih tertarik ke Malaysia, tentu hal itu akan merugikan kita. Soalnya, sekarang ini di Singapura terdapat sekitar 1.200 perusahaan asing. Dengan lahan yang terbatas di Singapura, mereka mau tidak mau pasti akan melebarkan sayapnya ke luar Negara Pulau itu. Persoalannya, ke mana para investor itu akan mengembangkan usahanya: ke Indonesia atau ke Malaysia, atau ke negara lain lagi? Untuk menjawab ke mana arah investor asing di Singapura me- lebarkan sayap usahanya memang sulit. Meskipun masih sulit di- buktikan, ada gejala mereka akan melebarkan sayapnya ke RRC. Tahun lalu, investasi Taiwan di Indonesia anjlok 30% menjadi US$ 700 juta. Menurut Lim, reformasi pasar bebas dan booming perekonomian di RRC menyebabkan investor Taiwan mengalihkan modal mereka ke sana. Lim meramalkan, jika reformasi berjalan mulus di RRC, pada awal abad mendatang negara itu akan muncul sebagai raksasa ekonomi, melebihi Amerika. Bahkan Lim, guru besar di National Cheng-Chi University Taiwan, yakin RRC akan menjadi macan kelima dan terbesar di Asia. Diduga alasan itu yang membuat Taiwan, sejak dua tahun lalu, menganggarkan 5% dari total investasinya (US$ 65 miliar) untuk ditanamkan di RRC. Bahkan akhir-akhir ini santer terdengar beberapa perusahaan Taiwan di Batam akan ditutup dan dialihkan ke RRC. ''Begitu yang saya dengar dari orang-orang Singapura,'' kata seorang pengusaha lokal di Batam. Lepas dari kebenaran selentingan tadi, setahun terakhir ini perkembangan Batam memang bagaikan dilanda pasang surut. Tujuh perusahaan di kawasan industri Batamindo kabarnya memberhentikan sebagian karyawannya. Adakah ini awal dari masa suram Batam? Entahlah. Jika hal ini terjadi, jumlah peng- angguran di Batam akan bertambah tinggi. Inilah yang dikhawatirkan oleh orang-orang Riau, yang sejak Batam dibangun menjadi pusat industri lebih banyak sebagai penonton. Betulkah pembangunan Batam tidak dinikmati orang Riau? Pertanyaan ini ternyata sudah lama bergema. Tahun lalu, Gubernur Riau, Soeripto, mengeluh bahwa 30.000 pencari kerja asal Riau tidak terserap oleh industri di Batam. Kekecewaan Soeripto bukan tak berdasar. Soalnya, telah digariskan bahwa setiap industri yang berdiri di Riau paling sedikit harus menyerap 20% tenaga kerja setempat. Kenyataannya, sebagian besar industri di Batam lebih menyukai tenaga kerja dari Jawa. Bahkan tidak jarang mereka merekrut langsung tenaga dari perguruan tinggi di Jawa. Sedangkan untuk bidang yang memerlukan keterampilan, mereka lebih suka memakai tenaga kerja dari Filipina, Malaysia, dan Taiwan. ''Untuk bidang eletronik mereka lebih pengalaman 20 tahun dari kita. Apa kami salah bila memakai mereka,'' kata seorang eksekutif Astramicronic di Batam. Selain diserbu tenaga kerja yang direkrut langsung oleh perusahaan tadi, Batam juga diserbu oleh orang yang ingin mengadu nasib. Tidak heran, dalam dua tahun terakhir pertumbuhan penduduk Batam sudah 10,7% setahun atau hampir lima kali rata-rata pertumbuhan penduduk nasional. Dengan jumlah penduduk 110.000 jiwa dan tingkat pertumbuhan sebesar itu, Batam memang sedang menyimpan bom waktu pengangguran yang siap meledak. Hal inilah yang dicemaskan Gubernur Soeripto. Bagaimana tidak? Dengan ledakan penduduk seperti itu, jelas perusahaan- perusahaan di Batam yang tidak seberapa itu tidak mungkin menampungnya. Dan buntutnya, seperti yang dikhawatirkan Soe- ripto, para pendatang itu, selain merampas lowongan pekerjaan penduduk setempat, juga menimbulkan berbagai masalah, seperti kriminalitas dan pelacuran. Ternyata, menurut beberapa orang, proyek Batam bukan hanya tidak bisa dinikmati penduduk Riau tetapi juga Indonesia. Betulkah? Tampaknya kita perlu mendengar suara konsultan ekonomi Sritua Arief. Dalam suatu konvensi tentang Sijori (Si- ngapura-Johor-Riau) yang diselenggarakan Center for Information and Development Studies (CIDES) beberapa waktu lalu, Sritua membeberkan bagaimana nilai tambah yang diciptakan di Batam itu mengalir negara lain, khususnya ke Singapura. ''Pembangunan proyek di Batam akan menimbulkan proses penghisapan surplus ekonomi oleh pihak asing,'' katanya. Sritua menunjuk angka ekspor-impor Batam dari tahun 1986 sampai 1991. Selama jangka waktu enam tahun itu, menurut dia, penerimaan devisa bersih Batam adalah negatif US$ 1,5 miliar. Rinciannya, selama jangka waktu tersebut dari Batam telah diekspor barang senilai US$ 509,9 juta, sementara mereka mengimpor, baik berupa barang modal maupun kebutuhan rumah tangga, senilai US$ 1,5 miliar. Akibat alokasi surplus seperti itu, ujar Sritua, manfaat yang dipetik Indonesia jelas tidak sebanyak yang dinikmati investor asing. ''Nilai tambah yang kita nikmati hanya upah murah dan pembayaran lokal lainnya,'' kata Sritua. Ia menambahkan, yang menyebabkan nilai tambah keluar dari Batam, karena sebagian keperluan rumah tangga di sana masih harus diimpor dari Singapura. Dengan lain perkataan, Batam hanya jadi terminal sementara untuk penerimaan ekspor. Menurut Sritua, mengembangkan agroindustri di Batam jauh lebih bermanfaat daripada pengembangan industri padat modal. Soalnya, tambah direktur utama BPR Agam Sejahtera Bukittinggi ini, selain mendatangkan devisa dan pendapatan domestik, agroindustri akan terkait langsung dengan ekonomi domestik. Boleh jadi, usul Sritua ada benarnya. Soalnya, sektor yang yang satu ini menciptakan lapangan kerja yang jauh lebih besar daripada industri yang padat modal. Lain lagi kekhawatiran ekonom Dorodjatun Kuntjoro-Jakti. Ia lebih melihat kesenjangan yang bakal terjadi antara Riau dan Singapura masa mendatang. Menurut dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini, dengan laju pertumbuhan ekonomi 2,74,3% per tahun dan jumlah penduduk tak lebih dari 4,5 juta jiwa, pendapatan penduduk Singapura menjelang tahun 2000 ditaksir sudah mencapai US$ 16.000. Pada periode yang sama, kata Dorodjatun, pendapatan penduduk Indonesia baru US$ 1.000. Kalau dilihat keadaan sekarang, jelas kesenjangan itu agaknya akan semakin lebar. Namun, persoalannya, apakah kita akan memperoleh manfaat dari kemakmuran Singapura itu. Atau malah sebaliknya. ''Kita tidak bisa membayangkan Sijori tahun 2000- an, saat sebuah New York hidup berdampingan dengan sebuah wilayah miskin, apalagi kumuh,'' kata Dorodjatun. Apa yang bakal terjadi di Pulau Batam maupun Pulau Bintan kelak, semuanya bergantung pada apa yang kita dilakukan ter- hadap para investor. Bambang Aji, Affan Bey Hutasuhut, dan Bersihar Lubis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini