Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

MAGMA DI BAWAH SELAT SUNDA

Gunung Anak Krakatau berstatus level tiga karena masih mengalami erupsi. Perilakunya tak dapat ditebak dan bisa berubah setiap saat.

5 Januari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivitas Gunung Anak Krakatau terpantau dari KRI Torani 680 di perairan Selat Sunda, 1 Januari 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Suara dentuman dan letusan terdengar beberapa kali saat Gunung Anak Krakatau mengalami erupsi sejak pagi hingga malam pada 22 Desember 2018. Di puncak siluet gunung yang terletak di Selat Sunda itu, terlihat pijaran-pijaran api terlontar hingga mencapai tiga ratus meter. Lava pijar tampak bergerak menuruni lereng gunung, lalu menghilang tertelan air laut.

Dari lantai dua pos pengamatan gunung api milik Pusat Vulkanologi dan Miti-gasi Bencana Geologi, Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mi-neral, di Desa Pasauran, Serang, Banten, suara dentuman dan letusan terdengar jelas pada malam hari. “Sekitar jam 20.00 sampai 20.30 memang ada suara dentuman, juga letusan. Tapi tinggi kolom abu tidak teramati. Hanya lontaran pijar api yang terlihat dari kamera inframerah kami,” ujar Windi Cahya Untung di Pos Pengamatan Pasauran, Selasa pekan lalu.

Windi malam itu tengah melakukan tugas rutinnya mengambil gambar visual Gunung Anak Krakatau di Pos Peng-amatan Pasauran. Jarak pos itu ke gunung mencapai 42 kilometer. Ketika jam menunjukkan pukul 21.20, pria 34 tahun itu mendengar suara gemuruh keras dan melihat gelombang cukup besar dari arah laut menuju pantai.

Foto udara letusan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda, 23 Desember 2018.

Windi panik dan meminta dua rekan kerjanya bersiaga jika tiba-tiba terjadi tsunami. Belakangan, ia mengetahui gelombang yang sampai ke pantai tak jauh dari pos pemantauan tak terlalu tinggi. “Di pantai Pasauran, tinggi gelombangnya kurang dari satu meter,” katanya.

Dari pengamatan alumnus sekolah menengah kejuruan jurusan elektronika di Cianjur ini, arah datang gelombang tak seperti biasanya. Gelombang yang datang malam itu, menurut dia, tak segaris lurus dengan gunung setinggi 338 meter tersebut, tapi miring dari arah selatan-barat daya atau dari sebelah kiri pos. Windi tak tahu mengapa arah datangnya gelombang tinggi itu miring.

Berbeda dengan Pasauran, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), tinggi tsunami Selat Sunda arah selatan-barat daya mencapai dua-lima meter. Tapi di arah itu tak ada daratan dengan bangunan dan jumlah penduduk yang padat. Ke arah tenggara, gelombang yang masih kuat menyapu wilayah Tanjung Lesung hingga Sumur, juga di Pandeglang.

Pemeriksaan data rekam seismograf pemantau aktivitas letusan Gunung Anak Krakatau di Pos Pengamatan GAK Pasauran, Serang, Banten, 27 Desember 2018.

Gelombang kuat inilah yang menyebabkan Sumur paling luluh-lantak. Kecamatan di selatan Tanjung Lesung ini sempat terisolasi. BNPB mencatat bencana di Banten dan Lampung menyebabkan 437 orang tewas dan sedikitnya 1.459 orang terluka. Bencana itu juga mengakibatkan lebih dari 20 ribu jiwa mengungsi. Tsunami diduga dipicu longsornya lereng di bawah permukaan laut di sisi barat-barat daya Anak Krakatau.

Berstatus “waspada” sejak Juni lalu, Anak Krakatau memang tak henti-henti memuntahkan lava dan abu. “Suara dentuman sudah terdengar sejak Agustus. Paling keras terjadi pada September lalu,” ujar Windi.

Erupsi masih terjadi Selasa pekan lalu atau sepuluh hari setelah tsunami. Dari pos Pasauran yang terletak di bukit, sekitar 200 meter dari bibir pantai, terlihat asap hitam muncul dari lubang kepundan Anak Krakatau. “Ini letusan, warnanya (asap) hitam, tapi tingginya belum tahu,” ujar Windi sembari mengamati dengan binokuler Nikon. Pada hari tahun baru itu, ia mencatat waktu kejadian letusan, 14.46.

Petugas Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika memasang alat water level di dermaga Pulau Sebesi, Lampung Selatan, Lampung, 1 Januari 2019

Puncak erupsi sesungguhnya terjadi lima hari setelah tsunami. Menurut laporan Pusat Vulkanologi, hari itu, kerucut Anak Krakatau ambrol ke laut dan menyisakan bukit setinggi 110 meter. Karena peristiwa tersebut, Badan Geologi memutuskan meningkatkan status Gunung Anak Krakatau dari “waspada” menjadi “siaga”.

Menurut Sekretaris Badan Geologi Antonius Ratdomopurbo, eskalasi erupsi Anak Krakatau meningkat drastis sejak 26 Desember. “Letusan hari itu menyebarkan abu hingga ke Cilegon. Tercatat 14 kali letusan per menit, yang berlangsung hampir seharian hingga esoknya,” ujar Purbo.

Belum genap sehari setelah naiknya status, Pusat Vulkanologi mendapati perubahan drastis pada aktivitas gunung Anak Krakatau. “Pada malam Jumat itu, kira-kira jam 23.00, terjadi perubahan. Sinyal seismik berubah total. Dari meletus yang biasanya vertikal menjadi murni surtseyan,” kata Purbo. “Kalau surtseyan itu, kawah-nya minimal sudah di muka air.”

Hikayat Sang Anak

Menurut Purbo, efek letusan surtseyan diyakini tidak akan menghasilkan tsunami. Dia mencontohkan pulau gunung api Surtsey di Kepulauan Vestmannaeyjar, Islandia, yang meletus dengan kekuatan besar tapi tidak menimbulkan tsunami.

Tidak hanya itu, Purbo beranggapan, volume tubuh Anak Krakatau yang sudah berkurang turut mengurangi potensi dampak tsunami. Volume gunung yang tersisa diperkirakan 40-70 juta meter kubik. “Kejadian apa yang bisa menyebabkan dia hancur total? Kalau hanya satu juta meter kubik, apa bisa tsunami?” ujar Purbo balik bertanya.

Apa pun pemicu tsunami Selat Sunda, kata Purbo, langkah antisipasi menjadi prioritas. Caranya dengan memasang detektor tsunami. Dia mengatakan, jika Anak Krakatau memang dinilai masih berpotensi memicu tsunami, di seputar gunung itu lebih baik dipasang detektor tsunami. “Sekarang logikanya, sumber mana yang paling dekat (bisa memicu tsunami)?” katanya.

Senada dengan Purbo, Kepala Bidang Mitigasi Gunung Api Pusat Vulkanologi, Wawan Irawan, mengatakan potensi bahaya Anak Krakatau kian berkurang. Tandanya, menurut dia, suara dentuman dari Gunung Anak Krakatau sudah tidak lagi terdengar. “Mungkin energinya melemah, karena (gempa) tremornya juga agak berkurang,” ucapnya. Wawan mengatakan jumlah letusan juga mulai berkurang.

Kendati demikian, sampai akhir pekan lalu, status aktivitas Anak Krakatau masih dipatok “siaga”, dengan area yang harus dihindari dalam radius lima kilometer dari kawah gunung tersebut. Wawan mengatakan lembaganya masih belum meng-evaluasi status gunung tersebut. “Perlu waktu dulu. Kami harus mengevaluasi dengan rentang waktu agak panjang,” ujarnya.

Kamis pekan lalu, Pusat Vulkanologi melaporkan masih terjadi erupsi Gunung Anak Krakatau pada pukul 12.03. Tinggi kolom abu teramati lebih-kurang 1.600 meter di atas puncak. Kolom abu itu berwarna hitam dengan intensitas tebal condong ke arah utara dan timur laut. Erupsi itu terekam di seismogram dengan amplitudo maksimum 31 milimeter dan durasi sekitar 1 menit 10 detik. Suara dentuman tidak lagi terdengar.

Dosen Teknik Geologi Universitas -Padjadjaran, Teuku Yan W.M. Iskandarsyah, punya pandangan sebaliknya. Menurut dia, bukan tidak mungkin fase mematikan terjadi pada Anak Krakatau. “Mengingat saat ini aktivitas gunung api tersebut sedang berada pada akhir siklus 200 tahunan setelah letusan mahadahsyat pada 1883,” tutur peneliti tsunami Krakatau 1883 sejak 2010 hingga sekarang itu. Yan berkolaborasi dengan Patrick Wassmer dari Université de Strasbourg, Prancis, dan Franck Lavigne dari Université Paris 1, Prancis.

Siklus 200 tahunan ini, kata Yan, hanyalah asumsi berdasarkan rekaman letusan Krakatau pada 1680 dan 1883. Masih diperlukan kajian lebih mendalam tentang karakteristik dan perubahan komposisi kimia pada magma di bawah Anak Krakatau. “Sebuah gunung api yang memiliki magma bersifat sangat asam berpotensi meletus dahsyat seperti Gunung Krakatau pada 1680 dan 1883,” ujarnya.

Perubahan tipe erupsi dari strombolian ke tipe surtseyan, menurut Yan, belum menunjukkan telah terjadi perubahan komposisi magma Anak Krakatau. Beberapa ahli vulkanologi menyebutkan butuh waktu lebih dari 200 tahun untuk terjadinya perubahan sifat kimia magma dari basa menjadi sangat asam. Namun waktu kejadian sebuah fenomena alam tetaplah merupakan misteri. “Kapan terjadinya fase mematikan dari Anak Krakatau amat sulit dipastikan,” kata Yan. “Bukan tak mungkin suatu saat Anak Krakatau mendekati sifat induknya.”

Perilaku Anak Krakatau, seperti gunung api lain, dapat berubah setiap saat. Letusan Krakatau pada 26-27 Agustus 1883 itu dikategorikan Yan sebagai fase mematikan. Dentuman letusan tipe plinian- yang menghancurkan seluruh tubuhnya itu dilaporkan terdengar hingga Mauritius. Semburan kolom abu membubung 70 kilometer dan memicu tsunami setinggi 30 meter lebih di Jawa Barat dan Lampung.

Membandingkan potensi letusan Anak Krakatau dengan Krakatau pada 1883, menurut vulkanolog Institut Teknologi Bandung, Mirzam Abdurrachman, bisa dengan melihat volume tubuh dan kandungan silika atau silikon oksida (SiO2) di magma keduanya. Kandungan SiO2, kata Mirzam, merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kekentalan magma. “Makin tinggi silika akan makin kental magma dan berpotensi menghasilkan letusan eksplosif,” ujar Koordinator Bidang Vulkanologi di Pusat Penelitian Mitigasi Bencana ITB itu.

Menurut Mirzam, saat ini volume tubuh Anak Krakatau masih relatif kecil dibandingkan dengan Krakatau pada 1883. Kandungan silikanya pun masih 50-53 persen, sementara sang ibu berada di atas 60 persen. “Melihat data itu, seharusnya kita boleh berharap letusan Anak Krakatau saat ini tidak akan sebesar letusan Krakatau 1883,” kata Mirzam, yang juga pengajar di Teknik Geologi ITB. Meski begitu, menurut pakar geologi-geofisika Hery Harjono, penting juga penelitian petrologi atas material yang dimuntahkan Anak Krakatau.

Pusat Vulkanologi juga tetap mewaspadai struktur aktif geologi Selat Sunda. Ini yang sewaktu-waktu bisa menimbulkan gempa besar yang memicu tsunami. Struktur geologi di Selat Sunda merupakan struktur aktif yang sebagian berupa sesar normal.

Soal struktur aktif Selat Sunda ini juga disinggung Hery. Menurut mantan Deputi Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Bidang Ilmu Pengetahuan Kebumian itu, Selat Sunda dari sudut geologi merupakan wilayah yang sangat aktif yang ditandai dengan aktivitas kegempaan, vulkanisme, serta pergerakan ke-rak bumi vertikal. “Letaknya dari sudut geologi juga unik, berada di antara zona subduksi (zona penunjaman) Jawa dan zona subduksi Sumatera,” ujar Hery.

Menurut Hery, yang kini menjadi Project- Manager Integrated Airborne Geophysical Survey di PT Karvak Nusa Geomatika, hasil penelitian disertasi doktoralnya di Université de Paris-Sud pada 1988 mengenai gempa mikro menunjukkan Selat Sunda sedang mengalami peregangan. “Seperti sosis yang ditarik bagian ujungnya,” ucapnya.

Gelegak di Bawah Anak Krakatau

Peregangan ini, kata Hery, menyebabkan kerak bumi di Selat Sunda lebih tipis dibandingkan dengan di Jawa dan Sumatera. Penipisan itu menimbulkan re-servoir magma yang besar di bawah Anak Krakatau.

Penelitian Hery bersama Christine Deplus dari Institut de Physique du Globe de Paris, Prancis, yang terbit di Journal of Volcanology and Geothermal Research pada 1995 menemukan dua tingkat sumber magma Anak Krakatau di kedalaman kurang dari 10 kilometer dan 22 kilometer. Penemuan Hery itu dikonfirmasi Börje Dahren dari Uppsala University, Swedia, serta Kairly Jaxybulatov dari Dublin Institute for Advanced Studies, Irlandia, pada 2011. “Penelitian Dahren dan Jaxybulatov bahkan menemukan sumber magma tingkat ketiga di kedalaman kurang dari lima kilometer,” ujar Hery.

Hery menduga aktivitas vulkanis Anak Krakatau yang terbilang singkat itu berasal dari kantong magma yang relatif kecil di tingkat paling dangkal tersebut. “Kegiatan vulkanis saat ini menurun dan mungkin terhenti karena magma di kantongnya sudah menipis,” ucap Kepala Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI 2006-2011 itu. Namun, menurut Hery, kantong-kantong magma yang lain siap memasok bahan baku erupsi kepada Anak Krakatau untuk membentuk tubuhnya kembali.

Hery mengatakan pembelajaran dari tsunami Selat Sunda 2018 adalah perlunya pemetaan secara periodik dasar laut di sekitar Anak Krakatau, terutama pada bagian barat, barat daya, dan selatan, yang mempunyai bentuk morfologi yang curam. Material hasil muntahan Anak Krakatau yang lahir 91 tahun lalu itu, kata Hery, relatif belum terkonsolidasi dengan baik. Lereng yang terjal akan mudah runtuh.

Menurut Hery, penting mengkaji gempa sekuat apa yang bisa memicu longsoran. Pada Juli-September 1984, ia memantau kejadian gempa di Selat Sunda. Menurut dia, ada 19 gempa bermagnitudo 1,9 sampai 4,4 di bawah Krakatau yang dianalisis. Tak satu pun gempa itu menimbulkan tsunami. “Terlampau kecil untuk menyebabkan perubahan dasar laut yang bisa menimbulkan tsunami,” ujarnya.

DODY HIDAYAT (JAKARTA), AHMAD FIKRI, ANWAR SISWADI (BANDUNG), ROSENO AJI NUGROHO (SERANG)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Dody Hidayat

Dody Hidayat

Bergabung dengan Tempo sejak 2001. Saat ini, alumnus Universitas Gunadarma ini mengasuh rubrik Ilmu & Teknologi, Lingkungan, Digital, dan Olahraga. Anggota tim penyusun Ensiklopedia Iptek dan Ensiklopedia Pengetahuan Populer.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus