Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INI adalah pendaratan yang menakutkan, sekali lagi. Kami harus memasuki zona ombak. Tapi kali ini, bukannya pasir, kami harus mendarat di batu-batu di tepi pantai. Moli hampir saja mematahkan lehernya saat dia terbalik. Ombak membawa bagian belakang Red Sorghum (nama perahu Moli) dan membalikkannya. Kepala atau helmnya hampir terjepit di batu. Namun dia selamat. Yang lain lebih beruntung berkat nelayan lokal yang muncul dan membantu kami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempat itu, desa itu, disebut Mauponggo dan terletak di Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Jujur, aku pikir itu akan menjadi momen berkemah yang menjijikkan. Dari laut, aku hanya bisa melihat semak-semak pohon sekrup di atas batu. Kami telah berkemah di tempat-tempat berbatu sebelumnya. Perkemahannya indah, seperti semua perkemahan kami di pantai-pantai Flores. Namun batu-batu itu tidak nyaman untuk dijadikan alas tidur! Jadi, ketika aku melihat pantai itu, punggungku sudah terasa sakit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kami memarkir kayak jauh dari ombak, memvideokan beberapa momen konyol dengan telepon seluler kami, dan kami berjalan ke tengah semak-semak sekrup yang tidak nyaman. Lihatlah, dan terbukalah semak-semak itu menjadi... “permakaman” yang menyenangkan.
Teman Selandia Baru-ku, Jules, yang bergabung dengan tim ekspedisi kami selama enam hari, mendirikan kemahnya dengan cepat. Dia membuka kursi lipatnya dan mulai membaca salinan ilegal sebuah buku tentang Circe, nimfa yang mencegah Odysseus pulang ke Ithaka. Kang Yoppi, seperti setiap kali saat berkemah, pergi memilih dua pohon untuk menggantung hammock-nya. Nico membuat tali pakaian untuk menggantung semua alat pelampung pribadi kami dan sebagainya. Moli berkemah di tengah. Saprol dan Derry mengambil ruang di sisi. Semua ruang ini ada di antara makam-makam. Aku mengambil ruang agak jauh dari yang lain, di bawah pohon tinggi.
“Kamu seharusnya lebih dekat dengan yang lain, Pri. Kamu tidak mau disambut oleh hantu, kan?” ucap Kang Yoppi bercanda.
Pendaratan di Mauponggo, NTT, 20 September 2023. Dok. DJN
Penduduk desa berduyun-duyun menonton dan memandangi kami. Mereka bertanya, “Dari mana kamu berasal?” Mereka menanyakan itu seperti setiap kali kami mendirikan kemah. Anak-anak bergerombol, juga seperti di sebagian besar perkemahan. Mereka selalu ramah dan ramah. Hanya, saat itu perkemahan kami yang ke-29 dan baterai sosial kami agak rendah. Namun mereka sangat baik dengan sarung dan pakaian kerja mereka.
Orang-orang di Mauponggo sebagian besar beragama Islam, sedangkan sebagian besar orang di Flores beragama Katolik. “Kami tidak pernah memiliki ketegangan agama di sini. Kami hidup berdampingan selama berabad-abad,” ujar seorang penduduk desa kepadaku. Aku memperhatikan sarung mereka terbuat dari bahan yang jauh lebih terlihat seperti buatan industri dibanding orang Flores di perkemahan kami sebelumnya.
Separuh dari desa itu kosong, pasar-pasar kosong, tapi toko-toko buka, dan aku memperhatikan beberapa bunga cantik di beberapa halaman. Warna ungu terang. Di toko-toko, aku membeli es krim lezat murah, memakannya dalam sekejap, dan mendapat gangguan otak yang tidak sedap. Namun itu adalah obat yang baik setelah sehari mendayung kayak laut yang mengerikan. Tidak, itu bohong. Sebenarnya, itu adalah hari kayak laut yang luar biasa ketika kami melewati gunung dengan tebing yang sangat tinggi, dan aku melihat ubur-ubur mahkota. Ukuran mereka sebesar bola basket dan memiliki bagian atas yang transparan ungu. Aku menyadari kemudian bahwa jenis ubur-ubur ini biasanya keluar di malam hari dan bisa bersinar. Seberapa keren itu? Makhluk yang begitu indah!
Suasana perkemahan tim Dayung Jelajah Nusantara pada pantai berbatu di Mauponggo, NTT, 20 September 2023. Dok. DJN
Jules si Selandia Baru mengatakan kepadaku bahwa “permakaman” Mauponggo adalah salah satu momen berkemah terbaik yang pernah kami alami. Aku cenderung setuju. Apakah di sini kamu memikirkan hantu? Ketika kamu pergi mendaki di hutan, apakah ada hantu atau banshee yang mengganggumu? Tapi matamu, cara kamu menatap, terlihat terlalu tenang.
Bagiku, aku pikir gagasan tentang hantu adalah sesuatu yang menghangatkan hati. Hantu adalah gema dari kehidupan yang sudah berlalu. Hantu adalah sisa emosi dari makhluk yang hidup di garis waktu lain. Jadi perkemahan ini justru tempat yang agak sentimental bagiku.
Matahari terbenam dengan indahnya. Setiap dari kami memiliki kursi perkemahan. Saat menunggu makanan siap, kami menyaksikan langit berubah menjadi warna ungu. Matahari terbenam di bukit-bukit. Bayangan menelan kami dalam kegelapan yang damai. Aku memperhatikan tebing di belakang kami. Pohon-pohon yang sekarang tidak bisa aku ingat jenisnya. Pohonku tergoyang sedikit karena angin. Kami sama sekali tidak merasa takut. Tidak sedikit pun. Kami merasa damai dan tidur seperti bayi yang mendengkur dan berjanggut malam itu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Semak-semak Pohon Sekrup Desa Mauponggo"