Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Lukisan-lukisan dan Sulaman Mia

Selain menulis catatan harian dan memoar serta berkebun, Mia Bustam melukis dan menyulam. Mia bahkan membuat lukisan dan sulaman tatkala mendekam di penjara.

20 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Lukisan karya Mia Bustam yang dibuat saat beliau tinggal di Kali Tunjang Yogja, pada 1964. TEMPO/Febri Angga Palguna

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Selain menulis catatan harian dan memoar, Mia Bustam melukis dan menyulam.

  • Saat dipenjara, Mia Bustam juga menyempatkan membuat lukisan dan sulaman.

  • Untuk mengisi waktunya, Mia Bustam juga rajin berkebun.

SEBUAH self-portrait. Mia Bustam muda tampak mengenakan kebaya hitam. Rambutnya yang disanggul masih terlihat hitam. Tak ada sebersit pun helai putihnya. Wajahnya cerah, tapi dengan tatapan mata bulat kosong. Di belakangnya, gundukan bukit hijau dengan sebuah pohon dan rumah berada di kejauhan. “Self-portrait ini dibuat Ibu saat Ibu sudah berumur 80 tahun,” kata Sri Nasti Rukmawati, putri kedua Mia, yang akrab dipanggil Bu Nasti. Meski Mia lama tidak terlatih melukis, masih terasa goresan cat minyak itu kokoh. “Cat, kuas, serta kanvas saat itu dibelikan oleh Kartika Affandi,” ujar Nasti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tak banyak yang tahu bahwa Mia Bustam melukis. Selama ini bakatnya terpendam di bawah kebesaran nama S. Sudjojono. “Dengan lukisan self-portrait ini Ibu ingin mengulang lukisan self-portrait yang dibuatnya pada 1960-an serta diikutkan pameran keliling Eropa oleh Lekra tapi kemudian lukisan itu hilang,” tutur Nasti. Menurut Nasti, setelah ikut berlatih melukis di Seniman Indonesia Muda (SIM), Mia bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra. “Ibu aktif di SIM 1962-1963 dan kemudian masuk Lekra,” ujarnya.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nasti memastikan, selama terlibat dalam kedua organisasi tersebut, ibunya aktif mengorganisasi pameran-pameran. “Pasti dalam kegiatan-kegiatan itu Ibu juga ikut memamerkan lukisannya,” katanya. Perihal hilangnya lukisan self-portrait seusai pameran di Eropa, Nasti mengatakan, setelah pameran selesai, lukisan ibunya itu ditaruh dulu di Sekretariat Lekra Jakarta di Jalan Cidurian 19. “Nah, di situ saat terjadi kekacauan pada 1965, rumah itu digerebek. Lukisan itu tidak diketahui rimbanya,” ucapnya. Nasti tak tahu kenapa di usia sepuhnya Mia tiba-tiba ingin mengulang pembuatan lukisan self-portrait. “Lukisan self- portrait itu sama persis dengan yang dibuat Ibu dulu.”

Selain lukisan self-portrait tersebut, di rumah kecil Mia di kawasan Limo, Depok, Jawa Barat, yang kini ditempati Nasti, terdapat beberapa lukisan Mia. Begitu masuk, kita dapat melihat pada dinding rumah terpasang lukisan besar yang menampilkan wajah Mia di tengah bersama wajah-wajah lain. Pemilik wajah-wajah itu adalah anak-anak Mia dan Sudjojono. “Lukisan ini dibuat Ibu pada 1964 saat kami masih tinggal di Kali Tunjang, Yogyakarta,” tutur Nasti.

Ada tujuh wajah di sana dan tiga bundaran kosong. “Itu sesungguhnya lukisan kami delapan bersaudara. Tapi Mas Tedja (mendiang Tedjabayu) susah mencari waktu menjadi model sehingga hanya tujuh yang dilukis ibu,” ujarnya. Kedelapan anak Mia-Sudjojono adalah Tedjabayu, Sri Nasti Rukmawati, Watu Gunung, Sekartunggal, kembar Lanang Daya dan Lanang Gawe, Sri Shima, serta Abang Rahino. “Tiga bundaran kosong itu maunya, selain wajah Mas Tedja, ibu akan melukis wajah Simbah, ibunya Bapak yang kami panggil Mbah Dok, dan Marah Djibal, pelukis murid Bapak,” kata Nasti.

Lukisan potret diri Mia Bustam. TEMPO/Febri Angga Palguna

Baik Nasti maupun Rhino—sapaan Abang Rahino—tak tahu berapa jumlah persis lukisan yang dibuat ibu mereka. Namun ihwal ibunya yang sempat melukis di penjara mereka ingat. "Waktu di penjara 1963, Ibu pernah melukis seorang prajurit berdiri di sebuah perdesaan. Prajurit itu membawa senjata. Modelnya mungkin salah satu orang di penjara,” ucap Rhino.

Menurut Rhino, lukisan itu orderan. “Lukisannya besar, kalau tidak salah dipesan Korem (Komando Resor Militer) Yogyakarta.” Ia yakin, bila dicari, lukisan itu masih ada di Korem Yogyakarta. Nasti ingat ibunya juga pernah melukis December Bowl berupa pot Cina di atas sebuah meja. “Ibu juga pernah membuat lukisan wajah adik saya, Sekartunggal. Dan itu dihadiahkan kepada putra kerabat kami, Eyang Iso,” Nasti mengenang. Tatkala Mia dibui di Wirogunan pada 1966-1971, Nasti juga ingat ada petugas penjara yang memesan lukisan foto kakek-neneknya. “Orangnya pernah ke sini memberi foto lukisan itu,” ucap Nasti.

Memang, dalam memoar keduanya, Dari Kamp ke Kamp, Mia menceritakan kegiatannya sebagai pelukis di Wirogunan yang sering mendapat pesanan dari sipir penjara. “Pada suatu hari datang seorang bintara dari markas POM yang bertugas di penjara. Ia mencari ‘Bu Mia’. Ternyata ia ingin kubuatkan potretnya hitam-putih seperti foto (namanya Pak Darman). Aku minta dibelikan kertas gambar dan konte. Setelah dapat, kuminta dia berpose di atas bangku di pos piket, dengan wajahnya tidak lurus ke depan, melainkan ke samping,” tulis Mia.         

Selain terampil melukis, Mia amat mahir membuat sulaman kruistik. Di penjara, dia sering membuat sulaman untuk taplak meja dan serbet yang pada Hari Natal sering ia hadiahkan kepada perawat, dokter, dan pembimbing agama yang kerap datang ke penjara. Nasti pada siang itu memperlihatkan sebuah sajadah kecil yang cukup indah. “Sajadah ini buatan ibu saya buat suami saya. Ini hadiah untuk pernikahan kami,” kata Nasti. Motif sajadah itu mihrab masjid.

Nasti mengungkapkan, keluarganya juga menyimpan sebuah sulaman Mia yang langka. Sulaman itu hasil kerja sama Sudjojono dan Mia yang dibuat di atas kain yang bakal dihamparkan sebagai matras meja tempat ganti popok bayi. “Ceritanya waktu itu menjelang hamil adik saya yang bungsu, Rhino, Ibu meminta dibikinin matras untuk memandikan, ganti popok bayi. Jadi kalau bayi pipis akan ditidurkan di situ dan mudah mengganti popok,” Nasti berkisah. Sudjojono lalu, menurut Nasti, membuat sketsa di atas kain berupa gambar anak-anaknya.

“Di atas sketch Bapak itulah Ibu menyulam,” ucapnya. Namun, Nasti menambahkan, sulaman itu tidak selesai karena persoalan rumah tangga melanda. Sampai Rhino lahir dan tumbuh dewasa, sulaman itu belum rampung. “Kain itu oleh Ibu disimpan lama. Sampai 1980-an saat sudah keluar dari penjara baru dilanjutkan. Sulaman itu melalui jalan penuh lika-liku,” tutur Nasti. Nasti dan Rhino lantas mengambil gulungan kertas dari sebuah tabung. Lalu mereka merentangkannya. Cukup lebar.

“Ini replika sulaman. Aslinya sulaman disimpan di rumah adik saya, Sekartunggal, di Bandung,” katanya. Di kertas itu ada gambar anak-anak tengah bermain. Ada yang mengayuh sepeda, meniup seruling, juga kencing di atas penyu. Ada pula ayam, kambing, dan gunung-gunung. “Yang kencing nakal ini maksudnya gambar saya,” ujar Rhino, tertawa. Di samping gambar-gambar tersebut, ada tulisan tangan Sudjojono yang mengutip sajak Kahlil Gibran. Boleh dibilang sulaman tersebut adalah hasil kolaborasi berharga Sudjojono-Mia Bustam yang penting bagi dunia seni rupa Indonesia.

Sri Nasti Rukmawati (kanan), putri kedua Mia Bustam, dan Abang Rahino, putra bungsu Mia Bustam, memegang sulaman karya Mia Bustam di Depok, 14 Agustus 2022. TEMPO/Febri Angga Palguna

Nasti juga ingat tatkala ditahan di kamp Plantungan, Kendal, Jawa Tengah, ibunya pernah membuat sulaman mengenai Maria dan Yesus. “Ibu pernah membuat sulaman tusuk silang Bunda Maria menggendong Yesus dan Yesus mengenakan jubah. Kedua sulaman tersebut indah sekali,” tuturnya.

Menurut Nasti, gradasi warnanya luar biasa. Ibunya mampu mengolah benang-benang beraneka warna dengan teknik merajut yang sangat sulit. “Yang sulaman Yesus apik banget. Yesus pakai jubah warna. Saya ingat jubah Yesus sampai kelihatan lekuk-lekuknya,” ucapnya. Nasti ingat sulaman sosok Yesus itu kemudian dibeli oleh seorang tentara. “Saya yang disuruh Ibu mengantarkan sulaman tersebut dari Plantungan ke kompleks tentara Banyumanik, Semarang. Yang membeli tentara yang tinggal di situ.”

Nasti mengungkapkan, saat menyulam, kecuali dalam kerja kolaborasi dengan Sudjojono, Mia selalu membuat pola sendiri. “Ibu saya tidak berangkat dari pola-pola yang sudah ada. Kebanyakan orang kalau menyulam selalu berdasarkan pola yang sudah jadi, sementara Ibu membuat sketsa sendiri di kain, baru kemudian menyulam berdasar gambar sendiri,” kata Nasti.

Nasti kemudian mengeluarkan sebuah sulaman lain yang disimpannya. Sulaman Mia itu menampilkan dua bocah kecil memandang sebuah panorama hutan di kejauhan. “Ini sulaman Ibu setelah kedua anak saya saat masih kecil ikut saya menjenguk eyangnya di Plantungan,” ujar Nasti. Sulaman itu masih terlihat kokoh.

Anak kecil agaknya menarik perhatian Mia. Di sebuah lukisan lain yang disimpan Nasti, Mia Bustam menggambarkan sepasang bocah perempuan dan laki-laki berada di antara kungkungan tembok yang tebal seolah-olah sebuah kamp tahanan. “Ibu sesungguhnya memiliki obsesi mengalahkan Bapak dalam melukis,” kata Nasti.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus