Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Salah satu kisah penyambutan tim ekspedisi Dayung Jelajah Nusantara Flores Sea Kayak Expedition.
Disambut masyarakat.
SEMUA orang selalu terpesona oleh matahari terbenam. Tapi ini lebih dari itu. Saat aku menemukan Derry membungkuk di dekat karang-karang kering dan mengarahkan kamera telepon selulernya ke arah matahari terbenam yang gemilang di barat, aku berkata kepadanya, “Derry, berbaliklah.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia bertanya mengapa harus berbalik? Matanya dan ponselnya masih terkunci ke arah barat. “Berpalinglah!“ ujarku lagi. Saat dia menoleh, 180 derajat, di timur, bulan tepat keluar dari bukit dengan segala kecerahannya. Kejadian serentak matahari dan bulan, satu pergi dan yang lain datang. Itu sungguh tak terbayangkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kali ini banyak orang dari desa datang dan berkemah bersama kami di pantai. Sebenarnya aku lupa nama pantainya sekarang. Bagaimanapun juga Desa Waibao berjarak sekitar 4 kilometer dari pantai dan pantainya menghadap ke barat. Ini terjadi di Tanjung Bunga atau Semenanjung Bunga yang merupakan asal nama semua pulau (Flores).
Kepala desanya adalah seorang pria berusia 39 tahun. Dia adalah pria yang tenang dan bijak dengan proporsi tubuh sedang atau mungkin berbobot agak ringan. Dia juga pendengar yang baik dan memandang dengan penuh perhatian saat berbicara dengan orang lain. Sifat-sifat ini aku temukan mengejutkan untuk warga desa. Biasanya warga desa yang kami temui memiliki rasa tidak aman yang tidak perlu ketika bertemu dengan orang kota seperti kami. Namun tidak dengan pria ini.
Sebelum malam itu, di siang hari, kami pergi ke desa dan disambut di rumah adat mereka yang lebih mirip sebuah gazebo daripada rumah. Atapnya tidak terlalu tinggi dan terbuat dari ilalang. Semua tiangnya adalah batang kayu sekitar 3 meter saja.
Sebelum kami memasuki teras berkanopi, seorang wanita menawari kami segelas kecil moke (sejenis minuman keras) dan sedikit pinang serta kapur untuk dikunyah. Ketika kami masuk dan duduk di gazebo tradisional, para tetua desa juga datang dan duduk di kursi-kursi sebelah. Di salah satu sudut aku melihat rahang tengkorak babi hutan tergantung di langit-langit dengan tali. Aku juga melihat busur di sudut lain langit-langit.
Setelah kunjungan itu, kami kembali ke perkemahan kami dan menyantap makan siang. Ketika kami mendarat dengan kayak di pantai, kami memang memberi tahu warga bahwa kami ingin menyantap makanan autentik dan unik mereka. Saat menikmati makan siang, kami menyadari bahwa itu tidak sepenuhnya benar karena sesungguhnya mereka menyajikan apa pun yang mereka dapatkan dari berburu. Hari itu, mereka mendapatkan kucing hutan belang. Jadi itulah menu hari ini.
Setelah menyantap makan siang, bersama kepala desa dan setengah lusin tetua kami pergi ke selatan semenanjung dengan mobil melalui kebun jambu mete yang baru dan luas. Itu adalah kebun jambu mete yang kering, sejauh mata kami bisa melihat.
Pohon jambu mete ini, kata seseorang, ditanam karena tidak ada yang lain yang bisa ditanam di sekitarnya. Jalan-jalannya adalah jalan tanah. Debu sangat tebal. Aku duduk di bagian belakang mobil. Bau jambu mete yang membusuk pada titik ini sudah sangat akrab bagi kami. Jambu mete adalah komoditas besar di provinsi tersebut.
Mobil berhenti di ujung jalan dan kami harus berjalan melalui hutan jati. Hutan jati yang sangat kering. Kami beruntung matahari sudah turun sehingga kami tidak terbakar. Sekitar satu jam atau sedikit lebih, dan setelah beberapa goresan tanaman kering membuat kakiku berdarah, kami tiba di tumpukan batu di bawah pohon besar. Di tempat itu, kami bisa mendengar suara laut, entah di mana. Salah satu tetua, yang sepertinya adalah kepala desa sebelumnya dari Desa Waibao, mulai menunjuk ke batu datar yang rendah.
Aksara Majapahit pada sebuah batu besar di Desa Waibao, NTT, 30 Agustus 2023. Dok. DJN
“Di situlah Anda bisa melihat tulisan kuno,” tuturnya. “Peneliti yang datang dari waktu ke waktu setuju bahwa itu adalah tulisan era Majapahit,” ujar si kepala desa muda. Tulisan Palawi berasal dari bahasa Sanskerta. Tapi apakah itu benar? Karena tidak familier dengan tulisan kuno, jadi aku hanya mengambil beberapa foto. Jika temuan tersebut dikonfirmasi dalam penelitian mendatang, itu akan menarik. Di ujung bukit terpencil di Flores, ada tanda Majapahit.
Pria tua itu mengingatkan kami bahwa hari hampir gelap. Jadi kami melalui hutan lagi dengan kecepatan ganda. Saat kami mencapai kebun jambu mete, golden hour berada dalam puncaknya. Dalam perjalanan ke pantai, kayak kami menunggu perjalanan ke kepala tanjung Kopong Dei yang terkenal dengan arus airnya yang menguji nyali. Aku duduk di bagian belakang mobil, menatap langit.
Tanah datar, yang panas membakar hanya beberapa jam sebelumnya, kini mulai menyejukkan. Ada angin lembut dan seekor elang terbang di atas. Elang bondol, bisikku. Biru larut ke dalam oranye dan menjadi ungu oleh matahari. Matahari, berani seperti biasa, indah seperti wanita yang mempesona tapi sudah tua dan melepaskan dunia.
Aku juga melihat pesawat terbang yang melesat dari barat ke timur. Yang membuat pandanganku bertemu dengan bulan, dengan warna-warna lembut tapi tidak kalah berani. Ia seperti seorang wanita yang mempesona, bersemi, berkulit pucat. Seperti seorang muse.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Desa Waibao, Senja, dan Inskripsi Majapahit"