Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dia yang Mati dalam Selimut Merah Putih

Djiauw Kie Siong menjadi saksi sejarah perundingan Proklamasi Kemerdekaan 1945. Tak minta apa pun.

14 Agustus 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pemakaman Djiauw Kie Siong./Dokumentasi Keluarga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Rengasdengklok, Djiauw Kie Siong terkenal sebagai pedagang kaya yang punya tanah luas. Maka, ketika jatuh sakit dan menjelang meninggal pada usia 84 tahun, pada 1964, Djiauw sudah menyiapkan lahan untuk permakamannya. Luasnya kira-kira selebar lapangan sepak bola. Letaknya hanya sepelemparan batu dari rumahnya di Kampung Kali Jaya—dua jam berkendara dari Jakarta.

Lahan itu kelak menjadi kompleks makam keluarganya. Ia punya sembilan anak dari dua istri. Djiauw menikah lagi pada 1920 setelah istri pertamanya meninggal. Jasad Djiauw dikubur satu lubang dengan dua istrinya itu, yang mengapitnya kanan-kiri. “Sebelum meninggal, Empek pernah bilang area pekuburan ini boleh juga dipakai saudara yang tidak mampu,” kata Lanny, istri Djiauw Kiang Lin alias Janto Djoewari—cucu Djiauw dari anaknya yang kelima—Juli lalu.

Sewaktu ditengok pada Juli 2019 itu, pusara Djiauw terlihat tak terawat. Nama Djiauw ataupun istri-istrinya tak tertulis pada nisan karena cucu-cucunya tak ada yang tahu nama asli istri pertama kakek mereka. “Kalau nenek kedua, kami biasa panggil Mak Benteng saja,” ujar Janto.

Bentuk nisan kuburan Djiauw dibuat seolah-olah sedang merangkul. “Dalam kepercayaan kami, bentuk nisan ini menyimbolkan kakek merangkul semua keturunannya di makam ini,” kata Lanny. Ia menjelaskan makam tak terawat karena, dalam kepercayaan Konghucu, anak-keturunan hanya boleh membersihkan makam pada saat Cheng Beng, ketika matahari dipercaya bersinar paling terang, yang biasanya jatuh pada 4-5 April.

 


 

Menurut Janto, Djiauw adalah tipe laki-laki rumahan yang punya prinsip keluarga yang utama. Saat ia meninggal, warisannya melimpah, cukup untuk dibagi kepada sembilan anak hingga cucu-cucunya. Janto, misalnya, mendapat warisan tanah seluas lapangan sepak bola yang berada tepat di sebelah area makam keluarga.

 


 

Djiauw meninggal pada Selasa, 28 Juli 1964, pukul 17.30. Iklan kematiannya muncul dalam koran Merdeka edisi 2 Agustus 1964 dan Sinar Harapan edisi 3 Agustus 1964. Meski dalam iklan tersebut usia Djiauw ditulis 83 tahun, Janto percaya Empek Djiauw meninggal pada umur 84 tahun.

Janto meyakini kebiasaan merokok yang menurunkan kualitas kesehatan kakeknya. Sejak muda, Djiauw memiliki kebiasaan merokok yang sulit dihentikan. Ia paling senang merokok cerutu. Kebiasaannya itu tak berhenti meski usianya menginjak 80 tahun. Anak-cucunya acap memberi hadiah cerutu tiap kali mengunjunginya. Djiauw meninggal karena kanker paru-paru.

Setahun setelah kematiannya, peristiwa 30 September meletus. Ahli waris -Djiauw dibuat kalang-kabut oleh kejadian itu karena Djiauw menyimpan beberapa potret dan buku-buku Sukarno. Setelah peristiwa 1965, pemerintah berupaya menghapus pengaruh Bung Karno. Salah satunya dengan menuduh pengikut Sukarno sebagai simpatisan komunis. Anak kelima Djiauw yang juga ayahanda Janto, Djiauw Nyim Hin, akhirnya berinisiatif menyembunyikan koleksi itu ke langit-langit rumah. “Daripada keluarga kami ada masalah, lebih baik disimpan,” kata Janto. Koleksi itu akhirnya diturunkan dari “persembunyian” tak lama setelah Soeharto lengser.

Menurut Janto, Djiauw adalah tipe laki-laki rumahan yang punya prinsip keluarga yang utama. Saat ia meninggal, warisannya melimpah, cukup untuk dibagi kepada sembilan anak hingga cucu-cucunya. Janto, misalnya, mendapat warisan tanah seluas lapangan sepak bola yang berada tepat di sebelah area makam -keluarga.

Sesuai dengan wasiatnya, Djiauw mewariskan rumah tempat menyembunyikan Sukarno-Mohammad Hatta sebelum Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 itu kepada ayah Janto, Djiauw Nyim Hin, anak kelima. Waktu itu, kata Janto, tinggal ayahnya yang belum punya rumah. Pertimbangan lain, Djiauw Nyim Hin adalah anak laki-laki. Di keluarga Tionghoa, anak laki-laki mendapat tempat istimewa. Itu pula yang menyebabkan nama Djiauw hanya dipakai empat anak laki-lakinya, dilanjutkan ke cucu laki-laki.

Setelah tak lagi berdagang, menurut Janto, kakeknya lebih banyak bermain dengan cucu. Ia yang paling disayang dibanding cucu lain sehingga tak pernah kena marah. Janto bercerita, karena kakeknya ahli hong sui, banyak orang datang ke rumah bertanya waktu cocok untuk menanam padi atau menikahkan anak. “Mereka datang sekalian menyewa kursi untuk hajatan,” ujarnya.

Ilmu hitung-menghitung musim itu tak ia wariskan kepada anak dan cucunya. Menurut Janto, keturunan kakeknya tak ada yang seulet Djiauw, yang tenang, teliti, dan cermat. Jiwa suka menolongnya membuat Djiauw terkenal di Rengasdengklok. Kakeknya, kata Janto, tak segan menolong siapa pun yang datang meminta bantuan.

Jika ada orang yang meminta bantuan peti jenazah, Djiauw tak segan memberikannya secara gratis. Akibatnya, menjelang dia wafat, usaha peti jenazah bangkrut karena ongkos produksi lebih banyak dibanding penghasilannya. Faktor lain adalah kian sulitnya bahan baku kayu untuk peti jenazah.

Cucu Djiauw Kie Siong, Djiauw Kiang Lin (Janto Djoewari), berdiri di depan makam kakeknya di Rengasdengklok, Juli 2019./TEMPO/Muhammad Hidayat

Lima tahun sebelum meninggal, tepatnya pada 1959, Djiauw didatangi seorang pegawai pemerintah. Pegawai itu menanyakan kesediaannya menyerahkan sejumlah barang yang pernah digunakan rombongan tamu dari Jakarta menjelang Proklamasi Kemerdekaan. Benda-benda tersebut antara lain tempat tidur dari kayu jati, satu set kursi kayu, dan teko untuk minum. Si pegawai menyatakan semua barang akan disimpan di sebuah museum di Bandung.

Dengan senang hati, kata Janto, Djiauw mempersilakan barang-barang tersebut diangkut dari rumahnya. Dia senang karena dianggap memiliki peran dalam kemerdekaan Indonesia. Djiauw menolak ketika pemerintah menawarkan ganti rugi atas semua barang itu. Ia hanya minta bendera kenang-kenangan dari Bung Karno. “Dia cuma minta tolong bantu anak keturunannya jika mendapat kesulitan,” ucap Janto.

Saat meninggal, sesuai dengan permintaannya, peti jenazah Djiauw disarungi bendera Merah Putih yang ia minta dari Bung Karno itu. Ada juga buku Di Bawah Bendera Revolusi yang ditulis Bung Karno yang diletakkan di samping peti jenazah. Utusan dari Kodam Siliwangi datang melayat begitu mendengar kabar kematian Djiauw. Sementara itu, rumahnya hingga kini belum secara resmi ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus