Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SRI Nasti Rukmawati dan Abang Rahino masih ingat huru-hara pagi 23 November 1965 itu. Sepasukan tentara yang datang dengan truk merangsek masuk ke rumah mereka yang berdinding gedek di kawasan Kali Tunjang, Yogyakarta. Beberapa muda-mudi teman Sri Nasti aktivis Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) berada di rumah. Ada yang sedang mandi di kali, ada yang sedang mencangkul, ada pula yang sedang mewiru kain. Nasti adalah anggota CGMI Komisariat Sastra Universitas Gadjah Mada. Empunya rumah, Mia Bustam, sedang sibuk menyiapkan bancakan untuk Watu Gunung, putra ketiganya yang pada hari itu tepat berusia 17 tahun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tatkala tentara-tentara itu menghambur ke halaman dari truk, Nasti ingat ibunya sempat berteriak, “Lari, lari!” Tapi hampir semua yang ada di dalam rumah tak bisa lolos. Mereka ditangkap. Mia dan Nasti pun diangkut ke atas truk. Rhino—sapaan Abang Rahino—ingat saat itu ia takut dan bersembunyi di bawah meja makan. Ia menyaksikan para pemuda dihajar orang tak dikenal. Wajah dan tubuh mereka berdarah-darah, ditendang semaunya. “Saya masih kecil, takut sekali,” kata Rhino.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rhino juga ingat, dari semua orang, hanya ada satu yang tak diambil, yaitu Mas Kirnadi. “Mas Kirnadi itu teman CGMI Mbak Nasti. Ia yang tadinya berkemeja rapi tiba-tiba langsung mencopot semua pakaiannya, tinggal kolor, berada di dekat saya dan berpura-pura menjadi pembantu keluarga. Mpun teng mriki mawon, Den (Sudah di sini saja, Den). Saya bingung dipanggil ‘Den’, wong biasanya panggil ‘Rin... Rin…’,” ujar Rhino menirukan ucapan teman kakaknya itu. Tapi ternyata siasat itu berhasil. Kirnadi tak ikut dicokok.
Koleksi arsip foto keluarga Mia Bustam di Depok, Jawa Barat, 14 Agustus 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Nasti pun ingat ada seorang tentara yang iba melihat adik-adiknya yang ketakutan. “Dia tanya ke adik-adik saya, kalau Ibu ditangkap, siapa yang mengurus kalian? Adik-adik menjawab Mbak Nasti,” ucapnya. Nama Nasti lalu dipanggil, diminta turun dari truk, untuk mengurus adik-adiknya.
Geger penangkapan pagi itu menjadi awal perpisahan Mia dengan anak-anaknya. Si sulung Tedjabayu ditangkap lebih dulu. Mia digelandang ke kantor polisi setempat. Setelah itu, ia dipindahkan ke berbagai tempat, dari Benteng Vredeburg; Lembaga Pemasyarakatan Wirogunan; Plantungan, Kendal, Jawa Tengah; lalu Lembaga Pemasyarakatan Bulu, Semarang. Selama 13 tahun dia mendekam sebagai tahanan politik tanpa pengadilan hanya karena ia anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
Tiga belas tahun kemudian, Nasti pulalah yang kemudian bersama suaminya, Atik Rubino, menjemput Mia setelah pembebasan tahanan politik dari LP Bulu pada 28 Juli 1978 di Komando Daerah Militer Diponegoro. Mia lantas tinggal di rumah Nasti di Jalan Noroyono, Semarang. Tapi kemudian Atik dan Nasti pindah ke Jakarta.
Mia tinggal di rumahnya di kawasan Tugu, Semarang. Di rumah dengan tanah yang cukup luas itu, Mia bebas berkebun. Tanah dan rumah itu dibeli dari hasil penjualan tanah di kawasan Kali Tunjang, Desa Papringan, Yogyakarta, yang terbengkalai. Mia pindah ke Limo, Depok, Jawa Barat, pada 1996. Pertimbangan kesehatan menjadi alasan Mia pindah ke sana.
•••
DI tanah seluas 150-an meter persegi tempat berdiri rumah mungil bertipe 36 itu (kini sudah dikembangkan dan dimiliki Sri Nasti Rukmawati), Mia Bustam menghabiskan masa sepuhnya dengan kegiatan kesukaannya, berkebun. Di rumah itu jugalah Mia mulai menuliskan memoarnya. “Memori Ibu sangat kuat,” tutur Sri Nasti. Mia pun menulis catatan harian setiap hari. “Ibu juga menulis pembukuan, pengeluarannya sehari-hari, dengan ketat,” katanya.
Rumah kecil itu dibatasi pagar beton setinggi 1,5 meter yang dirambati tanaman dolar kecil. Halamannya penuh pohon yang rimbun dan aneka tanaman hias. Ada suplir, melati belanda, kuping gajah, dan bunga tanjung, juga pohon beringin yang rimbun yang semula adalah bonsai pemberian Watu Gunung. Ada pula sirih gading, tanduk rusa yang bergantung di sebuah pohon, anggrek merah muda di sebuah pot dekat teras, dan pandan di pot bagian depan. Segerombol tanaman empon-empon pun tumbuh subur di pojok halaman.
Sri Nasti Rukmawati, putri kedua Mia Bustam, memegang buku ketiga karya ibunya yang baru diluncurkan, berjudul Kelindan Asa dan Kenyataan, di Depok, Jawa Barat, 14 Agustus 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Tanaman dolar berdaun kecil merambati hampir seluruh tembok pembatas rumah. Gerbangnya sepasang pintu bercat merah dengan lis menyilang dicat putih lengkap dengan rantai dan kuncinya. Di bagian atasnya ditambahi atap rumbia secukupnya. Jalan dari gerbang menuju teras rumah berbahan semen. Setangkai anggrek berwarna merah muda menghiasi meja hijau kecil. Tampak pula bebatuan tertata di taman. Halaman yang adem, asri, dan tertata. Susunan batu-batunya pun rapi.
Mia sejak awal menata sendiri tamannya di halaman rumah itu. Ia tak suka tinggal di kompleks rumah yang desainnya seragam, tidak menampilkan kepribadian. Aneka tanaman sayuran, termasuk gude untuk lauk, yang merambat dijadikan pembatas halaman. “Ibu begitu cintanya sampai tiap hari seolah-olah bercakap-cakap dengan tumbuhan,” ujar Nasti.
Kepiawaian Mia sebagai juru taman terpupuk sejak ia berada di Plantungan bersama Nurcahya dan Rusiyati. Di sana, salah seorang tahanan bernama Zubaidah Nungtjik sampai membuat lagu berjudul “Taman Bunga Plantungan”. Lagu ini dinyanyikan kelompok paduan suara Dialita dalam acara peluncuran buku Kelindan Asa dan Kenyataan: Memoar Ketiga Mia Bustam, di GoetheHaus, Jakarta, Ahad, 21 Agustus lalu.
•••
AHAD pagi, 13 Agustus lalu, seusai waktu ibadah, ketika Tempo bersilaturahmi, di rumah kecil itu Abang Rahino tengah mendampingi Sri Nasti menyiapkan hajatan peluncuran buku memoar ketiga ibu mereka. Di teras yang sempit, terdapat beberapa plang untuk perlengkapan pameran, juga kardus-kardus.
Ruang tamu cukup penuh dengan lemari buku, meja tempat ganti popok bayi, dipan jati, serta beberapa kotak plastik besar dan kecil berisi barang memorabilia yang akan dipamerkan. Berkas kliping dan tiga kebaya yang tergantung di depan lemari buku di dekat pintu juga disiapkan untuk diangkut.
Abang Rahino, putra bungsu Mia Bustam,memegang buku karya Mia Bustam yang Keempat berjudul Mutiara Kisah Masa Lalu, di Depok, 14 Agustus 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna
Nasti, putri kedua pasangan Mia Bustam dan S. Sudjojono, dulu kuliah di arkeologi UGM, tapi tak selesai karena peristiwa 1965. Ia dulu aktif di CGMI bersama kakaknya, (almarhum) Tedjabayu. Ia menikah dengan Atik Rubino yang menjadi pegawai daerah.
Di kemudian hari, Nasti aktif dalam kelompok paduan suara Dialita bersama para perempuan korban dan keluarga eks tahanan politik 1965 lain. Dialita mendapat Penghargaan Hak Asasi Manusia Gwangju dari Yayasan Memorial 18 Mei di Korea Selatan. Akan halnya Abang Rahino alias Rhino, putra bungsu pasangan Mia-Sudjojono, adalah pensiunan pekerja di banyak lembaga swadaya masyarakat, terutama LSM Belanda dan Kanada, yang bergerak di bidang sanitasi.
Keduanya boleh dikatakan cukup dekat mendampingi Mia sejak ia berada di Semarang. Sejak peristiwa penangkapan dan penahanan di Kali Tunjang, Nasti dan suaminya yang sering menemui Mia. Beberapa kali Rhino atau anak-anak lain ikut mengantarkan lauk ke tempat penahanan.
Rhino ingat saat ia mengantarkan lauk yang sangat istimewa untuk ibunya, kadang berupa gudeg dan telur, kadang soto, kadang lauk lain. Nasti, Rhino mengungkapkan, berusaha keras mengadakan atau memasak lauk istimewa itu. Padahal sehari-hari mereka tak makan lauk tersebut. “Kalau di rumah bisa telur satu dibagi empat, tapi untuk dikirim ke Ibu ada empat telur, tapi yang sampai cuma satu,” ujar Rhino.
Keduanya melihat ibu mereka sebagai tipe perempuan yang mandiri, telaten, dan cukup banyak beraktivitas. Di rumahnya yang kecil di Limo, Nasti menceritakan kebiasaan rutin ibunya. Biasanya, ibunya memulai hari dengan membuka jendela dan pintu, lalu menyesap kopi susu sambil menikmati pagi.
Setelah itu, ia akan turun ke taman, menyiram beragam tanaman hiasnya sambil mengobrol, mencermati tanaman-tanaman yang butuh sentuhan, dan mengajak semua berkomunikasi. Selesai berkebun, ia akan membaca koran dan mengkliping berita atau serial komik. “Ibu itu paling suka kliping Panji Koming dan Om Pasikom. Itu salah satu harta beliau,” ucap Nasti. Selepas itu, ia akan mulai menulis buku harian atau hal-hal lain.
•••
SEMULA buku Kelindan Asa dan Kenyataan direncanakan diluncurkan dua tahun lalu, tepat pada peringatan 100 tahun Mia Bustam. Namun pandemi Covid-19 memorak-porandakan rencana tersebut. Penerbitan buku itu adalah usulan Tedjabayu. Tedjabayu meminta ibunya menerbitkan memoar yang ketiga. “Mbok Ibu nyerat (menulis) apa yang sudah Ibu lakukan setelah keluar dari tahanan,” ujar Sri Nasti Rukmawati menirukan ucapan mendiang kakaknya. Mia setuju. Dia menuangkan cerita tentang aktivitas atau kegiatan dan peristiwa-peristiwa yang ia lalui pada hari-hari setelah bebas.
Buku memoar ketiga ini ditulis sepanjang 2005-2010. Mia menuliskan hal-hal ringan hingga menjelang meninggal. Segala hal ia catat dan tulis. Abang Rahino ingat betapa ibunya mempunyai memori yang kuat meski sudah berusia 80-an tahun. Ia bahkan masih bisa mengingat guru-guru dan detail sekolahnya di Solo, Jawa Tengah, dulu. Buku itu bersampul foto pintu gerbang rumah mungilnya di Limo, Depok.
Mia Bustam saat sesi foto bersama Tempo di Depok, Jawa Barat, 21 April 2009. Dok. TEMPO/Arnold Simanjuntak
Mia mengawali kisah dalam bukunya dengan hari-hari pertamanya tinggal di rumah pasangan Nasti dan Atik Rubino di Semarang Barat, rumah paling pojok dari deretan rumah petak dengan septic tank abal-abal dan semula tidak dialiri listrik. Lalu kisah ringan ketika dia diajak bernostalgia ke Yogyakarta pada Lebaran pertama setelah dibebaskan. Namun Mia enggan menengok kawasan Kali Tunjang, tempat dia dulu ditangkap. “Aku tak mau untuk sekali lagi sakit hati melihat tempat kami pernah tinggal dan bagaimanapun juga pernah berbahagia, serta dari mana aku telah diambil dan diasingkan selama tiga belas tahun lebih,” tulisnya.
Kisah-kisah mengharukan dapat kita baca saat Mia menceritakan dia menjemput Tedjabayu tatkala putranya itu dibebaskan dari Pulau Buru. Mia pangling kepada anak sulungnya yang ia jemput di Komando Distrik Militer Jakarta Utara itu. Kisah mengharukan juga muncul saat ia menuturkan menghadiri acara reuni eks tahanan politik.
Ada kisah berat hatinya ketika ia meninggalkan rumah lamanya di Tugu, Semarang, dengan membawa beberapa peti kayu dan tulisan-tulisan terlarang, antara lain karangan Pramoedya Ananta Toer yang disembunyikan di dasar salah satu peti. Ada pula cerita Mia bersama ibu sambungnya, Sukapti, serta Nasti, Atik, dua putranya, dan Lanang Gawe—salah satu putra kembarnya—berziarah ke makam leluhurnya di Rembang, Jawa Tengah. Mereka berziarah ke makam keluarga Bustaman, terutama makam eyangnya, Sedalaut dan Sedamukti, juga ibu kandung Mia, Srijati.
Bagian yang juga penting tentunya adalah cerita Mia mengenai hari-hari awal di Limo. Kisahnya tak selalu murung, kadang jenaka dan hangat. Ia bercerita tentang orang-orang kecil: keluarga Aip dengan enam anaknya, keluarga Nasan dan anak-anaknya, serta Mpok Zainal penjual sayur. Dia pun berkisah tentang Jlitheng, salah satu anjingnya, juga sekadar bercerita saat ia membeli brondong beras ketan kesukaannya.
(Dari kiri) Harijadi, Sudjojono, Bung Karno, Mia Bustam, Sumilah (istri Harijadi), berfoto mersama saat kunjungan Sukarno ke Sanggar SIM, Yogyakarta, pada 1957. REPRO/TEMPO/Febri Angga Palguna
Beberapa cerita menuturkan saat ia kehilangan orang-orang dekatnya. Misalnya, bagaimana Mia sangat terpukul oleh kepergian menantu tercintanya, Atik Rubino, dan koleganya di Lekra, Oey Hay Djoen. Ia amat merasa kehilangan Atik yang selalu mengurusnya di berbagai tempat penahanan hingga pembebasannya. “Atik selalu memantau ke mana saja aku dibawa. Dengan bervivere pericoloso (frasa Italia, hidup penuh dengan menyerempet bahaya),” tulis Mia. Ia pula yang mengurus tanah di Kali Tunjang hingga mengawasi pembuatan rumah di Limo dalam keadaan sakit. Mia juga berkisah saat ia tak hadir melayat ketika Sudjojono, mantan suaminya, meninggal.
Yang cukup menarik adalah cerita Mia mendirikan perkumpulan Sri Tanjung dan Si Buyung dengan bantuan seorang romo. Perkumpulan ini adalah usaha kerajinan tangan bagi eks tahanan politik sahabat-sahabatnya di Semarang.
Ia berinisiatif memberdayakan mereka dengan keterampilan yang mereka miliki. Mereka menjual sulaman, jahitan, atau kerajinan kayu. Mia sendiri sangat piawai dalam urusan sulam-menyulam dan jahit-menjahit. Semua kebayanya, termasuk kebaya merah bercorak rumah tradisional Cina, adalah jahitan tangannya. Menurut Nasti, kain kebaya itu oleh-oleh Sudjojono dari Konferensi Pemuda di Cina yang ia hadiri.
“Sebetulnya ada buku keempat dari memoar Ibu yang juga sudah kami persiapkan. Jadi sebenarnya rangkaian buku memoar Ibu bukan trilogi, tapi tetralogi,” kata Abang Rahino. Buku itu berkisah mengenai masa kecil Mia saat hidup di lingkaran keluarga bangsawan Jawa. “Buku itu berjudul Mutiara Kisah Masa Lalu. Sudah kami cetak 50 buah, tapi belum kami terbitkan untuk publik,” tuturnya.
•••
MIA Bustam ternyata juga seorang penerjemah andal. Di rumahnya yang kecil ia menerjemahkan beberapa buku dari bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Setidaknya ada tiga buku yang diterjemahkan Mia. Salah satunya Surat-surat Adik Kartini dari bahasa Belanda yang diterbitkan Penerbit Djambatan pada 2005 atas pesanan Jaap Erkelens dari Institut Kajian Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV). Selain itu, buku terbitan Pustaka Azet yang berjudul De Zwaluwen van Klapanoenggal (Burung-burung Walet Klapanoenggal, 1986) karya Johan Fabricius dan Brieven uit Sumatera (Surat-surat dari Sumatera, 1987) karya J.J. van de Velde.
Ia juga menerjemahkan biografi Elizabeth Taylor. Sayangnya, buku tersebut tidak sempat terbit karena penerbitnya bangkrut. Buku lain yang sudah diterjemahkan tapi belum diterbitkan adalah De geheime Oorlog om de Petroleum (Perang Rahasia Minyak Bumi) karya Antoine Zischka dan Een Kat tussen de Duiven. Sri Nasti dan Abang Rahino menunjukkan sebuah map berisi segepok kertas tulisan tangan Mia. Terjemahan ini rencananya segera diketik. Dari jerih payah menerjemahkan buku-buku ini, Mia membangun sedikit demi sedikit tembok pagar ruang kerja atau studionya yang dijadikan “persembunyian” dari para rohaniwan muda.
Di rumahnya yang asri itu, Mia sering mendapat kunjungan atau permintaan wawancara mahasiswa, peneliti, jurnalis, dan penulis. Di Limo, mereka menemui Mia untuk mendapatkan informasi seputar penahanannya terkait dengan peristiwa 1965, seni rupa dan Sudjojono, serta buku-buku yang ia tulis. Ada keinginan Mia yang tak terpenuhi saat ia wafat. “Ibu menginginkan saat detik-detik meninggal saya menyanyikan ‘Ave Maria’ di dekatnya. Tapi itu tak kami lakukan. Saya baru menemukan surat wasiat Ibu yang meminta nyanyian itu,” kata Nasti.
Karena itulah saat acara di GoetheHaus diadakan Abang Rahino ingin menyanyikan “Ave Maria”. “Saya yang melantunkan lagu permintaan Ibu itu. Semoga Ibu bahagia di alam sana,” ucapnya.
SENO JOKO SUYONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo