Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Titik Lemah Pengawasan Obat

BPOM tak mengawasi potensi obat tercemar setelah diproduksi. Kasus gagal ginjal akut pada anak menjadi rujukan BPOM dalam memperkuat pengawasan obat, dari sebelum produksi, setelah produksi, hingga pemasaran.

24 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Penny K. Lukito memberi keterangan saat konferensi pers soal pengawasan obat sirup di kantor BPOM, Jakarta, 23 Oktober 2022. TEMPO/ Febri Angga Palguna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA – Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Penny Kusumastuti Lukito mengakui lembaganya memang tak mengawasi kadar pencemar pada obat yang sudah jadi atau telah beredar di pasar, termasuk obat sirop yang diduga menjadi penyebab gagal ginjal akut pada anak. Sebab, BPOM tak diharuskan mengawasi potensi obat tercemar setelah diproduksi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Standar pembuatan obat tidak mensyaratkan adanya pengawasan produk jadi terhadap pencemaran. Sehingga itu memang tidak dilakukan," kata Penny saat konferensi pers, Ahad, 23 Oktober 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia sekaligus menepis anggapan bahwa BPOM kecolongan dalam mengawasi obat sirop sehingga diduga menjadi penyebab gagal ginjal akut pada ratusan anak. Penny justru melihat kasus gagal ginjal akut pada anak ini menjadi rujukan dalam memperkuat pengawasan obat, baik sebelum produksi maupun setelah produksi hingga pemasaran.

"Ke depan, kami akan memperbaiki dan lebih memperkuat pengawasan, baik di pre-market maupun di post-market," kata Penny.

Di samping memperkuat pengawasan, BPOM juga akan mengharuskan industri farmasi meningkatkan penelitian mandiri, serta menganalisis dan memastikan kendali mutu produknya. Selanjutnya, BPOM akan mengawasi obat jadi berbasis risiko.

Ia melanjutkan, produsen obat juga harus meyakini keamanan bahan baku yang digunakan ketika mereka mengubah bahan baku atau kandungan obat maupun saat mereka membeli bahan baku dari sumber lain. "Tidak hanya berdasarkan pada certificate of analysis yang dibuat oleh penjualnya, tapi mereka juga harus melakukan pengujian sendiri," kata Penny.

Pengawasan BPOM ini menjadi sorotan seiring meningkatnya kasus gagal ginjal akut pada anak dalam tiga bulan terakhir. Hingga kemarin, sudah 245 anak yang menderita gagal ginjal akut. Sebanyak 141 anak di antaranya meninggal akibat penyakit ini. Kondisi terparah terjadi di DKI Jakarta, Jawa Barat, Aceh, dan Jawa Timur. Angka kematian di Indonesia ini merupakan yang terparah di dunia, dibanding Gambia dan Nigeria yang juga terjangkit penyakit serupa.

Sesuai dengan temuan BPOM pada 20 Oktober lalu, penyebab gagal ginjal akut pada anak itu diduga akibat penggunaan obat sirop yang mengandung cemaran ethylene glycol (EG) melebihi ambang batas aman. Ada lima produk obat sirop yang diduga mengandung EG.

Kelima produk itu adalah obat penurun demam merek Termorex Sirup produksi PT Konimex, obat batuk dan flu merek Flurin DMP Sirup yang diproduksi PT Yarindo Farmatama, serta tiga obat buatan Universal Pharmaceutical Industries. Ketiga obat itu adalah obat batuk dan flu merek Unibebi Cough Syrup, obat demam merek Unibebi Demam Sirup, dan obat demam merek Unibebi Demam Drops.

Setelah PT Konimex membantah temuan tersebut, BPOM mengecek ulang sampel produk Konimex pada batch berbeda. Hasilnya, BPOM menyatakan hanya menarik peredaran produk Konimex pada batch yang awal diteliti dan menyatakan aman untuk batch lainnya.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (kanan) didampingi Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Lucia Rizka Andalusia memberi keterangan pers ihwal kasus gangguan ginjal akut progresif atipikal (atypical progressive acute kidney injury) pada anak, di kantor Kementerian Kesehatan, Jakarta, 21 Oktober 2022. ANTARA/Indrianto Eko Suwarso

Anggota Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat, Netty Prasetiyani Aher, menyoal pengawasan BPOM dengan adanya dugaan cemaran pada obat sirop tersebut. Netty menduga ada potensi kesalahan pengawasan sehingga sejumlah merek obat sirop diduga mengandung EG melampaui ambang batas. "Apakah kemudian (kesalahan) pada proses pengawasan BPOM atau lainnya perlu ditelusuri. Enggak boleh dianggap perkara remeh," kata Netty.

Menurut dia, potensi kecolongan dalam pengawasan obat sangat mungkin terjadi. Karena itu, Netty meminta Kementerian Kesehatan dan BPOM menelusuri penyebab zat berbahaya yang melebihi ambang batas tersebut terdapat pada obat sirop.

Epidemiolog dari Universitas Indonesia, Pandu Riono, sependapat dengan Netty. Pandu menganggap pengawasan BPOM terhadap produksi obat tidak serius karena BPOM justru menyerahkan pengawasan kualitas dan keamanan obat kepada industri. "Kalau pabrik obat yang memeriksa, ya, pasti baik-baik saja," kata Pandu.

Adapun Dekan Farmasi Institut Teknologi Bandung, I Ketut Adnyana, menjelaskan bahwa industri farmasi seharusnya berpedoman pada Farmakope (buku standar obat) untuk memastikan kualitas produksinya. Farmakope sudah jelas mengatur bahwa produsen mesti melakukan pemeriksaan berkala terhadap bahan baku dan produk akhirnya.

Meski begitu, Ketut berpendapat, kemungkinan saja ada produsen nakal karena terbukti BPOM menemukan ada obat mengandung zat berbahaya melebihi ambang batas. "Seharusnya ini peran penting dari pengawasan berkala regulator kita," kata Ketut.

Menurut Ketut, temuan BPOM menyebutkan penyebab gagal ginjal akut itu bukan karena faktor tunggal. Apalagi zat pelarut obat polyethylene glycol dan gliserol sudah puluhan tahun digunakan dan aman. "Namun, apakah terjadi penurunan kualitas? Ini yang perlu ditelusuri," ujarnya.

Keri Lestari dari Dewan Pakar Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) mengatakan, saat ini lembaganya tengah mengevaluasi penyebab gagal ginjal akut itu akibat pengawasan yang lemah atau adanya kecolongan. "Apakah ada kelemahan quality control di sarana produksi atau ada hal lain dalam proses produksi," kata Keri.

Keri memastikan apoteker di lapangan tetap berpedoman pada keputusan BPOM. Apoteker pasti tidak akan menjual obat yang dilarang BPOM sampai ada pemberitahuan lanjutan.

Ketua Komite Pengembangan Perdagangan dan Industri Bahan Baku Gabungan Pengusaha Farmasi Indonesia, Vincent Harijanto, mengatakan, sebagian produsen farmasi sudah meneliti kandungan obat sirop anak buatan mereka. "Mereka bisa mengkonfirmasi bahwa larutan siropnya tidak mengandung EG dan DEG," kata Vincent.

Ia mengatakan industri farmasi harus melaporkan hasil penelitiannya ke BPOM lebih dulu. Vincent juga meminta produsen obat tak buru-buru mempublikasikan hasil penelitiannya sebelum BPOM memutuskan. Lalu BPOM dapat saja meneliti ulang untuk lebih meyakinkan keamanan obat tersebut.

Inspektur Utama BPOM, Elin Herlina, mengatakan pengujian mandiri oleh produsen obat merupakan bentuk tanggung jawab industri farmasi. BPOM mewajibkan industri farmasi menjamin produk obatnya aman, bermutu, dan berkhasiat. Sedangkan BPOM bertugas mengawasinya, baik sebelum obat beredar melalui registrasi maupun setelah obat beredar lewat pengujian.

Potensi Pidana Gagal Ginjal Akut

Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, meminta Kepala Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengusut kasus gagal ginjal akut pada anak untuk memastikan adanya pelanggaran pidana di situ. “Permintaan ini disampaikan, mengingat kejadian gangguan ginjal kronis ini sudah mengancam upaya pembangunan SDM, khususnya pelindungan terhadap anak,” kata Muhadjir, lewat keterangan tertulis, kemarin, 23 Oktober 2022.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi juga mendesak pengusutan kasus tersebut, dari pasokan bahan baku obat, proses produksi, hingga pemasaran. Ia menilai kasus gagal ginjal akut yang masif ini membuktikan bahwa mekanisme pengawasan BPOM tidak efektif.

Tulus juga menganggap pengawasan produsen obat tak efektif. Indikasinya, temuan cemaran pada obat merek tertentu yang membuktikan produsen tidak melakukan kendali mutu obat dengan baik.

Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan bahwa lembaganya akan membentuk tim untuk menindaklanjuti permintaan Muhadjir itu. Tim itu akan segera berkoordinasi dengan Kementerian Kesehatan dan BPOM untuk membicarakan kasus gagal ginjal akut pada anak tersebut.

HENDARTYO HANGGI | EKA YUDHA SAPUTRA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus