Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penerima Ijazah Sang Kiai

Dekat dengan pendiri Nahdlatul Ulama. Teriakan takbir dalam setiap pidatonya membakar semangat jihad arek Surabaya.

9 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUMAH tua bercat dominan hijau itu terawat apik. Pintu dan jendela besar berpadu serasi dengan ukiran kayu. Susunan rapi batu tua menjadi alas rumah di Jalan Bubutan VI Nomor 2, Surabaya, itu. Bangunan berarsitektur campuran Belanda, Cina, dan Jawa ini adalah bekas Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama atau Kantor Pusat Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Di sinilah organisasi itu berdiri pada 1926.

Gedung ini juga menjadi saksi sejarah lahirnya Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945. Setelah masuk ruang tamu pada bangunan ini, ada aula berukuran sekitar 10 x 6 meter. Bendera Merah Putih menancap pada dudukan kayu. Ada juga bingkai ukuran besar yang memuat foto Kiai Haji Hasyim Asy'ari, pendiri NU. "Di ruangan ini para kiai mengeluarkan Resolusi Jihad," kata Slamet, pengelola gedung itu, pada Jumat pekan kedua Oktober lalu.

Kini gedung itu berfungsi sebagai Kantor Pengurus Cabang NU Kota Surabaya. Sejak 1950-an, Kantor PB NU berpindah dari Surabaya ke Jakarta. Resolusi Jihad merupakan bagian penting dari Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Choirul Anam, penulis buku Pertumbuhan dan Perkembangan NU, mengatakan Resolusi Jihad menambah semangat arek Surabaya. Sebab, melawan penjajah Belanda adalah jihad. Bung Tomo ikut menggelorakan semangat jihad itu dengan cara meneriakkan "Allahu Akbar" setiap membuka dan menutup pidatonya.

Resolusi ini lahir ketika Rais Akbar NU Hasyim Asy'ari memanggil konsul NU se-Jawa dan Madura untuk rapat besar di gedung itu pada 21 dan 22 Oktober 1945. Sebelumnya, pada 17 September 1945, Hasyim Asy'ari secara pribadi telah mengeluarkan fatwa jihad yang intinya sama dengan Resolusi Jihad. Isinya adalah mempertahankan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, pemerintah Republik Indonesia sebagai pemerintah yang sah wajib dibela, dan jihad melawan Belanda merupakan kewajiban bagi setiap orang Islam.

Choirul Anam mengatakan teks Resolusi Jihad dikirimkan kepada Presiden Sukarno dan Panglima Tentara Keamanan Rakyat Jenderal Soedirman. Teks Resolusi Jihad juga dimuat di koran berpengaruh saat itu, di antaranya Kedaulatan Rakyat Yogyakarta. Kelahiran Resolusi Jihad inilah yang oleh kalangan NU dijadikan dasar sebagai Hari Santri Nasional.

William H. Frederick dalam buku Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia (Surabaya 1926-1946) menyebutkan teriakan Allahu Akbar oleh Bung Tomo dalam memulai dan mengakhiri pidato merupakan hal yang diperhitungkan. Teriakan itu berguna untuk menarik perhatian orang Islam Surabaya, yang oleh Bung Tomo dianggap sangat kuat tapi belum terjaring dalam gerakan melawan penjajah.

Menurut Frederick, Bung Tomo memiliki hubungan khusus dengan kelompok Islam. Di Surabaya, ia memperoleh kepercayaan dan dukungan dari KH Wahid Hasyim, anak Hasyim Asy'ari. Posisi Hasyim Asy'ari ketika itu adalah tokoh NU yang masuk Partai Masyumi sebagai salah satu ketua. Ketika itu NU belum memisahkan diri dari Masyumi. Bung Tomo mengatakan telah mengenal Wahid Hasyim pada 1944 dalam sebuah wawancara. Menurut Frederick, Bung Tomo penganut Islam yang taat, tapi tidak fanatik. "Bung Tomo tak menganggap diri sebagai agamawan," ujarnya.

Ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia Pengurus Cabang NU Kota Surabaya Riadi Ngasiran mengatakan Bung Tomo memobilisasi kekuatan rakyat dengan meminta dukungan Hasyim Asy'ari. Riadi adalah penulis data dan dokumentasi Sejarah Kaum Santri dalam Revolusi Indonesia untuk peresmian Monumen Resolusi Jihad, yang berlokasi di bekas Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama di Bubutan, Surabaya. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siroj meresmikan monumen itu lima tahun lalu.

Riadi menyatakan, dua hari sebelum terjadi insiden penyobekan bendera Belanda oleh arek Surabaya di Hotel Yamato pada 19 September 1945, Bung Tomo pergi ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, untuk memohon doa. Hasyim Asy'ari memberi bekal secarik kertas berisi fatwa jihad melawan Belanda dalam huruf Arab Pegon kepada Bung Tomo untuk disebarkan kepada seluruh umat Islam. "Sayang, sudah saya cari, tapi saya belum menemukan dokumen asli fatwa itu," kata Riadi.

Menurut dia, Bung Tomo biasa sowan ke Hasyim Asy'ari sejak Jepang masih menduduki Indonesia. Buat sebagian besar orang Islam di Jawa dan Madura, menurut Riadi, kiai kerap dikunjungi sebagai sumber kekuatan spiritual. Apalagi ketika itu perang sedang berkecamuk. Bung Tomo kerap bertandang ke pondok milik Hasyim Asy'ari untuk meminta doa agar bangsa Indonesia diberi kekuatan.

Riadi mengatakan Bung Tomo mendapat semacam wirid atau mantra agar meneriakkan Allahu Akbar ketika memulai dan mengakhiri pidato. Dalam tradisi NU, wirid ini sering pula disebut dengan istilah ijazah—semacam bekal doa. "Saya anggap ini ijazah dari kiai untuk santrinya," ujar Riadi. Sebagai penganut Islam yang berusaha taat, Bung Tomo tidak perlu mendapat latihan khusus untuk mengucapkan Allahu Akbar.

Ihwal kuatnya interaksi antara Bung Tomo dan Hasyim Asy'ari juga diungkap oleh Alkarhanaf dalam buku Kiai Hasjim Asj'ari Bapak Umat Islam Indonesia terbitan 1950. Ia mengatakan Bung Tomo dan Jenderal Soedirman sering bertandang ke Pondok Pesantren Tebuireng. Kedekatan Bung Tomo dan Jenderal Soedirman dengan Hasyim Asy'ari berlangsung hingga menjelang akhir hayat sang kiai. Hasyim Asy'ari wafat pada 25 Juli 1947. Sebelum Hasyim Asy'ari wafat, Bung Tomo dan Jenderal Soedirman mengirim utusan ke Tebuireng. Utusan itu melaporkan perkembangan Agresi Militer Belanda I, yang dipimpin oleh Jenderal S.H. Spoor, telah memasuki Singosari, Malang.

Utusan Bung Tomo dan Jenderal Soedirman memberi laporan ini bertepatan dengan hari ketujuh Ramadan, seusai salat tarawih. Biasanya, seusai salat tarawih, Hasyim Asy'ari memberikan pengajian di Pondok Pesantren Tebuireng. Ketika ia sedang mengisi pengajian itulah utusan Bung Tomo dan Jenderal Soedirman datang. Hasyim Asy'ari seketika menghentikan pengajiannya dan meninggalkan masjid. Ia masuk ke rumahnya yang bersebelahan dengan masjid.

Sesampai di rumah, Hasyim Asy'ari ambruk. Dalam kondisi lunglai, ia tak henti-hentinya berseru, "Masya Allah...." Tak lama setelah itu, dia mengembuskan napas terakhir. Karena dalam suasana perang akibat agresi militer Belanda, Bung Tomo dan Jenderal Soedirman tak bisa hadir pada permakaman Hasyim Asy'ari, yang dikuburkan di kompleks Pondok Pesantren Tebuireng. Bung Tomo, seperti Jenderal Soedirman, mengirimkan telegram yang isinya menyatakan berduka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus