Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Belajar dari Liem, Baswedan, dan Sin Tit Po

SEKITAR tujuh tahun terakhir ini, Tiong-hoa, Tiongkok, dan ketionghoaan mendapat perhatian yang besar. Masuknya

14 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Didi Kwartanada: Sejarawan, editor pelaksana Tionghoa dalam Keindonesiaan (3 jilid, 2016)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOSOK etnis Tionghoa—seperti Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)—ke jajaran kepala daerah, yang di masa sebelumnya tidak pernah terjadi, dan, di pihak lain, menguatnya pengaruh Republik Rakyat Cina dalam hal investasi asing telah memicu banjirnya hoaks. Dari penguasaan ekonomi oleh asing dan “aseng”, membanjirnya tenaga kerja Cina, hingga tuduhan bahwa Presiden Joko Widodo adalah keturunan Cina.

Mengutip satu studi baru tentang minoritas di Tanah Air, fenomena ini menunjukkan bahwa walaupun reformasi telah memperbaiki banyak hal terkait dengan posisi Tionghoa selama dua dekade, kenyataannya isu anti-Cina tidaklah benar-benar padam (Setijadi, 2019). Bahkan isu ini semakin diperumit oleh berkelindannya isu kelas, agama, dan etnonasionalisme (Mietzner dan Muhtadi, 2019). Pemilihan kepala daerah DKI Jakarta 2017 merupakan contoh yang jelas, sehingga beberapa waktu silam sekelompok akademikus memproklamasikan adanya “darurat kebinekaan”.

Penolakan dan Faktor Historis

Berangkat dari latar belakang tersebut, Tempo memilih topik etnis Tionghoa dan defining moment Proklamasi 1945. Tiga sosok yang dipilih adalah Liem Koen Hian, satu dari empat tokoh Tiong-hoa di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI); Yap Tjwan Bing, satu-satunya wakil minoritas di Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), dan -Djiauw Kie Siong, petani dari Rengasdengklok yang rumahnya digunakan para pemuda untuk menyembunyikan Sukarno-Mohammad Hatta menjelang Proklamasi. Pilihan ini menunjukkan bukan elite saja yang berjasa memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, tapi juga “wong cilik” seperti Djiauw.

Ironisnya, Liem dan Yap memiliki titik persamaan. Akhirnya mereka “keluar” dari “nasion Indonesia”, sesuatu yang ikut mereka perjuangkan dengan susah payah dan, ironisnya, mereka wafat sebagai warga negara asing. Labeling dan penolakan yang masih terjadi dewasa ini rupanya memiliki akar sejarah dari masa kolonial.

Masyarakat Hindia Belanda dibedakan secara hukum dalam tiga golongan: Eropa; Timur Asing (Vreemde Oosterlingen, Tiong-hoa, Arab, dan India), serta Bumiputera. Walaupun dengan karakteristik yang berbeda, elemen Timur Asing merupakan “minoritas perantara” (middlemen) yang kondisi ekonominya relatif lebih baik daripada Bumiputera tapi dianggap sebagai perpanjangan tangan kolonial.

Segregasi masyarakat kolonial juga berpengaruh pada organisasi mereka masing-masing yang diwarnai karakter etnonasionalisme yang kental. Akhirnya, pada Desember 1912, muncullah tiga sekawan, E.F.E. Douwes Dekker (Indo-Belanda), dr Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Soewardi Soerjaningrat, yang mendirikan partai multikultural pertama dalam sejarah, Indische Partij (IP). Perkumpulan ini “terbuka buat semua golongan bangsa yang merasa dirinya seorang ‘Indiër’ [Hindia], tidak mengingat tingkatan kelas, laki-laki atau perempuan”. Karena mencita-citakan “Hindia” merdeka, IP segera dibubarkan pemerintah Belanda pada Maret 1913.

Setelah IP, kebanyakan organisasi politik besar Bumiputera hanya menerima anggota dari kalangan sendiri. Perkecualian adalah Partai Komunis Indonesia (1920-1927) dan Gerakan Rakyat Indonesia (1937-1942). Partai-partai utama masih ambigu dalam menghadapi soal peranakan. Misalnya dalam Partai Nasional Indonesia yang didirikan Ir Soekarno dkk (Juli 1927), golongan Asia non-Bumiputera hanya bisa diterima sebagai “anggota luar biasa” (Suryadinata, 1986).

Seiring dengan penolakan yang diberikan oleh nasionalis Bumiputera, mayoritas golongan Tionghoa tidak tertarik pada nasio-nalisme Indonesia. Mereka terbagi dalam tiga kelompok besar. Pertama, “Aliran Sin Po”, yang dinamai sesuai dengan satu surat kabar kenamaan berbahasa Melayu/Tionghoa yang berafiliasi ke Tiongkok. Kedua, “Chung Hua Hui”, yang mendukung kolonialisme Belanda. Kelompok ketiga lahir pada September 1932, saat sekelompok pemuda mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) di Surabaya. Tokoh utamanya adalah Liem Koen Hian (1896-1952), wartawan kelahiran Banjarmasin dari harian Sin Tit Po. PTI dengan tegas akan turut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Kiprah PTI dan Liem Koen Hian banyak menemui halangan bukan hanya dari penjajah, tapi juga dari sesama Tionghoa dan nasionalis Bumiputera. Selain mendapat tekanan dari penguasa dan aparat kolonial, PTI mendapat tekanan dari pers Belanda, yang menyebut mereka sebagai “oproerkraaiers” (tukang hasut), “omstrokers” (tukang tipu), “belhamels” (pemberontak), dan sebagainya. Namun yang paling menyakitkan agaknya penolakan dari pihak Bumiputera atas perjuangan Liem, seperti yang dimuat harian Djawa Tengah, 15 Oktober 1932: “Wij waarderen Uw streven, doch blijft Chinees!” (Kami menghargai perjuangan Anda, namun toh Anda ini tetap orang Cina!).

Menjelang Indonesia merdeka, Liem Koen Hian bersama tiga orang Tionghoa lain diangkat menjadi anggota BPUPKI. Liem bersuara paling keras agar golongan peranakan Tionghoa di dalam negara Republik Indonesia yang akan lahir nanti secara otomatis dijadikan warga negara. Di samping itu, ia mengusulkan perlunya jaminan kemerdekaan pers dicantumkan dalam Rancangan Undang-Undang Dasar. Tapi usul itu ditolak, khususnya soal kewarganegaraan. Agaknya penolakan itu amat menyakitkan Liem sehingga ia mengajukan surat permohonan pengunduran diri dari BPUPKI.

Di era Indonesia merdeka, kekecewaan Liem makin berlanjut saat ia ditangkap tanpa diadili oleh pemerintah dan urusan bisnis apoteknya pun mengalami kesukaran. Maka dengan getir Liem melepaskan kewarganegaraan negara yang sudah dia perjuangkan dengan susah payah. Ia wafat pada pengujung 1952 sebagai warga negara Cina dan hingga hari ini tidak diketahui lokasi makamnya. Yang lebih tragis, eksistensi Liem dan tokoh-tokoh Tiong-hoa di BPUPKI telah “dihilangkan” dari buku acuan resmi Sejarah Nasional Indonesia sejak 1990 hingga masa reformasi kini. Dengan getir Buya Maarif (2011) menyebut Liem adalah “sebuah tragedi dalam sejarah modern Indonesia”.

 


 

Walaupun berciri dasar Tionghoa, Sin Tit Po di bawah pimpinan Liem Koen Hian merupakan surat kabar kebinekaan, dengan awak dan konten yang beragam, mampu menembus sekat-sekat rasial ciptaan kolonial. Liem adalah mentor Abdurrahman Baswedan. Liem jugalah yang merekrutnya ke jajaran redaksi Sin Tit Po. Melalui harian ini, Baswedan—yang pada 2018 diangkat menjadi Pahlawan Nasional—menyatakan ”perang terbuka” terhadap golongan Ar Rabitah yang tetap setia kepada Yaman sebagai tanah airnya.

 


 

Harmoni ala Sin Tit Po

Apa lesson learned dari sejarah bagi kehidupan dewasa ini yang makin tercabik-cabik kepentingan politik?

Walaupun berciri dasar Tionghoa, Sin Tit Po di bawah pimpinan Liem Koen Hian merupakan surat kabar kebinekaan, dengan awak dan konten yang beragam, mampu menembus sekat-sekat rasial ciptaan kolonial. Liem adalah mentor Abdurrahman Baswedan. Liem jugalah yang merekrutnya ke jajaran redaksi Sin Tit Po. Melalui harian ini, Baswedan—yang pada 2018 diangkat menjadi Pahlawan Nasional—menyatakan ”perang terbuka” terhadap golongan Ar Rabitah yang tetap setia kepada Yaman sebagai tanah airnya.

Dalam Sin Tit Po edisi 2 Desember 1939, Baswedan menuliskan pengalaman kerjanya di kantor harian tersebut (1932-1933), yang “selamanya hidup dengan penuh kegembiraan, meskipun di luar banyak musuh dan udara gelap mengandung banyak ancaman”.

Baswedan menulis dengan bangga: Sin Tit Po yang demikian itu hebatnya dimasak di kantor redaksi oleh 3 ‘nko dan 2 bung dengan cara seperti main-main.” Yang dimaksud dengan “3 engko” oleh Baswedan adalah Liem Koen Hian, Kwee Thiam Tjing (alias “Tjamboek Berdoeri”), dan Tjoa Tjie Liang, sedangkan “2 bung” adalah Yunus Syaranamual (Ambon) dan dirinya sendiri. Baswedan melanjutkan, “Sebab sambil mengetik, mereka tidak berentinya bersendau-gurau berketawaan. Sementara Man Sidin tukang jual soto bolak-balik masuk keluar membawa mangkok sotonya yang penuh dan mengambil mangkok jang kosong! Memang urusan umum perlu diurus oleh orang-orang yang biasa makan soto Man Sidin!

Hubungan yang mesra di antara mereka itu masih berlanjut sesudah mereka meninggalkan Sin Tit Po. Saat bekerja di harian Melayu-Tionghoa, Matahari, Baswedan pernah menumpang tinggal di rumah Tjoa Tjie Liang, sehingga tulis Tjoa, “Banyak tetangga saya yang merasa heran, melihat peranakan Tionghoa begitu akrab dengan peranakan Arab, yang selalu berpeci.” Tjoa melanjutkan, “Bagi A.R. Baswedan yang Islam taat, kiranya tiada halangan kumpul dengan saya yang non-Islam” (Tjoa, 2003). Sebaliknya, Baswedan dengan tangan berbuka mengabaikan saran kawan-kawannya yang khawatir terhadap keselamatannya menampung Liem Koen Hian beserta keluarganya yang berlindung selama sebulan dari ancaman tentara Jepang (Suratmin, 1989).

Contoh keharmonisan hubungan antarelemen bangsa itulah yang dewasa ini terasa makin berkurang. Semoga kita mau membaca dan belajar dari sejarah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus