Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Beirut, oh, beirut

Kota beirut di tengah-tengah perang saudara, golongan antara kristen melawan golongan islam, pertempuran terjadi dari hari ke hari. penduduk telah belajar menerima kekerasan. (sel)

20 Maret 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PELABUHAN Beirut, kini, bukan hanya tempat timbunan kapal. John Kifner, dalam sebuah laporan panjang di New York Times Magazine Desember lalu, menceritakan bagaimana pelabuhan itu menjadi lintas penyeberangan terbaik dari wilayah barat yang dikuasai Muslimin ke wilayah timur yang dikuasai Kristen. Di sini kegiatan perdagangan yang pragmatis menang mutlak atas rasa amarah dan benci. Di sini pula tembak-menembak jadi amat berkurang pada siang hari. Pelabuhan adalah satu dari lima tempat yang masih menyimpan kemungkinan untuk melintasi apa yang mereka sebut Garis Hijau. Garis ini merupakan daerah tak bertuan sepanjang 4 mil -daerah puing reruntuhan, yang membagi kota yang dulunya kaya dan mempesona itu menjadi dua kubu bermusuhan, dikuasai tentara, milisi atau kelompok bersenjata. Garis Hijau terbentuk sebagai hasil perang saudara muslimin dan Kristen. Sedang perang itu sendiri, pecah tahun 1975, memperkelahikan dua hal dasar: perseujuan jangka panjang yang selama ini memberikan kekuasaan politik kepada golongan Kristen, dan kegiatan gerilyawan Palestina. Memang, orang-orang Palestina sendiri segera terlibat dalam kecamuk itu. Lantas 1976 pasukan Suriah menyerbu Libanon dengan alasan menciptakan perdamaian. Israel, Libya, Arab Saudi, Irak, Iran, ikut berperan mempertajam konflik--dengan jalan membagi-bagikan uang dan senjata kepada sekutu masing-masing. Perang pun berhasil melembaga. Untuk kebanyakan penduduk Beirut, pertempuran dari hari ke hari sekarang ini bukan lagi untuk tujuan politik. Tapi sekedar sarana untuk bertahan hidup. Beirut telah menyesuaikan diri dengan pergolakan harian semacam itu--dengan kemudahan yang mengejutkan. Kadang-kadang sukar mengingat kembali bagaimana indahnya Beirut beberapa tahun lalu. Sebuah Paris di Timur, ibukota negeri yang disebut Permata Laut Tengah. Libanon dikaruniai pantai berpasir, pelabuhan yang dalam, pegunungan, air melimpah, satu dari tanah paling subur di Timur Tengah, dengan penduduk paling maju dalam usaha di kawasan itu. Berski di waktu pagi, berjemur dan berenang di petang hari, berlibur sampai larut malam. Elite yang makmur memperagakan berlian gemerlapan, berpesta gila-gilaan, melari kan Jaguar dan Ferrari dari klub yang satu ke tempat dansa yang lain. Sementara rebana dan suling Arabia bertarung dengan musik Eropa, mengiringi tarian perut dan derai tawa gadis-gadis penuh aroma. Kini semua padam. Azab Tuhan sudah dijatuhkan. Negeri itu masih tetap indah. Tapi hotel-hotel bertembok kelabu di pegunungan, tempat para pangeran Arab dulu melewatkan musim panas dalam dunia khayali, hancur berlubang-lubang. Juga gedung-gedung bergaya kolonial peninggalan Prancis. TOH, di tengah kehancuran orang Libanon tampil sebagai makhluk yang cerdik. Pemerintahnya bangkrut sudah. Tapi bagi mereka yang sanggup bertahan di antara desing peluru, Beirut menjelma jadi sebuah kawasan yang menawarkan sesuatu yang lain lagi. Penyelundupan, narkotika, perdagangan ganja, serentak dengan tumpahnya dollar berjuta-juta untuk membiayai pasukan dan gerilya, telah menciptakan kesempatan bagi lahirnya sebuah elite baru --yang tidak kurang makmur dari yang sebelum ini. Pemilik sebuah butik yang menawan di dekat Jalan Hamra yang dulu penuh pesona, terus terang berkata bahwa tiga tahun terakhir ini merupakan tahun-tahun terbaik bagi bisnisnya. Seorang wanita yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya, tiba-tiba masuk -- dan membeli setengah lusin gaun mahal sekaligus. Di pojok sebuah toko bunga, seorang pria dengan sepucuk pistol otomatis terselip di sabuknya, dengan sukacita menulis cek $700. Hanya untuk karangan bunga. Katanya dia merayakan ulang tahun anaknya di rumah. Meski kekerasan mendorong penduduk kembali ke keluarga, dusun, kelompok feodal dan golongan politik yang terpecah-pecah, arus 'uang gampang' mengalir deras. Ini bukan lagi ekonomi laissez-faire. Ini keleluasaan. Beirut kini sebuah kota yang menghidupkan dan memberi makan anarki. Dalam banyak hal kedua bagian kota ini berkembang jadi dua dunia yang berbeda. Beirut Barat, yang dikuasai golongan kiri, bercirikan sampan dan senjata. Sampah terlihat di mana-mana: tertimbun, tersebar, teronggok di kedua tepi jalan. Dan di salah satu bagian kota yang lebih necis, sampah bertengger di pucuk pepohonan ini karena penduduk melemparkannya lewat jendela di tingkat atas. Seperti pelbagai hal lain di Beirut, sampah itu politis sifatnya. Sebuah mesin pemroses sampah terdapat di Beirut Timur yang Kristen. Begitu juga truk-truk pengangkut. Tapi sampah dari rumah penduduk beragama Islam jarang sekali diurus. Diceritakan bagaimana beberapa insinyur muslim menemukan arus pasang air laut yang menghempas sepan jang pantai hingga ke sektor Junieh, bagian kota yang didiami orang Kristen. Oleh para insinyur yang tidak kehabisan akal, sampah daerah muslim itu diceburkan ke gelombang pasang--dan terbawa ke tempat pembakaran. ADAPUN senjata di Beirut Barat bukan saja politis, tapi juga ornamen. Kaum lelaki mengenakan senjata bagai wanita memperagakan permata. Mereka sisipkan pistol otomatis ke balik celana jin, dan sekedar pamer mereka biarkan gagangnya menonjol di atas saku bclakang. Para penembak muda di Beirut Barat bersantai dalam kursi lipat di depan tumpukan karung pasir, yang dibangun untuk melindungi daerah perkantoran dengan senapan AK-47 (Automatic Kalashnikov) atau peluncur granat di pangkuan mereka. Penembak di Beirut Barat melenggang sepan jang jalan sambil mengepit AK, tidak ubahnya orang Prancis membawa roti panjang yang terkenal itu. Di seberang Garis Hijau, di Beirut Timur yang Kristen, toko-toko dan restoran juga dilindungi deretan karung pasir. Di sini pertumpahan darah yang terjadi bertahun-tahun antara pelbagai aliran dalam agama Kristen, justru memberi peluang bagi Partai Phalangist. Partai ini pula menciptakan tatatertib di saat-saat pemerintah yang resmi tidak berfungsi. Mereka melembagakan ketentuan ketat dalam halkeamanan, termasuk latihan terhadap setengah dosin anjing khusus untuk mengecek bom mobil yang sewaktu-waktu bisa meledak di kawasan perumahan. "Tidak begitu sukar, karena tidak ada orang asing di sini," seorang jurubicara militer menjelaskan. Yang d imaksud orang asing itu Suriah dan Palestina. Orang Phalangist melarang orang lain yang tidak berhak menggotonggotong senjata sepanjang jalan raya, kecuali yang mendapat tugas tertentu. Meski begitu ada saja orang bersenjata --berjalan ke sana ke mari. Pihak polisi sendiri memperhitungkan tidak kurang dari 2/3 penduduk Beirut bersenjata. Di Beirut Timur, polisi memang tidak takut muncul di tempat umum. Mereka juga memasang papan penghalang di sebuah jalan besar, khusus untuk memeriksa STNK, satu hal yang tidak mungkin ditemukan di Beirut Barat. Meski begitu polisi nampak tidak begitu bahagia dengan tugas mereka. Sebulan lalu, seorang polantas dipermainkan oleh pengendara motor yang bersenjatakan AK-47. Karena itu mereka cenderung puas bertugas hanya di dekat-dekat karung pasir mereka sendiri Belum lama ini sampai dua kali polisi menahan anggota kelompok bersenjata. Tapi sebagai imbalan, markas mereka digeledah pasukan yang bersenjata otomatis dan roket. Orang-orang Phalangist juga mengoperasikan sebuah usaha pelayanan umum. Mereka ini memeriksa tokotoko daging, roti, pompa bensin, dan memaksa pegawai pemerintah melakukan tugas yang sama. Mereka juga tak segan-segan memasang sendiri ramburambu lalu-lintas, termasuk membelintangkan sebuah kendaraan lapis baja bertuliskan: 'Tank Dilarang Masuk'. Saraf penduduk tegang di mana-mana juga di Beiruit Timur. Perselisihan bisa saja terjadi karena kecelakaan lalu-lintas, soal parkir, bon restoran atau hal-hal kecil yang lain. Tapi begitu malam turun, jalan-jalan serentak scpi. Orang-orang di balik dinding rumah memasang telinga - untuk suara tembakan. TIAP pagi suratkabar Beirut memberitakan deretan kejadian malam sebelumnya. Nadanya rutin -- seperti laporan cuaca. Ketenangan Semu di Beirut, judul kecil di sebuah koran berbahasa Prancis, L'Orient le Jour. Ceritanya: tembak-menembak dan ledakan . . . pukur 9.30 roket menghantam Rue Monet di kawasan Universitas St. Joseph . . . Tembak-menembak lagi, diramaikan oleh granat . . . di wilayah pinggiran selatan orang-orang bersenjata menculik 24 petugas, di pegunungan posisi tentara Libanon di Ouyoun El Simane, Kanat Bakiche dan Mzar secara bergantian ditembaki artileri Suriah." Bahkan penduduk di bagian kota Beirut yang paling aman telah belajar menerima kekerasan. Di sebuah gardu telepon, seorang wanita muda berpakaian sangat gaya, acuh tak acuh memberitahu ibunya bahwa dia agak terlambat sampai di rumah karena "artileri mengamuk di tengah kota dan kami harus mencari jalan memutar." Pada sebuah jamuan makan malam dua wanita memperbincangkan apartemen mereka. Seorang berkata: "Beruntung banyak gedung tinggi sekitar kami. Jadi kami tidak harus berlindung ke bawah tangga kecuali kalau situasi amat buruk." Nampaknya tidak satu segi pun luput dari sentuhan kekerasan di Beirut. Baru-baru ini sejenis bangau yang jarang ditemukan, berpindah sepanjang garis pantai. Para pecinta burung terperanjat: burung-burung itu dihajar senapan dan senjata antipesawat udara. Banyak surat bernada amarah ditujukan ke alamat pemerintah. Dan dijawab begini: meski menembak burung satu perbuatan terlarang, pemerintah hampir tidak dapat melindungi manusia. Konon pula makhluk burung. Menembak-nembakkan senjata ke udara juga merupakan acara paling digemari dalam pesta. Biasanya pada hari Ahad, arak-arakan perkawinan turun ke jalan, kendaraan penuh dengan pita dan orang-orang menjulur kan badan ke luar jendela--sambil nenembak tak henti-hentinya. Penduduk senang sekali menyaksikan para pendatang yang terkejut-kejut. Memang, peluru d.n serpihannya sering mengakibatkan ralapetaka serius. Tiga hari sekali ratarata Rumahsakit Universitas Amerika menampung korban. Selalu, peluru itu meluncur jauh dari tempat asal mereka ditembakkan Tatkala penduduk Islam Beirut merayakan pembunuhan Presiden Anwar Sadat, 13 orang terluka - termasuk seorang mahasiswa Nigeria yang kebetulan sedang jalan-jalan di tepi pantai. Ia lumpuh seumur hidup. Pelayanan umum berantakan di saat kegiatan pribadi meningkat. Barubaru ini beberapa bilangan kota, termasuk istana Presiden, terisolasi garagara pencuri. Mereka ini menggali terowongan -- mencari kabel yang serat dan tembaganya dapat dimanfaatkan untuk peluru. Juga aliran air bisa saja terhenti sewaktu-waktu: pipa rusak akibat tembakan. Tapi jika air kebetulan mengalir, listrik sebaliknya padam. Misalnya karena bom meledak dekat gardu pembangkit . Para pedagang menggelar barang-barangnya di tempat kosong mana saja yang dapat direbut. Terkena pengeboman di bilangan Kota Lama, para pengecer itu menggunakan bak-bak mobil yang diparkir sepanjang Jalan Hamra. Atau begitu saja menumpuk barang di tepi jalan. Tenda-tenda ber topang besi baja berdiri di sepanjang jalan yang dulu amat resik dan molek Meja penjualan penuh kaset, hiasan rumah dan jin Levi's. Siapa saja yang berkendaraan di Beirut, menghadapi dua kemungkinan: mobilnya dicuri atau ditembak. Sebuah keluarga kaya kehilangan tiga mobil dalam setahun. Dalam peristiwa terakhir, mereka kebetulan pergi membeli cokelat. Penembak yang mencuri mobil mereka bahkan tidak lupa menyita cokelat-cokelat itu. Angka terakhir menunjukkan 36.884 mobil bekas diimpor dalam satu tahun. Jumlah ini bagai langit dan bumi jika dibandingkan dengan impor mobil baru yang hanya 7743 buah. Buat apa pakai mobil baru Libanon, bahkan pencuri mobil punya gaya tersendiri. Diperkirakan tigaperempat mobil curian tersalur ke tangan seorang penadah kenamaan, Abu Chawki namanya Kampungnya terletak di Britel, di utara Lembah Bekaa. Di sini Abu punya lapangan parkir yang luas bukan alang-kepalang. Nah. Pemilik mobil yang kecurian di Beirut bisa mengecek di sebuah daftar. Kemudian memeriksa langsung di lapangan Bila dapat menandai mobil yang hilang, mereka dapat membelinya kembali dengan harga lebih murah. Belum lama ini Abu Chawki mengada kan konperensi pers. Dalam kesempatan itu ia bilang telah menyatakan sumpah kepada Mufti dari Baalbek: ia akan lepas dari dagang mobil. Tapi, katanya pula, ia hanya memberi pelayanan umum--"membantu penduduk tak bersalah agar mendapat miliknya kembali." Konflik Libanon bertolak dari pertentangan kepentingan. Golongan Kristen berusaha mempertahankan segala sesuatu sebagaimana adanya, sambil mengharap bantuan negara-negara Barat. Golongan Islam berusaha mengubah keadaan, dan untuk itu memperoleh senjata dari Blok Soviet. Tapi dalam kenyataan, konflik ini jauh lebih kompleks khususnya dalam dua tahun terakhir. Sekutu-sekutu bebuyutan dari masing-masing pihak itu saling bermusuhan sendiri. Dengan kata lain Muslim berkelahi sesama Muslim, dan Kristen bertempur sengit melawan Kristen. Seperti halnya bangsa-bangsa lain di Timur Tengah, peta Libanon digariskan oleh para penjajah Eropa sebelum mereka angkat kaki dari sana 30 tahun si lam. J antung daerah Kristen yang asli adalah sebuah kawasan yang dikenal sekarang sebagai Gunung Libanon. Dengan puncaknya sebagai pusat, daerah itu terbentang sepan jang Pegunungan Utara . Kemudian, Kerajaan rurki Ottman memperluas distrik administratif-ke pegunungan yang disebut Chouf. Di bawah 'sistem millet' dari Dinasti Ottoman, kenyataannya minoritas bukan-Muslim mendapat otonomi politik yang lebih besar--khususnya di kawasan agama mereka sendiri. Dan kombinasi identitas agama dan politik inilah yang diperkuat kembali--untuk kepentingan pihak Kristen - sesudah Prancis campur-tangan tahun 1880. Dengan runtuhnya Kemaharajaan Ottoman di penghujung Perang Dunia ke-1, Prancis tampil sebagai pemegang mandat atas Libanon. Dan tatkala angkat kaki dari sana, mereka bikin peta baru yang disebut Libanon Raya. Peta itu memberi kemungkinan hidup lebih besar bagi daerah kekuasaan Kristen, dengan cara memasukkan kota-kota pantai Muslim seperti Beirut, Sidon dan Tripoli ke dalamnya. Bahkan juga kota kaum Syi'ah, Tyre, dan Lembah Bekaa yang subur. Bersama dengan Pakta Nasional ini, Prancis juga mewariskan persetujuan tak tertulis yang menetapkan: kekuatan politik selalu disesuaikan dengan porsi agama. Golongan Kristen merupakan pihak yang menentukan. Politis, Kristen di Libanon berarti Katolik Maronit. Dan ini sudah mencakup perbedaan yang tajam. Orang Maronit berasal dari pendeta Suriah bermata satu, Maron namanya. Menurut sejarahnya dia seorang pertapa yang meninggal dalam keterasingan di hutan, awal abad ke-5. Kemudian terjadilah perbantahan dalam hal dogma agama--berakhir dengan penghukuman Maronit oleh penganut Kristen aliran lain. Hal itu, ditambah lagi dengan penyebaran Islam awal abad ke-7, memaksa orang Maronit hidup terpisah di dusun-dusun yang dibentengi secara kuat di puncak Gunung Libanon. Mentalitas orang yang terkepung masih tertanam dalam sampai sekarang: Maronit cenderung mengidentikkan diri sebagai bukan orang Arab. Mereka merasa sebagai pos terakhir peradaban Barat" di kancah Islam yang amat bermusuhan Kebudayaan Prancis yang belakangan mereka serap justru memperdalam jurang ini. Di bawah persetujuan yang diwariskan penjajah itu, Maronit mendapat jatah jabatan presiden, komandan angkatan bersenjata dan komandan intelijen militer yang disebut Biro Kedua. Jabatan perdana menteri dijatahkan untuk Islam-Sunni. Jurubicara parlemen Islam Syi'ah. Sedang parlemen sendiri diharuskan mewakili mayoritas Kristen dengan perimbangan suara 6 lawan 5. Pencadangan semacam itu didasarkan pada sensus penduduk 1932. Tapi sejak itu tidak lagi pernah ada sensus penduduk. Sistem itu ternyata tidak cukup menciptakan perimbangan kekuatan yang realistis. Pemerintah terbukti selalu korup, terkadang secara sepihak ditangani oleh Biro Kedua, tapi tiap orang dengan cara masing-masing memperoleh bagiannya. Dan dunia pun bicara tentang "keajaiban mosaik Libanon" Mosaik itu adalah: 4% dari keluarga tertentu memonopoli 32% pendapatan nasional, begitu menurut penelitian yang dilakukan Prancis 1960. Kesimpulannya, pemerintahan Libanon dikendalikan oleh oligarki, orangorang kaya, baik Kristen maupun Muslim. Tapi beberapa faktor telah mengacaukan persetujuan model Prancis itu. Pertama, pertumbuhan masyarakat Muslim meningkat khususnya di kalangan Syi'ah, yang justru paling miskin dan paling tidak berciri Prancis. Kaum cendekiawan dan golongan kiri juga berhasrat adanya sebuah sistem baru. Sementara itu kehadiran gerilya Palestina yang bersenjata semakin terasa mengancam. Kamp-kamp pengungsi yang dibangun tahun 1948, akibat pengusiran oleh Israel terhadap penduduk Palestina, semakin bersifat permanen. Penghuninya pun terus membengkak. Ribuan gerilya Palestina juga menetap di Libanon--sesudah mereka diusir Raja Husein dari Yordania karena berusaha menggulingkan tahtanya. Pengusiran itu sendiri berbuntut panjang sampai pada bentrokan September Hitam tahun 1970-an. Kristen Maronit marah besar menyaksikan kehadiran gerilyawan Palestina. Yang terakhir itu selalu menampilkan diri seakan negara dalam negara di Libanon. KETEGANGAN KristenMuslim pun meletus 1975. Perang saudara ini berlansung amat liar: penyiksaan, mutilasi dan pembunuhan besar-besaran di kedua pihak. Orang-orang diseret keluar dari mobil, dibantai hanya karena ciri agama yang tertera dalam KTP. Mulanya Palestina menempatkan diri di luar pertikaian itu. Tapi lamakelamaan mereka terbawa-bawa, apalagi sejak perbenturan itu menguntungkan pihak Kristen yang begitu membenci mereka Tetapi, ketika orang Palestina mulai dapat menguasai orang Kristen, Muslim dan golongan kiri Suriah justru melibatkan diri dan memihak Kristen. Dan tahun 1978, Kristen dan Suriah yang dilembagakan sebagai kekuatan pengawal perdamaian justru bentrok satu sama lain. Suriah, sekali lagi, dinyatakan sebagai pelindung dan terkadang penguasa--orang Palestina. Pada tahap ini, baik Kristen maupun Muslim mndmpik kehadiran Suriah. Banyak lelucon yang mengolok-olok tentara Suriah sebagai pasukan paling bebal di muka bumi Allah. Tapi nampaknya tentara Suriah akan berada di Libanon untuk waktu panjang. Mereka cukup berpengaruh, baik terhadap golongan kiri atau pemerintah. Keputusan penting untuk keduanya pun sekarang ini langsung ditentukan dari Damaskus. Partai Phalangist, yang terorganisasi dengan baik di bawah pimpinan Pierre Gemayel, dan pasukan milisi yang dipimpin anaknya sendiri, Bashir, kini muncul sebagai kekuatan paling berkuasa di wilayah Kristen. Tapi Pak Tua Suleiman Franjieh yang menjabat sebagai presiden Libanon selama masa perang saudara itu, mendekam di Benteng Zghorta di utara--sambil merencanakan balas dendamnya terhadap kaum Phalangist. Phalangist ini dulu pernah menjadi sekutunya, tapi justru membunuh anaknya, Tony Franjieh, serta menantu dan cucunya dalam satu serangan yang dilancarkan ke rumah musim panas mereka tiga tahun silam. Tony Franjieh semasa hidupnya memimpin sebuah pasukan milisi. Dan sesudah serangkaian bentrokan terjadi. kaum Phalangist berhasil menguasai pusat wilayah Maronit, daerah pegunungan dan garis pantai utara Beirut. Ini berlangsung sejak Juli tahun lalu--dengan cara membunuh 300 pengikut presiden terdahulu, Chamile Chamoun, sekutu mereka sendiri. Satu pengkhianatan yang benar-benar mengejutkan . Pasukan milisi yang lebih kecil seperti Pengawal Cedar, Organisasi, dan sisa-sisa Partai Liberal Nasional yang dulu dipimpin Chamoun, telah dilebur dalam satu wadah yang sekarang dinamakan Kekuatan Libanon--di bawah pimpinan Bashir Gemayel, 34 tahun, anak Pierre Gemayel. Foto-foto Bashir yang kejam dengan lengan baju terlipat ke atas, menghias banyak gedung di Beirut. Mereka sebenarnya berusaha mencopot nama Phalangist--yang dalam bahasa Arab disebut Kataeb, berarti formasi militer--karena tidak lagi populer. Kini mereka sebut perkumpulan mereka 'Perlawanan Libanon' dan wilayah kekuasaan mereka "daerah yang telah dibebaskan". Pasukan mereka sepenuhnya diorganisasi menurut ketentuan militer yang umum berlaku, dan secara rahasia menerima bantuan dari Israel. Phalangist memiliki pasukan tempur dengan seragam paling rapi di Libanon . Mereka bahkan punya seragam penyamaran untuk unit komando. Bahkan mereka punya pusat komputer bernilai US$ S juta, dan beberapa bidang usaha termasuk servis pengawalan yang dikelola oleh adik Gemayel, Amin. Di Beirut Barat, keadaanttak kurang berantakan. Pimpinan koalisi kiri Walid Jumblatt, anak kepala suku Druse, Kamal Jumblatt, secara misterius terbunuh di sebuah jalan dalam wilayah kekuasaan Suriah, tidak jauh dari kastilnya di Mukhtara. Pengikut Partai Sosialis Progresif memanggilnya Walid Bey, menggunakan gelar kehormatan warisan Ottoman. Tapi, beda dengan masyarakat Kristen yang memiliki kekuatan politik dan militer lewat jalinan keluarga, masyarakat Muslim terpecah dalam kelas-kelas. Orang kayanya menegakkan kekuatan politik atas tradisi tukang pukul atau yang disebut abdi. Mereka ini bebas beroperasi di wilayah sendiri. Dalam masa perang, banyak abdi diangkat sebagai komandan pasukan milisi di Beirut Barat. Oligarki itu juga yang menjalankan roda pemerintahan (sejak pecah perang tidak pernah ada pemilihan anggota parlemen) tapi kekuasaan yang sebenarnya kini berada di tangan abdi yang berkuasa dijalan raya. Dengan Suriah, Iraq, Libya bahkan Iran berada di belakang bermacam-macam pasukan milisi, tidak mengherankan jika bentrokan sering terjadi antara mereka sendiri. Awal November, di bawah satu perjanjian yang disetujui bersama dengan kelompok kiri, serta dipaksakan oleh pasukan Suriah, semua senata harus disingkirkan dan semua toko senjata milik pasukan milisi harus dikosongkan Ini usaha perlucutan ketiga dalam dua tahun terakhir--dan tidak seorang berani memastikan berapa lama perjanjian itu dapat bertahan. Suatu hari pasukan Suriah memasang hambatan jalan raya dengan kendaraan lapis baja, truk dan tentara menentengnenteng granat, tapi justru hari itu terjadi pencurian 11 mobil. TAPI ketiadaan tertib hukum dan lenyapnya wibawa pemerintah, justru lebih merangsang usaha swasta Libanon yang terkenal sulit diatur. Negeri yang dilanda 7 tahun perang saudara itu mustinya sudah binasa Tapi di Libanon lemari besi bank masih padat dengan uang. Jumlah simpanan justru meningkat 3 kali lipat bila dibanding simpanan 1974, tahun terakhir kedamaian. Pusat Kota Tua mungkin tidak akan dibangun lagi. Tapi pembangunan gedung bertingkat kini jalan terus-khususnya sepanjang Garis Hijau, tempat para pekerja cukup berhenti sejenak bila mereka mendengar hingar-bingar tembakan. Pembangunan gedung baru lebih menonjol lagi di sepmjang pantai sekitar Junieh. Di pelabuhan wilayah Kristen ini terletak rumah-rumah mewah, juga tempat-tempat rekreasi serta barisan toko-toko, butik dan restoran bernama mentereng Escpe 2001 yang baru saja diresmikan. Kemewahan memang jelas nampak. Tapl Justru karena kemewahan itu kekayaan Negara Libanon cepat menipis. Neraca belanja tahun ini mengalami defisit 33%. Sebab utamanya jelas: penduduk tidak membayar pajak, dan pemerintah tidak punya sarana lagi untuk menagih pajak.. Dalam sebuah sidang Kabinet bulan Oktober, dalam suasana murung, diperoleh kesimpulan bahwa sudah tertutup kemungkinan untuk menaikkan pendapatan dari sektor pajak. Karena hampir tidak mungkin melakukan pungutan dalam kondisi rawan. MUNGKIN keadaan akan sedikit tertolong bila rekening teleks, telepon dan listrik yang dibiarkan bertumpuk itu dibayar lunas oleh para pelanggan. Dalam kenyataannya, justru pasukan milisi--dan bukan pemerintah - yang menagih pajak. Partai Phalangist bahkan sudah mempraktekkan sistem pungutan yang seksama dan rapi, termasuk pungutan 1 pon atas karcis bioskop, 2% pajak restoran dan pompa bensin, dan pajak tambahan lain yang dikenakan pada tiap rumah tangga. Golongan kiri mengenal sistem yang kurang formal dalam bidang mengorek uang seperti itu. Tapi bank dan perusahaan besar acapkali terpaksa membayar kepada kedua belah pihak. Musti begitu, pertempuran sebenarnya menghasilkan dua keuntungan besar di bidang ekonomi. Demikian menurut seorang pejabat di Bank Sentral. Pertama, merangsang orang Libanon berbondong-bondong meninggal kan negeri. Diperkirakan kini 200.000 orang dari mereka bekerja di Arab Saudi--dan tiap bulan kiriman uang mereka mencapai US$ 150 juta. Lalu ada bantuan asing, berupa uang yang disumbangkan negara-negara Timur Tengah, khusus untuk biaya pasukan milisi sebanyak US$ 25 juta tiap bulan. Para bankir mengatakan, bila kiriman uang tiba, maka nilai pon Libanon melonjak seketika terhadap dollar. Tidak kurang penting adalah kegiatan-kegiatan gelap yang sudah melembaga. Sekarang ini paling sedikit ada 15 pelabuhan--yang sebenarnya hanya dermaga batu menjorok ke laut, dengan mesin-mesin derek--beroperasi sebagian besar di pantai utara wilayah Kristen. Tapi pelabuhan juga bisa ditemukan di kota-kota kekuasaan golongan kiri seperti Sidon dan Tyre. Sepanjang hari kapal-kapal barang membongkar peti kemas yang penuh barang selundupan. Ganja merupakan komoditi ekspor paling utama di Libanon. Sebuah laporan rahasia y'ang dikumpulkan sumber-sumber Barat memperhitungkan, 30% uang yang mengalir ke Libanon berasal dari perdagangan narkotik. Lumpuhnya wewenang pemerintah, membuka peluang bagi penduduk Libanon untuk menanam ganja secara leluasa. Hak menanam ganja kini tidak lagi terbatas pada anggota parlemen seperti di masa lampau. Kini 0% tanah subur di Lembah Bekaa, sekitar perbukitan Hermil, ditanami kanabis, sejenis ganja yang mempeliharaannya murah tapi amat menguntungkan. Petani dan pengecer sekitar Baalbek tidak menyembunyikan rasa bangga mereka akan kemakmuran yang diperoleh dari ganja. "Tidak ada pemerintah yang memperhatikan daerah ini. Tidak orang Turki, Prancis atau pun pemerintah yang sekarang. Dulu tidak ada sekolah, pabrik, tidak ada lapangan kerja. Tapi berkat ganja kami bisa mendirikan rumah-sakit, rumah bagus dan jalan raya," kata seorang pak tua di sana. Perdagangan ganja merupakan contoh yang tidak biasa dari satu "kerjasama antar umat beragama" Di bawah pengawasan pasukan Suriah, ganja itu ditanam oleh Muslim Syi'ah, kemudian dikapalkan lewat pelabuhan gelap yang terletak di kawasan yang dikontrol pasukan swasta Kristen. Tiap orang merasa bahagia akan perjanjian dan kerjasama tidak tertulis seperti itu. Perantara juga mengalami masa panen. Contoh usaha mereka yang sederhana: mengangkut semen dari pabrik di kawasan keluarga Franjieh di Chekaa, membawanya lewat wilayah Phaiangist ke beberapa tempat lain di Libanoni Jasa seperti ini jelas membawa laba besar. Bila orang-orang bersenjata mengambil-alih sebuah apartemen, para calo segera datang: merundingkan harga yang mesti dibayar agar orang-orang bersenjata itu pergi. "Kecerdikan" orang Libanon memang hampir tidak mengenal batas. Seorang operator telepon menawarkan tarif miring, kemudian ia sendiri datang ke rumah pelanggan untuk menagih rekening. Tersiar kabar, panen anggur merah produksi lokal benar-benar hebat. Dan sekarang tiap botol Nikd, merk sejenis anggur, diberi label cemerlang dengan angka 1963. Lagi: pemerintah mengumumkan bahwa dengan dana yang dicediakan Arab Saudi, mereka dapat memberi gantirugi ganda bagi tiap kerusakan yang diakibatkan pengeboman Israel di kawasan Selatan. Dan sesudah itu, petugas PBB di sana melihat bagaimana penduduk mulai meledakkan sendiri rumah mereka untuk mendapat gantirugi ganda tersebut. Ha-ha. AGAKNYA tidak ada bangsa lain yang babak belur tapi sanggup bertahan mengejar rezeki seperti Libanon--meski caranya demikian ganjil. Ketahanan ini membuat mereha bangga. Dan sedih. Nilai-nilai yang memungkinkan mereka tetap hidup, seperti ikatan kekerabatan dan kemampuan menyunglap keberuntungan, justru di segi lain memecahbelah mereka. Di negeri ini tidak ada kontrak sosial seperti yang diteorikan John Locke. Tidak juga persetujuan, bahwa sebaiknya ada sebuah pemerintahan yang berwenang dan bertanggungjawab. Sebaliknya yang terlihat adalah sebuah kondisi alamiah seperti yang dikhayalkan Hobbes, kondisi kehidupan yang sedemikian menjijikkan, kasar, dan singkat. Pertempuran kecil-kecilan dan genjatan senjata terjadi silih-berganti, tapi kekerasan terus berulang, malah laten. Bahkan terasa amat tipis kemungkinan bahwa keadaan yang parah ini sekali waktu akan membaik. Kecuali dengan kehendak Tuhan. Orang-orang berusaha keras menekan kecemasan mereka. Berhasil juga. Tapi seorang ahli mengatakan, "kegiatan membeli yang semakin meluas sudah merupakan penyakit serius." Mereka berbelanja menghabiskan uang seakan tidak ada hari esok. Dan psikiater makin sering menerima pasien kaya yang takut terperangkap dalam ledakan, takut diperiksa orang-orang bersenjata, atau ngeri kalau-kalau terjebak dalam lift. Di tempat lain ketakutan seperti itu sudah merupakan phobi. Di Beirut, kemungkinan yang dicemaskan itu bisa saja benar-benar terjadi. Di mana dan kapan saja. Di Beirut Barat yang paling banyak terjual adalah video-tape. Tidak heran bila usaha penyewaan movie tape cassette berkembang pesat. Di wilayah Kristen kehidupan malam tetap berlangsung semarak. Gedung bioskop penuh sesak. Toh ada ketakutan amat sangat di kalangan penduduk bahwa sewaktu-waktu mereka bisa terkurung--di kawasan yang tidak terlalu luas itu. Banyak juga orang Kristen yang takut pergi ke lapangan udara Beirut, karena untuk sampai ke sana harus lewat checkpoint Suriah. Birokrasi dan kemalasan diatasi dengan uang. Paspor dan SIM dibeli dengan mudah. Harga wiski jauh lebih murah di sini daripada di toko mana pun di dunia. Obat-obatan bisa dibeli tanpa resep dokter. Para pemain golf dengan santai pergi main ke seblah klub yang terletak antara lapangan udara dan sebuah kamp latihan gerilya. Sebuah roket pernah terjerumus dalam hole ketiga, kemudian disemayamkan di atas bar. "Akan menyulitkan bagi anda untuk putting," ujar Eddie Coates, peirwira keamanan di Kedutaan Inggris, "tapi ini penting. Ini kan golf." Salah satu malapetaka berat dalam konflik yang berkepanjangan itu menimpa pers bebas, yang sekali waktu pernah menjadikan Beirut kota intelektual di dunia Arab. Selama 18 bulan, sedosin wartawan asing dan pribumi terbunuh, terluka atau tersingkir ke luar kota. Satu di antaranya seorang penerbit Arab terkemuka-yang tangannya lebih dulu disiram cuka sebelum orangnya dibunuh. Belakangan ini gelombang pengeboman mobil di sekitar daerah perkantoran Palestina mengakibatkan hampir 200 orang mati. Sudah merupakan hukum politik di sini: tidak seorang pun pasti siapa yang melakukan satu kekejaman. "Apa yang kami saksikan bukan lumpuhnya sistem politik. Tapi hancurnya sebuah masyarakat," tutur Dr Shamir Khalaf, seorang sosiolog pada Univeristas Amerika di Beirut. Ilmuwan ini sedang mengadakan penelitian atas akibat-akibat perang, dan ia merasa amat tertekan karena "kehidupan barbar yang semakin meningkat" di sekitarnya. Khalaf khawatir, bahwa satu-satunya pilihan bagi Libanon lalah "negara polisi". Di kantornya yang terletak di sebuah oasis tiruan, dalam lingkungan kampus, sarjana yang murung itu menambahkan: "Tugas saya bukanlah menentukan seberapa banyak yang bisa saya garap. Tapi bagaimana agar saya tidak ikutikutan menjadi brutal, kasar, tidak ber perasaan." Tapi hidup terus berlanjut. Segala yang semula kelihatan tidak masuk akal lama-lama menjadi rutin. Di satu wilayah Kristen, tjdak jauh dari Garis Hijau, berjagalah seorang komandan. Charles Jostine namanya, pengacara ramah berambut kelabu, yang meja kerjanya berhiaskan patung Perawan Maria berikut sebuah mancis berbentuk tangan yang menggenggam granat. Dia bertanggung-jawab akan keselamatan 5000 orang di wilayah itu. Dia yakin sedang berperang melawan "penjajahan Suriah." "Kami di sini hidup antara perang dan damai," tuturnya datar. "Sekarang tenang, tapi dalam lima menit mereka sudah mulai lagi." RATUSAN meter dari situ, di wilayah Muslim, sekelompok gedung berada di bawah pengawasan abdi Setempat, Abu Ali Kateb. Dia joga berambut kelabu, penampilannya anggun, raut mukanya keras tegas Dia memimpin 120 pejuang, kendati saat itu yang diperlukannya tidak lebih dari 20-50 orang. Anak-buahnya dibantu pasukan milisi yang menyebut dirinya 'Kawan-kawan Revolusi'. Mereka memakai seragam samaran warna hijau. Sebenarnya kawasan itu dikawal pasukan Suriah, atau Tentara Pembebasan Palestina yang dipimpin perwira Suriah--yang dalam batas-batas tertentu dipersatukan dalam pasukan Suriah . Genjatan senjata memang dinyatakan berlaku untuk 6 bulan. Tapi suara tembak-menembak tetap saja bersahut-sahutan dari segala penjuru, siang ataupun malam. Kepada setiap pengunjung, penduduk menunjukkan tembok rumah mereka yangpenuh lubang. Ketika Kateb ditanya kapan bencana terakhir menimpa anak-buahnya, ia menggeleng. "Bukan para pejuang yang ditembak. Mereka aman. Tapi penduduk yang lewat di jalan selalu jadi korban." Meski sasarannya penduduk, seperti yang dikatakan Kateb, tapi seorang komandan telah gugur di wilayah Kristen Januari berselang--tatkala pasukan Suriah menyerbu ke sana. Seorang komandan baru bertugas menggantikannya, Gilbert Ghostine. Masih sangat muda, 21 thaun. Namun ia sudah 7 tahun berjuang--kesibukan yang diselang-seling olehnya dengan masa belajar di Universitas Yesuit St. Joseph, tidak jauh dari situ. Kuliah yang dipll ihnya administrasi bisnis. Ghostine berharap dapat mnvelesaikan sarjana mudanya tahun ini, kemudian melanjutkan sampai lulus sarjana. Di pos komandonya, di antara segala tetek-bengek, terdapat pecahan granat dan pecahan bom. Di situ bertugas 92 orang pasukan milisi menjaga 3-4 blok rumah penduduk. Sebuah peta kota dengan banyak tanda tergantung di dinding. Di situ terlihat jelas 21 rumah yang menyembunyikan pasukan musuh, dan 9 rumah lain yang merupakan pos Kristen. Pos yang berfungsi sebagai benteng ini dipecah dalam apartemen. Sedang barang-barang milik keluarga disingkirkan ke pinggir atau ke belakang, terkunci di sana bertahun-tahun. Bagaimana rasanya keluarga hidup di tengah-tengah pergolakan? Ia angkat bahu. "Mereka sudah terbiasa," jawabnya tak acuh. Dr. Amal Shamma, yang dipersiapkan untuk menjadi dokter spesialis anak, ditugaskan merawat orang luka-luka di Pusat Kesehatan Berbir. Sesudah 7 tahun bekerja keras, belakangan ini kesibukannya malah berkurang. Bukan karena para penembak kurang giat. Tapi karena bidikan mereka semakin tepat. Akhir-akhir ini bahkan terbukti, mereka berhasil menembak korban tepat di kepala Menurut dr. Shamma, apalagi lalu yang jadi tugasnya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus