BAYI mungil yang berusia dua bulan itu bernama Muhammad Azeem bin Hanifah. Ketika Azeem lahir, fisiknya tidak membawa cacat. Ia tampak tertidur pulas ketika kedua orang tuanya menangisi kecelakaan yang dialami putra tunggal itu. Mereka memang sewajarnya merasa sedih dan menyimpan kesal dalam hati. Karena keteledoran seorang perawat, Azeem, bayi berhidung mancung itu, kini menjadi cacat setelah kehilangan jari kelingking sebelah kiri. Jarinya itu sekarang hanya tinggal 15 milimeter. Awal Maret lalu, Azeem dibawa orang tuanya, Hanifah Abdul Rashid dan Zaimun Abdul Aziz, ke Pantai Medical Centre, Kuala Lumpur, Malaysia. Bayi yang lahir prematur itu menderita sesak napas. Dokter mengatakan, Azeem menderita pneumonia, sehingga dianjurkan agar dirawat di Pantai Medical Centre. Orang tua Azeem setuju. Kemudian seorang suster memasang infus di tangan kiri Azeem. Agar infus tidak terlepas pada saat bayi bergerak-gerak, perawat itu membuat ikatan perban mulai dari lengan Azeem sampai jari tangannya. Pada akhir perawatan, asisten suster menggunting perban untuk melepas infus tadi. Entah karena apa, tahu-tahu jari kelingking bayi yang masih lunak itu ternyata ikut tergunting. Kaget melihat kecelakaan tersebut, Dokter Mahinder Singh, dokter anak yang merawat Azeem, langsung memasukkan potongan jari bayi itu ke dalam formalin. Hanifah, ayah Azeem, menjadi berang. Ia kesal bukan saja lantaran kelalaian si suster tadi, melainkan juga karena Dokter Mahinder Singh justru tidak melakukan tindakan untuk menyambung kembali jari anaknya yang sudah putus. ''Alasannya, jari Azeem terlampau kecil,'' kata Hanifah kepada harian The New Straits Times, dua pekan silam. Padahal, ujar Hanifah lagi, ''Siapa yang mengizinkan dokter itu memasukkan jari anak saya ke dalam formalin? Apakah dokter tersebut pernah membicarakannya dengan saya?'' Peristiwa yang menimpa Azeem lalu menjadi pembicaraan hangat di tengah masyarakat setempat. Bukan karena ramai ditulis di berbagai media cetak saja, melainkan juga karena kalangan medis menilai bahwa tindakan yang dilakukan rekannya di pusat pengobatan tersebut keliru. Menurut ahli ortopedi, Dokter R. Vaikunthan, operasi penyambungan itu masih bisa dilakukan jika dokter melakukan prosedur yang benar. Agar jari potongan itu tetap bertahan ''hidup'', menurut Vaikunthan, potongan tadi sebenarnya harus cepat-cepat dibungkus dengan kain kasa, yakni perban yang sangat halus. Setelah itu baru ditutup dengan plastik dan direkat rapat, lalu disimpan dalam lemari pendingin. Dalam kondisi seperti itu, jari tersebut bisa ''hidup'' selama tiga hari. Setelah itu, baru dokter mempersiapkan operasi kecil. Jika pusat pengobatan itu tidak punya peralatan yang memadai, mestinya si pasien segera dikirim ke rumah sakit besar. Umumnya, pusat pengobatan tidak dilengkapi dengan fasilitas bedah. ''Karena itu tim medis di sana harus profesional. Dalam keadaan darurat seperti itu, mereka seharusnya cepat dan tepat mengambil keputusan,'' kata Vaikunthan. Pimpinan Pantai Medical Centre, Goh Huat Chin, bukannya tidak menyadari kesalahan yang telah menimpa Azeem. Selain menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga Hanifah, ia juga telah memberhentikan suster G. Kalai yang melakukan kecerobohan itu. ''Sepengetahuan kami, selama ini Kalai bukan perawat yang sembrono. Dia sudah empat tahun bekerja di sini, pekerja keras, dan dapat diandalkan. Kami menyayangkan terjadinya insiden ini,'' kata Goh. Untuk seorang asisten perawat seperti Kalai, beban pekerjaannya tidak berat. Rasio perawat di pusat pengobatan yang berdiri sejak 1974 itu proporsional. Seorang suster melayani dua pasien. Dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di rumah sakit di negara mana pun, pembukaan perban boleh dilakukan asisten perawat, perawat yang sedang melakukan kerja praktek, atau oleh siswi perawat. Namun permintaan maaf itu tidak membuat hati Hanifah mendingin, karena jari anaknya telanjur cacat keadaan itu mungkin dialami seumur hidupnya. Karena itu, Hanifah akan menuntut klinik dan dokter anak yang merawat Azeem itu ke pengadilan. Insiden Azeem ini, menurut Menteri Kesehatan Malaysia, Datuk Lee Kim Sai, menjadi pembicaraan serius dalam pertemuan kabinet. Untuk itu, Lee sudah meminta Pantai Medical Centre agar mengirim medical record. ''Walaupun insiden itu terjadi karena keteledoran perawat, peng- usutan tetap harus dilakukan,'' kata Lee. Jika keluarga Hanifah menuntut, lanjut Lee, itu hak mereka sebagai orang tua, sebab pusat pengobatan memang harus mempertanggungjawabkan perbuatan stafnya. Dari kejadian yang menimpa Azeem ini dapat ditarik pelajaran bahwa pusat pengobatan swasta seharusnya tidak hanya memikirkan profit, tetapi juga menjaga mutu dan pelayanan terhadap para pasien yang dirawatnya. ''Karena pasien sudah mengeluarkan uang, ia berhak mendapatkan pengobatan yang layak,'' kata Lee. Kini Azeem sementara terpaksa tinggal di rumah neneknya. Namun memang tidak mudah menerima kenyataan yang sudah menimpa anak itu. Maka Zaimun, ibunya, masih juga menangis saban mengingat keadaan bayi yang kini menyedihkan itu. Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini