Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERMINTAAN Presiden Joko Widodo agar pejabat dan aparatur negara bersikap netral pada pemilihan presiden 2024 seperti mengolok-olok nalar publik. Jokowi memerintahkan sesuatu yang tak dia lakukan. Lebih dari sekadar cawe-cawe, kuat indikasi Jokowi juga menyalahgunakan kekuasaan dan pengaruh politiknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jokowi berulang kali meminta pejabat dan aparatur negara tidak memihak. Pada 30 Oktober lalu, misalnya, di Istana Negara, Jokowi meminta semua penjabat kepala daerah bersikap netral pada Pemilihan Umum 2024. Jika ada yang “miring-miring”, Jokowi mengancam akan memecatnya. Namun, makin ke sini, ucapan Jokowi makin sulit dipegang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang Jokowi ucapkan di depan kamera kerap berbeda dengan realitas di balik layar. Mei lalu, misalnya, Jokowi meminta anaknya, Gibran Rakabuming Raka, tidak “didorong-dorong” menjadi calon wakil presiden. Alasannya, Gibran belum “cukup umur”. Faktanya, berdasarkan penelusuran majalah ini, Jokowi diam-diam menyiapkan Gibran untuk maju dalam pemilihan presiden 2024.
Jalan untuk Gibran terbuka setelah Mahkamah Konstitusi membuat putusan kontroversial. Mahkamah mengubah syarat batas minimal usia 40 tahun bagi calon presiden dan wakil presiden dengan membuat pengecualian antara lain buat mereka yang pernah atau sedang menjabat kepala daerah. Putusan itu diorkestrasi Ketua MK Anwar Usman yang juga adik ipar Jokowi, paman Gibran. Wajar bila banyak orang mencurigai putusan MK itu sebagai “hadiah” dari sang paman untuk kemenakannya.
Kecurigaan itu bisa ditepis seandainya Jokowi tidak memaksakan pencalonan Gibran. Namun ceritanya tidak seperti itu. Jokowi justru aktif menggunakan kekuasaan dan pengaruhnya untuk membuat pimpinan partai di Koalisi Indonesia Maju bertekuk lutut. Mereka membebek mencalonkan Gibran sebagai pendamping Prabowo Subianto. Motif Jokowi mudah ditebak. Dia ingin melanggengkan kekuasaan lewat Gibran, setelah gagal mengusung gagasan perpanjangan masa jabatan presiden.
Membaca manuver Jokowi, kita sulit berharap penjabat yang dia angkat akan bersikap netral. Ibarat pepatah: guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Namun yang perlu diwaspadai bukanlah semata sikap memihak para pejabat. Yang lebih berbahaya adalah bila para pejabat tersebut menyalahgunakan fasilitas negara untuk memenangkan pasangan Prabowo-Gibran.
Penyalahgunaan fasilitas negara untuk memenangkan pasangan calon tertentu bakal merontokkan kepercayaan masyarakat atas hasil pemilu. Apa yang akan terjadi bila salah satu kubu menolak hasil pemilihan presiden kelak? Setelah Mahkamah Konstitusi bisa diintervensi, tak ada lagi wasit yang adil untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu. Jangan-jangan kekecewaan akan tumpah di jalanan dengan cara yang mengerikan.
Ironis memang. Sembilan tahun lalu, ketika Jokowi naik ke puncak kekuasaan, percakapan politik di negeri ini sarat dengan kepercayaan dan harapan. Jokowi yang berasal dari luar lingkaran elite politik lama diharapkan membawa perbaikan politik. Media sekelas Time saja kala itu membuat edisi bersampul wajah Jokowi dengan judul “A New Hope”.
Kini harapan itu nyaris sirna. Di akhir pemerintahan Jokowi, ketidakpercayaan menguat. Yang menyedihkan, Jokowi menjadi aktor utama dalam laga penuh tipu daya itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tipu Daya Politik di Akhir Jabatan Jokowi"