Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Belahan Jiwa Pejuang Asmara

Kisah cinta Bung Tomo-Sulistina seperti cerita film laga Amerika. Menegangkan, diselingi romantisisme ala Korea.

9 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI balik bingkai kaca dan di antara kepungan keriput, bola mata Sulistina masih berbinar mengisahkan suaminya: Sutomo alias Bung Tomo. Usia 90 tahun tak menghalangi ingatan atas drama, komedi, dan tragedi yang mewarnai kisah kasih mereka sejak awal bertemu hingga akhir. "Dulu saya suka menangis kalau bercerita tentang Bapak. Tapi sekarang enggak," ujar Tien—panggilan akrab Sulistina—yang ditemui Tempo di kediamannya di Kota Wisata Cibubur, Kabupaten Bogor, Jumat tiga pekan lalu.

Cerita bermula pada November 1945. Pidato berapi-api Bung Tomo yang disiarkan di radio menggerakkan hati Sulistina untuk ikut terjun ke medan laga. Ia menjadi satu dari tiga gadis Palang Merah yang berangkat dari Malang menuju Surabaya.

Saat itu Sulistina masih belia, baru 20-an tahun. Namun bekalnya untuk berperang sudah matang. Ia berlatih angkat senjata dan silat serta ikut kursus polisi wanita. Banyak hal dipelajari: dari menghafal nomor pelat mobil hingga membuntuti orang dengan berpura-pura sedang dandan. Sayang, tubuh ramping, kulit putih, dan kemampuan berbicara dalam berbagai bahasa membuat Tien sempat difitnah sebagai mata-mata Belanda. Ia memang mirip tokoh mata-mata wanita ala film Hollywood.

Dalam buku Bung Tomo Suamiku terbitan 1995, di pertempuran Surabaya inilah Bung Tomo berjumpa dengan Sulistina. Sutomo merasa seperti tersihir saat melihat Sulistina—yang berkacamata hitam dan bercelana panjang biru—di depan markas Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia di Tembok Dukuh, Surabaya. "Jeng berdiri acuh tidak acuh, seolah-olah tidak melihatku. Gadis lain memperhatikanku, tetapi Jeng tidak," kata Bung Tomo ketika melamar Sulistina, seperti dikutip dari buku itu. Tien sebenarnya tahu sepasang mata menatapnya.

Esok paginya, pemilik mata itu menghampiri dan memintanya mundur dari markas dengan alasan keamanan. Menatap langsung mata bulat si pemuda, tubuh dan hati Tien bergetar. Seperti tak bisa berkata-kata, ia hanya menjawab dengan anggukan. Begitu si pemuda berlalu, ia sibuk bertanya ke sana-kemari tentang identitas pemuda itu. "Saya baru tahu ia adalah Bung Tomo," ujarnya berusaha mengingat.

Terpesona pada pandangan pertama, Bung Tomo pun melancarkan berbagai aksi untuk mendekati arek Malang itu. Ia bolak-balik mengirim salam melalui teman, bahkan merekayasa sejumlah pertemuan agar bisa berduaan dengan Tien.

Aksi paling dahsyat terjadi saat ia mengajak Sulistina menghadiri pertemuan di gedung Komite Nasional Indonesia Pusat di Malang. Seusai pidato, Bung Tomo didaulat menyanyi di panggung. Ia memilih lagu romantis: Rindu Lukisan. Selama Sutomo berdendang, tatapan matanya tertuju pada Tien. "Saya sampai malu karena teman-teman menggoda. Mereka bilang Bung Tomo naksir saya," kata Sulistina, yang tampak tersipu ketika bercerita kepada Tempo.

Mereka makin sering berjumpa setelah orang tua Bung Tomo pindah ke Jalan Ijen 71, Malang. Hingga akhirnya, 1 Januari 1946, di rumah yang juga menjadi markas Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia itu, Bung Tomo "menembak" gadis pujaannya. Ia menyuruh keluar dua perempuan yang semula menemani Tien membaca majalah di ruang tamu. Diam-diam ia mendekat, lalu meluncurlah kata-kata itu: "Aku ingin mencintaimu sepenuh hatiku dan menikahimu kalau Indonesia sudah merdeka." Tien terdiam. Jantungnya berdegup kian cepat saat Bung Tomo menggenggam tangannya erat.

Perang mengusir penjajah terus berkobar. Situasi negara yang makin genting dan isu penangkapan para pejuang oleh Belanda membuat kawan-kawan pejuang berencana melarikan Sutomo ke Australia. Sutomo dipaksa kawan dan kerabat segera menikahi Sulistina. Alasannya, keberadaan Tien diyakini akan memompa semangat perjuangan Bung Tomo di negeri tetangga. Padahal ia sudah berikrar: akan menikah bila Indonesia telah merdeka.

Penangkapan oleh penjajah tidak terjadi, tapi ikrar kadung dilanggar. Mereka menikah pada 19 Juni 1947. Pengantin baru ini kena pantangan berhubungan badan selama 40 hari. Menurut kepercayaan orang tua zaman dulu, jika pantangan itu dilanggar, bisa fatal akibatnya bagi keselamatan negara.

Akhirnya, pantangan berlalu. Tapi Bung Tomo sibuk menggerakkan massa di berbagai daerah. Sedangkan Tien hidup sembunyi-sembunyi dan berpindah-pindah untuk menghindari penjajah. Maka rindu dan hasrat pun tersalurkan dalam mimpi. Salah satunya dituangkan dalam puisi. Ditulis malam hari, 5 Mei 1949, di Desa Pudak, Jawa Timur: Bersih, kasih, murni/ Kau datang/ Sedang aku seorang/ Mengenang diri/ Kau ajak/ Aku berhak/ Melepas tirta suci!/ Pelukmu/ Ciummu/ Membakar/ Berkobar/ Tubuhku/ Tergetar/ Istriku, aku puas/ Meskipun/ Hiburanmu…/ Terbatas!

Perjuangan mengusir penjajah selesai pada 1950-an. Pasangan ini telah dikaruniai dua anak. Tapi masa sulit masih berlanjut. Bung Tomo menganggur, tak mendapat pekerjaan. Biasanya berpakaian perlente, ia terpaksa menggunakan satu celana berhari-hari tanpa dicuci. Bahkan beberapa bagian dijahit karena sobek. "Saking tidak punya apa-apa, pernah sehari kami hanya makan bubur sumsum sebungkus," Sulistina mengenang.

Bung Tomo kembali sibuk ketika Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia, yang didirikannya, berubah menjadi Partai Rakyat Indonesia. Ia harus bolak-balik Malang-Jakarta. Saat itulah "kehangatan" dengan Tien dirasakan dalam surat. Bung Tomo menyapa istrinya "Zus", yang berarti "Dinda", atau "Schat": "cintaku". Sedangkan Tien menyebutnya "Mas Tom". Tiga bahasa—Belanda, Inggris, dan Jawa—bertebaran dalam kalimat-kalimat penuh rindu. Beberapa keperluan rumah tangga juga diomongkan di sini. Di bagian akhir, Bung Tomo biasa menulis salam romantis, seperti "peluk ciumku", "Masmu yang kangen", dan veel liefs van je mas ("banyak kasih dari Mas").

Presiden Sukarno mengangkat Bung Tomo sebagai Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang pada 1955. Ia kemudian menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat pada 1956. Sulistina dan empat anaknya hijrah ke Jakarta. Ratna Sulistami, anak bungsu, yang saat itu berumur 6 tahun, mengingat ayah-ibunya kerap beraksi layaknya muda-mudi dimabuk cinta. "Papi suka cium Mami sembunyi-sembunyi, tapi tetap ketahuan juga," katanya kepada Tempo.

Sulistina ingat keisengan yang dibikin suaminya. Misalnya, Sutomo tiba-tiba menyetel lagu dan menariknya berdansa. "Pokoknya main tarik dan peluk saja untuk dansa," ujarnya.

Prahara kembali menimpa keluarga Tien. Bung Tomo ditahan di Nirbaya, Kramat Jati, Jakarta, pada 1978. Kritiknya kepada pemerintahan Soeharto dinilai terlalu pedas. Selama setahun dia di Nirbaya, tak sehari pun Tien absen berkunjung. Tien pula yang sibuk mengurus bisnis perusahaan mereka yang sempat berantakan. Bung Tomo terharu. Ia mencium dan berbisik, "You are the only friend that I ever have."

Setelah Bung Tomo bebas dari Nirbaya, mereka berhaji bersama pada 1981. Dan Tien tak menyangka, Padang Arafah menjadi tempat perpisahan selamanya. Tapi lembar demi lembar surat tetap ditulisnya untuk suami terkasih: Aku tahu Mas Tom tidak dapat membacanya, menulis surat untukmu mengurangi rasa rinduku—Sulistina, 1995.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus