Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad teringat langit terlihat cerah saat purnama berpendar di atas Dusun Legon, Pandeglang, Banten,- pada 22 Desember lalu. Perkampungan yang terletak di bibir pantai Sumur itu pun ramai oleh pelancong. “Tiba-tiba terdengar suara seperti pesawat jet,” ujar Ahmad, Kamis dua pekan lalu.
Dari arah Pulau Oak, yang berjarak sekitar dua kilometer dari rumahnya, bapak tiga anak itu melihat buih ombak bergulung ke arahnya. Ketua Rukun Tetangga 15 Dusun Legon ini memperkirakan tinggi gelombang itu melebihi pohon kelapa. “Tsunami! Tsunami!” ia berteriak seraya menyuruh istrinya lari menyelamatkan keluarganya.
Berlari dikejar gelombang, Ahmad berusaha menyelamatkan diri dengan memanjat pohon kelapa. Tiga kali ia terjatuh sebelum berhasil memanjat hingga ketinggian tiga meter. “Air menghantam betis saya,” kata Ahmad, yang belakangan tahu bahwa keluarganya menyelamatkan diri ke bukit dan rumahnya hancur dihantam tsunami.
Tsunami malam itu menghantam kawasan pesisir sepanjang lebih dari 300 kilometer di Banten dan Lampung. Gelombang yang menerjang masuk ke daratan sejauh ratusan meter itu membunuh 437 orang dan melukai lebih dari 1.400 jiwa. Sekitar 36 ribu orang mengungsi.
Asal-muasal tsunami dadakan itu lantas menjadi pertanyaan besar. Perangkat sensor Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika tak mendeteksinya. Tsunami itu awalnya bahkan hanya disebut sebagai gelombang pasang. Apalagi selama ini tsunami di Indonesia dipicu gempa besar di dasar laut, yang malam itu juga tak terpantau.
BMKG menyebutkan longsornya dinding barat daya Anak Krakatau akibat erupsi menjadi pemicu tsunami. Setidaknya 64 juta meter kubik material gunung rontok ke laut, kemudian memantik tsunami. “Setengah jam sampai di pesisir barat Banten,” kata Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono.
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi menyampaikan hipotesis serupa setelah menerima citra satelit yang dirilis Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sehari setelah tsunami. Apalagi seismograf terakhir di Anak Krakatau mati pada malam nahas itu sehingga mereka hanya mengandalkan sensor cadangan di Pulau Sertung, yang berjarak lima kilometer dari gunung api tersebut.
Menurut Sekretaris Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mi-neral Antonius Ratdomopurbo, ambrolnya puncak Anak Krakatau melemahkan hipotesis bahwa tsunami dipicu longsoran. Volume material yang jatuh ke laut pada 26-27 Desember mencapai 150 juta meter kubik. “Jumlahnya jauh lebih besar dari longsoran 22 Desember, tapi tidak ada tsunami,” ujar Purbo.
Kepala Subbidang Mitigasi Gunung Api Wilayah Timur Pusat Vulkanologi dan Miti-gasi Bencana Geologi, Devy K. Syahbana, meyakini tsunami dipicu longsornya lereng Anak Krakatau. “Kejadiannya berlangsung cepat, tsunami sampai ke pantai Banten sekitar 40 menit sejak longsor,” katanya, Ahad pekan lalu.
Potensi ancaman tsunami akibat ambruknya lereng Anak Krakatau pernah disinggung dalam laporan kumpulan riset PVMBG sejak 2013. Dalam buku berjudul Krakatau 1883: Pembelajaran di Balik Letusan Katastropik itu, ada bab khusus yang membahas potensi tsunami yang dikaitkan dengan aktivitas Anak Krakatau, termasuk kemungkinan lereng barat daya ambruk. “Sebagian besar tubuh Anak Krakatau yang berpotensi longsor jika ada letusan besar terletak di barat daya,” ujar Devy.
Mantan Kepala Badan Geologi, Surono, pun meyakini longsoran badan Anak Krakatau memantik tsunami. Ia malah membantah anggapan yang menyebutkan tsunami disebabkan oleh erupsi Anak Krakatau. Surono mengatakan ukuran Anak Krakatau terlalu kecil untuk bisa memproduksi letusan besar yang memantik tsunami. “Anak Krakatau baik-baik saja, letusan biasa. Yang lebih besar juga pernah,” katanya dalam diskusi di Rawamangun, Jakarta, Kamis pekan lalu.
Skenario tsunami akibat longsornya tubuh Anak Krakatau pernah dimuat dalam laporan riset peneliti BPPT, Budianto Ontowirjo, pada 2012. Bersama peneliti Prancis, Thomas Giachetti, Raphael Paris, dan Karim Kelfoun, dia membuat simulasi tsunami akibat longsoran Anak Krakatau.
Ide studi itu muncul setelah diketahui bahwa sebagian besar Anak Krakatau berada di atas dinding kaldera curam. Pertanyaannya saat itu adalah apa yang terjadi jika tubuh gunung api tersebut runtuh ke laut. “Kami mensimulasikan kejadian longsor mendadak ke arah barat daya dan pembentukan serta penyebaran tsunami,” ujar Budianto.
Dalam pemodelan, mereka membuat skenario lereng barat daya Anak Krakatau runtuh dengan volume mencapai 280 juta meter kubik. Di lokasi longsoran lantas timbul gelombang laut setinggi 43 meter. Dalam tempo kurang dari satu jam, gelombang dengan tinggi 1,5 hingga 3,7 meter menjangkau kawasan Merak, Anyer, Carita, Labuan, dan Kalianda. Hasil studi Budianto dan koleganya ternyata tidak jauh berbeda dengan apa yang terjadi pada 22 Desember lalu.
Budianto mengatakan fenomena keruntuhan badan gunung ke dalam air masih sulit diprediksi. Sebagian besar massa longsoran berada di bawah air. Adapun sebagian besar tsunami berasal dari gempa akibat tumbukan antarlempeng tektonis, seperti di Aceh pada 2004 dan Tohoku, Jepang, pada 2011. Namun letusan dahsyat serta runtuhnya badan gunung api juga dapat memicu tsunami.
Menurut Budianto, tidak ada yang istimewa dari erupsi Anak Krakatau sebelum tsunami melanda. Gunung api itu terus aktif sejak Juli. Intensitas erupsi yang lebih tinggi bahkan terjadi pada November. Gara-gara tsunami itu, hasil riset Budianto ramai dibahas publik. Ia pun diminta mempresentasikannya di depan tim lintas- instansi di kantor Menteri Luhut Binsar Pandjaitan. “Semula saya kaget mendengar tsunami dipicu longsor. Saya bilang, itu ngawur,” katanya.
Purbo mengatakan tetap terbuka kemungkinan tsunami Selat Sunda dipicu gempa. Goyangan bahkan tercatat di stasiun pantau Gunung Gede, yang jarak-nya lebih dari 200 kilometer. Hal ini menunjukkan gempa bukan di permukaan atau pelataran gunung, melainkan di dasar samudra. “Jadi longsornya Anak Krakatau dan tsunami itu sama-sama dampak gempa,” ujarnya.
Purbo tak mau cepat-cepat mengubur hipotesis bahwa tsunami disebabkan oleh longsornya lereng barat Anak Krakatau. Baginya, erupsi besar pada 26-27 Desember membuka lagi dua teori sama kuat yang harus dibuktikan secara ilmiah. “Opsinya tetap dua, longsor atau gempa,” katanya.
Menurut dosen Fakultas Teknik Geologi Universitas Padjadjaran, Teuku Yan W.M. Iskandarsyah, tsunami di Selat Sunda itu menunjukkan bahwa kemunculan gelombang tidak selalu identik dengan gempa. Hipotesis bahwa tsunami diduga dipicu longsoran akibat erupsi Anak Krakatau juga perlu dipelajari lebih mendalam. “Ini menjadi peringatan untuk waspada akan bencana serupa atau mungkin lebih dahsyat,” ujarnya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, DODY HIDAYAT (JAKARTA), ANWAR SISWADI, AHMAD FIKRI (BANDUNG)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo