ADA banyak cara untuk mempertanyakan Jeanne d 'Arc. Adakah ia
Jeanne si petani, atau barangkali Putri Jeanne? Santa Jeanne?
Atau Jeanne si musyrik, gadis yang bertingkah laku seperti anak
lelaki?
Bahkan Shakespeare pernah tergetar memandang tokoh ini. "Joan
la Pucelle," tulis pujangga abadi itu, "akan menjadi orang kudus
Prancis."
Shakespeare tiga abad mendahului Gereja. Baru pada 1920. Paus
Benediktus XV memaklumkan "pengangkatan" Jeanne d'Arc sebagai
santa, orang kudus -- 489 tahun setelah Gereja membakar Jeanne
hidup-hidup dengan tuduhan musyrik.
Baru-baru ini, 550 tahun peristiwa pengutukan Jeanne oleh
lembaga Inkuisisi (pengadilan Gereja) itu diperingati di Prancis
dan Inggris. Caranya: menyunting kembali atau menulis buku baru
mengenai tokoh tersebut. Satu di antara yang paling menarik
adalah Jeanne d'Arc par elle-meme et ses temoins karya Regine
Pernoud (Edition Seuil, 27 rue Jacob, Paris 6e).
Buku ini mengungkapkan kembali bagian terpenting masa hidup
Jeanne dengan bahasa yang hidup, yang terkadang bagai kumandang
kata-kata Jeanne sendiri. Dilukiskan pula keterangan para saksi
di pengadilan rehabilitasi Jeanne, 25 tahun setelah ia dibakar
-- sekalipun tujuan pengadilan itu sebenarnya hanya untuk
membuktikan bahwa Raja Charles sebenarnya naik tahta bukan atas
dukungan seorang musyrik. Dalam bukunya terdahulu, Jeanne d'Arc
Pernoud telah menempatkan Jeanne di depan latar sejarah.
Melalui buku-buku itu kita berhadapan dengan Jeanne yang hidup,
gadis impulsif "yang menyihir para bangsawan dan bertengkar
dengan para pemimpin agama". Ia juga tokoh yang tak
terguncangkan dalam keputusannya mengepung Orleans dan
memahkotai Charles VII.
Dunia, kini, memang mengenal Jeanne d'Arc sebagai pahlawan
wanita terbesar dalam sejarah Prancis. Di bawah pimpinannya,
tentara Prancis yang patah semangat--pada periode kedua Perang
100 tahun itu --berhasil mengalahkan Inggris di Orleans, dan
kemenangan ini membuka jalan kearah penobatan Raja Charles VII
di Reims.
Gadis ini memang tokoh legendaris. Ia semula meninggalkan
kampung halamannya di Domremy, menuju Chinon. Di sini ia
menantang Charles untuk melaksanakan "wahyu" yang didapat
Jeanne. Suara-suara yang mengilhami Jeanne itu menganjurkan
pembentukan sebuah komisi untuk membantu Raja. Pada April 1429,
Jeanne memasuki Orleans, kota yang sejak lama dikepung,
mengerahkan seluruh bala tentara dan berhasil mengusir Inggris
dari sana. Kemenangan-kemenangan lain berturut menyusul.
Pengaruh Jeanne dalam segala tindak keberanian itu terbukti
nyata, walaupun mungkin pelbagai cerita terlalu
membesar-besarkan dia. Atas desakannya, yang meramalkan bahwa
hanya penobatan di Reims dapat mengesahkan seorang raja sejati
dan terpilih oleh Tuhan, maka prajurit Prancis memutuskan untuk
menyeberangi LLe-deFrance menuju Reims. Di sinilah Charles
dinobatkan--17 Juli 1429. Dan dari Reims tentara Prancis
meneruskan perjuangan merebut Laon, Soissons dan banyak kota
kecil lain.
Pemujaan pada monarki Prancis yang dihidupkan kembali oleh
Jeanne Itu melemahkan posisi Inggris di mana pun di Prancis.
Inilah mungkin merupakan sebab terselubung, mengapa Jeanne yang
tertangkap oleh tentara Burgundi dan kemudian diserahkan kepada
tentara Inggris, dituduh berbuat Sihir dan dibakar di Rouen pada
30 Mei 1431. Sedang Raja Charles VII, yang didukungnya, tidak
berusaha menyelamatkan Jeanne. Bahkan tidak lewat saluran
Gereja.
Menurut majalah The Economlst, 13 Februari lalu, kalangan
rasionalis Prancis sebenarnya sudah lama enggan membicarakan
kekuatan adikodrati alias keajaiban, yang selalu dihubungkan
dengan Jeanne d'Arc. Mereka lebih tertarik pada teori (antara
lain dikemukakan Gerard Pesme dan Pierre de Sermoise) yang
menyebutkan, kemasyhuran Jeanne sebetulnya ditopang oleh
asal-usulnya yang feodal.
Teori ini secara jelas terungkap dalam edisi baru huku Gerard
Pesme, Jehanne d'Arc n'a pas ete brulee (Edition Balzac, 7 rue
des Trois Fours, 16. 000 Angouleme). Melalui risetnya, Pesme
yang baron itu sampai pada kesimpulan: Jeanne d'Arc adalah anak
tidak sah Ratu Isabeau dari Prancis dengan Louis d'Orleans,
saudara Raja Prancis Charles VI.
Louis d'Orleans, ayah Jeanne itu, kemudian terbunuh. Sedang
Isabeau, kekasihnya,dimusuhi oleh Dewan Kerajaan dan oleh
suaminya yang sinting, Charles VI. Ketika itulah Jeanne dikirim
ke Domremy, Lorraine, dan diangkat anak oleh keluarga d'Arc.
BILA teori ini diterima, ada hal menarik yang bisa dipelajari
dengan gampang. Jacques d'Arc, ayah (angkat?) Jeanne, dengan
demikian bukanlah petani goblok, seperti dalam drama Anouilh
L'Alouette, petikan yang tidak begitu bagus dari karya Bernard
Shaw, Solnt Joon. Memang lebih layak ia seorang tuan tanah kecil
yang dihargai di antara kaumnya.
Dalam kerangka asal-usul ini pula Pesme mencoba menjelaskan
'penampakan' (visioen, kasyaf ) yang sering menggoda leanne
sebagai arwah ibundanya yang menjaga dan mengawasi sang anak.
Roh itu pula yang membisikkan pada Jeanne akan hubungan darahnya
dengan Putra Mahkota, yang kelak menjadi Charles VII.
Tanda-tanda misterius yang diperlihatkan Jeanne kepada calon
raja murung itu boleh jadi merupakan bagian identitasnya. Teori
Pesme ini juga yang dapat menerangkan kefasihan Jeanne berbahasa
Prancis, hal yang jarang terdapat pada warga pedusunan negeri
itu sekitar abad XV.
Pengadilan atas diri Jeanne sendiri didalangi Uskup Cauchon dan
Duke dari Bedford, tokoh 'iblis' dalam pandangan Pernoud. Tapi
di mata Gerard Pesme, kedua orang itu tampil lebih cerah.
Bahkan mengikuti teori Pcsme tersebut Jeanne tak boleh jadi
dibakar Gereja. Karena ia masih seorang putri kraton. Orang
lainlah yang diarak, kemudian dipanggang di tiang pembakaran
itu, 30 Mei 1431--seorang yang secara kebetulan dijatuhi hukuman
yang sama oleh Inkuisisi.
Jeanne sendiri, dengan pertolongan para aristokrat Inggris dan
Burgundi, diselundupkan ke luar istana Rouen. Ia kemudian muncul
di Orleans sebagai Claude des Armoises yang misterius, yang
berusaha meyakinkan kakak Jeanne dan penduduk setempat bahwa
dialah Jeanne d'Arc yang sejati.
Dari pelbagai isyarat, Baron Pesme menarik sejumlah kesimpulan.
Tapi, harus diakui, ia berhasil menjejerkan fakta dan gagasan
yang menarik. Kecintaan dan kekagumannya terhadap Jeanne d'Arc
sedikit pun tak perlu diragukan.
Sebuah buku lain, dari pekan peringatan 550 tahun ini, adalah
Joan of Arc karya Marina Warner Weidenfeld and Nicolson). Buku
ini lebih bersifat kultural ketimbang sejarah.
Warner mengingatkan pembacanya bahwa Perang 100 tahun itu
sebetulnya berlangsung di antara rakyat dengan kebudayaan yang
sama. Dipecahbelahkan oleh sengketa keluarga di sekitar tahta
Prancis, kedua pihak yang berperang bukan tak sering bingung
sendiri. Dalam buku ini Jeanne d'Arc tampil sebagai penyelamat
pihak Anglo-Burgundi, tapi "iblis" bagi kaum Valois-Orleans.
Menyingkirkan teori biologis dan psikologis di sekitar kegemaran
Jeanne bergaya dan berbusana lelaki, Warner lebih senang
membicarakan dampak inspirasi dan penampilan tokoh tersebut.
Bagi sebagian "pendukung" Jeanne, yang menyebutnya Jehanne la
Pucelle (sang Perawan), ia dipandang sebagai 'utusan Ilahi'.
Dalam imajinasi mereka, dengan potongan rambutnya yang
kelaki-lakian dan baju zirahnya yang gemerlapan, Jeanne bagaikan
penjelmaan Santa (malaikat) Mikail.
Warner memang lebih banyak membicarakan Jeanne dari sudut
kebudayaan. Mengungkapkan "transformasi" yang dialami Jeanne
setelah kematiannya, Warner mengungkit kegemaran masyarakat
renesans akan mitos. Dalam hubungan ini Jeanne dianggap saudara
Dewi Diana dan para Amazon.
Pada abad XVIII pujangga filsuf Voltaire pernah membangkitkan
kemarahan kaum romantik dengan sebuah epik bohong-bohongan. Ia
bercerita tentang Jeanne si Gembala, putri Sang Alam, yang
mendengar suara-suara sementara merumputkan domba-dombanya.
Pemujaan terhadap Jeanne dari semangat nasionalis berkembang
setelah kekalahan Napoleon. Puncaknya terjadi sesudah Alsace dan
Lorraine jatuh ke tangan orang-orang Prusia, 1870.
Pada 1894, kaum katolik konservatif mulai membujuk Vatikan untuk
"menjernihkan" persoalan Jeanne. Suasana bertambah cerah
setelah kaum sosialis mencapai kemajuan, sedang lembaga
pendidikan disekularkan. Dan pada 1920 Paus Benediktus XV
mempermaklumkan Jeanne d'Arc sebagai santa. Dalam kegiatan ini
patut dicatat peranan kaum "integris" katolik yang berpengaruh,
dan kelompok-kelompok nasionalis fanatik seperti Action
Francaise.
Usaha Marina Warner, si pengarang buku, diarahkan pada kehendak
menempatkan Jeanne d'Arc dalam arus besar kebudayaan Barat.
Kelemahannya terletak pada kenyataan, esensi buku tersebut
kadang-kadang hanyut dalam pusaran lambang-lambang.
Di beberapa bagian Warner ternyata bingung menghadapi
peristilahan Prancis. Ia, umpamanya, menerjemahkan bete menjadi
'serangga'. Padahal kata tersebut bisa juga berarti "binatang",
seperti misalnya dalam 'la Belle et la Bete.
Juga dalam memilih acuan Warner rupanya lebih banyak mengambil
literatur konvensional. Ia tak mempelajari teori-teori dan
anggapan baru di sekitar Jeanne. Untuk mendapatgambaran akan
Jeanne "yang hidup", pembaca tetap membutuhkan karya Regine
Pernoud dan Baron Gerard Pesme dan tentu saja, pelbagai
transkripsi pengadilan Jeanne yang sudah diterjemahkan ke dalam
bahasa Prancis modern dan mendapat anotasi yang bagus dari
Pierre Tisset dalam Proces de condamnatlon de Jeanne d'Arc (3
volume, Edition Klincksieck, 11 rue de Lillc, Paris 7e).
Catatan pengadilan ini tidak membenarkan atau membantah teori
Baron Pesme. Yang jelas, Jeanne memang tidak "mati"
(selama-lamanya) di tiang pembakaran. Lima abad kemudian ia
"bangkit" kembali, gaib dan penuh teka-teki, tapi senantiasa
"hidup"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini