PELABUHAN Beirut, kini, bukan hanya tempat timbunan kapal. John
Kifner, dalam sebuah laporan panjang di New York Times Magazine
Desember lalu, menceritakan bagaimana pelabuhan itu menjadi
lintas penyeberangan terbaik dari wilayah barat yang dikuasai
Muslimin ke wilayah timur yang dikuasai Kristen. Di sini
kegiatan perdagangan yang pragmatis menang mutlak atas rasa
amarah dan benci. Di sini pula tembak-menembak jadi amat
berkurang pada siang hari.
Pelabuhan adalah satu dari lima tempat yang masih menyimpan
kemungkinan untuk melintasi apa yang mereka sebut Garis Hijau.
Garis ini merupakan daerah tak bertuan sepanjang 4 mil -daerah
puing reruntuhan, yang membagi kota yang dulunya kaya dan
mempesona itu menjadi dua kubu bermusuhan, dikuasai tentara,
milisi atau kelompok bersenjata.
Garis Hijau terbentuk sebagai hasil perang saudara muslimin dan
Kristen. Sedang perang itu sendiri, pecah tahun 1975,
memperkelahikan dua hal dasar: perseujuan jangka panjang yang
selama ini memberikan kekuasaan politik kepada golongan Kristen,
dan kegiatan gerilyawan Palestina. Memang, orang-orang Palestina
sendiri segera terlibat dalam kecamuk itu.
Lantas 1976 pasukan Suriah menyerbu Libanon dengan alasan
menciptakan perdamaian. Israel, Libya, Arab Saudi, Irak, Iran,
ikut berperan mempertajam konflik--dengan jalan membagi-bagikan
uang dan senjata kepada sekutu masing-masing. Perang pun
berhasil melembaga.
Untuk kebanyakan penduduk Beirut, pertempuran dari hari ke hari
sekarang ini bukan lagi untuk tujuan politik. Tapi sekedar
sarana untuk bertahan hidup. Beirut telah menyesuaikan diri
dengan pergolakan harian semacam itu--dengan kemudahan yang
mengejutkan.
Kadang-kadang sukar mengingat kembali bagaimana indahnya Beirut
beberapa tahun lalu. Sebuah Paris di Timur, ibukota negeri yang
disebut Permata Laut Tengah. Libanon dikaruniai pantai berpasir,
pelabuhan yang dalam, pegunungan, air melimpah, satu dari tanah
paling subur di Timur Tengah, dengan penduduk paling maju dalam
usaha di kawasan itu. Berski di waktu pagi, berjemur dan
berenang di petang hari, berlibur sampai larut malam.
Elite yang makmur memperagakan berlian gemerlapan, berpesta
gila-gilaan, melari kan Jaguar dan Ferrari dari klub yang satu
ke tempat dansa yang lain. Sementara rebana dan suling Arabia
bertarung dengan musik Eropa, mengiringi tarian perut dan derai
tawa gadis-gadis penuh aroma.
Kini semua padam. Azab Tuhan sudah dijatuhkan. Negeri itu masih
tetap indah. Tapi hotel-hotel bertembok kelabu di pegunungan,
tempat para pangeran Arab dulu melewatkan musim panas dalam
dunia khayali, hancur berlubang-lubang. Juga gedung-gedung
bergaya kolonial peninggalan Prancis.
TOH, di tengah kehancuran orang Libanon tampil sebagai makhluk
yang cerdik. Pemerintahnya bangkrut sudah. Tapi bagi mereka yang
sanggup bertahan di antara desing peluru, Beirut menjelma jadi
sebuah kawasan yang menawarkan sesuatu yang lain lagi.
Penyelundupan, narkotika, perdagangan ganja, serentak dengan
tumpahnya dollar berjuta-juta untuk membiayai pasukan dan
gerilya, telah menciptakan kesempatan bagi lahirnya sebuah elite
baru --yang tidak kurang makmur dari yang sebelum ini.
Pemilik sebuah butik yang menawan di dekat Jalan Hamra yang dulu
penuh pesona, terus terang berkata bahwa tiga tahun terakhir ini
merupakan tahun-tahun terbaik bagi bisnisnya. Seorang wanita
yang tidak pernah dilihatnya sebelumnya, tiba-tiba masuk -- dan
membeli setengah lusin gaun mahal sekaligus. Di pojok sebuah
toko bunga, seorang pria dengan sepucuk pistol otomatis terselip
di sabuknya, dengan sukacita menulis cek $700. Hanya untuk
karangan bunga. Katanya dia merayakan ulang tahun anaknya di
rumah.
Meski kekerasan mendorong penduduk kembali ke keluarga, dusun,
kelompok feodal dan golongan politik yang terpecah-pecah, arus
'uang gampang' mengalir deras. Ini bukan lagi ekonomi
laissez-faire. Ini keleluasaan. Beirut kini sebuah kota yang
menghidupkan dan memberi makan anarki.
Dalam banyak hal kedua bagian kota ini berkembang jadi dua dunia
yang berbeda. Beirut Barat, yang dikuasai golongan kiri,
bercirikan sampan dan senjata. Sampah terlihat di mana-mana:
tertimbun, tersebar, teronggok di kedua tepi jalan. Dan di salah
satu bagian kota yang lebih necis, sampah bertengger di pucuk
pepohonan ini karena penduduk melemparkannya lewat jendela di
tingkat atas.
Seperti pelbagai hal lain di Beirut, sampah itu politis
sifatnya. Sebuah mesin pemroses sampah terdapat di Beirut Timur
yang Kristen. Begitu juga truk-truk pengangkut. Tapi sampah dari
rumah penduduk beragama Islam jarang sekali diurus. Diceritakan
bagaimana beberapa insinyur muslim menemukan arus pasang air
laut yang menghempas sepan jang pantai hingga ke sektor Junieh,
bagian kota yang didiami orang Kristen. Oleh para insinyur yang
tidak kehabisan akal, sampah daerah muslim itu diceburkan ke
gelombang pasang--dan terbawa ke tempat pembakaran.
ADAPUN senjata di Beirut Barat bukan saja politis, tapi juga
ornamen. Kaum lelaki mengenakan senjata bagai wanita
memperagakan permata. Mereka sisipkan pistol otomatis ke balik
celana jin, dan sekedar pamer mereka biarkan gagangnya menonjol
di atas saku bclakang. Para penembak muda di Beirut Barat
bersantai dalam kursi lipat di depan tumpukan karung pasir, yang
dibangun untuk melindungi daerah perkantoran dengan senapan
AK-47 (Automatic Kalashnikov) atau peluncur granat di pangkuan
mereka. Penembak di Beirut Barat melenggang sepan jang jalan
sambil mengepit AK, tidak ubahnya orang Prancis membawa roti
panjang yang terkenal itu.
Di seberang Garis Hijau, di Beirut Timur yang Kristen, toko-toko
dan restoran juga dilindungi deretan karung pasir. Di sini
pertumpahan darah yang terjadi bertahun-tahun antara pelbagai
aliran dalam agama Kristen, justru memberi peluang bagi Partai
Phalangist. Partai ini pula menciptakan tatatertib di saat-saat
pemerintah yang resmi tidak berfungsi. Mereka melembagakan
ketentuan ketat dalam halkeamanan, termasuk latihan terhadap
setengah dosin anjing khusus untuk mengecek bom mobil yang
sewaktu-waktu bisa meledak di kawasan perumahan. "Tidak begitu
sukar, karena tidak ada orang asing di sini," seorang jurubicara
militer menjelaskan. Yang d imaksud orang asing itu Suriah dan
Palestina.
Orang Phalangist melarang orang lain yang tidak berhak
menggotonggotong senjata sepanjang jalan raya, kecuali yang
mendapat tugas tertentu. Meski begitu ada saja orang bersenjata
--berjalan ke sana ke mari. Pihak polisi sendiri memperhitungkan
tidak kurang dari 2/3 penduduk Beirut bersenjata.
Di Beirut Timur, polisi memang tidak takut muncul di tempat
umum. Mereka juga memasang papan penghalang di sebuah jalan
besar, khusus untuk memeriksa STNK, satu hal yang tidak mungkin
ditemukan di Beirut Barat. Meski begitu polisi nampak tidak
begitu bahagia dengan tugas mereka. Sebulan lalu, seorang
polantas dipermainkan oleh pengendara motor yang bersenjatakan
AK-47. Karena itu mereka cenderung puas bertugas hanya di
dekat-dekat karung pasir mereka sendiri Belum lama ini sampai
dua kali polisi menahan anggota kelompok bersenjata. Tapi
sebagai imbalan, markas mereka digeledah pasukan yang bersenjata
otomatis dan roket.
Orang-orang Phalangist juga mengoperasikan sebuah usaha
pelayanan umum. Mereka ini memeriksa tokotoko daging, roti,
pompa bensin, dan memaksa pegawai pemerintah melakukan tugas
yang sama. Mereka juga tak segan-segan memasang sendiri
ramburambu lalu-lintas, termasuk membelintangkan sebuah
kendaraan lapis baja bertuliskan: 'Tank Dilarang Masuk'.
Saraf penduduk tegang di mana-mana juga di Beiruit Timur.
Perselisihan bisa saja terjadi karena kecelakaan lalu-lintas,
soal parkir, bon restoran atau hal-hal kecil yang lain. Tapi
begitu malam turun, jalan-jalan serentak scpi. Orang-orang di
balik dinding rumah memasang telinga - untuk suara tembakan.
TIAP pagi suratkabar Beirut memberitakan deretan kejadian malam
sebelumnya. Nadanya rutin -- seperti laporan cuaca. Ketenangan
Semu di Beirut, judul kecil di sebuah koran berbahasa Prancis,
L'Orient le Jour. Ceritanya: tembak-menembak dan ledakan . . .
pukur 9.30 roket menghantam Rue Monet di kawasan Universitas St.
Joseph . . . Tembak-menembak lagi, diramaikan oleh granat . . .
di wilayah pinggiran selatan orang-orang bersenjata menculik 24
petugas, di pegunungan posisi tentara Libanon di Ouyoun El
Simane, Kanat Bakiche dan Mzar secara bergantian ditembaki
artileri Suriah."
Bahkan penduduk di bagian kota Beirut yang paling aman telah
belajar menerima kekerasan. Di sebuah gardu telepon, seorang
wanita muda berpakaian sangat gaya, acuh tak acuh memberitahu
ibunya bahwa dia agak terlambat sampai di rumah karena "artileri
mengamuk di tengah kota dan kami harus mencari jalan memutar."
Pada sebuah jamuan makan malam dua wanita memperbincangkan
apartemen mereka. Seorang berkata: "Beruntung banyak gedung
tinggi sekitar kami. Jadi kami tidak harus berlindung ke bawah
tangga kecuali kalau situasi amat buruk."
Nampaknya tidak satu segi pun luput dari sentuhan kekerasan di
Beirut. Baru-baru ini sejenis bangau yang jarang ditemukan,
berpindah sepanjang garis pantai. Para pecinta burung
terperanjat: burung-burung itu dihajar senapan dan senjata
antipesawat udara. Banyak surat bernada amarah ditujukan ke
alamat pemerintah. Dan dijawab begini: meski menembak burung
satu perbuatan terlarang, pemerintah hampir tidak dapat
melindungi manusia. Konon pula makhluk burung.
Menembak-nembakkan senjata ke udara juga merupakan acara paling
digemari dalam pesta. Biasanya pada hari Ahad, arak-arakan
perkawinan turun ke jalan, kendaraan penuh dengan pita dan
orang-orang menjulur kan badan ke luar jendela--sambil nenembak
tak henti-hentinya. Penduduk senang sekali menyaksikan para
pendatang yang terkejut-kejut.
Memang, peluru d.n serpihannya sering mengakibatkan ralapetaka
serius. Tiga hari sekali ratarata Rumahsakit Universitas
Amerika menampung korban. Selalu, peluru itu meluncur jauh dari
tempat asal mereka ditembakkan Tatkala penduduk Islam Beirut
merayakan pembunuhan Presiden Anwar Sadat, 13 orang terluka -
termasuk seorang mahasiswa Nigeria yang kebetulan sedang
jalan-jalan di tepi pantai. Ia lumpuh seumur hidup.
Pelayanan umum berantakan di saat kegiatan pribadi meningkat.
Barubaru ini beberapa bilangan kota, termasuk istana Presiden,
terisolasi garagara pencuri. Mereka ini menggali terowongan --
mencari kabel yang serat dan tembaganya dapat dimanfaatkan untuk
peluru. Juga aliran air bisa saja terhenti sewaktu-waktu: pipa
rusak akibat tembakan.
Tapi jika air kebetulan mengalir, listrik sebaliknya padam.
Misalnya karena bom meledak dekat gardu pembangkit .
Para pedagang menggelar barang-barangnya di tempat kosong mana
saja yang dapat direbut. Terkena pengeboman di bilangan Kota
Lama, para pengecer itu menggunakan bak-bak mobil yang diparkir
sepanjang Jalan Hamra. Atau begitu saja menumpuk barang di tepi
jalan. Tenda-tenda ber topang besi baja berdiri di sepanjang
jalan yang dulu amat resik dan molek Meja penjualan penuh kaset,
hiasan rumah dan jin Levi's.
Siapa saja yang berkendaraan di Beirut, menghadapi dua
kemungkinan: mobilnya dicuri atau ditembak. Sebuah keluarga kaya
kehilangan tiga mobil dalam setahun. Dalam peristiwa terakhir,
mereka kebetulan pergi membeli cokelat. Penembak yang mencuri
mobil mereka bahkan tidak lupa menyita cokelat-cokelat itu.
Angka terakhir menunjukkan 36.884 mobil bekas diimpor dalam satu
tahun. Jumlah ini bagai langit dan bumi jika dibandingkan dengan
impor mobil baru yang hanya 7743 buah. Buat apa pakai mobil baru
Libanon, bahkan pencuri mobil punya gaya tersendiri.
Diperkirakan tigaperempat mobil curian tersalur ke tangan
seorang penadah kenamaan, Abu Chawki namanya Kampungnya terletak
di Britel, di utara Lembah Bekaa. Di sini Abu punya lapangan
parkir yang luas bukan alang-kepalang.
Nah. Pemilik mobil yang kecurian di Beirut bisa mengecek di
sebuah daftar. Kemudian memeriksa langsung di lapangan Bila
dapat menandai mobil yang hilang, mereka dapat membelinya
kembali dengan harga lebih murah. Belum lama ini Abu Chawki
mengada kan konperensi pers. Dalam kesempatan itu ia bilang
telah menyatakan sumpah kepada Mufti dari Baalbek: ia akan lepas
dari dagang mobil. Tapi, katanya pula, ia hanya memberi
pelayanan umum--"membantu penduduk tak bersalah agar mendapat
miliknya kembali."
Konflik Libanon bertolak dari pertentangan kepentingan. Golongan
Kristen berusaha mempertahankan segala sesuatu sebagaimana
adanya, sambil mengharap bantuan negara-negara Barat. Golongan
Islam berusaha mengubah keadaan, dan untuk itu memperoleh
senjata dari Blok Soviet. Tapi dalam kenyataan, konflik ini jauh
lebih kompleks khususnya dalam dua tahun terakhir. Sekutu-sekutu
bebuyutan dari masing-masing pihak itu saling bermusuhan
sendiri. Dengan kata lain Muslim berkelahi sesama Muslim, dan
Kristen bertempur sengit melawan Kristen.
Seperti halnya bangsa-bangsa lain di Timur Tengah, peta Libanon
digariskan oleh para penjajah Eropa sebelum mereka angkat kaki
dari sana 30 tahun si lam. J antung daerah Kristen yang asli
adalah sebuah kawasan yang dikenal sekarang sebagai Gunung
Libanon. Dengan puncaknya sebagai pusat, daerah itu terbentang
sepan jang Pegunungan Utara . Kemudian, Kerajaan rurki Ottman
memperluas distrik administratif-ke pegunungan yang disebut
Chouf.
Di bawah 'sistem millet' dari Dinasti Ottoman, kenyataannya
minoritas bukan-Muslim mendapat otonomi politik yang lebih
besar--khususnya di kawasan agama mereka sendiri. Dan kombinasi
identitas agama dan politik inilah yang diperkuat kembali--untuk
kepentingan pihak Kristen - sesudah Prancis campur-tangan tahun
1880. Dengan runtuhnya Kemaharajaan Ottoman di penghujung Perang
Dunia ke-1, Prancis tampil sebagai pemegang mandat atas Libanon.
Dan tatkala angkat kaki dari sana, mereka bikin peta baru yang
disebut Libanon Raya.
Peta itu memberi kemungkinan hidup lebih besar bagi daerah
kekuasaan Kristen, dengan cara memasukkan kota-kota pantai
Muslim seperti Beirut, Sidon dan Tripoli ke dalamnya.
Bahkan juga kota kaum Syi'ah, Tyre, dan Lembah Bekaa yang subur.
Bersama dengan Pakta Nasional ini, Prancis juga mewariskan
persetujuan tak tertulis yang menetapkan: kekuatan politik
selalu disesuaikan dengan porsi agama. Golongan Kristen
merupakan pihak yang menentukan.
Politis, Kristen di Libanon berarti Katolik Maronit. Dan ini
sudah mencakup perbedaan yang tajam. Orang Maronit berasal dari
pendeta Suriah bermata satu, Maron namanya. Menurut sejarahnya
dia seorang pertapa yang meninggal dalam keterasingan di hutan,
awal abad ke-5. Kemudian terjadilah perbantahan dalam hal dogma
agama--berakhir dengan penghukuman Maronit oleh penganut Kristen
aliran lain.
Hal itu, ditambah lagi dengan penyebaran Islam awal abad ke-7,
memaksa orang Maronit hidup terpisah di dusun-dusun yang
dibentengi secara kuat di puncak Gunung Libanon. Mentalitas
orang yang terkepung masih tertanam dalam sampai sekarang:
Maronit cenderung mengidentikkan diri sebagai bukan orang Arab.
Mereka merasa sebagai pos terakhir peradaban Barat" di kancah
Islam yang amat bermusuhan Kebudayaan Prancis yang belakangan
mereka serap justru memperdalam jurang ini.
Di bawah persetujuan yang diwariskan penjajah itu, Maronit
mendapat jatah jabatan presiden, komandan angkatan bersenjata
dan komandan intelijen militer yang disebut Biro Kedua. Jabatan
perdana menteri dijatahkan untuk Islam-Sunni. Jurubicara
parlemen Islam Syi'ah. Sedang parlemen sendiri diharuskan
mewakili mayoritas Kristen dengan perimbangan suara 6 lawan 5.
Pencadangan semacam itu didasarkan pada sensus penduduk 1932.
Tapi sejak itu tidak lagi pernah ada sensus penduduk.
Sistem itu ternyata tidak cukup menciptakan perimbangan kekuatan
yang realistis. Pemerintah terbukti selalu korup, terkadang
secara sepihak ditangani oleh Biro Kedua, tapi tiap orang dengan
cara masing-masing memperoleh bagiannya. Dan dunia pun bicara
tentang "keajaiban mosaik Libanon" Mosaik itu adalah: 4% dari
keluarga tertentu memonopoli 32% pendapatan nasional, begitu
menurut penelitian yang dilakukan Prancis 1960. Kesimpulannya,
pemerintahan Libanon dikendalikan oleh oligarki, orangorang
kaya, baik Kristen maupun Muslim.
Tapi beberapa faktor telah mengacaukan persetujuan model Prancis
itu. Pertama, pertumbuhan masyarakat Muslim meningkat khususnya
di kalangan Syi'ah, yang justru paling miskin dan paling tidak
berciri Prancis. Kaum cendekiawan dan golongan kiri juga
berhasrat adanya sebuah sistem baru. Sementara itu kehadiran
gerilya Palestina yang bersenjata semakin terasa mengancam.
Kamp-kamp pengungsi yang dibangun tahun 1948, akibat pengusiran
oleh Israel terhadap penduduk Palestina, semakin bersifat
permanen. Penghuninya pun terus membengkak.
Ribuan gerilya Palestina juga menetap di Libanon--sesudah mereka
diusir Raja Husein dari Yordania karena berusaha menggulingkan
tahtanya. Pengusiran itu sendiri berbuntut panjang sampai pada
bentrokan September Hitam tahun 1970-an. Kristen Maronit marah
besar menyaksikan kehadiran gerilyawan Palestina. Yang terakhir
itu selalu menampilkan diri seakan negara dalam negara di
Libanon.
KETEGANGAN KristenMuslim pun meletus 1975. Perang saudara ini
berlansung amat liar: penyiksaan, mutilasi dan pembunuhan
besar-besaran di kedua pihak. Orang-orang diseret keluar dari
mobil, dibantai hanya karena ciri agama yang tertera dalam KTP.
Mulanya Palestina menempatkan diri di luar pertikaian itu. Tapi
lamakelamaan mereka terbawa-bawa, apalagi sejak perbenturan itu
menguntungkan pihak Kristen yang begitu membenci mereka Tetapi,
ketika orang Palestina mulai dapat menguasai orang Kristen,
Muslim dan golongan kiri Suriah justru melibatkan diri dan
memihak Kristen. Dan tahun 1978, Kristen dan Suriah yang
dilembagakan sebagai kekuatan pengawal perdamaian justru bentrok
satu sama lain. Suriah, sekali lagi, dinyatakan sebagai
pelindung dan terkadang penguasa--orang Palestina.
Pada tahap ini, baik Kristen maupun Muslim mndmpik kehadiran
Suriah. Banyak lelucon yang mengolok-olok tentara Suriah sebagai
pasukan paling bebal di muka bumi Allah.
Tapi nampaknya tentara Suriah akan berada di Libanon untuk waktu
panjang. Mereka cukup berpengaruh, baik terhadap golongan kiri
atau pemerintah. Keputusan penting untuk keduanya pun sekarang
ini langsung ditentukan dari Damaskus.
Partai Phalangist, yang terorganisasi dengan baik di bawah
pimpinan Pierre Gemayel, dan pasukan milisi yang dipimpin
anaknya sendiri, Bashir, kini muncul sebagai kekuatan paling
berkuasa di wilayah Kristen. Tapi Pak Tua Suleiman Franjieh yang
menjabat sebagai presiden Libanon selama masa perang saudara
itu, mendekam di Benteng Zghorta di utara--sambil merencanakan
balas dendamnya terhadap kaum Phalangist. Phalangist ini dulu
pernah menjadi sekutunya, tapi justru membunuh anaknya, Tony
Franjieh, serta menantu dan cucunya dalam satu serangan yang
dilancarkan ke rumah musim panas mereka tiga tahun silam.
Tony Franjieh semasa hidupnya memimpin sebuah pasukan milisi.
Dan sesudah serangkaian bentrokan terjadi. kaum Phalangist
berhasil menguasai pusat wilayah Maronit, daerah pegunungan dan
garis pantai utara Beirut. Ini berlangsung sejak Juli tahun
lalu--dengan cara membunuh 300 pengikut presiden terdahulu,
Chamile Chamoun, sekutu mereka sendiri. Satu pengkhianatan yang
benar-benar mengejutkan .
Pasukan milisi yang lebih kecil seperti Pengawal Cedar,
Organisasi, dan sisa-sisa Partai Liberal Nasional yang dulu
dipimpin Chamoun, telah dilebur dalam satu wadah yang sekarang
dinamakan Kekuatan Libanon--di bawah pimpinan Bashir Gemayel, 34
tahun, anak Pierre Gemayel. Foto-foto Bashir yang kejam dengan
lengan baju terlipat ke atas, menghias banyak gedung di Beirut.
Mereka sebenarnya berusaha mencopot nama Phalangist--yang dalam
bahasa Arab disebut Kataeb, berarti formasi militer--karena
tidak lagi populer. Kini mereka sebut perkumpulan mereka
'Perlawanan Libanon' dan wilayah kekuasaan mereka "daerah yang
telah dibebaskan". Pasukan mereka sepenuhnya diorganisasi
menurut ketentuan militer yang umum berlaku, dan secara rahasia
menerima bantuan dari Israel. Phalangist memiliki pasukan tempur
dengan seragam paling rapi di Libanon . Mereka bahkan punya
seragam penyamaran untuk unit komando.
Bahkan mereka punya pusat komputer bernilai US$ S juta, dan
beberapa bidang usaha termasuk servis pengawalan yang dikelola
oleh adik Gemayel, Amin.
Di Beirut Barat, keadaanttak kurang berantakan. Pimpinan koalisi
kiri Walid Jumblatt, anak kepala suku Druse, Kamal Jumblatt,
secara misterius terbunuh di sebuah jalan dalam wilayah
kekuasaan Suriah, tidak jauh dari kastilnya di Mukhtara.
Pengikut Partai Sosialis Progresif memanggilnya Walid Bey,
menggunakan gelar kehormatan warisan Ottoman.
Tapi, beda dengan masyarakat Kristen yang memiliki kekuatan
politik dan militer lewat jalinan keluarga, masyarakat Muslim
terpecah dalam kelas-kelas. Orang kayanya menegakkan kekuatan
politik atas tradisi tukang pukul atau yang disebut abdi. Mereka
ini bebas beroperasi di wilayah sendiri. Dalam masa perang,
banyak abdi diangkat sebagai komandan pasukan milisi di Beirut
Barat. Oligarki itu juga yang menjalankan roda pemerintahan
(sejak pecah perang tidak pernah ada pemilihan anggota parlemen)
tapi kekuasaan yang sebenarnya kini berada di tangan abdi yang
berkuasa dijalan raya.
Dengan Suriah, Iraq, Libya bahkan Iran berada di belakang
bermacam-macam pasukan milisi, tidak mengherankan jika bentrokan
sering terjadi antara mereka sendiri.
Awal November, di bawah satu perjanjian yang disetujui bersama
dengan kelompok kiri, serta dipaksakan oleh pasukan Suriah,
semua senata harus disingkirkan dan semua toko senjata milik
pasukan milisi harus dikosongkan Ini usaha perlucutan ketiga
dalam dua tahun terakhir--dan tidak seorang berani memastikan
berapa lama perjanjian itu dapat bertahan. Suatu hari pasukan
Suriah memasang hambatan jalan raya dengan kendaraan lapis baja,
truk dan tentara menentengnenteng granat, tapi justru hari itu
terjadi pencurian 11 mobil.
TAPI ketiadaan tertib hukum dan lenyapnya wibawa pemerintah,
justru lebih merangsang usaha swasta Libanon yang terkenal
sulit diatur. Negeri yang dilanda 7 tahun perang saudara itu
mustinya sudah binasa Tapi di Libanon lemari besi bank masih
padat dengan uang. Jumlah simpanan justru meningkat 3 kali lipat
bila dibanding simpanan 1974, tahun terakhir kedamaian.
Pusat Kota Tua mungkin tidak akan dibangun lagi. Tapi
pembangunan gedung bertingkat kini jalan terus-khususnya
sepanjang Garis Hijau, tempat para pekerja cukup berhenti
sejenak bila mereka mendengar hingar-bingar tembakan.
Pembangunan gedung baru lebih menonjol lagi di sepmjang pantai
sekitar Junieh. Di pelabuhan wilayah Kristen ini terletak
rumah-rumah mewah, juga tempat-tempat rekreasi serta barisan
toko-toko, butik dan restoran bernama mentereng Escpe 2001 yang
baru saja diresmikan.
Kemewahan memang jelas nampak. Tapl Justru karena kemewahan itu
kekayaan Negara Libanon cepat menipis. Neraca belanja tahun ini
mengalami defisit 33%. Sebab utamanya jelas: penduduk tidak
membayar pajak, dan pemerintah tidak punya sarana lagi untuk
menagih pajak.. Dalam sebuah sidang Kabinet bulan Oktober, dalam
suasana murung, diperoleh kesimpulan bahwa sudah tertutup
kemungkinan untuk menaikkan pendapatan dari sektor pajak. Karena
hampir tidak mungkin melakukan pungutan dalam kondisi rawan.
MUNGKIN keadaan akan sedikit tertolong bila rekening teleks,
telepon dan listrik yang dibiarkan bertumpuk itu dibayar lunas
oleh para pelanggan. Dalam kenyataannya, justru pasukan
milisi--dan bukan pemerintah - yang menagih pajak. Partai
Phalangist bahkan sudah mempraktekkan sistem pungutan yang
seksama dan rapi, termasuk pungutan 1 pon atas karcis bioskop,
2% pajak restoran dan pompa bensin, dan pajak tambahan lain yang
dikenakan pada tiap rumah tangga. Golongan kiri mengenal sistem
yang kurang formal dalam bidang mengorek uang seperti itu. Tapi
bank dan perusahaan besar acapkali terpaksa membayar kepada
kedua belah pihak.
Musti begitu, pertempuran sebenarnya menghasilkan dua keuntungan
besar di bidang ekonomi. Demikian menurut seorang pejabat di
Bank Sentral.
Pertama, merangsang orang Libanon berbondong-bondong meninggal
kan negeri. Diperkirakan kini 200.000 orang dari mereka bekerja
di Arab Saudi--dan tiap bulan kiriman uang mereka mencapai US$
150 juta. Lalu ada bantuan asing, berupa uang yang disumbangkan
negara-negara Timur Tengah, khusus untuk biaya pasukan milisi
sebanyak US$ 25 juta tiap bulan. Para bankir mengatakan, bila
kiriman uang tiba, maka nilai pon Libanon melonjak seketika
terhadap dollar.
Tidak kurang penting adalah kegiatan-kegiatan gelap yang sudah
melembaga. Sekarang ini paling sedikit ada 15 pelabuhan--yang
sebenarnya hanya dermaga batu menjorok ke laut, dengan
mesin-mesin derek--beroperasi sebagian besar di pantai utara
wilayah Kristen. Tapi pelabuhan juga bisa ditemukan di kota-kota
kekuasaan golongan kiri seperti Sidon dan Tyre. Sepanjang hari
kapal-kapal barang membongkar peti kemas yang penuh barang
selundupan.
Ganja merupakan komoditi ekspor paling utama di Libanon. Sebuah
laporan rahasia y'ang dikumpulkan sumber-sumber Barat
memperhitungkan, 30% uang yang mengalir ke Libanon berasal dari
perdagangan narkotik. Lumpuhnya wewenang pemerintah, membuka
peluang bagi penduduk Libanon untuk menanam ganja secara
leluasa. Hak menanam ganja kini tidak lagi terbatas pada anggota
parlemen seperti di masa lampau. Kini 0% tanah subur di Lembah
Bekaa, sekitar perbukitan Hermil, ditanami kanabis, sejenis
ganja yang mempeliharaannya murah tapi amat menguntungkan.
Petani dan pengecer sekitar Baalbek tidak menyembunyikan rasa
bangga mereka akan kemakmuran yang diperoleh dari ganja. "Tidak
ada pemerintah yang memperhatikan daerah ini. Tidak orang Turki,
Prancis atau pun pemerintah yang sekarang. Dulu tidak ada
sekolah, pabrik, tidak ada lapangan kerja. Tapi berkat ganja
kami bisa mendirikan rumah-sakit, rumah bagus dan jalan raya,"
kata seorang pak tua di sana.
Perdagangan ganja merupakan contoh yang tidak biasa dari satu
"kerjasama antar umat beragama" Di bawah pengawasan pasukan
Suriah, ganja itu ditanam oleh Muslim Syi'ah, kemudian
dikapalkan lewat pelabuhan gelap yang terletak di kawasan yang
dikontrol pasukan swasta Kristen. Tiap orang merasa bahagia akan
perjanjian dan kerjasama tidak tertulis seperti itu.
Perantara juga mengalami masa panen. Contoh usaha mereka yang
sederhana: mengangkut semen dari pabrik di kawasan keluarga
Franjieh di Chekaa, membawanya lewat wilayah Phaiangist ke
beberapa tempat lain di Libanoni Jasa seperti ini jelas membawa
laba besar. Bila orang-orang bersenjata mengambil-alih sebuah
apartemen, para calo segera datang: merundingkan harga yang
mesti dibayar agar orang-orang bersenjata itu pergi.
"Kecerdikan" orang Libanon memang hampir tidak mengenal batas.
Seorang operator telepon menawarkan tarif miring, kemudian ia
sendiri datang ke rumah pelanggan untuk menagih rekening.
Tersiar kabar, panen anggur merah produksi lokal benar-benar
hebat. Dan sekarang tiap botol Nikd, merk sejenis anggur,
diberi label cemerlang dengan angka 1963.
Lagi: pemerintah mengumumkan bahwa dengan dana yang dicediakan
Arab Saudi, mereka dapat memberi gantirugi ganda bagi tiap
kerusakan yang diakibatkan pengeboman Israel di kawasan Selatan.
Dan sesudah itu, petugas PBB di sana melihat bagaimana penduduk
mulai meledakkan sendiri rumah mereka untuk mendapat gantirugi
ganda tersebut. Ha-ha.
AGAKNYA tidak ada bangsa lain yang babak belur tapi sanggup
bertahan mengejar rezeki seperti Libanon--meski caranya demikian
ganjil. Ketahanan ini membuat mereha bangga. Dan sedih.
Nilai-nilai yang memungkinkan mereka tetap hidup, seperti ikatan
kekerabatan dan kemampuan menyunglap keberuntungan, justru di
segi lain memecahbelah mereka. Di negeri ini tidak ada kontrak
sosial seperti yang diteorikan John Locke. Tidak juga
persetujuan, bahwa sebaiknya ada sebuah pemerintahan yang
berwenang dan bertanggungjawab.
Sebaliknya yang terlihat adalah sebuah kondisi alamiah seperti
yang dikhayalkan Hobbes, kondisi kehidupan yang sedemikian
menjijikkan, kasar, dan singkat. Pertempuran kecil-kecilan dan
genjatan senjata terjadi silih-berganti, tapi kekerasan terus
berulang, malah laten. Bahkan terasa amat tipis kemungkinan
bahwa keadaan yang parah ini sekali waktu akan membaik. Kecuali
dengan kehendak Tuhan.
Orang-orang berusaha keras menekan kecemasan mereka. Berhasil
juga. Tapi seorang ahli mengatakan, "kegiatan membeli yang
semakin meluas sudah merupakan penyakit serius." Mereka
berbelanja menghabiskan uang seakan tidak ada hari esok. Dan
psikiater makin sering menerima pasien kaya yang takut
terperangkap dalam ledakan, takut diperiksa orang-orang
bersenjata, atau ngeri kalau-kalau terjebak dalam lift. Di
tempat lain ketakutan seperti itu sudah merupakan phobi. Di
Beirut, kemungkinan yang dicemaskan itu bisa saja benar-benar
terjadi. Di mana dan kapan saja.
Di Beirut Barat yang paling banyak terjual adalah video-tape.
Tidak heran bila usaha penyewaan movie tape cassette berkembang
pesat. Di wilayah Kristen kehidupan malam tetap berlangsung
semarak. Gedung bioskop penuh sesak. Toh ada ketakutan amat
sangat di kalangan penduduk bahwa sewaktu-waktu mereka bisa
terkurung--di kawasan yang tidak terlalu luas itu. Banyak juga
orang Kristen yang takut pergi ke lapangan udara Beirut, karena
untuk sampai ke sana harus lewat checkpoint Suriah.
Birokrasi dan kemalasan diatasi dengan uang. Paspor dan SIM
dibeli dengan mudah. Harga wiski jauh lebih murah di sini
daripada di toko mana pun di dunia. Obat-obatan bisa dibeli
tanpa resep dokter. Para pemain golf dengan santai pergi main ke
seblah klub yang terletak antara lapangan udara dan sebuah kamp
latihan gerilya. Sebuah roket pernah terjerumus dalam hole
ketiga, kemudian disemayamkan di atas bar. "Akan menyulitkan
bagi anda untuk putting," ujar Eddie Coates, peirwira keamanan
di Kedutaan Inggris, "tapi ini penting. Ini kan golf."
Salah satu malapetaka berat dalam konflik yang berkepanjangan
itu menimpa pers bebas, yang sekali waktu pernah menjadikan
Beirut kota intelektual di dunia Arab. Selama 18 bulan, sedosin
wartawan asing dan pribumi terbunuh, terluka atau tersingkir ke
luar kota. Satu di antaranya seorang penerbit Arab
terkemuka-yang tangannya lebih dulu disiram cuka sebelum
orangnya dibunuh. Belakangan ini gelombang pengeboman mobil di
sekitar daerah perkantoran Palestina mengakibatkan hampir 200
orang mati. Sudah merupakan hukum politik di sini: tidak seorang
pun pasti siapa yang melakukan satu kekejaman.
"Apa yang kami saksikan bukan lumpuhnya sistem politik. Tapi
hancurnya sebuah masyarakat," tutur Dr Shamir Khalaf, seorang
sosiolog pada Univeristas Amerika di Beirut. Ilmuwan ini sedang
mengadakan penelitian atas akibat-akibat perang, dan ia merasa
amat tertekan karena "kehidupan barbar yang semakin meningkat"
di sekitarnya. Khalaf khawatir, bahwa satu-satunya pilihan bagi
Libanon lalah "negara polisi". Di kantornya yang terletak di
sebuah oasis tiruan, dalam lingkungan kampus, sarjana yang
murung itu menambahkan: "Tugas saya bukanlah menentukan seberapa
banyak yang bisa saya garap. Tapi bagaimana agar saya tidak
ikutikutan menjadi brutal, kasar, tidak ber perasaan."
Tapi hidup terus berlanjut. Segala yang semula kelihatan tidak
masuk akal lama-lama menjadi rutin. Di satu wilayah Kristen,
tjdak jauh dari Garis Hijau, berjagalah seorang komandan.
Charles Jostine namanya, pengacara ramah berambut kelabu, yang
meja kerjanya berhiaskan patung Perawan Maria berikut sebuah
mancis berbentuk tangan yang menggenggam granat. Dia
bertanggung-jawab akan keselamatan 5000 orang di wilayah itu.
Dia yakin sedang berperang melawan "penjajahan Suriah." "Kami di
sini hidup antara perang dan damai," tuturnya datar. "Sekarang
tenang, tapi dalam lima menit mereka sudah mulai lagi."
RATUSAN meter dari situ, di wilayah Muslim, sekelompok gedung
berada di bawah pengawasan abdi Setempat, Abu Ali Kateb. Dia
joga berambut kelabu, penampilannya anggun, raut mukanya keras
tegas Dia memimpin 120 pejuang, kendati saat itu yang
diperlukannya tidak lebih dari 20-50 orang. Anak-buahnya dibantu
pasukan milisi yang menyebut dirinya 'Kawan-kawan Revolusi'.
Mereka memakai seragam samaran warna hijau. Sebenarnya kawasan
itu dikawal pasukan Suriah, atau Tentara Pembebasan Palestina
yang dipimpin perwira Suriah--yang dalam batas-batas tertentu
dipersatukan dalam pasukan Suriah .
Genjatan senjata memang dinyatakan berlaku untuk 6 bulan. Tapi
suara tembak-menembak tetap saja bersahut-sahutan dari segala
penjuru, siang ataupun malam. Kepada setiap pengunjung, penduduk
menunjukkan tembok rumah mereka yangpenuh lubang. Ketika Kateb
ditanya kapan bencana terakhir menimpa anak-buahnya, ia
menggeleng. "Bukan para pejuang yang ditembak. Mereka aman. Tapi
penduduk yang lewat di jalan selalu jadi korban."
Meski sasarannya penduduk, seperti yang dikatakan Kateb, tapi
seorang komandan telah gugur di wilayah Kristen Januari
berselang--tatkala pasukan Suriah menyerbu ke sana. Seorang
komandan baru bertugas menggantikannya, Gilbert Ghostine. Masih
sangat muda, 21 thaun. Namun ia sudah 7 tahun
berjuang--kesibukan yang diselang-seling olehnya dengan masa
belajar di Universitas Yesuit St. Joseph, tidak jauh dari situ.
Kuliah yang dipll ihnya administrasi bisnis. Ghostine berharap
dapat mnvelesaikan sarjana mudanya tahun ini, kemudian
melanjutkan sampai lulus sarjana.
Di pos komandonya, di antara segala tetek-bengek, terdapat
pecahan granat dan pecahan bom. Di situ bertugas 92 orang
pasukan milisi menjaga 3-4 blok rumah penduduk. Sebuah peta kota
dengan banyak tanda tergantung di dinding. Di situ terlihat
jelas 21 rumah yang menyembunyikan pasukan musuh, dan 9 rumah
lain yang merupakan pos Kristen. Pos yang berfungsi sebagai
benteng ini dipecah dalam apartemen. Sedang barang-barang milik
keluarga disingkirkan ke pinggir atau ke belakang, terkunci di
sana bertahun-tahun. Bagaimana rasanya keluarga hidup di
tengah-tengah pergolakan? Ia angkat bahu. "Mereka sudah
terbiasa," jawabnya tak acuh.
Dr. Amal Shamma, yang dipersiapkan untuk menjadi dokter
spesialis anak, ditugaskan merawat orang luka-luka di Pusat
Kesehatan Berbir. Sesudah 7 tahun bekerja keras, belakangan ini
kesibukannya malah berkurang. Bukan karena para penembak kurang
giat. Tapi karena bidikan mereka semakin tepat. Akhir-akhir ini
bahkan terbukti, mereka berhasil menembak korban tepat di kepala
Menurut dr. Shamma, apalagi lalu yang jadi tugasnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini